//

Syi’ah Kultural ataukah Sunnah Kultural?

Syi’ah Kultural ataukah Sunnah Kultural?

Oleh Prof. Dr. Mohammad Baharun, S.H. M.A.

 
Isu keumatan yang kian marak mengenai kontroversi Sunnah-Syi’ah agaknya masih tetap menarik untuk dibahas. Pro-kontra terhadap isu adanya ‘Syi’ah kultural’ pun ikut menyemarakkan media, menambah khazanah ke perpustakaan umat.

Membahas soal Syi’ah dengan mengenyampingkan litelatur mereka (terutama rujukan utamanya), jelas tidaklah proporsional. Terlebih jika didasarkan pengamatan yang parsial, tak jarang akan menghasilkan hipotesis yang menyimpang.  Upaya seperti itu (klaim Syi’ah kultural dengan tidak mempertautkan ajaran asalnya) akan menghasilkan simpulan yang gegabah dan spekulatif. Hingga tidak mustahil dapat mengaburkan inti permasalahannya secara substansial.

Pertama, perlu ada penegasan terlebih dahulu mengenai definisi Syi’ah dalam konteks ini, agar tidak mengaburkan pemahaman terhadap topik yang dibidik. Secara etimologis, Syi’ah memang bermakna pengikut. Dalam isu yang sudah meluas, Syi’ah yang dimaksud tentu saja bukan Syi’ah yang lain, kecuali Syiah Itsna Asyariyah (Dua belas imam) – sekte yang berkembang saat ini di Iran. Syi’ah ini termasuk yang mudah didekati kepustakaannya dibanding Syi’ah Sab’iyah (Tujuh imam) atau Syi’ah Isma’iliyah, misalnya. Yang disebut terakhir malah tampak begitu eksklusif (berkembang di India).

Menurut kitab Mukhtashar at-Tuhfah Itsna ‘Asyariyah (ad-Dahlawi), Syi’ah Itsna Asyariyah termasuk kategori Syi’ah Ghulat (ekstrim). Karena dalam litelatur mereka mengenyampingkan otentisitas al-Qur’an, mendiskualifikasi semua sahabat dan para istri Nabi SAW (dengan memurtadkannya), dan meyakini imamah adalah hak mutlak Ahlul Bait berdasarkan nash Ilahi dan wasiat Nabi SAW. Barangsiapa tidak mengimaninya, maka mereka telah kafir. Inilah antara lain pokok-pokok prinsipil doktrin Syi’ah Imamiyah yang dianut mayoritas penduduk Iran sekarang ini.

Di Indonesia, pengaruh Syi’ah yang dibawa dari Iran melalui suplai informasi secara besar-besaran, jelas berpengaruh pada kemapanan Ahlussunnah. Dengan membonceng sukses Revolusi, distribusi buku-buku Syi’ah yang diterjemahkan secara sistematis dan intensif sulit dihindari. Sebelum itu sangat terbatas litelatur mengenai Syi’ah yang dapat dikaji di kepustakaan kita.

Dengan semangat propaganda yang optimal, buku-buku memang mudah tersebar. Kecenderungan buku-buku yang menarik itu merongrong keyakinan prinsip Ahlussunnah dengan memunculkan pertanyaan-pertanyaan musykil sekitar teologi kita – yang siapapun tahu, bahwa keyakinan itu dipeluk mayoritas umat di negeri ini. Dan begitu lama reaksi yang muncul atas berbagai rongrongan terhadap keyakinan teologi Ahlussunnah ini, memang terasa sekali seperti mewakili sifat spesifik rata-rata penganut teologi dan manhaj fikri tersebut, yakni menampakkan sikap moderat dan penuh toleransi.

Namun setelah rongrongan dan hujatan itu dipandang telah menukik jauh dan melampau batas kesopanan dan etika Islam, maka sikap reaktif pun kian menampakkan diri di mana-mana, dipelopori oleh santri pondok. Dan polemik sekitar dikotomi Sunnah-Syi’ah seperti memasuki babak baru. Kritik atas Syi’ah melalui litelatur dan referensi standar sendiri mulai disemarakkan. Terutama sekarang dilakukan oleh para kiai muda NU di pondok-pondok yang sudah memiliki litelatur standar mereka seperti al-Kafi, al-Istibshar, at-Tahdzib dan Man La Yahdhuruhu al-Faqih (Kitab empat) dan buku-buku teologi dan fiki karya ulama’ Syi’ah sendiri yang didapat dari Iran.

Oleh karena itu, ungkapan KH. Abdurrahman Wahid bahwa “NU itu lebih Syi’ah dari Syi’ah di Iran”, haruslah diartikan bahwa memang keduanya sama-sama menghormat Ahlul Bait Nabi. Bahkan Nahdhiyin tidak pernah membeda-bedakan para imam seperti yang dilakukan oleh kaum Syi’ah: ada yang meyakini 7 dan ada pula yang 12 imam. Menurut hemat saya, Ahlussunnah yang jadi akar keyakinan NU, sejak awal amat apresiatif terhadap seluruh imam Ahlul Bait (keluarga besar Rasulullah SAW) tanpa membeda-bedakan satu dengan lainnya.

Sementara itu di sisi lain, adalah kenyataan yang tak mungkin bisa dimungkiri bahwa perbedaan antara Sunnah dan Syi’ah ini adalah bukan perbedaan furu’ (incidental) belaka. Oleh karena itu kritik terhadap Syi’ah lantas jangan secara gegabah langsung diputus secara apriori. Justru sebaliknya, Ahlussunnah-lah yang selama ini mula-mula dikritik Syi’ah dari berbagai sudut, sementara kita tidak pernah merasa alergi atas kritik gencar yang dilontarkan secara bertubi-tubi.

Malah sebagaian merasa terangsang untuk ambil bagian dalam polemik kontroversial Sunnah versus Syi’ah ini. Maka jelas hal itu harus diartikan sebagai fenomena yang manarik dalam umat: adanya dinamika dalam mencari kebenaran ilmiah.  Untuk itu ada beberapa hal yang perlu dijelaskan:

1.     Harap dibedakan antara pengaruh Persia dengan pengaruh Syi’ah.  Sebab Persia tidaklah selalu identik dengan Syi’ah. Karena itu asumsi yang menyebutkan bahwa ada pengaruh tulisan Persia (Farisi) dalam kitab-kitab pelajaran agama di Pesantren adalah spekulatif. Dalam seni khat Islam memang dikenal tulisan model Farisi (Persia), tapi itu tidak identik dengan Syi’ah. Berkembangnya kesenian ini di zaman Abbasiyah, sedang Iran kala itu di bawah perlindungan Abbasiyah (notabene mayoritas Sunni. Sama seperti kalau ada di antara muslim Indonesia yang menggunakan sajadah produksi Iran, apakah secara kultural muslim Indonesia dapat diklaim sebagai termasuk Syi’ah? Tentu tidak.

2.     Disebut pula, bahwa berkembangnya cara orang mengaji yang menggunakan bahasa Persia untuk menyebut tanda-tanda harakat. Katakanlah asumsi itu akurat, tapi sekali lagi Persia tidak identik dengan Syi’ah. Syi’ah mulai mutlak dipeluk warga Iran sejak berkuasanya Dinasti Shafawi. Jadi hipotesis yang mengaitkan pertautan kultural ini dengan Syi’ah harus dipertanyakan kesahihannya.

3.     Peringatan Tabut Hasan-Husein dan Rabu Wekasan bukanlah tradisi yang ada di dalam ajaran yang bersumber dari Islam. Upacara Hasan-Husein, misalnya, ini adalah belasungkawa yang dilembagakan untuk mengenang (haul) wafatnya cucunda kinasih Nabi SAW. Upacara yang ada di Indonesia dengan yang (asli) di Iran (setelah Syi’ah dominan) jelas berbeda. Tabut Hasan-Husein di Indonesia diselenggarakan semacam kenduri biasa, bahkan jadi objek wisata. Sementara upacara di Iran tampak amat berbeda. Para pemuda memukul-mukulkan senjata tajam ke tubuhnya sendiri sampai tidak sadarkan diri (sesuatu yang tidak pernah dijumpai di Indonesia, bahkan bertentangan secara diametral dengan upacara di sini). Kalau sumbernya sama, mestinya ada kesamaan dalam penjiwaan upacaranya.

4.     Digunakannya beragam kitab Syi’ah (Zaidiyah) seperti Nail al-Authar dan lain-lain itu di pesantren-pesantren di sini sejak awal sampai kini, karena kitab-kitab tersebut memang relevan dan tidak bertentangan dengan kitab-kitab Ahlussunnah. Dan tradisi tahlil, talqin serta haul yang berkembang, sebenarnya bersumber dari para habaib atau Alawiyyin dari Hadramaut yang berpaham Sunni. Menurut Adwar al-Tarikh al-Hadhrami (kitab referensi sejarah yang paling standar) oleh Habib Ahmad al-Syatiri, disebutkan bahwa cikal-bakal habaib (jamak dari habib) di Hadhramaut adalah Ahmad bin Isa al-Muhajir, seorang pemeluk Sunni. Mengapa al-Muhajir (yang berhijrah)? Karena ia menghindar dari chaos  politik di Kufah yang diakibatkan fitnah Syi’ah. Tradisi tahlil, talqin, haul dan lain-lain itu bersumber dari ulama’ habaib Hadhramaut.

5.     Mengenai wayang krucil yang melukiskan tokoh Omar Madi dan Omar Dhani sebagai gambaran dalam bentuk sangat jelek, barangkali ini pengaruh sastra Persia pasca Syi’ah. Sebab Syi’ah Itsna Asyariyah ini memang telah mendiskualifikasi Sayyidinia Umar bin al-Khattab sebagai tokoh buruk. Ini bertentangan dengan tradisi umat Islam di mana-mana yang suka memberi nama putra-putranya dengan nama Umar atau Omar, karena mereka mengidolakannya, tentu nama-nama itu tidak membumi di nusantara ini. Bahkan tokoh-tokoh tasawwuf Hadhramaut (asal cikal-bakal pelopor Islam ke Indonesia) banyak sekali yang bernama Umar, juga Abu Bakar dan Utsman – nama-nama yang dikafirkan oleh Syi’ah. Tetapi mereka menjadi idola umat Islam, terutama strata arus bawah.

6.     Menghormati Ahlul Bait Rasulullah SAW adalah tradisi Ahlussunnah yang sudah berakar. Karena itu, maka pembacaan mauled diba’ hanya populer di kalangan Ahlussunnah. Diba’ di Iran tidak dibaca seperti di sini. Menghormati Ahlul Bait, sekali lagi, tidak identik dengan Syi’ah. Maka apresiasi sebagaimana ghalibnya kepada Ahlul Bait bukanlah Syi’ah kultural, melainkan tradisi di kalangan Ahlussunnah.

7.     Kebiasaan penghormatan kepada habaib (Alawiyyin) adalah tradisi yang berasal dari Hadhramaut. Akidah dan Madzhab para habaib Hadhramaut adalah Ahlussunnah wal Jama’ah. Asumsi yang menyimpulkan tradisi-tradisi yang  di Indonesia ini terpengaruh Syi’ah adalah putusan yang gegabah dan ahistoris. Hemat saya, kita jangan mengenyampingkan litelatur Hadhramaut jika membahas masalah habaib yang berakar kuat dan punya peran soisal besar dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia.

Klaim adanya Syi’ah kultural sebenarnya bukanlah masalah serius yang menyangkut masalah substansi sejarah perkembangan Islam di Indonesia. Sebab klaim itu sesungguhnya tidak berdasarkan sejarah. Pengakuan adanya kesultanan Syi’ah juga dibantah sejarawan (baca; jurnal Ulumul Qur’an No. 4 Vol. VI 1995).  Tak ada bukti-bukti kuat yang mendukung hipotesis itu kecuali mitos dan tradisi masyarakat yang tak bersendi syara’, sementara Syi’ah adalah sebuah akidah dan madzhab – yang andai itu dipengaruhinya, niscaya akan terwarnai pula secara teologis maupun fikih-sosialnya. Oleh karenaa itu, mengangkat tradisi-tradisi tadi sebagai indikator adanya pengaruh Syi’ah, selain merupakan simpulan yang spekulatif, juga dapat mengaburkan dan bahkan mendistorsi informasi yang sebenarnya. Justru sebaliknya, menurut hemat saya, tradisi-tradisi masyarakat itu dipengaruhi Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Tidak dibenarkan adanya klaim yang mengatakan bahwa bila mengeritik Syi’ah itu berarti apriori, sepanjang yang diketengahkannya itu adalah bukti-bukti referensial yang diyakini akidah dan madzhab yang dikritiknya. Justru sikap reaktif yang terkondisi selama ini untuk mengeritik Syi’ah dalam polemik kontroversi Syi’ah-Sunnah itu merupakan awal yang baik untuk membangun keterbukaan ilmiah kedua belah pihak. Oleh karena itu, isu Syi’ah kultural haruslah ditafsirkan secara kontekstual, merupakan picu untuk kerja besar Ahlussunnah dalam menyuplai informasi mengenai Syi’ah guna menjawab tuduhan yang dilontarkan ke alamat dirinya. Mengingat NU sejak permulaan merupakan salah satu motor Ahlussunnah yang amat berakar. Hemat saya, keberadaan Syi’ah merupakan tantangan buat umat. Siapa tahu, setelah permasalahan ini tuntas, dapat digalang Ukhuwah Islamiyah yang tidak semu? Minimal ukhuwah dalam tauhid. []

Penulis adalah peneliti Syi’ah, saat ini menjabat Ketua Bidang Komisi Hukum MUI Pusat

abdkadiralhamid@2013

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Syi’ah Kultural ataukah Sunnah Kultural?"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip