//

KONSEP KESESATAN MENURUT SYAIKH ABDUL QADIR AL-JILANI


KONSEP KESESATAN MENURUT SYAIKH ABDUL QADIR AL-JILANI

Oleh Abdul Hakim, S.Si., Apt, peneliti InPAS

Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (SAQJ) lahir pada tahun 470 Hijriah/1077 Masehi di distrik Iran yang bernama Jilan.[1] Jilan merupakan suatu kawasan luas terdiri dari beberapa negeri yang tersebar di seberang Thabrustan, arah selatan laut Kaspia. Di kawasan ini tidak ada kota besar melainkan hanya perkampungan yang terletak di dataran subur yang diapit gunung.[2] Selain disebut Jilan, kawasan ini juga dikenal dengan nama Kilan dan Jil sehingga penisbatan kepadanya disebut Kilany, Jilany dan Jily.[3] Dalam beberapa teks, ejaan Persia Gilani digunakan sebagai ganti Al-Jilani.[4]

Keluarga Syaikh Abdul Qadir al-Jilani

Dari nasab ayah, garis keturunan Syaikh Abdul Qadir sampai kepada al Hasan bin Ali bin Abu Thalib. Secara lengkap, garis keturunan tersebut adalah sebagai berikut: Syaikh Abdul Qadir bin Abu Shalih Musa Jinki Daust bin Abdullah bin Yahya az Zahid, bin Muhammad bin Daud bin Musa bin Abdullah bin Musa al Jaun bin Abdullah al Mahdh bin al Hasan al Mutsanna bin Al Hasan bin Ali bin Abu Thalib.[5] Sedangkan dari sebelah ibu, garis keturunannya sampai kepada al Husain bin Ali bin Abu Thalib.[6] Ibu Syaikh Abdul Qadir bernama Fatimah Ummu al Khair binti Abu Abdullah ash Shawma’I al Husaini bin Abi Jamaluddin Muhammad bin Thahir Abi al-‘Atha’ Abdullah bin Kamaluddin Isa bin Alauddin Muhammad al-Jawad bin Ali Ridha bin Musa al-Khadim bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Zainal Abidin bin al Husain bin Ali bin Abu Thalib.[7] Karena kedua orang tuanya adalah keturunan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, silisilah Syaikh Abdul Qadir dikenal sebagai Rantai Emas.[8]


Pentingnya Guru dalam Mengkaji Al-Qur’an dan As-Sunnah

Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa keselamatan di dunia dan akhirat akan dicapai apabila mengikuti al-Qur’an dan Sunnah. ”Tidak ada keberuntungan bagimu hingga kamu mengikuti al-Kitab dan as-Sunnah.”[9] ”Bagaimana mereka tidak masuk neraka, sementara mereka telah mendengar al-Qur’an, namun mereka tidak mengimani, apalagi menjalani perintah-perintahnya dan menjauhi larangan-larangannya.”[10]

Untuk mempelajari dan memahami keduanya (Al-Qur’an dan Sunnah), menurut Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, seseorang tidak boleh mempelajarinya sendiri secara otodidak. Dia harus belajar dari ulama yang menjadi guru pembimbingnya. ”Barang siapa yang tidak memiliki guru pembimbing, maka Iblislah yang akan menjadi gurunya.”[11]

Selain itu, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani juga mengingatkan untuk tidak sembarang memilih guru. Guru yang dipilih adalah guru yang tidak hanya mampu memahami keduanya (al-kitab dan as-sunnah), namun juga yang mampu mengamalkannya, karena ulama yang demikianlah yang menjadi pewaris nabi.[12]


Hadits-Hadits tentang Perpecahan Umat


Syaikh Abdul Qadir al-Jilani membuat pengelompokan umat Islam menjadi kelompok yang selamat dan kelompok yang sesat didasarkan pada beberapa hadits[13], yaitu:

1. Katsir bin ’Abdullah bin ’Umar bin ’Auf meriwayatkan dari ayahnya, dari kakeknya, dia bercerita, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:”Kalian akan menempuh jalan orang-orang sebelum kalian tanpa perbedaan sedikitpun. Kalian akan mengambil seperti yang mereka ambil. Jika mereka mengambil satu jengkal, kalian pun satu jengkal. Jika satu depa, maka kalian juga mengambil satu depa. Jika satu hasta, kalian pun satu hasta. Bahkan jika mereka masuk ke lubang biawak, kalian pun akan ikut masuk ke dalamnya. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Bani Israel pada zaman Nabi Musa telah terbagi menjadi tujuh puluh satu kelompok yang semuanya sesat, kecuali satu kelompok, yaitu Islam dan jama’ahnya. Kemudian pada zaman Isa terbagi lagi menjadi tujuh puluh dua kelompok yang semuanya sesat kecuali satu kelompok yaitu Islam dan jama’ahnya. Kemudian kalian terbagi lagi menjadi tujuh puluh tiga kelompok yang semuanya sesat kecuali satu kelompok yaitu Islam dan jama’ahnya.”


2. Dari ’Abdurrahman bin Jubair bin Nafir dari ayahnya, dari ’Auf bin Malik al-Asyja’i r.a., dia bercerita, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


تفترق أمتي على ثلاثة وسبعين فرقة أعظمها فتنة على أمتي الذين يقيسون الأمور برأيهم يحرمون الحلال ويحللون الحرام.[14]
”Umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga kelompok. Satu kelompok yang paling besar fitnahnya bagi umatku adalah kelompok yang menganalogikan (mengqiyaskan) semua permasalahan dengan pendapat mereka, mengharamkan yang halal, menghalalkan yang haram.”




3. Dari ’Abdullah bin Zaid, dari ’Abdullah bin ’Amr radliyallahu ‘anhu. Dia berkata bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:




إن بني إسرائيل إفترقوا على إحدى وسبعين فرقة كلها في النار إلا واحدة. وستفترق أمتي على ثلاثة وسبعين فرقة كلها في النار إلا واحدة. قالوا وما تلك الواحدة؟ قال رسول الله من كان على مثل ما أنا عليه وأصحابي.[15]



Artinya: Sesungguhnya Bani Israel terpecah sebanyak 71 kelompok yang semuanya masuk neraka kecuali satu kelompok. Dan umatku juga akan terpecah menjadi 73 kelompok yang semuanya masuk neraka kecuali satu kelompok”. Para shahabat bertanya: ”Kelompok apa itu?” Rasulullah menjawab:”Kelompok yang mengikutiku dan para sahabatku.”


Pengelompokan Umat dan Kriterianya

Berdasarkan hadits-hadits di atas, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani mengelompokkan umat Islam pada zamannya menjadi 73 kelompok, dimana salah satu kelompok adalah kelompok yang selamat (al-firqah an-naajiyyah), sedangkan 72 lainnya merupakan kelompok-kelompok sesat (al-firaq adh-dhaallah). Kelompok yang selamat adalah kelompok yang disebut dengan Ahli Sunnah wa al- Jama’ah,[16] yaitu kelompok yang mengikuti sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam dan kesepakatan (ijma’) para shahabatnya.[17]


Sedangkan kelompok-kelompok lain yang berjumlah 72 kelompok di luar Ahli Sunnah wa al-Jama’ah beliau anggap sebagai kelompok yang sesat. Kelompok-kelompok tersebut sebenarnya hanya sembilan kelompok. Kemudian bercabang-cabang hingga mencapai 72 kelompok. Kesembilan kelompok tersebut adalah Khawarij, Syi’ah, Mu’tazilah, Murji’ah, Musyabbihah, Jahmiyyah, Dlarariyyah, Najjariyyah dan Kilabiyyah.[18]

Adapun kelompok-kelompok cabangnya adalah[19]:


15 cabang dari kelompok Khawarij, yaitu: Najdat, Azariqah, Fadikiyyah, ’Athowiyyah, ’Ajaridah, Yamuniyyah, Khozimiyyah, Majhuliyyah, Shulthiyyah, Akhnasiyyah, Shofriyyah, Ubadliyyah, Bayhasiyyah, Syamrahiyyah, Bada’iyyah.
6 cabang dari kelompok Mu’tazilah, yaitu: Hudzailiyyah, Nizhomiyyah, Ma’mariyyah, Jubaiyyah, Ka’abiyyah, dan Bahasyimiyyah.
12 cabang dari kelompok Murji’ah, yaitu: Jahamiyyah, Shalihiyyah, Syamriyyah, Yunusiyyah, Yunaniyyah, Najariyyah, Ghailaniyyah, Syabibiyyah, Ghassaniyyah, Mu’adziyyah, Marisiyyah dan Karamiyyah.
32 cabang dari kelompok Syi’ah. Syi’ah memiliki 3 cabang besar, yaitu:

a. Ghaliyyah (memiliki 12 cabang, yaitu Bayaniyyah, Thoyyariyyah, Manshuriyyah, Mughiriyyah, Khaththabiyyah, Ma’mariyyah, Bazi’iyyah, Mufadlaliyyah, Mutanasikhoh, Syari’iyyah, Sabaiyyah dan Mufawwidlah).


b. Zaidiyyah (memiliki 6 cabang, yaitu: Jarudiyyah, Sulaimaniyyah, Butriyyah, Na’imiyyah, Ya’qubiyyah, dan kelompok yang mengingkari kepemimpinan (imamah) Abu Bakar as-Siddiq dan Umar ibn Khaththab. Tetapi mereka tidak mengingkari anggapan bahwa orang yang telah meninggal itu akan hidup kembali ke dunia ini sebelum hari kiamat).

c. Rafidlah (memiliki 14 cabang, yaitu: Qath’iyyah, Kaisaniyyah, Karbiyyah, ’Umairiyyah, Muhammadiyyah, Husainiyyah, Nawusiyyah, Isma’iliyyah, Qaramithah, Mubarakiyyah, Syamithiyyah, ’Ammariyyah, Mamthuriyyah, Mausuwiyyah dan Imamiyyah).


1 cabang dari kelompok Jahmiyyah.
1 cabang dari kelompok Najjariyyah.
1 cabang dari kelompok Dlirariyyah.
1 cabang dari kelompok Kilabiyyah.
3 cabang dari kelompok Musyabbihah, yaitu: Hisyamiyyah, Muqatiliyyah dan Wasimiyyah.


Syaikh Abdul Qadir al-Jilani memposisikan ke-72 kelompok tadi sebagai kelompok sesat karena penyimpangan mereka terhadap madzhab dan aqidah kelompok Ahli Sunnah wa al-Jama’ah. Penyimpangan itu meliputi:


1. Salah dalam ma’rifat Ash-Shani’ (Mengenal Allah Sang Pencipta).

Syaikh Abdul Qadir menjelaskan secara ringkas dalam hal ma’rifat Ash-Shani’ (mengenal Allah Sang Pencipta) sebagai berikut:[20]


a. Allah itu esa (ahad), menjadi tempat bergantung segala sesuatu, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada satupun yang setara dengannya. Allah berfirman,



Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.




Tidak ada satu pun yang yang mampu menandingi-Nya dalam hal apa saja. Ia pun tidak butuh penolong, sekutu dan penasehat.

b. Allah tidak berupa jisim (tubuh) yang bisa disentuh, bukan berupa esensi (jauhar) yang dapat dirasa, dan bukan pula berupa materi yang pada suatu saat bisa lenyap. Ia tidak tersusun atas beberapa bagian, bukan berbentuk alat atau satu racikan.[21]


c. Allah Maha Mengetahui, Maha Menyaksikan, Maha Perkasa, Maha Gagah, Maha Mengendalikan, Maha Kuasa, Maha Menyayangi, Maha Mengampuni, Maha Menutupi aib, Maha Penolong, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Maha Pencipta, Maha Awal, Maha Akhir, Maha Dzahir, Maha Batin. Dialah satu-satunya yang patut disembah, Dia hidup dan tidak pernah binasa, menjadi penguasa kerajaan semesta, selalu terjaga dan tidak pernah tidur, memiliki keperkasaan yang tak tertandingi dan kekuasaan yang Maha Mutlak. Bagi-Nya nama-nama yang agung dan sifat-sifat yang mulia. Dialah satu-satunya yang tetap abadi, sedang selain-Nya tidak. Dia berfirman:

Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.


d. Allah yang menciptakan makhluk sekaligus perbuatan-perbuatannya, juga menentukan rezeki dan ajal mereka. Tidak ada yang dapat mendahulukan apa yang Dia akhirkan, tidak ada yang dapat mengakhirkan apa yang Dia dahulukan. Allah-lah yang menghendaki adanya alam ini dan fenomena apapun yang terjadi di dalamnya. Dan kalau Allah berkehendak untuk menjadikan semua manusia taat kepada-Nya, maka semuanya akan taat.[22]

e. Allah memiliki sifat-sifat yang Ia tetapkan bagi diri-Nya —di dalam kitab-Nya— dan yang disebutkan oleh Rasulullah saw di dalam hadits. Seorang muslim harus mengimani sifat-sifat Allah tersebut, tidak boleh menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk, juga tidak boleh mengingkarinya.”[23]


Contoh kelompok sesat dalam kriteria ini adalah:

a. Sekte al Bazi’iyyah (salah satu sekte Syi’ah Ghaliyyah) yang menganggap bahwa Ja’far adalah Allah. Maksud mereka, oleh sebab Allah tidak dapat dilihat secara langsung, maka ia menyusup ke dalam tubuh Ja’far, agar bisa dilihat oleh manusia.[24]




b. Sebagian sekte Syi’ah Ghaliyyah yang menganggap bahwa ’Ali radliyallahu ‘anhu adalah Tuhan.[25]

c. Sekte Syari’iyyah (salah satu sekte Syi’ah Ghaliyyah) yang menganggap bahwa Allah menjelma dalam lima pribadi yaitu Nabi Muhammad, ’Abbas, ’Ali, Ja’far dan ’Uqail.[26]




d. Sekte Mufawwidhiyyah yang berpendapat bahwa Allah telah menyerahkan pengurusan makhluk kepada para Imam, dan bahwa Allah telah memberikan kemampuan kepada Nabi Muhammad saw untuk dapat menciptakan alam lalu mengurusnya.[27]




e. Sedangkan kelompok yang mengingkari sifat Allah, dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:




1). Kelompok yang menafikan atau mengingkari sifat-sifat Allah secara mutlak. Dalam pandangan mereka, Allah tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak melihat karena semua itu tidak mungkin terjadi kecuali dengan alat indera, padahal Allah tidak memiliki alat indera. Dengan alasan itulah mereka menafikan sifat Allah dengan alasan untuk mensucikan-Nya. Contoh dari kelompok ini adalah sekte Jahmiyyah[28] dan kelompok Mu’tazilah.[29]




2). Kelompok yang memahami sifat Allah secara zhahir dan menyerupakan Allah dengan makhluk (kelompok Musyabbihah) atau menggambarkan/mempersonifikasikan sifat Allah seperti makhluk-Nya (kelompok Mujassimah). Mereka menetapkan bahwa Allah memiliki wajah seperti makhluk, tangan-Nya seperti tangan makhluk, dan seterusnya. Contoh:




a). Kelompok Musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah itu berupa jism, karena secara logika sesuatu yang wujud (maujud) harus berupa jism. Bahkan sekte Muqatiliyyah, salah satu sekte dari kelompok Musyabbihah, berpendapat bahwa Allah dalam bentuk manusia, memiliki darah, daging, anggota tubuh seperti kepala dan mulut.[30]




b). Sekte Bayaniyyah (salah satu sekte Syi’ah Ghaliyyah) berpendapat bahwa Allah itu dalam bentuk manusia.[31]




c). Sekte Mughiriyyah (salah satu sekte Syi’ah Ghaliyyah) berpendapat bahwa Allah itu berupa nur dalam bentuk orang laki-laki.[32]




2. Mengingkari bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah, kitabullah, khithabullah dan wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam melalui malaikat Jibril.




Syaikh Abdul Qadir al-Jilani menegaskan bahwa Al-Qur’an itu bukan makhluk, melainkan Kalamullah, Kitabullah, Khitab-Nya, Wahyu-Nya yang diturunkan oleh malaikat Jibril untuk disampaikan kepada Rasulullah saw. Al- Qur’an merupakan salah satu dari sifat-sifat Allah dan tidak baru (ghairu muhdats). Di dalamnya tidak akan ditemukan perubahan, pengurangan, dan penambahan. Turunnya dari Allah, dan semua hukum yang ada di dalamnya juga dari Allah. Al-Qur’an adalah sumber hukum dan ilmu. Oleh karena itu, al-Qur’an yang ada di dalam dada para penghafal al-Qur’an, yang diucapkan oleh para pembaca al-Qur’an, yang dilihat, yang ada di mushaf dan yang ada di catatan-catatan anak-anak, semuanya adalah Kalamullah.




Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman:




tAt“tRÏmÎßyr”9$#ßûüÏBF{$#ÇÊÒÌÈ 4’n?tãy7Î7ù=s%tbqä3tGÏ9z`ÏBtûïÍ‘É‹ZßJø9$#ÇÊÒÍÈ Ab$|¡Î=Î<c’Î1ttã&ûüÎ7•BÇÊÒÎÈ




Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. (Q.S. asy-Syuara’: 193-194)










Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, Maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, (QS. At-Taubah: 6)




Ÿ



Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. (QS. Al-A’raf: 54).




Pada ayat di atas, Allah membedakan antara al-kholq dan al-amr.[33] Ini bukti bahwa al-amru bukanlah al-kholqu (makhluq). Jika al-amru adalah makhluq, berarti di dalam ayat tersebut terdapat pengulangan yang tidak berguna dan itu merupakan aib bagi Allah. Seakan-akan Allah berfirman:




Ÿ



Sungguh Allah swt maha suci dari yang demikian itu.




Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu ’Abbas radliyallahu ’anhum, bahwa ketika mereka menafsiri ayat qur’aanan ’arobiyyan ghoiro dzi ’iwajin, mereka berkata: Al-Qur’an itu tidak makhluk.




Menurut Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, orang yang berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dan tidak mau bertaubat, diancam oleh Allah dengan neraka Saqar, seperti ancaman Allah kepada Al-Walid bin Al-Mughiroh al-Makhzumi yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah ucapan manusia.










Lalu Dia berkata: “(Al Quran) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu). Ini tidak lain hanyalah perkataan manusia”. Aku akan memasukkannya ke dalam (neraka) Saqar (QS. Al-Mudatsir: 24-26).




Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani sangat tegas terhadap orang yang berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Beliau berkata:




فمن زعم أنه مخلوق أو عبارته أو التلاوة غير المتلو أو قال: لفظى بالقرأن مخلوق فهو كافر بالله العظيم ولا يخالط ولا يؤاكل ولا يناكح ولا يجاور٬ بل يهجر ويهان٬ ولا يصلى خلفه٬ ولا تقبل شهادته٬ ولا تصح ولايته في نكاح وليه٬ ولا يصلى عليه إذا مات٬ فإن ظفر به استتيب ثلاثا كالمرتد٬ فإن تاب وإلا قتل.



”Barang siapa mengira bahwa Al-Qur’an adalah makhluk atau ibaratnya atau bacaan bukan yang dibaca, atau mengatakan ucapan saya tentang Al-Qur’an adalah makhluk, maka dia telah kafir kepada Allah, tidak boleh diajak bergaul, tidak boleh dijadikan teman makan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh dijadikan tetangga, tetapi harus diasingkan, dihinakan, tidak boleh dijadikan imam shalat, tidak diterima kesaksiannya, tidak boleh dijadikan wali nikah, dan tidak disholati jika mati. Jika dia beruntung, dia harus bertaubat tiga kali, seperti seorang murtad. Jika mau bertaubat maka diterima. Jika tidak, maka harus dibunuh.” [34]




Contoh kelompok sesat dalam kriteria ini adalah:




a. Kelompok Murji’ah Jahmiyyah yang berpendapat bahwa al-Qur’an adalah makhluk.[35]




b. Kelompok Mu’tazilah yang berpendapat bahwa kalamullah adalah muhdats (baru).[36]




c. Sekte Hudzailiyyah (salah satu sekte Mu’tazilah) yang berpendapat bahwa al-Qur’an itu ada yang makhluk dan ada juga yang tidak makhluk, seperti firman Allah ta’ala:”كََنْ “dalam surat al-Baqarah: 117, Ali Imran: 47 dan 59, al-An’am: 73, an-Nahl: 40, Maryam: 35, Yasin: 82, Ghafir: 68.[37]




d. Sekte Ma’mariyyah (salah satu sekte Mu’tazilah) yang berpendapat bahwa al-Qur’an itu bukan kalamullah tetapi hasil perbuatan makhluq (ajsam).[38]




e. Sekte Ka’abiyyah (salah satu sekte Mu’tazilah) yang berpendapat bahwa al-Qur’an itu muhdats (baru, lawan qadim) tapi tidak makhluk.[39]




3. Mengingkari sebagian atau seluruh ayat-ayat al-Qur’an.




Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa Syaikh Abdul Qadir al-Jilani menegaskan bahwa al-Qur’an adalah Kalamullah, dan bukan makhluk, sehingga di dalamnya tidak akan ditemukan perubahan, pengurangan, dan penambahan.[40] Pengingkaran terhadap sebagian atau seluruh Al-Qur’an, berarti pengingkaran Al-Qur’an sebagai kalamullah. Sebagaimana yang diyakini oleh Sekte Fadakiyyah, ’Athowiyyah, ’Ajarodah, dan Yamuniyyah bahwa surat Yusuf bukan bagian dari al-Qur’an.[41]




4. Meyakini bahwa iman itu cukup diucapkan dengan lisan atau hati saja, tidak perlu diterapkan dalam perbuatan. Dengan keyakinan demikian, seorang yang sudah berikrar beriman, boleh melakukan aktivitas apapun, baik yang melanggar aturan agama maupun tidak.




Syaikh Abdul Qadir al-Jilani berpendapat, bahwa iman itu harus diikrarkan oleh lisan, ma’rifat oleh hati, dan harus diaplikasikan oleh anggota tubuh.[42] Di tempat lain beliau berkata, ”Keimanan adalah perkataan dan perbuatan. Perkataan adalah anggapan, dan amal adalah pembuktian. Perkataan adalah bentuk sedangkan amal adalah ruh (jiwa)nya.”[43]




Dengan pengertian tersebut, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani mencegah seseorang menganggap cukup hanya dengan berikrar bahwa ia seorang mukmin, tanpa memperhatikan kesesuaian amal perbuatannya dengan syari’at Allah. Jangan sampai orang mengaku beriman, tapi amal perbuatannya banyak yang bertentangan dengan aturan Allah dan tidak menunjukkan bahwa ia ingin menerapkan aturan-aturan Allah, bahkan justru menolak penerapan aturan Allah.




Di dalam salah satu ceramahnya pada tanggal 5 syawal 545 Hijriyah, beliau berkata,




الإيمان قول وعمل لا يقبل منك ولا ينفعك إذا أتيت بالمعاصي والزلات٬ ومخالفة الحق عز وجل وأصررت على ذلك وتركت الصلاة والصوم والصدقة وأفعال الخير. فأي شئ ينفعك الشهادتان٬ إذا قلت لاإله إلا الله فقد ادعيت٬ يقال أيها القائل ألك بيّنة ما البيّنة؟ امتثال الأمر والإنتهاء عن النهي والصبر على الافات والتسليم إلى القدر هذا بيّنة هذه الدعوى، وإذا عملت هذه الأعمال ما تقبل منك إلا بالإخلاص للحق عز وجل ولا يقبل قول بلا عمل ولا عمل بلا إخلاص وإصابة السنة.



”Iman adalah (sinergi) ucapan dan tindakan. Ucapan syahadat saja tidak akan bermanfaat dan diterima jika kamu tetap melakukan tindakan maksiat dan durjana, serta menentang al-Haqq ’Azza wa Jalla, bahkan meninggalkan sholat, puasa, sodaqah, dan amal-amal kebajikan. Jika kamu mengucap laa ilaaha illallah, berarti kamu mengaku dan mengklaim memiliki keyakinan seperti ucapanmu itu. Apakah kau punya buktinya? Melaksanakan perintah, menjauhi larangan, bersabar menghadapi petaka dan pasrah menerima takdir adalah bukti atas pengakuan tersebut. Jika kau laksanakan semua amalan ini, tetap saja hal itu tidak akan diterima kecuali disertai ketulusan (ikhlas demi) al-Haqq ’Azza wa Jalla semata. Sebuah ucapan tidak akan diterima tanpa realisasi amal, dan amalpun tidak akan diterima tanpa ketulusan dan menurut sunnah.”[44]




Al-Jilani menolak pemikiran aliran Murji’ah yang berpendapat bahwa iman itu cukup diucapkan oleh lisan saja, dan tidak harus diikuti dengan amal perbuatan. Jadi ketika lisannya sudah mengikrarkan bahwa dirinya beriman, maka ia dianggap sudah menjadi orang yang beriman (mukmin), meskipun ia tidak melakukan amal perbuatan (baik) apapun. Oleh karena itu, bila ada orang yang mengucapkan syahadatain (dua kalimat syahadat) maka ia tidak akan masuk neraka, meskipun dia melakukan berbagai perbuatan maksiyat.[45]




5. Mengingkari bahwa seluruh qada’ dan taqdir berasal dari Allah, yang baik maupun yang buruk.




Syaikh Abdul Qadir al-Jilani menjelaskan bahwa sesungguhnya semua peristiwa, baik dan buruk, terjadi karena takdir Allah. Namun demikian, orang yang beriman dituntut agar menolak takdir buruk dengan takdir yang baik. Untuk itu ia harus menghapus kekufuran dengan keimanan, mengganti bid’ah dengan sunnah, mengubah maksiyat dengan ketaatan, menghilangkan penyakit dengan obat, menghapus kebodohan dengan pengetahuan, melawan penganiayaan dengan jihad, mengatasi kemiskinan dengan bekerja, dan seterusnya.




Menurutnya, banyak manusia memiliki persepsi yang salah ketika melihat qadar dari sudut pandang yang parsial sehingga ketika menerima keburukan, mereka mengira harus pasrah kepadanya dan tidak berusaha mengatasinya. Padahal jika melihat dengan cara pandang yang holistik maka pasti dia akan mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menyediakan kebaikan dan keburukan secara bersamaan dalam kancah kehidupan lalu membiarkan manusia dengan tiga pilihan: Pertama, terjerumus dalam keburukan. Kedua, pasrah dengan keburukan. Ketiga, mengambil kebaikan untuk mengubah keburukan. Pilihan ketiga adalah pilihan yang seharusnya diambil dan dengan pilihan inilah kemauan manusia diuji. Mengenai hal ini Syaikh Abdul Qadir al-Jilani berkata:




”Banyak tokoh yang berhenti ketika sampai pada masalah Qadha’ dan Qadar, tetapi tidak demikian dengan aku. Ketika sampai pada masalah itu, terbukalah untukku salah satu jendelanya maka aku memasukinya dan aku melawan takdir Allah dengan kebenaran untuk Allah. Lelaki sejati adalah orang yang melawan takdir bukan berjalan seiring dengan takdir.”[46]




Namun demikian, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani juga menjelaskan bahwa semua kondisi kehidupan –bahagia maupun menderita- memiliki batas waktu di mana ia akan datang dan berakhir. Waktu tersebut permanen, tidak maju dan tidak pula mundur. Untuk itu, manusia dituntut agar mengatasi segala kondisi kehidupannya dengan menggunakan cara-cara yang benar sambil menunggu sampai muncul kondisi yang baru setelah batas waktunya berlalu dan masanya berakhir, sama seperti berakhirnya waktu musim dingin ketika muncul musim panas dan berakhirnya malam ketika muncul cahaya siang. Jika ada orang yang mencari cahaya siang di antara Maghrib dan Isya’ pasti tidak akan pernah menemukannya, bahkan gulita malam akan bertambah pekat sampai berakhir di ujung waktunya lalu menyingsinglah fajar dan muncullah siang. Jika orang tersebut menginginkan malam kembali padahal hari sudah siang, tentu keinginannya tidak pernah terkabulkan karena dia menghendaki sesuatu di luar waktunya. Orang seperti itu akan terus didera kekecewaan.[47] Akibat kegelisahan dan kekecewaan ini, dia akan berburuk sangka dengan Allah dan menempuh cara yang sporadis dalam mengatasi taqdir sehingga keadaannya yang buruk justru akan bertambah parah.[48]




Selain itu, menurut Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, kesalahan yang sering dilakukan manusia berhubungan dengan takdir adalah menggunakan takdir sebagai alasan untuk mengabaikan perintah Allah dan melanggar larangan-Nya. Demikian itu karena beliau melihat pada kebanyakan para sufi berhujjah kepada takdir ketika mereka melanggar perintah dan larangan Allah. Manusia diperintah agar berjihad di jalan Allah, dan mencegah kemaksiyatan yang ditakdirkan dengan ketaatan yang ditakdirkan. Maka dia harus menentang takdir yang dilarang dengan takdir yang diperintahkan Allah. Itulah agama Allah yang diutus di dalamnya para rasul untuk memberikan petunjuk kepada manusia sejak dulu hingga sekarang.[49]




Konsep Qadha’ dan Qadar ini merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jilani untuk meluruskan konsep-konsep yang menyimpang yang banyak dianut oleh masyarakat ketika itu dan menjadi acuan seluruh aktivitas mereka. Selain itu, juga untuk mendorong al-Qaum (kalangan berpengaruh) dalam masyarakatnya agar melakukan perubahan terhadap apa yang ada pada diri mereka dan menghimpun kekuatan mereka sehingga mau mengambil kebaikan untuk mengatasi keburukan. Saat itu banyak aliran dan kelompok yang memilih untuk menerima keburukan dan membelanya seperti aliran Isma’iliyyah, dinasti Fathimiyyah, sultan-sultan yang tiran dan orang-orang yang memiliki kecenderungan menyimpang dalam berbagai hal. Di sisi lain, mayoritas umat yang teraniaya dan terusir dari negerinya lebih memilih pasrah dengan penderitaan dan enggan mengatasinya.[50]




Aqidah Qadha’ dan Qadar –dalam perspektif Syaikh Abdul Qadir al-Jilani- merupakan kekuatan yang memiliki dua fungsi ganda dalam menjalani kehidupan ini. Di satu sisi, ketika ada tuntutan usaha dan pengorbanan yang begitu besar dan beban jihad yang berat, maka aqidah ini berfungsi sebagai tenaga pendorong semangat dalam momentum yang sangat kritis dan di saat semua jalan keluar tertutup. Ia berfungsi sebagai benteng yang mencegah timbulnya putus asa dan kehancuran. Di sisi lain, ketika keberhasilan dicapai, kemenangan ada di tangan dan kemudahan selalu menyertai, maka aqidah ini berfungsi sebagai pengerem kebanggaan terhadap kemampuan diri yang berlebihan dan mencegah mabuk kemenangan yang melalaikan. Ia berfungsi sebagai benteng yang mencegah timbulnya kesombongan (takabur) dan membanggakan diri (ujub) yang bisa menghancurkan keberhasilan yang dicapai.[51]




6. Meyakini bahwa pelaku dosa besar masuk neraka selamanya.




Syaikh Abdul Qadir al-Jilani berpendapat bahwa seorang mukmin ketika melakukan berbagai dosa, baik itu dosa besar maupun dosa kecil kemudian meninggal sebelum melakukan taubat, maka ia tidak menjadi kafir selama meninggalnya dalam kondisi meyakini tauhid dan ikhlas. Sedang urusannya di akhirat diserahkan kepada Allah ’Azza wa Jalla. Jika Allah menghendaki, Allah akan mengampuninya dan memasukkannya ke surga. Jika Allah menghendaki, Allah akan mengadzabnya dan memasukkannya ke dalam neraka. Bagaimana kesudahan (nasib) orang itu nantinya, hal itu adalah wewenang Allah semata untuk memutuskannya, dan yang lainnya tidak berhak untuk mencampurinya. Selama Dia sendiri tidak memberitahukan kepada kita tentang kesudahan seseorang, selama itu pula kita tidak dibenarkan memutuskan kesudahan orang tersebut.[52]




Al-Jilani juga menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar, tidak abadi di dalam neraka. Karena menurutnya, neraka itu seperti penjara di dunia, yang dijalani oleh pelaku dosa berdasarkan dosa dan kesalahannya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengeluarkannya dari neraka dan memasukkannya ke surga, serta memberinya derajat sesuai kadar ketaatannya ketika di dunia. Hal ini berbeda dengan pendapat Qadariyyah dan Khawarij yang berpendapat bahwa dosa besar akan menghapus pahala ketaatan.[53]




7. Mengingkari hari qiyamat beserta hal-hal yang berkaitan dengannya seperti mizan, shirat, surga, neraka dan lain-lain. Contoh kelompok sesat dalam kriteria ini adalah:




a. Kelompok al-Manshuriyyah (cabang dari sekte Syi’ah Ghaliyyah) tidak meyakini adanya surga dan neraka.[54]




b. Kelompok Mu’tazilah mengingkari adanya siksa kubur, mizan dan syafa’at Nabi Muhammad bagi pelaku dosa besar.[55]




c. Kelompok Murji’ah Jahmiyyah tidak mengakui adanya mizan dan adzab kubur; serta menganggap surga dan neraka adalah makhluq. Selain itu mereka berkeyakinan bahwa di hari kiamat nanti, Allah tidak akan melihat makhluknya, demikian juga sebaliknya, ahli surga juga tidak akan melihat Allah.[56]




8. Mengingkari bahwa Nabi Muhammad adalah Rasulullah, sayyidul mursalin, Nabi yang terakhir dan diutus kepada seluruh manusia dan jin.




Syaikh Abdul Qadir al-Jilani menegaskan bahwa umat Islam harus meyakini dengan pasti, tidak boleh ragu-ragu bahwa Muhammad bin ’Abdullah bin Abdul Muthallib bin Hasyim adalah utusan Allah (rasulullah) dan pemimpin para rasul serta penutup para nabi. Beliau diutus kepada seluruh umat manusia dan jin.










Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya (QS. Saba’: 28)










Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Anbiya’: 107)




Sebagai seorang rasul, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi beberapa mukjizat sebagaimana para nabi sebelumnya. Bahkan ada ahli ilmu yang mengatakan bahwa mu’jizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad saw sampai seribu mu’jizat. Mukjizat yang diberikan kepada para Nabi tersebut sesuai dengan kondisi umat di zamannya. Nabi Musa, misalnya, diberi mukjizat tongkat yang bisa berubah menjadi ular, karena Nabi Musa diutus pada zaman di mana ilmu sihir berkembang di tengah-tengah masyarakat. Demikian juga Nabi Isa yang diberi mukjizat bisa menghidupkan orang mati dan menyembuhkan orang sakit, karena Nabi Isa diutus pada masa dimana ilmu pengobatan sedang berkembang di tengah masyarakat. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang hidup di zaman di mana sastra sangat maju, diberi mukjizat berupa Al-Qur’an yang memiliki fashahah dan balaghah yang amat tinggi. Dengan demikian, mukjizat itu betul-betul berfungsi sebagai pelemah kekuatan musuh dan menjadi bukti bahwa mukjizat itu bukan bikinan manusia, tapi dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan yang membawanya adalah utusan-Nya.[57]




Contoh kelompok sesat dalam kriteria ini adalah: kelompok Syi’ah Ghaliyah yang menganggap bahwa’Ali radliyallahu ‘anhu adalah nabi karena Malaikat Jibril salah ketika menyampaikan wahyu.[58] Bahkan, sekte al-Khattabiyyah (salah satu sekte dari Syi’ah Ghaliyyah) menganggap bahwa para imam adalah nabi. Mereka juga berpendapat bahwa setiap zaman selalu ada nabi yang bicara (nathiq) dan nabi yang diam (shomit). Ketika Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam menjadi nabi, beliau adalah nabi yang bicara, sedangkan ’Ali radliyallahu ‘anhu adalah nabi yang diam.[59]




9. Mengafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i.




Syaikh Abdul Qadir al-Jilani berpendapat bahwa seorang mukmin ketika melakukan berbagai dosa, baik itu dosa besar maupun dosa kecil, kemudian meninggal sebelum melakukan taubat, maka ia tidak menjadi kafir selama meninggalnya dalam kondisi meyakini tauhid dan ikhlas. Sedang urusannya di akhirat diserahkan kepada Allah ’Azza wa Jalla. Jika Allah menghendaki, Allah akan mengampuninya dan memasukkannya ke surga. Dan jika Allah menghendaki, Allah akan mengazabnya dan memasukkannya ke dalam neraka. Bagaimana kesudahan (nasib) orang itu nantinya, hal itu adalah wewenang Allah semata untuk memutuskannya, dan yang lainnya tidak berhak untuk mencampurinya. Selama Dia sendiri tidak memberitahukan kepada kita tentang kesudahan seseorang, selama itu pula kita tidak dibenarkan memutuskan kesudahan orang tersebut.[60]




Beliau juga menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar, tidak abadi di dalam neraka. Menurut beliau, neraka itu seperti penjara di dunia, yang dijalani oleh pelaku dosa berdasarkan dosa dan kesalahannya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengeluarkannya dari neraka dan memasukkannya ke surga, serta memberinya derajat sesuai kadar ketaatannya ketika di dunia. Hal ini berbeda dengan pendapat Qadariyyah dan Khawarij yang berpendapat bahwa dosa besar akan menghapus pahala ketaatan.[61]




Contoh kelompok sesat dalam kriteria ini adalah:




a. Seluruh sekte Khawarij kecuali sekte Najdat yang menganggap kafir kepada setiap pelaku dosa besar.[62]




b. Kelompok Syi’ah Rafidlah yang menghalalkan darah kaum muslim. Menurut Syaikh Abdul Qadir al-Jilani ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi.[63]




10. Merampas hak-hak para Sahabat untuk dihormati sebagaimana mestinya.




Syaikh Abdul Qadir al-Jilani menegaskan bahwa sebaik-baiknya umat adalah umat Nabi Muhammad saw. Sedangkan generasi yang terbaik adalah generasi yang ikut mengawal lahirnya umat terbaik itu, yaitu generasi awal umat ini yang dikenal dengan generasi para Sahabat. Ketika Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk menyebarkan agama Islam ini, agama ini terasa asing, tidak ada yang mengikutinya, banyak yang mencaci maki, menyiksa, mengusir dan memerangi pengikutnya. Dalam kondisi seperti itulah, generasi awal beriman kepada Rasulullah saw dan memeluk agama Islam, yang menyebabkan mereka dicaci maki, dikucilkan, diperangi bahkan diusir oleh kaumnya. Mereka menerima itu dengan penuh kesabaran dan ketabahan. Tidak hanya itu saja mereka pun selalu siap menolong Rasulullah saw dan dengan sukarela mengorbankan harta dan jiwa mereka. Dalam hal ini Syaikh Abdul Qadir al-Jilani berkata,




وأفضلهم أهل القرن الذين شاهدوه وآمنوا به وصدقوه وبايعوه وتابعوه وقاتلوا بين يديه ومدوه بأنفسهم وأموالهم وعزروه ونصروه.



”Generasi yang terbaik dari umatnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah generasi yang bertemu langsung dengan Rasulullah, mengimaninya, membenarkannya, membai’atnya, mengikutinya, berperang bersamanya, menyerahkan jiwa, dan hartanya, membantu dan menolongnya.”[64]




Generasi ini adalah generasi yang disebut dan dipuji oleh Allah ’Azza wa Jalla di dalam al-Qur’an.[65] Allah berfirman,




لَا يَسْتَوِي مِنْكُمْ مَنْ أَنْفَقَ مِنْ قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ أُولَئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِنَ الَّذِينَ أَنْفَقُوا مِنْ بَعْدُ وَقَاتَلُوا وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ



”Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadiid: 10).










وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا



”Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa.” (QS. An-Nur: 55).










Di antara para Sahabat itu, ada yang lebih baik yaitu mereka yang ikut dalam perjanjian Hudaibiyah, berbai’at (menyatakan janji setia) kepada Nabi Muhammad saw. Jumlah mereka sebanyak 1.400 orang. Di antara 1.400 orang tersebut, yang terbaik adalah mereka yang ikut berperang dalam perang Badar yang berjumlah 313 (sama dengan jumlah pasukan Thalut). Yang terbaik di antara mereka adalah 40 orang yang ikut dalam Dar al-Khaizuran. Dari 40 orang tersebut, yang terbaik adalah 10 orang yang dijamin surga oleh Rasulullah saw. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Tholhah, az-Zubair, ’Abdur Rahman bin ’Auf, Sa’ad, Sa’id, dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Dan yang terbaik dari 10 sahabat ini adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan ’Ali. Mereka inilah yang disebut al-Khulafa’ ar-Rasyidin.[66]




Syaikh Abdul Qadir al-Jilani menegaskan bahwa Ahli Sunnah bersepakat atas wajibnya menahan diri terhadap apa yang diperselisihkan di antara para shahabat, tapi menampakkan keutamaan dan kebaikan mereka serta menyerahkan urusan mereka kepada Allah ’Azza wa Jalla atas perbedaan pendapat yang terjadi di antara Sahabat Ali, Tholhah, Zubair, ’Aisyah dan Mu’awiyah radliyallahu ‘anhum.[67]




Syaikh Abdul Qadir al-Jilani juga membantah pendapat kelompok sesat yang mengingkari keabsahan kepemimpinan tiga Khulafa’ Rasyidin yaitu Abu Bakar, Umar dan Utsman radliyallahu ’anhum. Menurut beliau, kepemimpinan empat Khulafa’ Rasyidin adalah atas pilihan, kesepakatan dan ridlo para Sahabat di zamannya masing-masing.[68] Selain itu Syaikh Abdul Qadir al-Jilani juga menggambarkan di dalam buku beliau bahwa kekhalifahan mereka berdasarkan petunjuk Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam[69] dan Sahabat Ali ra-pun membaiat mereka.[70]




Contoh kelompok sesat dalam kriteria ini adalah:




a. Seluruh sekte Khawarij kecuali sekte Najdat yang mengafirkan Sahabat ’Ali radliyallohu ’anhu karena peristiwa tahkim.[71]




b. Kelompok Azariqah yang mengafirkan Abu Musa dan ’Amr bin ’Ash radliyallohu ’anhuma ketika mereka ditunjuk oleh Sahabat ’Ali untuk menjadi hakim dan memutuskan permasalahan antara Sahabat Ali dan Mu’awiyyah sehingga mendapatkan yang terbaik bagi rakyat.[72]




c. Kelompok Syi’ah yang mengkafirkan orang-orang yang tidak mengangkat Ali ra sebagai imam, kecuali 6 orang, yaitu ’Ali, ’Ammar, Miqdad bin Aswad, Salman al Farisi, dan dua orang lainnya. [73]




d. Kelompok Syi’ah yang menganggap kafir orang yang memerangi ’Ali radliyallahu ‘anhu.




11. Mengubah hukum agama yang qath’i atau sudah menjadi kesepakatan para ulama. Contoh kelompok sesat dalam kriteria ini adalah:




a. Kelompok Syamrahiyyah yang menghalalkan membunuh kedua orang tua.[74]




b. Kelompok al Ma’mariyyah (cabang dari sekte Syi’ah Ghaliyyah) yang tidak mewajibkan sholat.[75]




c. Kelompok Bad’iyyah yang berpendapat bahwa sholat sehari semalam hanya dua kali, yaitu dua raka’at di pagi hari dan dua raka’at di sore hari. Mereka menggunakan dasar al-Qur’an surat Hud: 114.




وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ



Artinya: ”Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.”




Selain itu, sebagaimana kelompok Khawarij Azariqah, kelompok Bad’iyyah juga membolehkan membunuh anak-anak orang kafir. Mereka menggunakan dasar al-Qur’an Surat Nuh: 26.[76]




وَقَالَ نُوحٌ رَبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّارًا



Artinya: ”Nuh berkata: “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.”




d. Kelompok Azariqah yang mengharamkan hukum rajam.[77]




e. Kelompok Fadakiyyah, ’Athowiyyah, ’Ajarodah, dan Yamuniyyah yang membolehkan menikah dengan anak perempuannya anak laki-laki, anak perempuannya anak perempuan, anak perempuannya saudara laki-laki dan anak perempuannya saudara perempuan.[78]




f. Kelompok Syi’ah Rafidlah yang memiliki pendapat bahwa perempuan tidak mempunyai ’iddah. Selain itu mereka juga berkeyakinan bahwa talak tiga tidak memiliki pengaruh hukum apapun terhadap pernikahan suami istri.[79] Pendapat ini mirip dengan pendapat orang-orang Yahudi. Menurut Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, memang kelompok Syi’ah Rafidlah memiliki banyak keyakinan yang mirip atau sama dengan keyakinan Yahudi. Hal ini disampaikan oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jilani sebagai berikut:




”Madzhab-madzhab orang-orang Rafidlah mirip dengan madzhabnya Yahudi. Orang Yahudi mengatakan bahwa yang pantas menjadi imam hanyalah laki-laki dari keturunan Dawud. Demikian pula orang-orang Rawafidl[80] berpendapat bahwa yang pantas menjadi imam hanyalah laki-laki dari keturunan Ali bin Abi Thalib. Orang Yahudi meyakini tidak ada jihad di jalan Allah sampai al Masih ad-Dajjal keluar dan turun dari langit. Orang-orang Rawafidl meyakini tidak ada jihad sampai al Mahdi keluar dan terdengar suara menyeru dari langit. Orang Yahudi menangguhkan pelaksanaan sholat maghrib sehingga bintang-bintang tampak di langit. Demikian pula orang-orang Rawafidl, mereka menangguhkannya. Orang Yahudi membenci Jibril a.s., dan menyatakan bahwa Jibril adalah musuh mereka dari golongan malaikat. Demikian pula sebagian kaum Rawafidl, mereka mengatakan bahwa Malaikat Jibril a.s., telah keliru karena menyampaikan wahyu kepada Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam, padahal sebenarnya dia diutus kepada Ali radliyallahu ‘anhu.”[81]




g. Kelompok Shafariyyah (salah satu sekte Khawarij) yang menghalalkan semua perbuatan dosa termasuk membunuh dan zina bagi orang yang telah mengenal (’arafa) Allah.[82]


Mengingkari sebagian atau seluruh rukun Iman dan rukun Islam.




Contoh kelompok sesat dalam kriteria ini adalah kelompok Shafariyyah (salah satu sekte Khawarij) meyakini bahwa yang bisa menyebabkan syirik hanyalah ketika seseorang tidak mengenal Allah. Adapun ketika ia telah mengenal (’arafa) Allah maka ia tidak akan menjadi syirik meskipun ia tidak mengimani Rosul, surga, neraka, dan melakukan semua dosa termasuk membunuh dan menghalalkan zina.[83]














[1] Syaikh Abdul Qadir Jailani, 1995, Ujar-Ujar Syaikh Abdul Qadir Jailani, Bandung: Penerbit Al-Bayan, hal. 18.
[2] Yaqut al Hamawi, Mu’jam al Buldan, vol. 2, hal. 201.
[3] Al Yafi’I, Mir’at al Janan, vol. 3, hal. 351.
[4] Syaikh Abdul Qadir Jailani, 1995, Ujar-Ujar Syaikh Abdul Qadir Jailani, Bandung: Penerbit Al-Bayan, hal. 18. Terjemahan dari Utterance of Syaikh ’Abd Al-Qadir Jailani (Malfuzhat), Al-Baz Publishing, Inc, Houston, Texas.
[5] Abdul Qadir al Jilani, Futuh al Ghaib, hal. 3.
[6] At Tadifi, Qala’id al Jawahir, hal. 3.
[7] Al-Barzanji, Al-Lujjain ad-Dain, Muslih Abdurrahman [penerj.], An-Nur Al-Burhani, jilid II, [Semarang: Toha Putera, tt], hal. 14, Asy Syathnufi, Bahjat al Asrar, hal 88; at Tadifi, Qala’id al Jawahir, hal 3.
[8] Syaikh Abdul Qadir Jailani, 1995, Ujar-Ujar Syaikh Abdul Qadir Jailani, Bandung: Penerbit Al-Bayan, hal. 21.
[9] Al-Jilani, 2006, Al-Fath ar-Rabbani, edisi ke-3, Beirut: Darul Kutub, hal. 151.
[10] Ibid., hal. 82.
[11] Ibid., hal. 151.
[12] Ibid.
[13] Al-Jilani,2007, Al-Ghunyah li Tholibi Thoriqi al-Haqqi ‘Azza wa Jalla, edisi ke-3, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, hal. 173.
[14] Ahmad: 2/332.
[15] At Turmudzi: 2643, Ibnu Majah: 3993, Ahmad: 3/145.
[16] Al-Jilani, op.cit., hal.175.
[17] Ibid., hal.165.
[18] Ibid., hal.175.
[19] Ibid., hal.175-192.
[20] Ibid. hal. 121
[21] Ibid., hal. 121.
[22] Ibid.
[23] Ibid., hal 124.
[24] Ibid., hal.182.
[25] Ibid., hal.180-181.
[26] Ibid., hal.182.
[27] Ibid.
[28] Ibid., hal.185.
[29] Ibid., hal.187.
[30] Ibid., hal.190.
[31] Ibid., hal.181.
[32] Ibid..
[33] Al-Qur’an adalah bagian dari al-amru. Lihat QS. Asy-Syura: 52 dan Ath-Tholaq: 5)
[34] Al-Jilani,2007, Al-Ghunyah li Tholibi Thoriqi al-Haqqi ‘Azza wa Jalla, edisi ke-3, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, hal. 127-129.
[35] Ibid., hal.185
[36] Ibid., 187.
[37] Ibid.,188,
[38] Ibid., hal.189.
[39] Ibid., 190.
[40] Ibid. hal. 127
[41] Ibid., hal.177.
[42] Ibid., hal.135.
[43] Ibid., hal. 62
[44] Al-Jilani, 2006, Al-Fath ar-Rabbani, edisi ke-3, Beirut: Darul Kutub, hal. 22.
[45] Al-Jilani, 2007, Al-Ghunyah li Tholibi Thoriqi al-Haqqi ‘Azza wa Jalla, edisi ke-3, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, hal. 185.
[46] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, vol. 1, hal. 30 dan Kitab al Qadar, vol. 8, hal. 547 dan 550, dikutip dari Majid ‘Irsan al-Kilani, 2007, Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib, Bekasi: Kalam Audia Mediatama, hal. 193.
[47] Al-Jilani, Futuh al-Ghaib, hal. 81-82, dikutip dari Majid ‘Irsan Al Kilani, 2007, Misteri Masa Kelam Islam, Bekasi: Kalam Aulia Mediatama, hal. 193.
[48] Al-Jilani, Al-Fath ar-Rabbani, hal. 3-4, dikutip dari Majid ‘Irsan Al Kilani, 2007, Misteri Masa Kelam Islam, Bekasi: Kalam Aulia Mediatama, hal. 194.
[49] Ibnu Taimiyyah, Majmu’ al Fatawa Ibnu Taimiyyah, I, hal. 306.
[50] Majid ‘Irsan Al-Kilani, 2007, Misteri Masa Kelam Islam, Bekasi: Kalam Aulia Mediatama, hal. 194.
[51] Ibid., hal. 192.
[52] Al-Jilani,2007, Al-Ghunyah li Tholibi Thoriqi al-Haqqi ‘Azza wa Jalla, edisi ke-3, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, hal. 139.
[53]Ibid. hal. 140.
[54] Ibid., hal.181.
[55]Ibid., hal.188.
[56] Ibid., hal.185.
[57]Ibid., hal. 156.
[58] Ibid., hal.180-181.
[59] Ibid., hal.181.
[60]Ibid., hal.139.
[61]Ibid. hal.140.
[62] Ibid., hal. 178.
[63] Ibid., hal.184.
[64]Ibid., hal.157.
[65]Ibid., hal. 162.
[66] Ibid., hal. 157-158.
[67]Ibid., hal. 163.
[68]Ibid., hal. 158.
[69]Ibid., hal. 159.
[70]Ibid., hal. 158-160.
[71] Ibid., hal.178.
[72]Ibid., hal.177.
[73] Ibid., hal.180.
[74] Ibid., hal.178
[75] Ibid., hal.182.
[76] Ibid., hal. 178.
[77] Ibid., hal.177.
[78] Ibid.
[79] Ibid., hal.184.
[80] Rawafidl adalah bentuk kata jamak dari Rafidlah yang secara harfiah berarti menolak.
[81] Al-Jilani, op.cit., hal. 184.
[82] Ibid., hal.178.
[83] Ibid., hal.178.





abdkadiralhamid@2013


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "KONSEP KESESATAN MENURUT SYAIKH ABDUL QADIR AL-JILANI"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip