Imam an-Nawawi berkata dalam kitab al-Majmu’: “Dan wajib baginya satu
mud sebab mengakhirkannya hingga masuk Ramadhan berikutnya. Sedang bagi
yang tidak berkesempatan mengqadhainya karena udzurnya yang terus
berlangsung hingga memasuki Ramadhan berikutnya maka tidak berkewajiban
membayar fidyah (sehari satu mud) sebab pengakhiran qadhanya.” (Al-Iqna’
li asy-Syarbiniy juz 1 halaman 243).
Sedangkan pendapat yang menyatakan tidak perlu mengqadhainya lagi adalah pendapat Ibn Abbas, Ibn Umar, Sa’id bin Jubir dan Qatadah: “Puasa yang ada dijalani, puasa yang telah lewat fidyahnya dibayari dan tidak ada qadha puasa lagi.” (Al-Majmu’ ‘ala Syarh al-Muhaddzab juz 4 halaman 366).
c. Maksud Setan Dibelenggu di Bulan Ramadhan
Di bulan Ramadhan benarkah para setan dibelenggu, melihat faktanya sewaktu berpuasa masih saja ada yang berpacaran dan maksiat lainnya masih tetap terjadi?
Hal itu terjadi karena masih dimungkinkan kejelekan tersebut terjadi akibat nafsu yang jelek dari seseorang atau pengaruh setan dari bangsa manusia.
Berkata Imam al-Qurthubiy setelah mengunggulkan pernyataan hadits “Pada bulan Ramadhan pintu neraka ditutup rapat dan pintu surga dibuka selebar-lebarnya dan setan diborgol” pada dzahirnya hadits, bila ditanyakan “Bagaimana kita masih banyak melihat kejelekan dan maksiat terjadi di bulan Ramadhan bila memang setan telah diborgol?” Kejelekan tersebut menjadi jarang terjadi pada orang yang berpuasa dengan menjalankan semua syarat-syaratnya dan menjaga adab-adabnya. Atau yang diborgol hanyalah sebagian setan tidak semuanya seperti keterangan di sebagian riwayat terdahulu. Atau yang dimaksud adalah sedikitnya kejelekan di bulan Ramadhan, ini adalah hal nyata karena kejelekan di bulan Ramadhan kenyataannya memang lebih sedikit dibanding di bulan-bulan lainnya dan bukan berarti apabila semua setan diborgol di bulan Ramadhan sekalipun, tidak akan terjadi kejelekan dan kemaksiatan karena masih dimungkinkan kejelekan tersebut terjadi disebabkan oleh nafsu yang jelek atau setan dari sebangsa manusia.”
Dan berkata ulama lainnya: “Pengertian setan dibelenggu di bulan Ramadhan adalah tidak adanya lagi alasan seorang mukallaf, seolah-olah dikatakan: “Telah tercegah setan dari menggodamu maka jangan beralasan dirimu karenanya (godaan setan) saat meninggalkan ketaatan dan menjalani kemaksiatan.” (Fath al-Bari juz 4 halaman 114-115).
d. Menggabungkan Niat Puasa
Menggabung niat beberapa puasa sunnah seperti puasa ‘Arafah dan puasa Senin Kamis adalah boleh dan dinyatakan mendapatkan pahala keduanya. Sebagaimana dikemukakan oleh Imam al-Kurdi. Bahkan menurut Imam al-Barizi puasa sunnah seperti hari ‘Asyura, jika diniati puasa lain seperti qadha Ramadhan tanpa meniatkan pauasa ‘Asyura tetap mendapatkan pahala keduanya.
Adapun puasa 6 hari bulan Syawal jika digabung dengan qadha Ramadhan, maka menurut Imam Romli mendapatkan pahala keduanya. Sedangkan menurut Abu Makhromah tidak mendapatkan pahala keduanya bahkan tidak sah. (I’anat ath-Thalibin juz 2 halaman 252, Fath al-Wahab juz 1 halaman 206, Bughyat al-Mustarsyidin halaman 113-114 dan al-Fawaid al-Janiyyah juz halaman 145).
e. Membatalkan Puasa saat Ramadhan, Kemudian Berjima’
Suami istri dalam keadaan musafir, lalu mengambil rukhshah untuk tidak berpuasa (membatalkan puasanya). Setelah itu keduanya melakukan jima’, bagaimana hukumnya?
Baginya tidak wajib kafarat, bahkan bila tadinya ia berpuasa kemudian di tengah jalan dibatalkan dengan jima’ maka tidak wajib kafarat menurut Imam Syafi’i karena berbuka puasa saat musafir baginya mubah. (Syarh al-Minhaj juz 2 halaman 345, Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah juz 1 halaman 903 dan Ikhtilaf al-Ummah juz 1 halaman 250).
Namun menurut Imam Malik dan Imam Hanafi wajib kafarat, sedangkan menurut Imam Syafi’i dan Imam Hanbali tidak wajib. (Syarh al-Minhaj juz 2 halaman 345, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh juz 3 halaman 97 dan al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah juz 28 halaman 44).
f. Ketentuan Kafarat Bagi yang Jima’ di Bulan Ramadhan
Terdapat tiga pendapat dalam masalah kafarat (denda pelanggaran) sebab persenggamaan atau jima’ di siang bulang Ramadhan:
1. Kewajiban kafaratnya khusus bagi suami (pendapat paling shahih).
2. Kewajiban kafaratnya bagi suami dan istri (satu kafarat untuk mereka berdua).
3. Masing-masing suami istri wajib mengeluarkan kafarat. Pendapat paling shahih adalah yang menyatakan kewajiban kafarat khusus bagi suami sebagai denda buatnya sendiri, dan untuk istri tidak diwajibkan sesuatupun (kecuali qadha).
4. Kewajibannya bagi suami hanya saja dia wajib mengeluarkan dua kafarat dari hartanya, satu kafarat untuk dirinya dan satu kafarat untuk istrinya (ini pendapat ad-Darami dan lainnya). (Al-Majmu’ ‘ala Syarh al-Muhadzdzab juz 6 halaman 331-332).
g. Mencicipi Makanan Saat Berpuasa
Dimakruhkan mencicipi makanan (bagi orang yang puasa) tersebut bila memang untuk orang yang tidak ada kepentingan. Sedangkan bagi seorang pemasak makanan baik laki-laki atau perempuan atau orang yang memiliki anak kecil yang mengunyahkan makanan buatnya maka tidak dimakruhkan mencicipi makanan buat mereka seperti apa yang difatwakan Imam az-Ziyadi. (Asy-Syarqawiy juz 1 halaman 445).
Wallahu A’lam
Sedangkan pendapat yang menyatakan tidak perlu mengqadhainya lagi adalah pendapat Ibn Abbas, Ibn Umar, Sa’id bin Jubir dan Qatadah: “Puasa yang ada dijalani, puasa yang telah lewat fidyahnya dibayari dan tidak ada qadha puasa lagi.” (Al-Majmu’ ‘ala Syarh al-Muhaddzab juz 4 halaman 366).
c. Maksud Setan Dibelenggu di Bulan Ramadhan
Di bulan Ramadhan benarkah para setan dibelenggu, melihat faktanya sewaktu berpuasa masih saja ada yang berpacaran dan maksiat lainnya masih tetap terjadi?
Hal itu terjadi karena masih dimungkinkan kejelekan tersebut terjadi akibat nafsu yang jelek dari seseorang atau pengaruh setan dari bangsa manusia.
Berkata Imam al-Qurthubiy setelah mengunggulkan pernyataan hadits “Pada bulan Ramadhan pintu neraka ditutup rapat dan pintu surga dibuka selebar-lebarnya dan setan diborgol” pada dzahirnya hadits, bila ditanyakan “Bagaimana kita masih banyak melihat kejelekan dan maksiat terjadi di bulan Ramadhan bila memang setan telah diborgol?” Kejelekan tersebut menjadi jarang terjadi pada orang yang berpuasa dengan menjalankan semua syarat-syaratnya dan menjaga adab-adabnya. Atau yang diborgol hanyalah sebagian setan tidak semuanya seperti keterangan di sebagian riwayat terdahulu. Atau yang dimaksud adalah sedikitnya kejelekan di bulan Ramadhan, ini adalah hal nyata karena kejelekan di bulan Ramadhan kenyataannya memang lebih sedikit dibanding di bulan-bulan lainnya dan bukan berarti apabila semua setan diborgol di bulan Ramadhan sekalipun, tidak akan terjadi kejelekan dan kemaksiatan karena masih dimungkinkan kejelekan tersebut terjadi disebabkan oleh nafsu yang jelek atau setan dari sebangsa manusia.”
Dan berkata ulama lainnya: “Pengertian setan dibelenggu di bulan Ramadhan adalah tidak adanya lagi alasan seorang mukallaf, seolah-olah dikatakan: “Telah tercegah setan dari menggodamu maka jangan beralasan dirimu karenanya (godaan setan) saat meninggalkan ketaatan dan menjalani kemaksiatan.” (Fath al-Bari juz 4 halaman 114-115).
d. Menggabungkan Niat Puasa
Menggabung niat beberapa puasa sunnah seperti puasa ‘Arafah dan puasa Senin Kamis adalah boleh dan dinyatakan mendapatkan pahala keduanya. Sebagaimana dikemukakan oleh Imam al-Kurdi. Bahkan menurut Imam al-Barizi puasa sunnah seperti hari ‘Asyura, jika diniati puasa lain seperti qadha Ramadhan tanpa meniatkan pauasa ‘Asyura tetap mendapatkan pahala keduanya.
Adapun puasa 6 hari bulan Syawal jika digabung dengan qadha Ramadhan, maka menurut Imam Romli mendapatkan pahala keduanya. Sedangkan menurut Abu Makhromah tidak mendapatkan pahala keduanya bahkan tidak sah. (I’anat ath-Thalibin juz 2 halaman 252, Fath al-Wahab juz 1 halaman 206, Bughyat al-Mustarsyidin halaman 113-114 dan al-Fawaid al-Janiyyah juz halaman 145).
e. Membatalkan Puasa saat Ramadhan, Kemudian Berjima’
Suami istri dalam keadaan musafir, lalu mengambil rukhshah untuk tidak berpuasa (membatalkan puasanya). Setelah itu keduanya melakukan jima’, bagaimana hukumnya?
Baginya tidak wajib kafarat, bahkan bila tadinya ia berpuasa kemudian di tengah jalan dibatalkan dengan jima’ maka tidak wajib kafarat menurut Imam Syafi’i karena berbuka puasa saat musafir baginya mubah. (Syarh al-Minhaj juz 2 halaman 345, Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah juz 1 halaman 903 dan Ikhtilaf al-Ummah juz 1 halaman 250).
Namun menurut Imam Malik dan Imam Hanafi wajib kafarat, sedangkan menurut Imam Syafi’i dan Imam Hanbali tidak wajib. (Syarh al-Minhaj juz 2 halaman 345, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh juz 3 halaman 97 dan al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah juz 28 halaman 44).
f. Ketentuan Kafarat Bagi yang Jima’ di Bulan Ramadhan
Terdapat tiga pendapat dalam masalah kafarat (denda pelanggaran) sebab persenggamaan atau jima’ di siang bulang Ramadhan:
1. Kewajiban kafaratnya khusus bagi suami (pendapat paling shahih).
2. Kewajiban kafaratnya bagi suami dan istri (satu kafarat untuk mereka berdua).
3. Masing-masing suami istri wajib mengeluarkan kafarat. Pendapat paling shahih adalah yang menyatakan kewajiban kafarat khusus bagi suami sebagai denda buatnya sendiri, dan untuk istri tidak diwajibkan sesuatupun (kecuali qadha).
4. Kewajibannya bagi suami hanya saja dia wajib mengeluarkan dua kafarat dari hartanya, satu kafarat untuk dirinya dan satu kafarat untuk istrinya (ini pendapat ad-Darami dan lainnya). (Al-Majmu’ ‘ala Syarh al-Muhadzdzab juz 6 halaman 331-332).
g. Mencicipi Makanan Saat Berpuasa
Dimakruhkan mencicipi makanan (bagi orang yang puasa) tersebut bila memang untuk orang yang tidak ada kepentingan. Sedangkan bagi seorang pemasak makanan baik laki-laki atau perempuan atau orang yang memiliki anak kecil yang mengunyahkan makanan buatnya maka tidak dimakruhkan mencicipi makanan buat mereka seperti apa yang difatwakan Imam az-Ziyadi. (Asy-Syarqawiy juz 1 halaman 445).
Wallahu A’lam
0 Response to "BEBERAPA PERMASALAHAN SEPUTAR PUASA RAMADHAN"
Posting Komentar
Silahkan komentar yg positip