Ada Orang yang Mengaku sebagai Muhaddits?
Cek Dulu Apakah Kriteria-kriteria Berikut ini Sudah Terpenuhi?
Bismillahirrahmaanirrahiim.
Menjadi seseorang ahli hadits yang
mencapai derajat sebagai Muhaddits, apalagi derajat muhadditsul
muhadditsiin (muhadditsnya para muhaddits), sungguh tidak enteng dan
tidak mudah kriteria persyaratan serta tanggungjawabnya. Sehingga tidak
sembarangan orang boleh mendakwakan bahwa dirinya sendiri atau orang
lain telah mencapai derajat muhaddits, ia harus memenuhi
kriteria-kriteria tertentu yang sangat berat dan harus pula diakui oleh
ulama’-ulama’ lainnya yang memiliki kompetensi. Untuk mengetahui
bagaimana beratnya dan ketatnya kriteria-kriteria tersebut, ada baiknya
kita simak apa yang disampaikan oleh al-Imam Taajuddin as-Subki
rahimahullah yang tercantum di dalam salah satu kitab karya beliau yaitu
kitab Mu’id an-Ni’am wa Mubiid an-Niqam.
Ada suatu kelompok orang yang mengkaji
kitab Masyaariq al-Anwaar karya ash-Shaaghaaniy, dan bahkan ditambah
pula dengan mengkaji kitab Mashaabih karya al-Baghawi, lalu mereka
mengira hanya dengan kriteria yang sedemikian itu saja maka mereka dapat
mencapai derajat sebagai muhaddits. Maka sejatinya pendapat mereka itu
merupakan wujud kebodohan mereka terhadap ilmu hadits, meskipun mereka
hafal isi kedua kitab tersebut di luar kepala, dan ditambah lagi dengan
dua kitab lagi yang semisal kedua kitab tadi, maka belumlah mereka
mencapai derajat sebagai muhaddits, dan tidak akan mengantarkan mereka
mencapai derajat muhaddits sedikitpun hingga onta dapat masuk ke lubang
jarum. (Taajuddin As Subki, kitab Mu’id an-Ni’am wa mubid an-Niqam,
halaman 81)
Maka apabila mereka menyatakan
bahwasanya mereka telah sampai pada derajat tinggi di dalam bidang ilmu
hadits –menurut persangkaan mereka— yaitu hanya cukup dengan
menyibukkan diri mengkaji kitab Jami’ul Ushul karya ibnu al-Atsir, dan
ditambah lagi dengan kitab ‘Ulum al’-Hadits karya ibnu Sholah atau kitab
ringkasannya yang berjudul at-Taqrib wa at-Taysir karya imam an-Nawawi,
atau kitab lain yang semisalnya, lalu mereka mendakwa, “Barang siapa
yang mencapai derajat ini, maka ia telah menjadi seorang muhadditsnya
para muhaddits, dan dapat diumpamakan seperti Bukhari zaman ini,” atau
dengan perkataan-perkataan dusta mereka yang lainnya, maka sesungguhnya
hal-hal yang telah kami sebutkan tadi ia tidak dapat dihitung sebagai
seorang muhaddits sedikitpun hanya dengan bermodalkan kadar ilmu yang
seperti itu. (Tajuddin As Subki, kitab Mu’id an-Ni’am wa mubid an-Niqam,
halaman 81-82)
Sesungguhnya yang disebut muhaddits
adalah mereka yang mengetahui Isnaad, ‘ilal, nama-nama rijal, al-‘aali
dan an-naazil, hafal banyak matan, menyimak Kutub As Sittah, Musnad
Ahmad, Sunan Al Baihaqi, Mu’jam At Thabarani, dan ditambahkan pula
dengannya seribu juz daripada kitab-kitab hadits. Dan yang demikian ini
adalah derajat yang paling rendah dari seorang muhaddits. (Tajuddin As
Subki, kitab Mu’id an-Ni’am wa mubid an-Niqam, halaman 82-83)
Selain itu mari kita simak juga kitab
Tadrib ar-Rawi fii Syarhi Taqriib an-Nawawi karya al-Imam Jalaluddin
as-Suyuthi rahimahullah. Di kitab tersebut disebutkan mengenai kriteria
Muhaddits dan al-Hafizh. Mengenai kriteria al-Hafizh, al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi menukil pendapat dari al-Imam Taqiyyuddin as-Subki:
Dan telah berkata Syaikh Taqiyyuddin
as-Subki: “Bahwasanya ia telah bertanya kepada al-Hafizh Jamaluddin
al-Mizzi perihal batasan-batasan jumlah banyaknya hafalan yang
ditentukan bagi seseorang yang bergelar al-Hafizh? Maka Syaikh al-Mizzi
menjawab: Perihal ini dikembalikan kepada para pakarnya. Maka aku
(Syaikh Taqiyyuddin As-Subki) bertanya: Dimana ditemukan pakarnya?
Sangat langka tentunya, jawab syaikh al-Mizzi: Sangat sedikit memang.
Minimal orang yang bergelar al-Hafizh mengetahui para perawi hadits,
baik biografinya, perilakunya, dan negerinya, yang ia ketahui lebih
banyak daripada yang tidak diketahui. Agar lebih jelas mengenai
permasalahan ini kepada khalayak ramai, aku (Syaikh Taqiyyuddin
as-Subki) berkata: Orang yang semacam ini sangat langka di zaman ini.”
(Tadrib ar-Rawi fi Syarhi Taqrib an-Nawawi, juz 1, halaman 15)
Adapun mengenai kriteria Muhaddits, dijelaskan lagi oleh beliau dengan menukil pendapat beberapa ulama diantaranya:
Dan berkata Syaikh Fatkhuddin ibn
Sayyidunnaas: “Dan adapun muhaddits di zaman kami adalah orang yang
menghabiskan waktunya dengan hadits-hadits baik secara riwayat maupun
dirayah, dan mengumpulkan riwayat-riwayat, mengetahui sebagian besar
para perawi di masanya, ia termasuk orang yang unggul di bidang ini dan
dikenal kebagusan daya hafalnya serta masyhur kedhabitannya (tingkat
ketelitiannya), maka apabila ia memiliki keluasan di dalam hadits hingga
ia mengetahui guru-gurunya, dan guru-guru daripada guru-gurunya,
tingkatan demi tingkatan, sekiranya yang ia ketahui daripada tiap
tingkatan lebih banyak daripada yang tidak ia ketahui, maka orang ini
disebut sebagai al-Hafizh.” (Tadrib ar-Rawi fi Syarhi Taqrib an-Nawawi,
juz 1, halaman 15)
Dan sungguh telah menetapkan para salaf
mengenai muhaddits dan al-Hafizh dengan makna, sebagaimana diriwayatkan
oleh Abu Sa’id as-Sam’aani dengan sanadnya yang sampai kepada Abu Zur’ah
ar-Razi, ia berkata, “Aku mendengar Abu Bakr bin Abi Syaibah berkata:
Barang siapa yang tidak menuliskan hadits sebanyak dua puluh ribu hadits
secara imla’ maka ia tidak terhitung sebagai ahli hadits.” (Tadrib
ar-Rawi fi Syarhi Taqrib an-Nawawi, juz 1, halaman 13)
Di dalam kitab al-Kaamil karya ibnu
‘Adiy dari jalur an-Nufailiy, ia berkata: “Aku mendengar Husyaiman
berkata: Barang siapa yang tidak menghafalkan hadits, maka ia tidak
termasuk daripada ahli hadits.” (Tadrib ar-Rawi fi Syarhi Taqrib
an-Nawawi, juz 1, halaman 13)
Berdasarkan
keterangan dari kitab Tadrib ar-Rawi diatas, maka salah satu syarat
menjadi seorang muhaddits adalah menghafal hadits. Tentunya menghafalnya
tidak sebatas menghafal hadits puluhan atau ratusan hadits saja, akan
tetapi mencapai ratusan ribu hingga jutaan hadits beserta sanad
perawinya dan hukum-hukum yang menyertainya.
Dan diriwayatkan mengenai kadar
banyaknya hafalan hadits seorang yang bergelar al-Hafizh, telah berkata
imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah: Aku susun kitab al-Musnad dan aku
memilihnya dari 750.000 hadits. Dan telah berkata Abu Zur’ah ar-Raziy:
Bahwasanya imam Ahmad bin Hanbal hafal Satu juta hadits. Dan telah
berkata Yahya bin Ma’iin: Aku telah menulis satu juta hadits dengan
tanganku sendiri. Dan telah berkata al-Bukhari: Aku menghafal seratus
ribu hadits shahih, dan dua ratus ribu hadits selain hadits shahih. Dan
telah berkata Muslim: Aku karang kitab musnad ini dari tiga ratus ribu
hadits shahih. Dan telah berkata Abu Dawud: Aku tulis apa-apa dari
Rasulillah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam sebanyak lima ratus ribu
hadits, lalu aku memilih daripadanya untuk aku tulis di kitab as-Sunan.
(Tadrib ar-Rawi fi Syarhi Taqrib an-Nawawi, juz 1, halaman 16)
Dan telah berkata al-Hakim di dalam
al-Madkhal: Bahwasanya salah seorang dari para Huffazh hafal sebanyak
500.000 hadits. Aku mendengar Abu Ja’far ar-Razi berkata: Aku mendengar
Abu Abdillah bin Warah berkata: Aku bersama Ishaq bin Ibrahim Naisaburi,
maka berkata seorang laki-laki dari Iraq: Aku mendengar Ahmad bin
Hanbal berkata: Hadits shahih yang aku hafal sebanyak 700.000 lebih, dan
lelaki ini, yakni Abu Zur’ah, sungguh ia telah menghafal 700.000
hadits, berkata al-Baihaqi: aku meriwayatkan semua yang shahih daripada
hadits-hadits Nabi dan perkataan para shahabat dan Tabi’iin. (Tadrib
ar-Rawi fi Syarhi Taqrib an-Nawawi, juz 1, halaman 16)
Lihatlah, para imam kita, hafal ratusan ribu hingga jutaan hadits!- Imam Ahmad bin Hanbal hafal 700.000 hingga satu juta hadits
- Imam Yahya bin Ma’iin hafal satu juta hadits.
- Imam al-Bukhari hafal 100.000 hadits shahih dan 200.000 hadits selain hadits shahih.
- Imam Muslim hafal 300.000 hadits shahih.
- Imam Abu Dawud hafal 500.000 hadits
Para imam tersebut tidak hanya hafal
matan hadits saja, akan tetapi semua ilmu yang berkaitan dengan hadits
seperti isnaad, ‘ilal, nama-nama rijal, al-‘aali dan an-naazil
sebagaimana yang disebutkan oleh Taajuddin as-Subki di awal pembahasan.
Terakhir, sebagai bahan renungan, jika
pada zamannya imam Taqiyyuddin as-Subki (Sekitar abad 7 H) jumlah orang
yang memenuhi syarat mendapat gelar al-Hafizh saja dapat dibilang
langka, apalagi di zaman kita sekarang ini, abad 14 H? Jika ada
seseorang yang tiba-tiba mengaku atau
“dimunculkan/diorbitkan/dikarbitkan” oleh kalangan tertentu sebagai
muhaddits zaman ini atau Bukhari-nya zaman ini kemudian dengan seenaknya
ia mengkritik hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para imam muhaddits
diatas, mengacak-acak karya imam-imam besar tersebut, sedangkan
syarat-syarat paling minimal untuk mendapat legitimasi derajat muhaddits
saja tidak terpenuhi, maka sejatinya ia telah merusak Islam dari dalam.
Wallaahu a’lam bish-showaabReferensi:
1, Kitab Mu’id an-Ni’am wa Mubid an-Niqam, karya imam Taajuddin as-Subki.
2. Kitab Tadrib ar-Rawi fi Syarhi Taqrib an-Nawawi, Karya imam Jalaluddin as-Suyuthi.
abdkadiralhamid@2013
0 Response to "Ada Orang yang Mengaku sebagai Muhaddits? Cek Dulu Apakah Kriteria-kriteria Berikut ini Sudah Terpenuhi?"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip