Ramadhan Bersama Rasulullah SAW
Para ulama berbeda pendapat mengenai firman Allah Ta’ala,”Puasa itu untuk-Ku, dan aku memberi balasan atasnya” – padahal semua amal adalah untuk-Nya juga dan Dialah yang membalasnya – dalam beberapa pendapat:
Para ulama berbeda pendapat mengenai firman Allah Ta’ala,”Puasa itu untuk-Ku, dan aku memberi balasan atasnya” – padahal semua amal adalah untuk-Nya juga dan Dialah yang membalasnya – dalam beberapa pendapat:
Pertama,
bahwa dalam berpuasa tidak terjadi riya’ atau pamer, seperti halnya
yang terjadi pada selain puasa. Karena pamer itu terjadi terhadap sesama
manusia, sedang puasa itu tak lain adalah sesuatu yang ada di dalam
hati. Yakni, bahwasanya semua perbuatan hanya bisa terjadi dengan
gerakan-gerakan, kecuali puasa. Adapun puasa cukup hanya dengan niat
yang tidak diketahui oleh orang lain.
Kedua, bahwa maksud firman-Nya” dan Aku memberi balasan atasnya” ialah, bahwa hanya Dia sendirilah
yang mengetahui ukuran pahala puasa dan penggandaan upahnya. Adapun
ibadat-ibadat lainnya dapat diketahui oleh sebagian orang.
Ketiga,
arti firman-Nya:”Puasa itu untuk-Ku, dan Aku memberi balasan atasnya”
ialah bahwa puasa itu ibadat yang paling disukai oleh-Nya.
Keempat,
penisbatan kepada diri-Nya adalah penisbatan yang berarti pemuliaan dan
penggandaan, seperti kata-kata Baitullah (Rumah allah).
Kelima,
bahwa sikap tidak memerlukan makanan dan syahwat-syahwat lainnya,
adalah termasuk sifat-sifat Tuhan. Dan oleh karena orang yang berpuasa
itu mendekatkan diri kepada Allah dengan suatu sikap yang sesuai dengan
sifat-sifat-Nya, maka puasa itu Dia nisbatkan kepada diri-Nya.
Keenam,
bahwa artinya memang seperti itu, tetapi dengan kaitannya dengan para
malaikat. Karena semua itu adalah sifat-sifat mereka.
Ketujuh, bahwa semua ibadat bisa digunakan untuk menebus penganiayaan terhadap sesama manusia , kecuali puasa.
Namun
demikian, para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan puasa pada
firman-Nya:”Puasa itu untuk-Ku, dan Aku memberi balasan atas-Nya”, ialah
puasa orang yang puasanya itu bersih dari kedurhakaan-kedurhakaan, baik
berupa perkataan maupun perbuatan (Miftahush-Shalat).
Diriwayatkan dari Nabi Saw. bahwa beliau bersabda: “Barang
siapa berpuasa Ramadhan dengan iman dan ikhlas, maka diampunilah
dosanya yang telah lalu”(Zahratur Riyadh). Selain itu Nabi Saw. pun
bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala menyuruh para Malaikat Pencatat
yang mulia pada bulan Ramadhan supaya mencatat kebaikan-kebaikan dari
umat Muhammad Saw., dan jangan mencatat kesalahan-kesalahan mereka serta
menghapuskan dosa-dosa mereka yang lalu”.
Puasa
yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah semata-mata akan bernilai
sepuluh kebajikan. Orang yang puasa di bulan Ramadhan dan diiringi
dengan puasa enam hari di bulan Syawwal dinilai sama dengan puasa
sepanjang tahun, yaitu tiga puluh hari kali sepuluh sama dengan tiga
ratus, ditambah dengan enam kali sepuluh, sama dengan enam puluh. Berarti jumlah semuanya adalah 360 hari menurut kalender syamsiah (matahari). Hal demikian disebutkan dalam hadis Nabi Saw.:
“Satu
kebajikan (dibalas) menjadi sepuluh kali lipat sedangkan kejahatan
dibalas seimbang dengan dosanya atau Kuampuni sama sekali meskipun dia menghadap
Aku dengan kesalahan-kesalahan hampir sebesar Bumi. Barangsiapa
merencanakan hendak melaksanakan suatu kebaikan, tetapi belum
dikerjakan, akan dicatat (oleh Malaikat) baginya suatu kebajikan. Dan
barangsiapa merencanakan hendak melakukan satu kejahatan tapi belum
dikerjakannya, tidaklah dicatatkan baginya sedikit. Dan barangsiapa
mendekatkan dirinya kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekat kepadanya
sehasta. Dan barangsiapa yang mendekatkan dirinya kepada-Ku sehasta,
akau akan mendekat kepadanya sedepa (HR Thabrani yang bersumber dari Abu
Dzar).
Diriwayatkan dari Nabi Saw. bahwa beliau bersabda: “Umatku dikarunia lima perkara yang tidak diberikan kepada seorang pun yang sebelum mereka. Pertama,
apabila malam pertama dari bulan Ramadhan tiba, maka Allah memandang
mereka dengan belas kasih, dan barangsiapa yang dipandang Allah dengan
belas kasih, maka Dia tidak akan mengazabnya sesudah itu buat
selama-lamanya. Kedua, Allah Ta’ala menyuruh para Malaikat memohonkan
ampun untuk mereka. Ketiga, bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di
sisi Allah daripada bau kesturi. Keempat, Allah Ta’ala berkata kepada
surga, ‘Berbahagialah hamba-hamba-Ku yang beriman, mereka adalah kekasih-kekasih-Ku. Dan kelima, Allah Ta’ala mengampuni mereka semua”.
b. Tingkatan Puasa
Sebagian
ulama berpendapat bahwa puasa itu pada dasarnya ada tiga tingkatan:
puasa orang biasa, puasa orang-orang istimewa, dan puasa orang-orang
teristimewa. Adapun puasa orang biasa ialah puasanya orang-orang yang mencegah perut dan farjinya dari memenuhi syahwat. Adapun
puasa orang-orang istimewa ialah puasanya orang-orang saleh, yaitu
mencegah panca indranya dari melakukan dosa-dosa, hal mana tidak akan
terlaksana kecuali dengan senantiasa melakukan lima perkara:
Pertama, menundukkan mata dari tiap-tiap yang pertama tercela menurut syara’.
Kedua,
memelihara lidah dari menggunjing, berdusta, mengadu domba, dan
bersumpah palsu. Karena, Anas telah meriwayatkan dari Nabi Saw. bahwa
beliau bersabda, ” Ada lima perkara yang menghancurkan puasa yakni
membatalkan pahalanya: berdusta, menggunjing, mengadu-domba, bersumpah
palsu, dan memandang (lain jenis) dengan syahwat”.
Ketiga, mencegah telingan dari mendengarkan apa saja yang makruh.
Keempat,
mencegah seluruh anggota tubuh dari hal-hal yang makruh, dan mencegah
perut dari makanan-makanan yang syubhat di waktu berbuka. Karena tidak
ada artinya kalau berpuasa dari makanan halal , lalu berbuka dengan
makanan haram. Perumpamaannya, seperti orang memabangun sebuah gedung
dengan menghancurkan sebuah kota. Nabi Saw. bersabda,”Berapa banyak
orang berpuasa, tidak memperoleh dari puasanya selain lapar dan haus”.
Kelima,
jangan memakan makanan halal terlalu banyak di waktu berbuka sampai
memenuhi perutnya. Oleh sebab itu, sabda Nabi Saw.,”Tidak ada sebuah
wadah yang lebih dibenci Allah daripada perut yang dipenuhi makanan
halal”.
Adapun
puasa orang-orang teristimewa adalah puasanya hati dari
keinginan-keinginan rendah dan pikiran-pikiran duniawi, dan mencegahnya
sama sekali dari selain Allah. Apabila orang yang berpuasa seperti ini
memikirkan sesuatu selain Allah, maka berarti dia berbuka dari puasanya.
Dan puasa seperti ini adalah tingkatan para Nabi dan Shiddiqin. Karena,
pelaksanaan dari tingkatan seperti ini adalah dengan menghadapkan diri
sama sekali kepada Allah Ta’ala dan berpaling dari selain-Nya.
c. Tata Cara Puasa Rasullullah
Dalam Al-Quran, Nabi Muhammad SAW disebutkan sebagai Nabi terakhir. Al-Quran berfirman sebagai berikut: “Muhammad
itu sekali-kali bukanlah ayah seorang laki-laki di antara kamu,
melainkan ia adalah utusan Allah dan penutup sekalian Nabi (khatamun
nabiyyin). Dan Allah senantiasa mengetahui segala sesuatu (QS 33:40).”
Sebagai
nabi terakhir, Rasullullah merupakan uswatun hasanah (contoh teladan
yang baik bagi umatnya) sebagaimana diterangkan dalam Al-Quran: “Sesungguhnya
telah ada pada (diri) rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari
kiamat, dan dia banyak menyebut Allah (QS 33:21).”
Agar
kita menjadi umat Islam yang baik, maka dalam menjalankan ibadah puasa
pun kita harus meneladani cara Rasulullah SAW berpuasa, yang pada garis
besarnya dapat kita bagi dalam pasal-pasal berikut.
Langkah-langkah yang dikerjakan Rasulullah dalam menyikapi ibadah puasa, antara lain:
1. Menetapkan Niat
Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa yang tidak menetapkan akan berpuasa sebelum fajar, maka tiada sah puasanya”.
Hadis
di atas diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah.
Daruqutni meriwayatkannya dengan redaksi yang berbeda: “Tidak sah
puasanya bagi orang yang tidak menetapkannya dari malam harinya”.
2. Melaksanakan Makan Sahur
Dari Anas bin Malik r.a. ia berkata: “Telah
bersabda Rasulullah SAW.,’Sahurlah kalian, maka sesungguhnya dalam
sahur itu ada berkahnya’”(HR Bukhari, Muslim dari Anas bin Malik r.a.).
Menurut
Ibnu Hajar Al-Asqalani, yang dimaksud dengan berkah (barakah) ialah
ganjaran dan pahala. Dikatakan sahur itu mengandung barakah, karena
sahur menguatkan dan menambah semangat dalam berpuasa serta dapat
membantu meringankan berat puasa.
Selanjutnya Ibnu Hajar menambahkan: “Yang
jelas sahur itu merupakan suatu perbuatan yang mengikuti sunnah,
berbeda dengan perbuatan Ahli Kitab, memelihara terhadap ibadah,
menambah semangat, menolak pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh rasa
lapar, atau merupakan kesempatan bersedekah kepada orang lain dengan
mengundangnya makan sahur bersama, dan juga dapat dilanjutkan dengan
merzikir atau berdoa, karena waktu sahur adalah waktu yang mustajab
untuk berdoa”.
Dan Allah telah menjelaskan dalam Al-Qur’an tentang sifat-sifat orang yang bertakwa, firman-Nya: (yaitu)
orang-orang yang berdoa :”Wahai Tuhan kami, sesungguhnya kami telah
beriman, maka ampunilah segala dosa kami, dan peliharalah kami dari
siksa neraka. (Yaitu) orang-orang sabar, yang benar, yang tunduk (taat),
dan yang membelanjakan hartanya (di jalan Allah), serta beristighfar di
waktu sahur” (QS 3:1-17).
3. Imsak Rasulullah
Telah bersabda Rasulullah SAW: “Apabila
salah seorang di antara kalian mendengar azan subuh padahal bejana
masih berada di tangannya, maka janganlah ia meletakkan (bejana itu)
sampai ia menyelesaikan kebutuhannya itu “(Hr Abu Dawud, Ibnu Jarir, Abu
Muhammad Al Jauhari, Al Hakim, Baihaqi dan Ahmad dari Abu Hurairah).
Hadis
di atas menegaskan bahwa bila seseorang yang sedang sahur mendengar
azan subuh, maka ia dibolehkan meneruskan sahurnya. Hal ini tentunya
ditujukan untuk orang yang tidak sengaja menunggu
atau mengetahui bahwa azan subuh segera akan tiba. Ini diperkuat oleh
hadis yang diriwayatkan oleh Husain bin waqid, dari Abu Ghalib, dan dari
Abu Umamah. Ia berkata: Telah
diqamati shalat, padahal bejana masih berada di tangan Umar, maka Umar
berkata:”Bolehkah aku minum wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab,
“Tentu”. Kemudian Umar pun meminumnya (HR Ibnu Jarir).
Dan juga telah diriwayatkan dari Ibnu Luhai’ah, dari Abu Zubair, ia berkata : “Aku
pernah bertanya kepada Jabir tentang seseorang yang bermaksud untuk
puasa, sementara bejana di tangannya siap untuk diminum, kemuadian ia
mendengar azan? Jabir menjawab:’Sesungguhnay kami akan menceritakan
bahwasanya Nabi SAW telah bersabda:”Hendaklah ia minum darinya”(HR
Ahmad).
Ishaq juga telah meriwayatkan dari Abdillah bin Ma’qil, dari Bilal, ia berkata: “Aku datang menemui Nabi SAW, untuk memberitahukan
shalat fajar kepada beliau, dan beliau bermaksud untuk berpuasa, maka
beliau meminjam bejana, lalu beliau minum, kemudian beliau memberikannya
padaku maka aku pun minum pula. Lalu kami keluar bersama-sama untuk
shalat (HR Ibn Jarir)”
Dan
dalam hadis yang lain, yang diriwayatkan oleh Qais bin Rabi’, dari
Zuhair bin Abi Tsabit Al-A’ma, dari Tamim bin ‘Iyadh, dari Ibnu’ Umar,
ia berkata: “Adalah
Alqamah bin Alatsah berada di samping Rasulullah SAW. Kemudian
datanglah Bilal untuk memberitahu waktu shalat kepada Nabi, maka
Rasulullah SAW pun bersabda:’Perlahan-lahan hai Bilal! Aqamah sedang
sahur, dan ia sahur dengan kepala!”(HR Tabhrani)
4. Mempercepat Berbuka Apabila Telah Tiba Waktunya
Sahl bin Sa’ad berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda,”Manusia tidak henti-hentinya mendapat kebaikan selama mereka memeprcepat berbuka puasa” (HR Bukhari dan Muslim)
Abu Hurairah r.a. berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW: Telah berfirman Allah Yang Maha Mulia
dan Maha Agung:”Hamba-hamba Ku yang lebih aku cintai ialah mereka yang
paling segera berbukanya”(HR Tirmidzi dari Abu Hurairah).
Dalam
hadis lain, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya kami-golongan para
Nabi – diperintahkan untuk menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur,
dan supaya kami meletakkan tangan kanan kami di atas tangan kiri kami di
dalam shalat” (HR Ibnu Hibban dan Dhiya’).
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dilukiskan sebab dan rahasia menyegerakan puasa: “Agama
akan senantiasa tampak syi’arnya dengan nyata selama orang Islam
berbuka puasa dengan segera (tepat pada waktunya), sebab orang-orang
Yahudi dan Nasrani melambatkannya ” (HR Abu Daud yang bersumber dari Abu
Hurairah).
Pada waktu berbuka puasa dianjurkan untuk membaca doa sebagai berikut: “Telah
hilang dahaga, dan telah basah (segar) urat, dan telah tetap ganjaran.
Insya Allah” ( HR Abu Daud, nasa’i, dan Hakim dari Ibnu Umar r.a.).
Dalam hadis lain disebutkan bahwa apabila Rasulullah berbuka, beliau berdoa: “Ya
Allah, bagi-Mulah puasa kami, dan atas rezeki-Mu lah kami berbuka, maka
terimalah dari kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui” (Hr Ibnu Sunni dan Thabrani).
Berbuka
yang lebih baik ialah berbuka dengan buah-buahan manis seperti kurma,
pisang, mangga, rambutan, dan sebagainya. Dalam sebuah hadis disebutkan. Dari
Sulaiman bin Amir Ad-Dhabbi r.a. dari Nabi SAW, beliau bersabda
,”Apabila seseorang di antara kamu berbuka puasa, berbukalah dengan
kurma. Apabila tidak ada, berbukalah dengan air, karena air itu suci”
(HR Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad).
5. Memperbanyak Membaca Al Qur’an
Rasulullah SAW bersabda : “Orang-orang
yang berkumpul di masjid dan membaca Al Qur’an, maka kepada mereka
Allah akan menurunkan ketenangan batin dan limpahan rahmat’ (HR Muslim).
Sebagian
orang mengartikan tadarus dengan membaca Al Qur’an secara patungan
(secara bergiliran). Kendatipun ada manfaatnya seperti yang disebutkan
dalam Hadis:”Barangsiapa membaca satu huruf Al Qur’an, maka pahala untuknya sepuluh kali lipat kebaikan “(HR Tirmidzi).
Namun,
membaca dalam konteks hadis di atas, tidak perlu diartikan secara
harfiah. Ketenangan batin dan limpahan rahmat akan mungkin lebih bisa
dicapai bila tadarusan diartikan dengan mempelajari, menelaah, dan
menikmati Al Qur’an. Sudah saatnya kita tidak lagi mengandalkan
“pengaruh psikologi magnetis” dalam membaca Al Qur’an (tanpa mengetahui
maknanya). Karena bagi kita sudah saatnya untuk mendapatkan arti
limpahan rahmat tersebut dari telaah kandungan isi Al Qur’an.
Sekalipun
demikian, memang benar untuk lapisan masyarakat tertentu, suasana yang
dipantulkan oleh malam Ramadhan dengan tarawih dan tadarusannya amat
dirasakan sekali manfaatnya dalam menciptakan ketenangan batin.
6. Memperbanyak Sedekah
Sedekah yang paling utama adalah sedekah pada bulan Ramadhan (Hr Tirmidzi)
Bersedekah
bukan hanya memberi uang , tetapi termasuk di dalamnya memberi
pertolongan , mengajak berbuka puasa kepad fakir miskin, memberi
perhatian, bahkan memberi sesimpul senyum pun sudah termasuk suatu sedekah.
Dapat
dibayangkan jika konsep “memberi” (secara luas) ini diterapkan secara
maksimal, selama Ramadhan, akan luar biasa pengaruhnya pada pribadi
kita. Sikap kikir menyingkir, sikap ketergantungan menghilang. Dengan
memberi sedekah setahap demi setahap harga diri akan meningkat. Karena,
sesungguhnya ketika kita memberi, seseorang akan memperoleh. Dengan
demikian, dalam konsep memberi terkandung esensi cinta-kasih.
7. Membayar Zakat Fitrah
Zakat
fitrah (zakatul fitri) disebut juga Shadaqarul Fitri, yaitu zakat atau
sedekah yang dihubungkan dengan Idul Fitri. Pada saat itu, tiap-tiap
orang Islam harus membayar zakat berupa bahan makanan yang jumlahnya
telah ditentukan (2,5 kg), baik berupa gandum, juwawut, beras, atau apa
saja yang menjadi bahan makanan pokok daerah setempat, dan dihitung
menurut jumlah keluarga, termasuk orang tua, anak-anak, lelaki dan
perempuan (HR Bukhari). Jumlah ini harus dikumpulkan oleh masyarakat
Islam, lalu dibagikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya.
Aturan
pembagian zakat fitrah itu sebagai berikut. Zakat itu harus diberikan
kepada yang berhak sebelum shalat Ied, dan ini merupakan kewajiban bagi
orang yang mampu. Sebagaimana diuraikan dalam hadis, zakat fitrah harus
diorganisasikan seperti zakat mal, sebagai berikut: “Mereka memberikan
sedekah (fitrah) untuk dikumpulkan, dan tidak untuk dibagi-bagikan
kepada para pengemis” (HR Bukhari).
Menurut
hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW
memberi tugas kepadanya untuk mengumpulkan zakat bulan Ramadhan (HR Bukhari).
d. Adab Puasa
Orang
yang puasa wajib meninggalkan akhlak yang buruk. Segala tingkah lakunya
haruslah merupakan cerminan dari budi yang luhur. Ia wajib menjaga
diri, jangan sampai melakukan ghibah (menggunjing orang lain, gosip), atau melakukan hal-hal yang tiada berguna, sehingga Allah tidak berkenan menerima puasanya.
Rasulullah SAW bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a.: Apabila
seorang dari kamu sekalian berpuasa, maka janganlah ia berkata kotor
dan berteriak. Bila dicela orang lain atau dimusuhi, maka katakanlah:”
Aku ini sungguh sedang puasa “. Demi Allah yang menggenggam jiwa
Muhammad, sesungguhnya bau mulut orang yang sedang berpuasa itu lebih
harum di sisi Allah daripada bau minyak kesturi. Dan bagi orang yang
berpuasa itu ada dua kegembiraan; Ketika berbuka, ia bersuka cita dengan
datangnya saat berbuka, dan ketika bertemu dengan Tuhannya ia bersuka cita dengan pahala puasanya.
Dalam hadis lain disebutkan: Rasulullah
SAW bersabda:” Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, dan
perbuatan dusta dan bodoh, maka Allah tidak membutuhkan lapar dan
dahaga mereka” (HR Bukhari dan Abu Dawud).
Mengenai hadis yang terakhir, Al’Allamah Asy-Syaukani berkata:”Menurut Ibnu Bathal, maksud Hadis
di atas bukan berarti orang itu disuruh meninggalkan puasa, tetapi
merupakan peringatan agar jangan berkata bohong atau melakukan perbuatan
yang memuat dusta. Sedangkan menurut Ibnu Arabi, maksud hadis ini ialah
bahwa puasa seperti itu tidak berpahala. Dan berdasarkan hadis ini,
Ibnu ‘arabi mengatakan pula bahwa perbuatan-perbuatan buruk tersebut di
atas dapat mengurangi pahala puasa.
e. Hal-Hal Diperbolehkan bagi Orang yang Berpuasa
1. Junub di Waktu Pagi
Dari
Aisyah dan Ummu Salamah:”Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah menjumpai
waktu fajar dalam keadaan junub – setelah bersebadan dengan istrinya dan
belum mandi wajib – kemudian beliau mandi dan berpuasa” (HR Bukhari dan Muslim)
Dari
Aisyah r.a. adalah Nabi SAW menjumpai waktu fajar dalam bulan Ramadhan
dalam keadaan junub, bukan karena mimpi, lalu beliau mandi dan berpuasa
(HR Bukhari)
Dari
Aisyah r.a. ia berkata:”Aku menyaksikan Rasulullah SAW, bahwasanya
beliau pagi-pagi mandi berada dalam keadaan junub karena berjima’, bukan
karena mimpi, kemudian beliau berpuasa pada hari itu”(HR Bukhari)
Dari
hadis-hadis di atas dapat disimpulkan, bahwa orang yang berada dalam
kedaan junub, kemudian makan sahur untuk puasa, maka orang yang junub
itu sah puasanya. Meskipun ia harus tetap mandi wajib untuk melaksanakan
shalat subuh.
2. Mencium Istri
Orang yang berpuasa boleh mencium istrinya. Dari
Aisyah r.a. ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah mencium
sebagian istri-istrinya, padahal beliau sedang berpuasa”. Lalu Aisyah tertawa setelah menceritakan hadis ini (HR Bukhari).
Dari Ummu Salamah r.a. bahwa Nabi SAW pernah mencium(nya) dalam kedaan berpuasa (HR Bukhari dan Muslim).
Dan
dari Aisyah r.a. ia berkata : Rasulullah SAW pernah mencium (aku) dan
mencumbu (mubasyarah) dalam keadaan berpuasa. Hanya beliau adalah orang
yang paling mampu mengendalikan hajatnya (HR Jamaah selain An-Nasa’i).
Dari
hadis di atas, kita mengetahui bahwa orang yang berpuasa boleh saja
menyentuh dan mencium istrinya, apabila ia dapat menahan syahwatnya.
Tetapi kalau dia khawatir dirinya kemudian melakukan persetubuhan atau
mengeluarkan mani dengan hanya menyentuh, maka hal itu tidak boleh
dilakuan.
Menurut
Sa’id bin Al-Musayib, orang yang berpuasa tidak boleh mencium dan
menyentuh , baik ia merasa khawatir maupun tidak. Karena, menurut
riwayat dari Ibnu Abbas, bahwasanya ada seorang pemuda menemui Ibnu
Abbas, lalu bertanya kepadanya, “Bolehkah saya mencium selagi berpuasa?”
Jawab Ibnu Abbas, “Tidak”.
Kemudian,
datang pula kepada Ibnu Abbas seorang tua lalu berkata:”Bolehkan saya
mencium selagi berpuasa?” Jawab Ibnu Abbas:”Ya”. Maka pemuda tadi
kembali lagi kepada Ibnu Abbas, lalu berkata kepadanya:”Kenapa tuan
halalkan untuknya apa yang tuan haramkan atas diriku, padahal kita satu
agama?” Jawab Ibnu Abbas:”Karena dia sudah tua, dan bisa menguasai
hajatnya, sedang kamu masih muda, kamu tak mampu menguasai hajatmu”,
yakni anggotamu dan auratmu (Raudhatul Ulama’).
3. Makan dan Minum karena Lupa
Dari
Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW beliau bersabda:”Apabila ia (orang yang
berpuasa) lupa, kemudian ia makan dan minum, maka hendaklah ia
menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah-lah yang telah
memberi makan dan minum kepadanya” (HR Bukhari dan Muslim).
Dan
dalam riwayat Hakim disebutkan, “Barangsiapa yang berbuka puasa pada
bulan Ramadhan lantaran lupa, maka tidak wajib qadha dan tidak wajib
kifarat”. Hasan dan Mujahid berkata: Jika ia berjima’ karena lupa, maka tidak ada sesuatu (sanksi) atasnya.
5. Mengganti Hutang Puasa Orang yang Meninggal
Dari
Aisyah r.a. bahwasanya Nabi SAW bersabda : “Barangsiapa yang meninggal
dan punya hutang puasa, hendaklah walinya berpuasa untuknya” (HR Bukhari
dan Muslim).
6. Musafir (Orang yang Bepergian)
Orang
yang bepergian atau sedang dalam perjalanan (safar) dibolehkan untuk
berbuka atau meneruskan puasanya, dan tidak boleh memaksakan diri untuk
berpuasa jika tidak mampu, berdasarkan hadis berikut ini:
Dari
aisyah r.a. : Sesungguhnya Abu Hamzah bin Amr Al-Aslami berkata kepada
Nabi SAW: Apakah aku boleh berpuasa di dalam safar? – dan ia seorang
yang banyak melakukan puasa. Maka beliau bersabda:”Jika engkau ingin
berpuasa, maka berpuasalah, dan jika engkau ingin berbuka, maka
berbukalah” (HR Bukhari).
Dari
Ibnu Abbas r.a. : Sesungguhnya Rasulullah SAW keluar menuju ke Makkah
di dalam bulan Ramadhan dan beliau berpuasa, sehingga – ketika – beliau
sampai di Kadid, beliau berbuka, maka para manusia (sahabat) pun – ikut – berbuka”(HR Bukhari).
Dari
Jabir bib Abdullah, ia berkata:Pernah Rasulullah SAW bersafar, maka
beliau melihat kerumunan dan seorang laki-laki sungguh-sungguh dinaungi
atasnya, maka beliau bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Orang yang
puasa”. Maka beliau bersabda, “Bukanlah suatu kebaikan berpuasa dalam
safar” (HR Bukhari).
Rasulullah SAW memperingatkan
bagi orang-orang yang berpuasa dalam perjalanan, bahwa mereka tidak
boleh saling mencela dengan orang yang berbuka puasa. Dari Anas bin Malik,
ia berkata: “Kami pernah bersafar bersama Nabi SAW maka orang yang
berpuasa tidak mencela orang yang berbuka, dan sebaliknya orang yang
berbuka tidak mencela orang yang berpuasa” (HR Bukhari).
f. Hal-hal Yang Membatalkan Puasa
Berdasarkan sunnah Rasululah SAW, hal-hal yang membatalkan puasa pada dasarnya dibagi dalam dua kategori, yaitu: yang menyebabkan wajib qadha, dan yang mewajibkan qadha dan kafarat.
- Yang Hanya Menyebabkan Wajib Qadha
1. Makan dan Minum dengan Sengaja
Dari
Abu Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa
lupa ketika berpuasa, lalu makan atau minum, maka hendaknya puasanya itu
dia teruskan sampai selesai. Karena Allah sesungguhnya telah memberinya
makan dan minum”. Dan menurut lafadz lain:”Hal itu tak lain adalah
rezeki yang Allah anugerahkan kepadanya, tanpa berkewajiban meng-qadha
puasanya”. Dan ada pula lafaz lain:” Barangsiapa berbuka puasa karena
lupa, maka dia tidak wajib qadha, maupun kifarat” (HR Jama’ah kecuali
An-Nasa’i).
At-Tirmidzi
berkata, “Menurut kebanyakan para ulama, hadis ini patut diamalkan”.
Dan Demikian pula kata Asy-Syafi’i, Sufyan Ats-tsauri, Ahmad dan Ishaq.
Dalam hadis lain, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah memaafkan dari umatku kekeliruan, lupa dan hal-hal yang mereka terpaksa melakukannya”.
Jadi,
orang yang memakan makanan karena lupa atau tidak sengaja, maka ia
tidak wajib meng-qadha puasanya dan juga tidak wajib membayar kifarat.
Tetapi kalau dia sengaja makan atau minum, maka dia wajib meng-qadha
puasanya [kalau tanpa alasan syar’i jatuhnya pada dosa].
2. Haid dan Nifas
Haid
dan Nifas tetap membatalkan puasa dan mewajibkan qadha, sekalipun
terjadi beberapa saat saja menjelang terbenamnya matahari.Dari Abu Sa’id
r.a. ia berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW: “Bukankah apabila ia
(perempuan) sedang haid maka ia tidak shalat dan tidak berpuasa? Maka
demikian itu kurangnya din (agama) mereka” (Hr Bukhari).
Dari
mu’adzah, ia berkata: Aku pernah bertanya kepada Aisyah: “Mengapa
perempuan haid mengqadha puasanya, tetapi tidak mengqadha shalat?” Ia
menjawab: “Kami mengalami hal yang demikian bersama Rasulullah. Lalu
kami diperintahkan mengqadha puasa, tetapi kami tidak diperintahkan
mengqadha shalat” (HR Bukhari).
3. Memakan Selain Makanan Biasa
Kalau
kita dengan sengaja menelan batu kecil, potongan kulit, adonan terigu,
atau garam cukup banyak, maka perbuatan tersebut membatalkan puasa dan
mewajibkan qadha puasanya.
4. Muntah dengan Sengaja
Muntah
dengan sengaja membatalkan puasa. Tetapi kalau tidak sengaja muntah,
maka tidak membatalkan puasa, sehingga tidak berkewajiban qadha maupun
kifarat. Menurut sebuah hadis: Barangsiapa terpaksa muntah, maka tidak wajib meng-qadha (puasanya), dan barangsiapa muntah dengan sengaja, maka ber-qadha-lah.
Dari
Abu Hurairah r.a. ia berkata; Rasulullah SAW bersabda:”Barangsiapa yang
terpaksa muntah maka tidak wajib qadha baginya, tetapi barangsiapa yang
sengaja muntah, maka ia wajib qadha” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Syaikh Sayyid Sabiq menukil kata-kata al-Khithabi, katanya:”Saya tidak melihat adanya perbedaan pendapat diantara
para ulama, bahwa orang yang terpaksa muntah itu tidak wajib meng-qadha
puasanya, dan bahwa orang yang sengaja muntah itu wajib mengqadha
puasanya.”
5. Sengaja Mengeluarkan Mani
Baik
dikarenakan mencium atau berpelukan atau lainnya. Semua itu membatalkan
puasa, apabila sampai mengeluarka mani. Adapun kalau keluarnya mani itu
hanya dikarenakan membayangkan atau memandang wajah seseorang, maka
tidak membatalkan puasa dan tidak berkewajiban apa-apa. Dan demikian
pula hanya bila yang keluar itu madzi, bukan mani.
- Yang Mewajibkan Qadha dan Kafarat
Dari
Abu Hurairah r.a. berkata: Seorang lelaki datang kepada Nabi SAW lalu
berkata:”Celaka saya ya Rasul Allah”, “Kenapa kamu celaka?” tanya Rasul.
Laki-laki itu menjawab:”Saya telah bersetubuh dengan istriku pada siang
hari Ramadhan”. Rasul bertanya :”Sanggupkan kamu memerdekakan seorang
budak?” “Tidak”, jawab laki-laki itu. “Kuatkah kamu berpuasa dua bulan
berturut-turut?” tanya Rasul pula. “Tidak”, jawabnya. “Sanggupkah kamu
memberi makan kepada enampuluh orang miskin?” tanya Rasul. Dan laki-laki
itupun tetap menjawab,”tidak”. Kemudian iapun duduk, dab Rasulullah
memberinya sekeranjang kurma serta bersabda:”Bersedakahlah dengan ini”,
ia berkata:”Apakah saya harus menyedekahkan kepada orang yang paling
fakir diantara kami? Karena tidak ada keluarga di antara dua batu hitam
di Madinah yang paling membutuhkannya selain keluarga kami”. Maka Nabi
SAW tertawa, sehingga kelihatan gigi gerahamnya, kemudian beliau
bersabda: “Pergilah dan berilah makan keluargamu dengannya.” (Dikeluarkan oleh Imam yang Tujuh, dan lafaz ini ada di dalam riwayat Muslim).
Dalam hadis di atas diuraikan, bahwa orang yang sengaja membatalkan puasa Ramadhan dengan berhubungan suami isteri, maka orang itu harus menjalankan puasa kafarat dua bulan terus-menerus. Ini berkenaan dengan orang yang mengadakan hubungan badan
dengan istrinya selagi mereka menjalankan puasa, dan Rasulullah
memerintahkan agar orang itu memerdekakan budak belian sebagai kafaratnya.
Orang itu kemudian menerangkan, bahwa ia terlalu miskin untuk
melaksanakan perintah itu, lalu ia disuruh supaya menjalankan puasa
kifarat dua bulan terus-menerus, namun ia menjawab tidak dapat. Lalu
orang itu disuruh agar memberi makan kepada enam puluh orang miskin,
namun ia menjawab lagi, tidak dapat. Akhirnya Rasulullah menunggu,
sampai tiba-tiba datang orang yang membawa sedekah sekarung kurma, lalu
Rasul memberikannya kepada orang yang membatalkan puasanya itu sambil
bersabda agar kurma itu disedekahkan kepada orang miskin. Orang itu
menerangkan bahwa di Madinah tidak ada yang lebih miskin selain dia.
Atas jawaban itu Rasulullah SAW tertawa, dan memperkenankan kepadanya agar membawa pulang sekarung kurma itu untuk dimakan oleh keluarganya.
g. Mengganti Puasa dengan Fidyah
Fidyah
artinya penebus (kesalahan). Yang dimaksud ialah suatu kewajiban
memberi makan seorang miskin untuk orang-orang yang tidak dapat
menjalankan ibadah puasa pada bulan Ramadhan. Firman Allah: “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (puasa) membayar fidyah (yaitu) memberi makan seorang miskin ” (QS-2-184).
Ibnu
Abbas berkata, bahwa hukum fidyah tersebut berlaku bagi laki-laki dan
perempuan yang sudah sangat tua, yang keduanya tidak kuat untuk puasa,
sehingga sebagai gantinya keduanya wajib memberi makan setiap hari satu orang miskin (Tafsir Ibnu Katsir).
Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas berkata: “Telah diberi kelonggaran (rukhshah)
bagi orang yang sangat tua apabila ia berbuka, memberi makan (fidyah),
dan tidak ada kewajiban meng-qadha atasnya” (HR Daruquthni dan
Al-Hakim).
Berdasarkan beberapa Hadis, kelompok orang-orang yang tidak wajib puasa itu adalah orang tua yang tidak kuat puasa, wanita ya ng
sedang mengandung, dan wanita yang sedang menyusui anaknya.Sesungguhnya
Rasulullah SAW bersabda:”Sesungguhnya Allah Yang Mahakuasa dan
Mahamulia telah menggugurkan kewajiban puasa dari musafir, dan juga
menggugurkan separuh dari shalatnya. (Allah menggugurkan juga kewajiban)
puasa dari perempuan yang hamil dan perempuan yang menyusui” (HR
Tirmidzi).
Sesunguhnya
Ibnu Abbas berkata:”…dan perempuan yang hamil dan menyusui, apabila
takut (kebinasaan) boleh keduanya berbuka dan memberi makan (fidyah)”
(HR Abu Dawud). Juga
termasuk kepada orang-orang yang harus membayar fidyah bagi yang tidak
sanggup menjalankan ibadah puasanya itu adalah orang-orang yang bekerja
keras untuk penghidupannya (misalnya menarik becak, kuli angkut
pelabuhan dan pekerjaan-pekerjaan berat yang menuntut kekuatan fisik
lainnya), orang yang jika berpuasa akan sakit, dan orang sakit yang
tidak ada harapan untuk sembuh. Orang yang membayar fidyah ini tentu
saja tidak wajib lagi melakukan qadha puasa.
2. I’tikaf Rasulullah
Dalil disyariatkannya i’tikaf ialah firman Allah Ta’ala: “Dan
telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail:”Bersihkanlah rumah-Ku
untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku, dan yang sujud”
(QS-2-125).
Adapun dari As-Sunnah antara lain adalah: Dari
Aisyah r.a. ia berkata: rasulullah SAW melakukan i’tikaf pada sepuluh
malam terakhir di bulan Ramadhan, sampai saat ia dipanggil Allah Azza wa
Jalla (Hr Bukhari dan Muslim). Dan
dari Ibnu Umar r.a. ia berkata: Rasulullah SAW melakukan i’tikaf pada
sepuluh malam terakhit bulan Ramadhan (HR Bukhari dan Muslim).
Sebuah Hadis yang berasal dari Aisyah r.a. diriwayatkan bahwa: Rasulullah SAW,
apabila masuk sepuluh hari yang terakhir dalam bulan Ramadhan, beliau
menjauhi istrinya, dan menghidupkan malamnya, dan membangunkan ahli
rumahnya (HR Bukhari dan Muslim).
Dan
dari Aisyah pula, ia berkata; “Nabi SAW apabila beliau hendak
ber-i’tikaf, beliau shalat subuh lalu masuk ke tempat i’tikafnya (HR Bukhari dan Muslim). Dalam hadis lain, yang juga diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim disebutkan: Dan
dari Aisyah r.a., dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa
ber-i’tikaf karena iman dan ikhlas, maka diampunilah dosanya yang telah
lewat.”
Kata
i’tikaf berasal dari kata ‘akafa alaihi, artinya, ia senantiasa atau
berkemauan kuat untuk menetapi itu atau setia kepada itu. Secara harfiah
kata i’tikaf berarti tinggal di suatu tempat, sedangkan syar’iyah kata
i’tikaf berarti tinggal di masjid untuk beberapa hari, teristimewa
sepuluh hari terakhir bulan ramadhan.
Selama hari-hari itu, orang yang menjalani i’tikaf (mu’takif), mengasingkan diri dari segala urusan duniawi, dan menggantinya
dengan kesibukan ibadat dan zikir kepada Allah dengan sepenuh hati.
Dengan i’tikaf seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, kita
berserah diri kepada Allah dengan menyerahkan segala urusannya
kepada-Nya, dan bersimpuh di hadapan pintu anugerah dan rahmat-Nya.
Rukun I’tikaf
Rukun
artinya dasar-dasar utama atau bagian-bagian pokok yang mutlak harus
diyakini dan dikerjakan, seperti rukun iman, rukun islam, rukun shalat,
dan sebagainya. Adapun yang termasuk rukun i’tikaf itu ada tiga:
- Mu’takif atau orang yang akan beri’tikaf; karena i’tikaf itu pekerjaan, mau tidak mau harus ada pelakunya.
- Tinggal di masjid, oleh karena itu tidak sah kalau di rumah.
Sayyidina
Ali r.a. pernah mengatakan : “Tidak sah i’tikaf selain dalam masjid
yang digunakan untuk berjamaah”. Karena dalam masjid yang biasa
digunakan untuk berjamaah itulah biasanya kita senantiasa siap
sepenuhnya untuk melakukan shalat apa saja sebaik-baiknya, termasuk
apabila sewaktu-waktu shalat berjamaah dilaksanakan.
- Tempat beri’tikaf, yaitu tempat yang diambil mu’takif untuk tinggal selama dalam i’tikafnya.
Hal-hal yang Membatalkan I’tikaf
I’tikaf
merupakan khalwat Rabbani dan latihan ruhani, dimana sesorang
menyendiri di masjid, jauh dari pergaulan sesama makhluk demi cintanya
kepada Allah SWT. Disana ia mengingat Allah dan mengagumi ciptaan-Nya,
kekuasaan-Nya, dan keagungan-Nya. Kepada-Nya ia berdoa dan bermunajat
serta mengaharap pahala dan memohon agar dirinya dan keluarganya
dijauhkan dari siksa-Nya. Dengan segala kerendahan hati, ia memohon
diselamatkan dari kobaran api jahanam yang panasnya tiada terkira.
Ber
i’tikaf pada sepuluh malam terakhir secara berturut-turut sangat
terpuji. Oleh karena itu, seseorang yang beri’tikaf tidak boleh
meninggalkan masjid, kecuali untuk memenuhi keperluan (hajat), seperti
misalnya buang air kecil atau besar, atau mandi, dan sebagainya (HR
Bukhari). Dan sekiranya ia bernazar ber i’tikaf secara berturut-turut
(atau meniatkannya) lalu ia keluar dari tempat i’tikaf-nya itu untuk
hal-hal yang tidak termasuk darurat, maka terputuslah i’tikafnya itu
karena tidak memenuhi persyaratan “berturut-turut”. Yaitu, sebagai
contoh, jika ia keluar untuk mengunjungi, atau menjadi saksi dalam suatu
perkara, atau menghadiri jenazah, atau mendatangi kawan, dan
sebagainya. Diriwayatkan dalam sebuah Hadis sebagai berikut:
“Sunnat
bagi orang yang sedang i’tikaf tidak boleh menengok yang sakit, jangan
menyaksikan jenazah, tidak boleh menyentuh perempuan dan jangan
bercumbu, dan jangan keluar (dari masjid) untuk satu keperluan kecuali
dalam perkara yang syar’i, dan tidak ada i’tikaf melainkan di masjid kami” (HR Abu Dawud).
Kesinambungan i’tikaf terputus dengan melakukan senggama, sekalipun tidak sampai mengeluarkan mani (sperma) karena Allah SWT telah berfirman: Janganlah kamu mencampuri mereka (istri-istrimu) ketika kamu ber-i’tikaf di dalam masjid (QS-2-187).
Meskipun
demikian, mu’takif (orang yang sedang ber i’tikaf) boleh dikunjungi
oleh tamu atau istrinya (HR Bukhari), dibolehkan pula untuk memakai
wangi-wangian, mengakadkan nikah (ijab kabul), makan, tidur, mencuci
tangan, dan sebaginya. Semuanya itu adakalanya diperlukan, dan tidak
memutuskan kesinambungan i’tikaf. Demikian juga tidak terputus apabila
mu’takif mengeluarkan sebagian tubuhnya dari ruangan masjid.
Diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa Rsulullah saw adakalanya memasukkan
kepalanya ke dalam kamar beliau (yang bersebelahan dengan ruangan
masjid) agar dapat disisiri oleh Aisyah r.a. yang berada di kamar itu.
Aisyah berkata:
Pernah
Rasulullah SAW mengulurkan kepalanya kepada saya sedangkan beliau
berada di masjid, kemudian saya menyisir rambutnya. Dan beliau tidak
masuk rumah apabila sedang ber-i’tikaf, kecuali bila ada keperluan (HR
Bukhari dan Muslim).
3. Lailatul Qadar
“Sesungguhnya
Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada saat Lailatul Qadar. Dan
tahukah engkau apakah Lailatul Qadar itu? Lailatul Qadar itu lebih baik
dari seribu bulan. Pada malam itu, turun malaikat-malaikat
dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS-97-1:5).
Salah
satu dari sepuluh hari terakhir bulan ramadhan, disebut Lailatul-Qadar.
Kata lail atau lailah, artinya malam hari; dan kata qadar, makna
aslinya, ukuran. Tetapi, kata lailatul qadar biasa diterjemahkan oleh
para ulama dengan sebutan “malam yang agung” atau “malam yang mulia”. Dalam
pandangan Islam, lailatul qadar merupakan satu malam kebahagiaan yang
ditentukan Allah pada bulan Ramadhan untuk menunjukkan keagungan bulan
yang mulia ini.
Sebenarnya
Islam tidak membenarkan adanya sistem pertapa, namun dalam sepuluh hari
terakhir itu, kaum Muslim diizinkan untuk hidup seperti pertapa, yaitu
dengan jalan mengurung diri dalam masjid, dan menjauhi segala urusan
duniawi (i’tikaf). Banyak sekali hadis yang menerangkan bahwa kaum
muslim hendaklah mencari lailatul qadar di antara tanggal ganjil pada
sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan (HR Bukhari) atau tujuh malam
terakhir bulan itu (HR Bukhari). Menurut sebagian hadis, malam lailatul
qadar ialah tanggal duapuluh lima, duapuluh tujuh atau duapuluh sembilan
bulan Ramadhan.
Dari
Ibnu Umar r.a.: bahwasanya beberapa ornag sahabat Nabi Saw melihat
lailatul qadar dalam mimpi pada tujuh hari terakhir bulan Ramadhan.
Kemudian Rasulullah SAW bersabda:”Diperlihatkan kepadaku kebenaran mimpi
kalian, yaitu telah sesuai pada tujuh hari terakhir, Oleh karena itu,
barangsiapa yang akan mencari malam tersebut, carilah pada tujuh hari
malam terakhir.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dari
Muawiyah bin Abu Sufyan r.a., dari Nabi SAW, beliau bersabda tentang
malam lailatul qadar:” Lailatul Qadar itu ialah pada malam keduapuluh
tujuh.” (HR Abu Dawud).
Para
ulama memang berbeda pendapat mengenai jatuhnya lailatul qadar itu. Ada
yang menyatakan pada malam ke-27 Ramadhan. Ada pula yang mengatakan
pada malam-malam yang ganjil dari mulai tanggal 21 sampai tanggal 29.
Dan ada pula yang mengatakan seluruh bulan Ramadhan adalah waktu untuk
mendapatkan lailatul qadar itu, sebab kaum Muslim hendaknya beribadat
setulusnya sepanjang masa bulan Ramadhan itu dengan tidak membedakan
satu hari dan malam daripada hari dan malam yang lain. Dengan demikian,
setiap hari pada bulan Ramadhan mempunyai arti yang tidak boleh
diabaikan satu hari pun. Karena itu pula Allah hanya menyebutkan pada
bulan Ramadhan Al-Quran itu diturunkan untuk tidak membedakan satu hari
dari yang lainnya.
Tampaknya
bagi kita tidak menjadi persoalan kapan lailatul qadar itu didatangkan,
tetapi yang penting adalah menanti kedatangannya pada setiap waktu dan
mempersiapkan diri untuk itu. Tetapi kalau kita mengetahui – dengan izin
Allah – malam lailatul qadar, maka Rasulullah menganjurkan agar kita
berdoa. Berdasarkan hadis berikut:
Dari
Aisyah r.a., ia berkata; saya bertanya: “Ya Rasulullah bagaimana kalau
saya tahu akan malam lailatul qadar itu? Apa yang harus saya ucapkan
pada malam itu?” Beliau bersabda: Ucapkanlah: “Ya Allah, Engkau adalah
pengampun, suka mengampuni, ampunilah hamba” (HR Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu
Majah dan Ahmad. (mm)
Dikutip dari buku Puasa Bersama Rasulullah SAW karangan Ibnu Muhammad,
Penerbit Al Bayan, Kelompok penerbit Mizan.
0 Response to "Ramadhan Bersama Rasulullah SAW"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip