//

Ramadhan Bersama Rasulullah SAW


Ramadhan Bersama Rasulullah SAW

Para ulama berbeda pendapat mengenai firman Allah Ta’ala,”Puasa itu untuk-Ku, dan aku memberi balasan atasnya” – padahal semua amal adalah untuk-Nya juga dan Dialah yang membalasnya – dalam beberapa pendapat:
Pertama, bahwa dalam berpuasa tidak terjadi riya’ atau pamer, seperti halnya yang terjadi pada selain puasa. Karena pamer itu terjadi terhadap sesama manusia, sedang puasa itu tak lain adalah sesuatu yang ada di dalam hati. Yakni, bahwasanya semua perbuatan hanya bisa terjadi dengan gerakan-gerakan, kecuali puasa. Adapun puasa cukup hanya dengan niat yang tidak diketahui oleh orang lain.
Kedua, bahwa maksud firman-Nya” dan Aku memberi balasan atasnya” ialah, bahwa hanya Dia sendirilah yang mengetahui ukuran pahala puasa dan penggandaan upahnya. Adapun ibadat-ibadat lainnya dapat diketahui oleh sebagian orang.
Ketiga, arti firman-Nya:”Puasa itu untuk-Ku, dan Aku memberi balasan atasnya” ialah bahwa puasa itu ibadat yang paling disukai oleh-Nya.
Keempat, penisbatan kepada diri-Nya adalah penisbatan yang berarti pemuliaan dan penggandaan, seperti kata-kata Baitullah (Rumah allah).
Kelima, bahwa sikap tidak memerlukan makanan dan syahwat-syahwat lainnya, adalah termasuk sifat-sifat Tuhan. Dan oleh karena orang yang berpuasa itu mendekatkan diri kepada Allah dengan suatu sikap yang sesuai dengan sifat-sifat-Nya, maka puasa itu Dia nisbatkan kepada diri-Nya.
Keenam, bahwa artinya memang seperti itu, tetapi dengan kaitannya dengan para malaikat. Karena semua itu adalah sifat-sifat mereka.
Ketujuh, bahwa semua ibadat bisa digunakan untuk menebus penganiayaan terhadap sesama manusia , kecuali puasa.
Namun demikian, para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan puasa pada firman-Nya:”Puasa itu untuk-Ku, dan Aku memberi balasan atas-Nya”, ialah puasa orang yang puasanya itu bersih dari kedurhakaan-kedurhakaan, baik berupa perkataan maupun perbuatan (Miftahush-Shalat).
Diriwayatkan dari Nabi Saw. bahwa beliau bersabda: “Barang siapa berpuasa Ramadhan dengan iman dan ikhlas, maka diampunilah dosanya yang telah lalu”(Zahratur Riyadh). Selain itu Nabi Saw. pun bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala menyuruh para Malaikat Pencatat yang mulia pada bulan Ramadhan supaya mencatat kebaikan-kebaikan dari umat Muhammad Saw., dan jangan mencatat kesalahan-kesalahan mereka serta menghapuskan dosa-dosa mereka yang lalu”.
Puasa yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah semata-mata akan bernilai sepuluh kebajikan. Orang yang puasa di bulan Ramadhan dan diiringi dengan puasa enam hari di bulan Syawwal dinilai sama dengan puasa sepanjang tahun, yaitu tiga puluh hari kali sepuluh sama dengan tiga ratus, ditambah dengan enam kali sepuluh, sama dengan enam puluh. Berarti jumlah semuanya adalah 360 hari menurut kalender syamsiah (matahari). Hal demikian disebutkan dalam hadis Nabi Saw.:
“Satu kebajikan (dibalas) menjadi sepuluh kali lipat sedangkan kejahatan dibalas seimbang dengan dosanya atau Kuampuni sama sekali meskipun dia menghadap Aku dengan kesalahan-kesalahan hampir sebesar Bumi. Barangsiapa merencanakan hendak melaksanakan suatu kebaikan, tetapi belum dikerjakan, akan dicatat (oleh Malaikat) baginya suatu kebajikan. Dan barangsiapa merencanakan hendak melakukan satu kejahatan tapi belum dikerjakannya, tidaklah dicatatkan baginya sedikit. Dan barangsiapa mendekatkan dirinya kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Dan barangsiapa yang mendekatkan dirinya kepada-Ku sehasta, akau akan mendekat kepadanya sedepa (HR Thabrani yang bersumber dari Abu Dzar).
Diriwayatkan dari Nabi Saw. bahwa beliau bersabda: “Umatku dikarunia lima perkara yang tidak diberikan kepada seorang pun yang sebelum mereka. Pertama, apabila malam pertama dari bulan Ramadhan tiba, maka Allah memandang mereka dengan belas kasih, dan barangsiapa yang dipandang Allah dengan belas kasih, maka Dia tidak akan mengazabnya sesudah itu buat selama-lamanya. Kedua, Allah Ta’ala menyuruh para Malaikat memohonkan ampun untuk mereka. Ketiga, bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau kesturi. Keempat, Allah Ta’ala berkata kepada surga, ‘Berbahagialah hamba-hamba-Ku yang beriman, mereka adalah kekasih-kekasih-Ku. Dan kelima, Allah Ta’ala mengampuni mereka semua”.
b. Tingkatan Puasa
Sebagian ulama berpendapat bahwa puasa itu pada dasarnya ada tiga tingkatan: puasa orang biasa, puasa orang-orang istimewa, dan puasa orang-orang teristimewa. Adapun puasa orang biasa ialah puasanya orang-orang yang mencegah perut dan farjinya dari memenuhi syahwat. Adapun puasa orang-orang istimewa ialah puasanya orang-orang saleh, yaitu mencegah panca indranya dari melakukan dosa-dosa, hal mana tidak akan terlaksana kecuali dengan senantiasa melakukan lima perkara:
Pertama, menundukkan mata dari tiap-tiap yang pertama tercela menurut syara’.
Kedua, memelihara lidah dari menggunjing, berdusta, mengadu domba, dan bersumpah palsu. Karena, Anas telah meriwayatkan dari Nabi Saw. bahwa beliau bersabda, ” Ada lima perkara yang menghancurkan puasa yakni membatalkan pahalanya: berdusta, menggunjing, mengadu-domba, bersumpah palsu, dan memandang (lain jenis) dengan syahwat”.
Ketiga, mencegah telingan dari mendengarkan apa saja yang makruh.
Keempat, mencegah seluruh anggota tubuh dari hal-hal yang makruh, dan mencegah perut dari makanan-makanan yang syubhat di waktu berbuka. Karena tidak ada artinya kalau berpuasa dari makanan halal , lalu berbuka dengan makanan haram. Perumpamaannya, seperti orang memabangun sebuah gedung dengan menghancurkan sebuah kota. Nabi Saw. bersabda,”Berapa banyak orang berpuasa, tidak memperoleh dari puasanya selain lapar dan haus”.
Kelima, jangan memakan makanan halal terlalu banyak di waktu berbuka sampai memenuhi perutnya. Oleh sebab itu, sabda Nabi Saw.,”Tidak ada sebuah wadah yang lebih dibenci Allah daripada perut yang dipenuhi makanan halal”.
Adapun puasa orang-orang teristimewa adalah puasanya hati dari keinginan-keinginan rendah dan pikiran-pikiran duniawi, dan mencegahnya sama sekali dari selain Allah. Apabila orang yang berpuasa seperti ini memikirkan sesuatu selain Allah, maka berarti dia berbuka dari puasanya. Dan puasa seperti ini adalah tingkatan para Nabi dan Shiddiqin. Karena, pelaksanaan dari tingkatan seperti ini adalah dengan menghadapkan diri sama sekali kepada Allah Ta’ala dan berpaling dari selain-Nya.
c. Tata Cara Puasa Rasullullah
Dalam Al-Quran, Nabi Muhammad SAW disebutkan sebagai Nabi terakhir. Al-Quran berfirman sebagai berikut: “Muhammad itu sekali-kali bukanlah ayah seorang laki-laki di antara kamu, melainkan ia adalah utusan Allah dan penutup sekalian Nabi (khatamun nabiyyin). Dan Allah senantiasa mengetahui segala sesuatu (QS 33:40).”
Sebagai nabi terakhir, Rasullullah merupakan uswatun hasanah (contoh teladan yang baik bagi umatnya) sebagaimana diterangkan dalam Al-Quran: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari kiamat, dan dia banyak menyebut Allah (QS 33:21).”
Agar kita menjadi umat Islam yang baik, maka dalam menjalankan ibadah puasa pun kita harus meneladani cara Rasulullah SAW berpuasa, yang pada garis besarnya dapat kita bagi dalam pasal-pasal berikut.
Langkah-langkah yang dikerjakan Rasulullah dalam menyikapi ibadah puasa, antara lain:
1. Menetapkan Niat
Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa yang tidak menetapkan akan berpuasa sebelum fajar, maka tiada sah puasanya”.
Hadis di atas diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah. Daruqutni meriwayatkannya dengan redaksi yang berbeda: “Tidak sah puasanya bagi orang yang tidak menetapkannya dari malam harinya”.
2. Melaksanakan Makan Sahur
Dari Anas bin Malik r.a. ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah SAW.,’Sahurlah kalian, maka sesungguhnya dalam sahur itu ada berkahnya’”(HR Bukhari, Muslim dari Anas bin Malik r.a.).
Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, yang dimaksud dengan berkah (barakah) ialah ganjaran dan pahala. Dikatakan sahur itu mengandung barakah, karena sahur menguatkan dan menambah semangat dalam berpuasa serta dapat membantu meringankan berat puasa.
Selanjutnya Ibnu Hajar menambahkan: “Yang jelas sahur itu merupakan suatu perbuatan yang mengikuti sunnah, berbeda dengan perbuatan Ahli Kitab, memelihara terhadap ibadah, menambah semangat, menolak pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh rasa lapar, atau merupakan kesempatan bersedekah kepada orang lain dengan mengundangnya makan sahur bersama, dan juga dapat dilanjutkan dengan merzikir atau berdoa, karena waktu sahur adalah waktu yang mustajab untuk berdoa”.
Dan Allah telah menjelaskan dalam Al-Qur’an tentang sifat-sifat orang yang bertakwa, firman-Nya: (yaitu) orang-orang yang berdoa :”Wahai Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami, dan peliharalah kami dari siksa neraka. (Yaitu) orang-orang sabar, yang benar, yang tunduk (taat), dan yang membelanjakan hartanya (di jalan Allah), serta beristighfar di waktu sahur” (QS 3:1-17).
3. Imsak Rasulullah
Telah bersabda Rasulullah SAW: “Apabila salah seorang di antara kalian mendengar azan subuh padahal bejana masih berada di tangannya, maka janganlah ia meletakkan (bejana itu) sampai ia menyelesaikan kebutuhannya itu “(Hr Abu Dawud, Ibnu Jarir, Abu Muhammad Al Jauhari, Al Hakim, Baihaqi dan Ahmad dari Abu Hurairah).
Hadis di atas menegaskan bahwa bila seseorang yang sedang sahur mendengar azan subuh, maka ia dibolehkan meneruskan sahurnya. Hal ini tentunya ditujukan untuk orang yang tidak sengaja menunggu atau mengetahui bahwa azan subuh segera akan tiba. Ini diperkuat oleh hadis yang diriwayatkan oleh Husain bin waqid, dari Abu Ghalib, dan dari Abu Umamah. Ia berkata: Telah diqamati shalat, padahal bejana masih berada di tangan Umar, maka Umar berkata:”Bolehkah aku minum wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Tentu”. Kemudian Umar pun meminumnya (HR Ibnu Jarir).
Dan juga telah diriwayatkan dari Ibnu Luhai’ah, dari Abu Zubair, ia berkata : “Aku pernah bertanya kepada Jabir tentang seseorang yang bermaksud untuk puasa, sementara bejana di tangannya siap untuk diminum, kemuadian ia mendengar azan? Jabir menjawab:’Sesungguhnay kami akan menceritakan bahwasanya Nabi SAW telah bersabda:”Hendaklah ia minum darinya”(HR Ahmad).
Ishaq juga telah meriwayatkan dari Abdillah bin Ma’qil, dari Bilal, ia berkata: “Aku datang menemui Nabi SAW, untuk memberitahukan shalat fajar kepada beliau, dan beliau bermaksud untuk berpuasa, maka beliau meminjam bejana, lalu beliau minum, kemudian beliau memberikannya padaku maka aku pun minum pula. Lalu kami keluar bersama-sama untuk shalat (HR Ibn Jarir)”
Dan dalam hadis yang lain, yang diriwayatkan oleh Qais bin Rabi’, dari Zuhair bin Abi Tsabit Al-A’ma, dari Tamim bin ‘Iyadh, dari Ibnu’ Umar, ia berkata: “Adalah Alqamah bin Alatsah berada di samping Rasulullah SAW. Kemudian datanglah Bilal untuk memberitahu waktu shalat kepada Nabi, maka Rasulullah SAW pun bersabda:’Perlahan-lahan hai Bilal! Aqamah sedang sahur, dan ia sahur dengan kepala!”(HR Tabhrani)
4. Mempercepat Berbuka Apabila Telah Tiba Waktunya
Sahl bin Sa’ad berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda,”Manusia tidak henti-hentinya mendapat kebaikan selama mereka memeprcepat berbuka puasa” (HR Bukhari dan Muslim)
Abu Hurairah r.a. berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW: Telah berfirman Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung:”Hamba-hamba Ku yang lebih aku cintai ialah mereka yang paling segera berbukanya”(HR Tirmidzi dari Abu Hurairah).
Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya kami-golongan para Nabi – diperintahkan untuk menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur, dan supaya kami meletakkan tangan kanan kami di atas tangan kiri kami di dalam shalat” (HR Ibnu Hibban dan Dhiya’).

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dilukiskan sebab dan rahasia menyegerakan puasa: “Agama akan senantiasa tampak syi’arnya dengan nyata selama orang Islam berbuka puasa dengan segera (tepat pada waktunya), sebab orang-orang Yahudi dan Nasrani melambatkannya ” (HR Abu Daud yang bersumber dari Abu Hurairah).
Pada waktu berbuka puasa dianjurkan untuk membaca doa sebagai berikut: “Telah hilang dahaga, dan telah basah (segar) urat, dan telah tetap ganjaran. Insya Allah” ( HR Abu Daud, nasa’i, dan Hakim dari Ibnu Umar r.a.).
Dalam hadis lain disebutkan bahwa apabila Rasulullah berbuka, beliau berdoa: “Ya Allah, bagi-Mulah puasa kami, dan atas rezeki-Mu lah kami berbuka, maka terimalah dari kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Hr Ibnu Sunni dan Thabrani).
Berbuka yang lebih baik ialah berbuka dengan buah-buahan manis seperti kurma, pisang, mangga, rambutan, dan sebagainya. Dalam sebuah hadis disebutkan. Dari Sulaiman bin Amir Ad-Dhabbi r.a. dari Nabi SAW, beliau bersabda ,”Apabila seseorang di antara kamu berbuka puasa, berbukalah dengan kurma. Apabila tidak ada, berbukalah dengan air, karena air itu suci” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad).
5. Memperbanyak Membaca Al Qur’an
Rasulullah SAW bersabda : “Orang-orang yang berkumpul di masjid dan membaca Al Qur’an, maka kepada mereka Allah akan menurunkan ketenangan batin dan limpahan rahmat’ (HR Muslim).
Sebagian orang mengartikan tadarus dengan membaca Al Qur’an secara patungan (secara bergiliran). Kendatipun ada manfaatnya seperti yang disebutkan dalam Hadis:”Barangsiapa membaca satu huruf Al Qur’an, maka pahala untuknya sepuluh kali lipat kebaikan “(HR Tirmidzi).
Namun, membaca dalam konteks hadis di atas, tidak perlu diartikan secara harfiah. Ketenangan batin dan limpahan rahmat akan mungkin lebih bisa dicapai bila tadarusan diartikan dengan mempelajari, menelaah, dan menikmati Al Qur’an. Sudah saatnya kita tidak lagi mengandalkan “pengaruh psikologi magnetis” dalam membaca Al Qur’an (tanpa mengetahui maknanya). Karena bagi kita sudah saatnya untuk mendapatkan arti limpahan rahmat tersebut dari telaah kandungan isi Al Qur’an.
Sekalipun demikian, memang benar untuk lapisan masyarakat tertentu, suasana yang dipantulkan oleh malam Ramadhan dengan tarawih dan tadarusannya amat dirasakan sekali manfaatnya dalam menciptakan ketenangan batin.
6. Memperbanyak Sedekah
Sedekah yang paling utama adalah sedekah pada bulan Ramadhan (Hr Tirmidzi)
Bersedekah bukan hanya memberi uang , tetapi termasuk di dalamnya memberi pertolongan , mengajak berbuka puasa kepad fakir miskin, memberi perhatian, bahkan memberi sesimpul senyum pun sudah termasuk suatu sedekah.
Dapat dibayangkan jika konsep “memberi” (secara luas) ini diterapkan secara maksimal, selama Ramadhan, akan luar biasa pengaruhnya pada pribadi kita. Sikap kikir menyingkir, sikap ketergantungan menghilang. Dengan memberi sedekah setahap demi setahap harga diri akan meningkat. Karena, sesungguhnya ketika kita memberi, seseorang akan memperoleh. Dengan demikian, dalam konsep memberi terkandung esensi cinta-kasih.
7. Membayar Zakat Fitrah
Zakat fitrah (zakatul fitri) disebut juga Shadaqarul Fitri, yaitu zakat atau sedekah yang dihubungkan dengan Idul Fitri. Pada saat itu, tiap-tiap orang Islam harus membayar zakat berupa bahan makanan yang jumlahnya telah ditentukan (2,5 kg), baik berupa gandum, juwawut, beras, atau apa saja yang menjadi bahan makanan pokok daerah setempat, dan dihitung menurut jumlah keluarga, termasuk orang tua, anak-anak, lelaki dan perempuan (HR Bukhari). Jumlah ini harus dikumpulkan oleh masyarakat Islam, lalu dibagikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya.
Aturan pembagian zakat fitrah itu sebagai berikut. Zakat itu harus diberikan kepada yang berhak sebelum shalat Ied, dan ini merupakan kewajiban bagi orang yang mampu. Sebagaimana diuraikan dalam hadis, zakat fitrah harus diorganisasikan seperti zakat mal, sebagai berikut: “Mereka memberikan sedekah (fitrah) untuk dikumpulkan, dan tidak untuk dibagi-bagikan kepada para pengemis” (HR Bukhari).
Menurut hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW memberi tugas kepadanya untuk mengumpulkan zakat bulan Ramadhan (HR Bukhari).
d. Adab Puasa
Orang yang puasa wajib meninggalkan akhlak yang buruk. Segala tingkah lakunya haruslah merupakan cerminan dari budi yang luhur. Ia wajib menjaga diri, jangan sampai melakukan ghibah (menggunjing orang lain, gosip), atau melakukan hal-hal yang tiada berguna, sehingga Allah tidak berkenan menerima puasanya.
Rasulullah SAW bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a.: Apabila seorang dari kamu sekalian berpuasa, maka janganlah ia berkata kotor dan berteriak. Bila dicela orang lain atau dimusuhi, maka katakanlah:” Aku ini sungguh sedang puasa “. Demi Allah yang menggenggam jiwa Muhammad, sesungguhnya bau mulut orang yang sedang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kesturi. Dan bagi orang yang berpuasa itu ada dua kegembiraan; Ketika berbuka, ia bersuka cita dengan datangnya saat berbuka, dan ketika bertemu dengan Tuhannya ia bersuka cita dengan pahala puasanya.
Dalam hadis lain disebutkan: Rasulullah SAW bersabda:” Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, dan perbuatan dusta dan bodoh, maka Allah tidak membutuhkan lapar dan dahaga mereka” (HR Bukhari dan Abu Dawud).
Mengenai hadis yang terakhir, Al’Allamah Asy-Syaukani berkata:”Menurut Ibnu Bathal, maksud Hadis di atas bukan berarti orang itu disuruh meninggalkan puasa, tetapi merupakan peringatan agar jangan berkata bohong atau melakukan perbuatan yang memuat dusta. Sedangkan menurut Ibnu Arabi, maksud hadis ini ialah bahwa puasa seperti itu tidak berpahala. Dan berdasarkan hadis ini, Ibnu ‘arabi mengatakan pula bahwa perbuatan-perbuatan buruk tersebut di atas dapat mengurangi pahala puasa.
e. Hal-Hal Diperbolehkan bagi Orang yang Berpuasa
1. Junub di Waktu Pagi
Dari Aisyah dan Ummu Salamah:”Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah menjumpai waktu fajar dalam keadaan junub – setelah bersebadan dengan istrinya dan belum mandi wajib – kemudian beliau mandi dan berpuasa” (HR Bukhari dan Muslim)
Dari Aisyah r.a. adalah Nabi SAW menjumpai waktu fajar dalam bulan Ramadhan dalam keadaan junub, bukan karena mimpi, lalu beliau mandi dan berpuasa (HR Bukhari)
Dari Aisyah r.a. ia berkata:”Aku menyaksikan Rasulullah SAW, bahwasanya beliau pagi-pagi mandi berada dalam keadaan junub karena berjima’, bukan karena mimpi, kemudian beliau berpuasa pada hari itu”(HR Bukhari)
Dari hadis-hadis di atas dapat disimpulkan, bahwa orang yang berada dalam kedaan junub, kemudian makan sahur untuk puasa, maka orang yang junub itu sah puasanya. Meskipun ia harus tetap mandi wajib untuk melaksanakan shalat subuh.
2. Mencium Istri
Orang yang berpuasa boleh mencium istrinya. Dari Aisyah r.a. ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah mencium sebagian istri-istrinya, padahal beliau sedang berpuasa”. Lalu Aisyah tertawa setelah menceritakan hadis ini (HR Bukhari).
Dari Ummu Salamah r.a. bahwa Nabi SAW pernah mencium(nya) dalam kedaan berpuasa (HR Bukhari dan Muslim).
Dan dari Aisyah r.a. ia berkata : Rasulullah SAW pernah mencium (aku) dan mencumbu (mubasyarah) dalam keadaan berpuasa. Hanya beliau adalah orang yang paling mampu mengendalikan hajatnya (HR Jamaah selain An-Nasa’i).
Dari hadis di atas, kita mengetahui bahwa orang yang berpuasa boleh saja menyentuh dan mencium istrinya, apabila ia dapat menahan syahwatnya. Tetapi kalau dia khawatir dirinya kemudian melakukan persetubuhan atau mengeluarkan mani dengan hanya menyentuh, maka hal itu tidak boleh dilakuan.
Menurut Sa’id bin Al-Musayib, orang yang berpuasa tidak boleh mencium dan menyentuh , baik ia merasa khawatir maupun tidak. Karena, menurut riwayat dari Ibnu Abbas, bahwasanya ada seorang pemuda menemui Ibnu Abbas, lalu bertanya kepadanya, “Bolehkah saya mencium selagi berpuasa?” Jawab Ibnu Abbas, “Tidak”.
Kemudian, datang pula kepada Ibnu Abbas seorang tua lalu berkata:”Bolehkan saya mencium selagi berpuasa?” Jawab Ibnu Abbas:”Ya”. Maka pemuda tadi kembali lagi kepada Ibnu Abbas, lalu berkata kepadanya:”Kenapa tuan halalkan untuknya apa yang tuan haramkan atas diriku, padahal kita satu agama?” Jawab Ibnu Abbas:”Karena dia sudah tua, dan bisa menguasai hajatnya, sedang kamu masih muda, kamu tak mampu menguasai hajatmu”, yakni anggotamu dan auratmu (Raudhatul Ulama’).
3. Makan dan Minum karena Lupa
Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW beliau bersabda:”Apabila ia (orang yang berpuasa) lupa, kemudian ia makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah-lah yang telah memberi makan dan minum kepadanya” (HR Bukhari dan Muslim).
Dan dalam riwayat Hakim disebutkan, “Barangsiapa yang berbuka puasa pada bulan Ramadhan lantaran lupa, maka tidak wajib qadha dan tidak wajib kifarat”. Hasan dan Mujahid berkata: Jika ia berjima’ karena lupa, maka tidak ada sesuatu (sanksi) atasnya.
5. Mengganti Hutang Puasa Orang yang Meninggal
Dari Aisyah r.a. bahwasanya Nabi SAW bersabda : “Barangsiapa yang meninggal dan punya hutang puasa, hendaklah walinya berpuasa untuknya” (HR Bukhari dan Muslim).
6. Musafir (Orang yang Bepergian)
Orang yang bepergian atau sedang dalam perjalanan (safar) dibolehkan untuk berbuka atau meneruskan puasanya, dan tidak boleh memaksakan diri untuk berpuasa jika tidak mampu, berdasarkan hadis berikut ini:
Dari aisyah r.a. : Sesungguhnya Abu Hamzah bin Amr Al-Aslami berkata kepada Nabi SAW: Apakah aku boleh berpuasa di dalam safar? – dan ia seorang yang banyak melakukan puasa. Maka beliau bersabda:”Jika engkau ingin berpuasa, maka berpuasalah, dan jika engkau ingin berbuka, maka berbukalah” (HR Bukhari).
Dari Ibnu Abbas r.a. : Sesungguhnya Rasulullah SAW keluar menuju ke Makkah di dalam bulan Ramadhan dan beliau berpuasa, sehingga – ketika – beliau sampai di Kadid, beliau berbuka, maka para manusia (sahabat) pun – ikut – berbuka”(HR Bukhari).
Dari Jabir bib Abdullah, ia berkata:Pernah Rasulullah SAW bersafar, maka beliau melihat kerumunan dan seorang laki-laki sungguh-sungguh dinaungi atasnya, maka beliau bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Orang yang puasa”. Maka beliau bersabda, “Bukanlah suatu kebaikan berpuasa dalam safar” (HR Bukhari).
Rasulullah SAW memperingatkan bagi orang-orang yang berpuasa dalam perjalanan, bahwa mereka tidak boleh saling mencela dengan orang yang berbuka puasa. Dari Anas bin Malik, ia berkata: “Kami pernah bersafar bersama Nabi SAW maka orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka, dan sebaliknya orang yang berbuka tidak mencela orang yang berpuasa” (HR Bukhari).
f. Hal-hal Yang Membatalkan Puasa
Berdasarkan sunnah Rasululah SAW, hal-hal yang membatalkan puasa pada dasarnya dibagi dalam dua kategori, yaitu: yang menyebabkan wajib qadha, dan yang mewajibkan qadha dan kafarat.
- Yang Hanya Menyebabkan Wajib Qadha
1. Makan dan Minum dengan Sengaja
Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa lupa ketika berpuasa, lalu makan atau minum, maka hendaknya puasanya itu dia teruskan sampai selesai. Karena Allah sesungguhnya telah memberinya makan dan minum”. Dan menurut lafadz lain:”Hal itu tak lain adalah rezeki yang Allah anugerahkan kepadanya, tanpa berkewajiban meng-qadha puasanya”. Dan ada pula lafaz lain:” Barangsiapa berbuka puasa karena lupa, maka dia tidak wajib qadha, maupun kifarat” (HR Jama’ah kecuali An-Nasa’i).
At-Tirmidzi berkata, “Menurut kebanyakan para ulama, hadis ini patut diamalkan”. Dan Demikian pula kata Asy-Syafi’i, Sufyan Ats-tsauri, Ahmad dan Ishaq.
Dalam hadis lain, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah memaafkan dari umatku kekeliruan, lupa dan hal-hal yang mereka terpaksa melakukannya”.
Jadi, orang yang memakan makanan karena lupa atau tidak sengaja, maka ia tidak wajib meng-qadha puasanya dan juga tidak wajib membayar kifarat. Tetapi kalau dia sengaja makan atau minum, maka dia wajib meng-qadha puasanya [kalau tanpa alasan syar’i jatuhnya pada dosa].
2. Haid dan Nifas
Haid dan Nifas tetap membatalkan puasa dan mewajibkan qadha, sekalipun terjadi beberapa saat saja menjelang terbenamnya matahari.Dari Abu Sa’id r.a. ia berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW: “Bukankah apabila ia (perempuan) sedang haid maka ia tidak shalat dan tidak berpuasa? Maka demikian itu kurangnya din (agama) mereka” (Hr Bukhari).
Dari mu’adzah, ia berkata: Aku pernah bertanya kepada Aisyah: “Mengapa perempuan haid mengqadha puasanya, tetapi tidak mengqadha shalat?” Ia menjawab: “Kami mengalami hal yang demikian bersama Rasulullah. Lalu kami diperintahkan mengqadha puasa, tetapi kami tidak diperintahkan mengqadha shalat” (HR Bukhari).
3. Memakan Selain Makanan Biasa
Kalau kita dengan sengaja menelan batu kecil, potongan kulit, adonan terigu, atau garam cukup banyak, maka perbuatan tersebut membatalkan puasa dan mewajibkan qadha puasanya.
4. Muntah dengan Sengaja
Muntah dengan sengaja membatalkan puasa. Tetapi kalau tidak sengaja muntah, maka tidak membatalkan puasa, sehingga tidak berkewajiban qadha maupun kifarat. Menurut sebuah hadis: Barangsiapa terpaksa muntah, maka tidak wajib meng-qadha (puasanya), dan barangsiapa muntah dengan sengaja, maka ber-qadha-lah.
Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata; Rasulullah SAW bersabda:”Barangsiapa yang terpaksa muntah maka tidak wajib qadha baginya, tetapi barangsiapa yang sengaja muntah, maka ia wajib qadha” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Syaikh Sayyid Sabiq menukil kata-kata al-Khithabi, katanya:”Saya tidak melihat adanya perbedaan pendapat diantara para ulama, bahwa orang yang terpaksa muntah itu tidak wajib meng-qadha puasanya, dan bahwa orang yang sengaja muntah itu wajib mengqadha puasanya.”
5. Sengaja Mengeluarkan Mani
Baik dikarenakan mencium atau berpelukan atau lainnya. Semua itu membatalkan puasa, apabila sampai mengeluarka mani. Adapun kalau keluarnya mani itu hanya dikarenakan membayangkan atau memandang wajah seseorang, maka tidak membatalkan puasa dan tidak berkewajiban apa-apa. Dan demikian pula hanya bila yang keluar itu madzi, bukan mani.
- Yang Mewajibkan Qadha dan Kafarat
Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Seorang lelaki datang kepada Nabi SAW lalu berkata:”Celaka saya ya Rasul Allah”, “Kenapa kamu celaka?” tanya Rasul. Laki-laki itu menjawab:”Saya telah bersetubuh dengan istriku pada siang hari Ramadhan”. Rasul bertanya :”Sanggupkan kamu memerdekakan seorang budak?” “Tidak”, jawab laki-laki itu. “Kuatkah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?” tanya Rasul pula. “Tidak”, jawabnya. “Sanggupkah kamu memberi makan kepada enampuluh orang miskin?” tanya Rasul. Dan laki-laki itupun tetap menjawab,”tidak”. Kemudian iapun duduk, dab Rasulullah memberinya sekeranjang kurma serta bersabda:”Bersedakahlah dengan ini”, ia berkata:”Apakah saya harus menyedekahkan kepada orang yang paling fakir diantara kami? Karena tidak ada keluarga di antara dua batu hitam di Madinah yang paling membutuhkannya selain keluarga kami”. Maka Nabi SAW tertawa, sehingga kelihatan gigi gerahamnya, kemudian beliau bersabda: “Pergilah dan berilah makan keluargamu dengannya.” (Dikeluarkan oleh Imam yang Tujuh, dan lafaz ini ada di dalam riwayat Muslim).
Dalam hadis di atas diuraikan, bahwa orang yang sengaja membatalkan puasa Ramadhan dengan berhubungan suami isteri, maka orang itu harus menjalankan puasa kafarat dua bulan terus-menerus. Ini berkenaan dengan orang yang mengadakan hubungan badan dengan istrinya selagi mereka menjalankan puasa, dan Rasulullah memerintahkan agar orang itu memerdekakan budak belian sebagai kafaratnya. Orang itu kemudian menerangkan, bahwa ia terlalu miskin untuk melaksanakan perintah itu, lalu ia disuruh supaya menjalankan puasa kifarat dua bulan terus-menerus, namun ia menjawab tidak dapat. Lalu orang itu disuruh agar memberi makan kepada enam puluh orang miskin, namun ia menjawab lagi, tidak dapat. Akhirnya Rasulullah menunggu, sampai tiba-tiba datang orang yang membawa sedekah sekarung kurma, lalu Rasul memberikannya kepada orang yang membatalkan puasanya itu sambil bersabda agar kurma itu disedekahkan kepada orang miskin. Orang itu menerangkan bahwa di Madinah tidak ada yang lebih miskin selain dia. Atas jawaban itu Rasulullah SAW tertawa, dan memperkenankan kepadanya agar membawa pulang sekarung kurma itu untuk dimakan oleh keluarganya.
g. Mengganti Puasa dengan Fidyah
Fidyah artinya penebus (kesalahan). Yang dimaksud ialah suatu kewajiban memberi makan seorang miskin untuk orang-orang yang tidak dapat menjalankan ibadah puasa pada bulan Ramadhan. Firman Allah: “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (puasa) membayar fidyah (yaitu) memberi makan seorang miskin ” (QS-2-184).
Ibnu Abbas berkata, bahwa hukum fidyah tersebut berlaku bagi laki-laki dan perempuan yang sudah sangat tua, yang keduanya tidak kuat untuk puasa, sehingga sebagai gantinya keduanya wajib memberi makan setiap hari satu orang miskin (Tafsir Ibnu Katsir).
Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas berkata: “Telah diberi kelonggaran (rukhshah) bagi orang yang sangat tua apabila ia berbuka, memberi makan (fidyah), dan tidak ada kewajiban meng-qadha atasnya” (HR Daruquthni dan Al-Hakim).
Berdasarkan beberapa Hadis, kelompok orang-orang yang tidak wajib puasa itu adalah orang tua yang tidak kuat puasa, wanita ya ng sedang mengandung, dan wanita yang sedang menyusui anaknya.Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:”Sesungguhnya Allah Yang Mahakuasa dan Mahamulia telah menggugurkan kewajiban puasa dari musafir, dan juga menggugurkan separuh dari shalatnya. (Allah menggugurkan juga kewajiban) puasa dari perempuan yang hamil dan perempuan yang menyusui” (HR Tirmidzi).
Sesunguhnya Ibnu Abbas berkata:”…dan perempuan yang hamil dan menyusui, apabila takut (kebinasaan) boleh keduanya berbuka dan memberi makan (fidyah)” (HR Abu Dawud). Juga termasuk kepada orang-orang yang harus membayar fidyah bagi yang tidak sanggup menjalankan ibadah puasanya itu adalah orang-orang yang bekerja keras untuk penghidupannya (misalnya menarik becak, kuli angkut pelabuhan dan pekerjaan-pekerjaan berat yang menuntut kekuatan fisik lainnya), orang yang jika berpuasa akan sakit, dan orang sakit yang tidak ada harapan untuk sembuh. Orang yang membayar fidyah ini tentu saja tidak wajib lagi melakukan qadha puasa.

2. I’tikaf Rasulullah
Dalil disyariatkannya i’tikaf ialah firman Allah Ta’ala: “Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail:”Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku, dan yang sujud” (QS-2-125).
Adapun dari As-Sunnah antara lain adalah: Dari Aisyah r.a. ia berkata: rasulullah SAW melakukan i’tikaf pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, sampai saat ia dipanggil Allah Azza wa Jalla (Hr Bukhari dan Muslim). Dan dari Ibnu Umar r.a. ia berkata: Rasulullah SAW melakukan i’tikaf pada sepuluh malam terakhit bulan Ramadhan (HR Bukhari dan Muslim).
Sebuah Hadis yang berasal dari Aisyah r.a. diriwayatkan bahwa: Rasulullah SAW, apabila masuk sepuluh hari yang terakhir dalam bulan Ramadhan, beliau menjauhi istrinya, dan menghidupkan malamnya, dan membangunkan ahli rumahnya (HR Bukhari dan Muslim).
Dan dari Aisyah pula, ia berkata; “Nabi SAW apabila beliau hendak ber-i’tikaf, beliau shalat subuh lalu masuk ke tempat i’tikafnya (HR Bukhari dan Muslim). Dalam hadis lain, yang juga diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim disebutkan: Dan dari Aisyah r.a., dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa ber-i’tikaf karena iman dan ikhlas, maka diampunilah dosanya yang telah lewat.”
Kata i’tikaf berasal dari kata ‘akafa alaihi, artinya, ia senantiasa atau berkemauan kuat untuk menetapi itu atau setia kepada itu. Secara harfiah kata i’tikaf berarti tinggal di suatu tempat, sedangkan syar’iyah kata i’tikaf berarti tinggal di masjid untuk beberapa hari, teristimewa sepuluh hari terakhir bulan ramadhan.
Selama hari-hari itu, orang yang menjalani i’tikaf (mu’takif), mengasingkan diri dari segala urusan duniawi, dan menggantinya dengan kesibukan ibadat dan zikir kepada Allah dengan sepenuh hati. Dengan i’tikaf seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, kita berserah diri kepada Allah dengan menyerahkan segala urusannya kepada-Nya, dan bersimpuh di hadapan pintu anugerah dan rahmat-Nya.
Rukun I’tikaf
Rukun artinya dasar-dasar utama atau bagian-bagian pokok yang mutlak harus diyakini dan dikerjakan, seperti rukun iman, rukun islam, rukun shalat, dan sebagainya. Adapun yang termasuk rukun i’tikaf itu ada tiga:
- Mu’takif atau orang yang akan beri’tikaf; karena i’tikaf itu pekerjaan, mau tidak mau harus ada pelakunya.
- Tinggal di masjid, oleh karena itu tidak sah kalau di rumah.
Sayyidina Ali r.a. pernah mengatakan : “Tidak sah i’tikaf selain dalam masjid yang digunakan untuk berjamaah”. Karena dalam masjid yang biasa digunakan untuk berjamaah itulah biasanya kita senantiasa siap sepenuhnya untuk melakukan shalat apa saja sebaik-baiknya, termasuk apabila sewaktu-waktu shalat berjamaah dilaksanakan.
- Tempat beri’tikaf, yaitu tempat yang diambil mu’takif untuk tinggal selama dalam i’tikafnya.
Hal-hal yang Membatalkan I’tikaf
I’tikaf merupakan khalwat Rabbani dan latihan ruhani, dimana sesorang menyendiri di masjid, jauh dari pergaulan sesama makhluk demi cintanya kepada Allah SWT. Disana ia mengingat Allah dan mengagumi ciptaan-Nya, kekuasaan-Nya, dan keagungan-Nya. Kepada-Nya ia berdoa dan bermunajat serta mengaharap pahala dan memohon agar dirinya dan keluarganya dijauhkan dari siksa-Nya. Dengan segala kerendahan hati, ia memohon diselamatkan dari kobaran api jahanam yang panasnya tiada terkira.
Ber i’tikaf pada sepuluh malam terakhir secara berturut-turut sangat terpuji. Oleh karena itu, seseorang yang beri’tikaf tidak boleh meninggalkan masjid, kecuali untuk memenuhi keperluan (hajat), seperti misalnya buang air kecil atau besar, atau mandi, dan sebagainya (HR Bukhari). Dan sekiranya ia bernazar ber i’tikaf secara berturut-turut (atau meniatkannya) lalu ia keluar dari tempat i’tikaf-nya itu untuk hal-hal yang tidak termasuk darurat, maka terputuslah i’tikafnya itu karena tidak memenuhi persyaratan “berturut-turut”. Yaitu, sebagai contoh, jika ia keluar untuk mengunjungi, atau menjadi saksi dalam suatu perkara, atau menghadiri jenazah, atau mendatangi kawan, dan sebagainya. Diriwayatkan dalam sebuah Hadis sebagai berikut:
“Sunnat bagi orang yang sedang i’tikaf tidak boleh menengok yang sakit, jangan menyaksikan jenazah, tidak boleh menyentuh perempuan dan jangan bercumbu, dan jangan keluar (dari masjid) untuk satu keperluan kecuali dalam perkara yang syar’i, dan tidak ada i’tikaf melainkan di masjid kami” (HR Abu Dawud).
Kesinambungan i’tikaf terputus dengan melakukan senggama, sekalipun tidak sampai mengeluarkan mani (sperma) karena Allah SWT telah berfirman: Janganlah kamu mencampuri mereka (istri-istrimu) ketika kamu ber-i’tikaf di dalam masjid (QS-2-187).
Meskipun demikian, mu’takif (orang yang sedang ber i’tikaf) boleh dikunjungi oleh tamu atau istrinya (HR Bukhari), dibolehkan pula untuk memakai wangi-wangian, mengakadkan nikah (ijab kabul), makan, tidur, mencuci tangan, dan sebaginya. Semuanya itu adakalanya diperlukan, dan tidak memutuskan kesinambungan i’tikaf. Demikian juga tidak terputus apabila mu’takif mengeluarkan sebagian tubuhnya dari ruangan masjid. Diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa Rsulullah saw adakalanya memasukkan kepalanya ke dalam kamar beliau (yang bersebelahan dengan ruangan masjid) agar dapat disisiri oleh Aisyah r.a. yang berada di kamar itu. Aisyah berkata:
Pernah Rasulullah SAW mengulurkan kepalanya kepada saya sedangkan beliau berada di masjid, kemudian saya menyisir rambutnya. Dan beliau tidak masuk rumah apabila sedang ber-i’tikaf, kecuali bila ada keperluan (HR Bukhari dan Muslim).

3. Lailatul Qadar
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada saat Lailatul Qadar. Dan tahukah engkau apakah Lailatul Qadar itu? Lailatul Qadar itu lebih baik dari  seribu bulan. Pada malam itu, turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS-97-1:5).
Salah satu dari sepuluh hari terakhir bulan ramadhan, disebut Lailatul-Qadar. Kata lail atau lailah, artinya malam hari; dan kata qadar, makna aslinya, ukuran. Tetapi, kata lailatul qadar biasa diterjemahkan oleh para ulama dengan sebutan “malam yang agung” atau “malam yang mulia”. Dalam pandangan Islam, lailatul qadar merupakan satu malam kebahagiaan yang ditentukan Allah pada bulan Ramadhan untuk menunjukkan keagungan bulan yang mulia ini.
Sebenarnya Islam tidak membenarkan adanya sistem pertapa, namun dalam sepuluh hari terakhir itu, kaum Muslim diizinkan untuk hidup seperti pertapa, yaitu dengan jalan mengurung diri dalam masjid, dan menjauhi segala urusan duniawi (i’tikaf). Banyak sekali hadis yang menerangkan bahwa kaum muslim hendaklah mencari lailatul qadar di antara tanggal ganjil pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan (HR Bukhari) atau tujuh malam terakhir bulan itu (HR Bukhari). Menurut sebagian hadis, malam lailatul qadar ialah tanggal duapuluh lima, duapuluh tujuh atau duapuluh sembilan bulan Ramadhan.
Dari Ibnu Umar r.a.: bahwasanya beberapa ornag sahabat Nabi Saw melihat lailatul qadar dalam mimpi pada tujuh hari terakhir bulan Ramadhan. Kemudian Rasulullah SAW bersabda:”Diperlihatkan kepadaku kebenaran mimpi kalian, yaitu telah sesuai pada tujuh hari terakhir, Oleh karena itu, barangsiapa yang akan mencari malam tersebut, carilah pada tujuh hari malam terakhir.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dari Muawiyah bin Abu Sufyan r.a., dari Nabi SAW, beliau bersabda tentang malam lailatul qadar:” Lailatul Qadar itu ialah pada malam keduapuluh tujuh.” (HR Abu Dawud).
Para ulama memang berbeda pendapat mengenai jatuhnya lailatul qadar itu. Ada yang menyatakan pada malam ke-27 Ramadhan. Ada pula yang mengatakan pada malam-malam yang ganjil dari mulai tanggal 21 sampai tanggal 29. Dan ada pula yang mengatakan seluruh bulan Ramadhan adalah waktu untuk mendapatkan lailatul qadar itu, sebab kaum Muslim hendaknya beribadat setulusnya sepanjang masa bulan Ramadhan itu dengan tidak membedakan satu hari dan malam daripada hari dan malam yang lain. Dengan demikian, setiap hari pada bulan Ramadhan mempunyai arti yang tidak boleh diabaikan satu hari pun. Karena itu pula Allah hanya menyebutkan pada bulan Ramadhan Al-Quran itu diturunkan untuk tidak membedakan satu hari dari yang lainnya.
Tampaknya bagi kita tidak menjadi persoalan kapan lailatul qadar itu didatangkan, tetapi yang penting adalah menanti kedatangannya pada setiap waktu dan mempersiapkan diri untuk itu. Tetapi kalau kita mengetahui – dengan izin Allah – malam lailatul qadar, maka Rasulullah menganjurkan agar kita berdoa. Berdasarkan hadis berikut:
Dari Aisyah r.a., ia berkata; saya bertanya: “Ya Rasulullah bagaimana kalau saya tahu akan malam lailatul qadar itu? Apa yang harus saya ucapkan pada malam itu?” Beliau bersabda: Ucapkanlah: “Ya Allah, Engkau adalah pengampun, suka mengampuni, ampunilah hamba” (HR Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad. (mm)

Dikutip dari buku Puasa Bersama Rasulullah SAW karangan Ibnu Muhammad,
Penerbit Al Bayan, Kelompok penerbit Mizan.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Ramadhan Bersama Rasulullah SAW"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip