Bismillah Ar-rahmaan Ar-rahiim.
Artikel ini masih berkaitan dengan artikel sebelumnya yang membahas Pemalsuan Kitab Al-Ibanah Al-Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari.
Pengantar
Khusus kepada mereka yang JUJUR dan BENAR-BENAR
ingin memahami tentang jawaban dari dakwaan golongan Wahabi mengenai
al-Imam Abu al-Hasan al-Asy`ari bertaubat dari manhaj yang disusun oleh
beliau sekarang ini. Kami sediakan artikel ini agar kekeliruan yang
dicetuskan oleh golongan Wahabi ini dapat dipadamkan. Artikel ini perlu
dibaca sehingga habis, jika tidak maka anda tidak akan faham. Baca
perlahan-lahan, seksama dan hindarkan membaca dalam keadaan emosi.
Ada artikel yang tersebar di kalangan
sebagian pakar, khususnya di kalangan golongan wahhabi yang mengatakan
bahwa perjalanan pemikiran al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari melalui
tiga fase perkembangan dalam kehidupan beliau. (Lihat Mauqif Ibn
Taimiyah min al-Asya`irah, Abd al-Rahman bin Saleh al-Mahmud(1995),
Maktabah al-Rusyd, Riyadh, hal. 378.)
Pertama: Fase ketika al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari mengikuti fahaman Muktazilah dan menjadi salah satu tokoh Muktazilah hingga berusia 40 tahun.Kedua: Fase di mana al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari keluar dari aliran Muktazilah dan merintis mazhab pemikiran teologis (ilmu akidah) dengan mengikuti mazhab Ibn Kullab.Ketiga: Fase di mana al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari keluar daripada mazhab yang dirintisnya yaitu mengikuti mazhab Ibn Kullab dan kembali kepada Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah yang mengikut manhaj Salaf al-Salih dengan mengarang sebuah kitab yang berjudul al-Ibanah `an Usul al-Diyanah.
Berdasarkan hal ini, golongan Wahabi
membuat kesimpulan bahwa mazhab al-Asy`ari yang berkembang dan diikuti
oleh mayoritas kaum muslimin hingga dewasa ini adalah pemikiran al-Imam
Abu al-Hassan al-Asy`ari pada fase kedua yaitu mengikuti mazhab Ibn
Kullab yang bukan merupakan pemahaman Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah dan
telah dibuang oleh al-Imam al-Asy`ari, dengan kitab terakhir yang
ditulis oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari yaitu al-Ibanah `an Usul
al-Diyanah.
Dengan demikian, mazhab al-Asy`ari yang
ada sekarang sebenarnya mengikuti mazhab Ibn Kullab yang bukan dari
faham Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah dan tidak mengikuti mazhab al-Asy`ari
dalam fase ketiga yang asli yaitu Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah. Inilah
kenyataan dari artikel yang direka oleh golongan Wahabi/Salafi. Dakwaan
ini disebar secara menyeluruh oleh mereka pada dewasa ini.
Karena itu, artikel yang dibuat oleh
golongan Wahhabi ini sudah tentu mempunyai banyak dusta mengenai fakta
sejarah dan fakta ilmiah. Sebelum kita mengkaji artikel di atas satu
persatu, ada baiknya kita memerincikan terlebih dahulu makna yang tersembunyi di balik artikel itu. Apabila hal tersebut dikaji, ada tiga makna yang tersembunyi di balik artikel tersebut.
Pertama: Perkembangan pemikiran al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari melalui tiga fase di dalam kehidupannya, yaitu Muktazilah, mengikuti mazhab Ibn Kullab dan terakhir sekali, beliau kembali kepada ajaran Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah. Ini adalah artikel pokok yang dipropagandakan oleh golongan Wahabi. Artikel ini menyembunyikan dua artikel di baliknya.Kedua: Abdullah bin Sa`id bin Kullab bukan pengikut Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah.Ketiga: Kitab al-Ibanah `an Usul al-Diyanah merupakan fase terakhir dalam kehidupan al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari yaitu fase kembalinya al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari kepangkuan ajaran Salaf al-Salih atau Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah.
SANGGAHAN / BANTAHAN
PERTAMA, BENARKAH IMAM ABU HASAN AL-ASY’ARI MELALUI TIGA FASE PEMIKIRAN ?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita
harus mengamati dan mengkaji sejarah kehidupan al-Imam Abu al-Hassan
al-Asy`ari yang ditulis oleh para alim ulama’. Al-Imam Abu al-Hassan
al-Asy`ari merupakan salah seorang tokoh kaum Muslimin yang sangat
masyhur dan mempunyai fakta yang jelas. Beliau bukan tokoh
kontroversial dan bukan tokoh yang misteri yaitu perjalanan hidupnya
tidak diketahui orang, lebih-lebih lagi berkaitan dengan hal yang amat
penting seperti yang kita bicarakan ini. Seandainya kehidupan al-Imam
Abu al-Hassan al-Asy`ari seperti kenyataan dalam artikel yang direkayasa
oleh Wahhabi/Salafi Palsu itu, menyatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan
al-Asy`ari melalui tiga fase perkembangan pemikiran, maka sudah tentu
para sejarawan akan menyatakannya dan menjelaskannya di dalam buku-buku
sejarah. Maklumat mengenai ini juga sudah pasti akan masyhur dan
tersebar luas sebagaimana fakta sejarah hanya menyatakan bahwa al-Imam
Abu al-Hassan al-Asy`ari hanya bertaubat dan meninggalkan faham
Muktazilah saja.
Semua sejarawan yang menulis biografi
al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari hanya menyatakan kisah naiknya al-Imam
Abu al-Hassan al-Asy`ari ke atas mimbar di masjid Jami` Kota Basrah
dan berpidato dengan menyatakan bahwa beliau telah keluar dari faham
Muktazilah. Di sini kita bertanya, adakah sejarawan yang menyatakan
kisah al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari keluar dari faham pemikiran
Abdullah bin Sa`id bin Kullab? Sudah tentu jawabannya, tidak ada.
Apabila kita menelaah atau meneliti
buku-buku sejarah, kita tidak akan mendapatkan fakta atau maklumat yang
mengatakan al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari bertaubat dari ajaran Ibn
Kullab baik secara jelas maupun samar. Oleh karena itu, maklumat atau
fakta yang kita dapati adalah kesepakatan para sejarawan bahwa setelah
al-Imam Abu Hassan al-Asy`ari bertaubat daripada faham Muktazilah,
beliau kembali kepada ajaran Salaf al-Salih seperti kitab al-Ibanah dan
lain-lain yang ditulisnya dalam rangka membela mazhab Ahl al-Sunnah Wa
al-Jama`ah.
Al-Imam Abu Bakr bin Furak berkata:
“Syaikh Abu al-Hassan Ali bin Ismail
al-Asy`ari radiyallahu`anhu berpindah daripada mazhab Muktazilah kepada
mazhab Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah dan membelanya dengan hujjah-hujjah
rasional dan menulis karangan-karangan dalam hal tersebut…” (Tabyin
Kidzb al-Muftari, al-Hafiz Ibn Asakir(1347H) tahqiq Muhammad Zahid
al-Kautsari, Maktabah al-Azhariyyah li at-Turats, cet.1, 1420H, hal
104)
Sejarawan terkemuka, al-Imam Syamsuddin
Ibn Khallikan berkata: “Abu al-Hassan al-Asy`ari adalah perintis
pokok-pokok akidah dan berupaya membela mazhab Ahl al-Sunnah. Pada
mulanya Abu al-Hassan adalah seorang Muktazilah, kemudian beliau
bertaubat dari pandangan tentang keadilan Tuhan dan kemakhlukan al-Quran
di masjid Jami` Kota Basrah pada hari Jum’at”. (Wafayat al-A’yan,
al-Imam Ibn Khallikan, Dar Shadir, Beirut, ed. Ihsan Abbas, juz 3, hal.
284)
Sejarawan al-Hafiz al-Dzahabi berkata:
“Kami mendapat informasi bahawa Abu al-Hassan al-Asy`ari bertaubat dari
faham Muktazilah dan naik ke mimbar di Masjid Jami’ Kota Basrah dengan
berkata, “Dulu aku berpendapat bahwa al-Quran itu makhluk dan Sekarang
aku bertaubat dan bertujuan membantah terhadap faham Muktazilah”.
(Siyar A`lam al-Nubala, al-Hafidz al-Dzahabi, Muassasah al-Risalah,
Beirut, ed. Syuaib al-Arnauth, 1994, hal. 89)
Sejarawan terkemuka, Ibn Khaldun
berkata: “Hingga akhirnya tampil Syaikh Abu al-Hassan al-Asy`ari dan
berdebat dengan sebagian tokoh Muktazilah tentang masalah-masalah
shalah dan aslah, lalu dia membantah metodologi mereka (Muktazilah) dan
mengikut pendapat Abdullah bin Said bin Kullab, Abu al-Abbas
al-Qalanisi dan al-Harits al-Muhasibi dari kalangan pengikut Salaf dan
Ahl al-Sunnah”. (Ibn Khaldum(2001), al-Muqaddimah, Dar al-Fikr, Beirut,
ed. Khalil Syahadah, hal. 853)
Fakta yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun
tersebut menyimpulkan bahwa setelah al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari
keluar daripada faham Muktazilah, beliau mengikuti mazhab Abdullah bin
Sa`id bin Kullab, al-Qalanisi dan al-Muhasibi yang merupakan pengikut
ulama’ Salaf dan Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah.
Demikian juga, fakta sejarah yang
dinyatakan di dalam buku-buku sejarah yang menulis biografi al-Imam Abu
al-Hassan al-Asy`ari seperti Tarikh Baghdad karya al-Hafiz al-Khatib
al-Baghdadi, Tabaqat al-Syafi`iyyah al-Kubra karya al-Subki, Syadzarat
al-Dzahab karya Ibn al-Imad al-Hanbali, al-Kamil fi al-Tarikh karya Ibn
al-Atsir, Tabyin Kizb al-Muftari karya al-Hafiz Ibn Asakir, Tartib
al-Madarik karya al-Hafiz al-Qadhi Iyadh, Tabaqat al-Syafi`iyyah karya
al-Asnawi, al-Dibaj al-Muadzahhab karya Ibn Farhun, Mir`at al-Janan
karya al-Yafi`i dan lain-lain, semuanya sepakat bahwa setelah al-Imam
Abu al-Hassan al-Asy`ari keluar dari faham Muktazilah, beliau kembali
kepada mazhab Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah yang mengikuti metodologi
Salaf.
Disamping itu, seandainya al-Imam Abu
Hassan al-Asy`ari ini melalui tiga tahap aliran pemikiran, maka sudah
tentu hal tersebut akan diketahui dan dikutip oleh murid-murid dan para
pengikutnya karena mereka semua adalah orang yang paling dekat dengan
al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari dan orang yang melakukan kajian
tentang pemikiran dan sejarah perjalanan hidupnya. Oleh itu sudah
semestinya mereka akan lebih mengetahui daripada orang lain yang bukan
pengikutnya, lebih-lebih lagi melibatkan tokoh besar yaitu al-Imam Abu
al-Hassan al-Asy`ari yang pasti menjadi buah mulut pelajar dan para
alim ulama’. Oleh itu jelaslah, bahwa ternyata setelah kita merujuk
pada kenyataan murid-murid dan para pengikut al-Imam Abu al-Hassan
al-Asy`ari, kita tidak akan menemui fakta sejarah yang menyatakan bahwa
al-Imam Abu al-Hassan telah melalui tiga fase pemikiran yang di dakwa
oleh golongan Wahabi/Salafi Palsu.
Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari dan para
pengikutnya bersepakat bahawa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah
meninggalkan faham Muktazilah dan beliau berpindah kepada Ahl al-Sunnah
Wa al-Jama`ah seperti yang diikuti oleh al-Harits al-Muhasibi, Ibn
Kullab, al-Qalanisi, al-Karabisi dan lain-lain.
Apabila kita mengkaji karya-karya para
alim ulama’ yang mengikut dan pendukung mazhab al-Asy`ari seperti
karya-karya yang dikarang oleh al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani,
al-Syaikh Abu Bakr bin Furak, Abu Bakr al-Qaffal al-Syasyi, Abu Ishaq
al-Syirazi, al-Hafiz al-Baihaqi dan lain-lain. Kita semua tidak akan
menemukan satu fakta pun yang menyatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan
al-Asy`ari meninggalkan mazhab yang dihidupkan kembali olehnya yaitu
Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah, sehingga tidak rasional apabila golongan
Wahhabi/Salafi dakwaan mengatakan al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari
telah meninggalkan mazhabnya tanpa diketahui oleh para murid-muridnya
dan pendukungnya. Ini adalah kenyataan yang tidak masuk akal dan dusta
yang sama sekali jauh dari kebenaran.
Golongan Wahabi/Salafi gadungan ini
menyatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari meninggalkan mazhab
yang dirintiskan olehnya bersandarkan metodologi al-Imam Abu al-Hassan
al-Asy`ari di dalam kitabnya al-Ibanah `an Usul al-Diyanah dan sebagian
kitab-kitab lainnya yang mengikuti metodologi tafwidh berkaitan
sifat-sifat Allah di dalam al-Quran dan al-Sunnah. Metodologi tafwidh
ini adalah metodologi mayoritas ulama’-ulama’ Salaf al-Salih.
Berdasarkan hal ini, al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari dianggap
menyalahi atau meninggalkan metodologi Ibn Kullab yang tidak mengikuti
metodologi salaf sebagaimana yang di dakwa oleh golongan Wahabi ini.
Dari sini lahirlah sebuah pertanyaan,
apakah isi kitab al-Ibanah yang di dakwa sebagai mazhab Salaf
bertentangan dengan metodologi Ibn Kullab, atau dengan kata lain,
adakah Ibn Kullab bukan pengikut mazhab Salaf seperti yang ditulis oleh
al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari di dalam kitab al-Ibanah? Pertanyaan
di atas membawa kepada kita untuk mengkaji kenyataan berikutnya.
KEDUA, APAKAH IBN KULLAB BUKAN ULAMA’ SALAF DAN AHL AL-SUNNAH WA AL-JAMA`AH ?
Setelah al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari
meninggalkan faham Muktazilah, dia mengikuti metodologi Abdullah bin
Sa`id bin Kullab al-Qaththan al-Tamimi. Artikel tersebut telah menjadi
kesepakatan bagi kita dengan kelompok yang mengatakan bahwa pemikiran
al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari melalui tiga fase, tetapi mereka
berbeda dengan kita, karena kita mengatakan bahawa metodologi Ibn
Kullab sebenarnya sama dengan metodologi Salaf, kerana Ibn Kullab
sendiri termasuk dalam kalangan tokoh ulama’ Ahl al-Sunnah Wa
al-Jama`ah yang mengikuti metodologi Salaf. Hal ini bisa dilihat dengan
memperhatikan pernyataan para ulama’ berikut ini.
Al-Imam Tajuddin al-Subki telah
berkata: “Bagaimanapun Ibn Kullab termasuk Ahl al-Sunnah, Aku melihat
al-Imam Dhiyauddin al-Khatib, ayah al-Imam Fakhruddin al-Razi,
menyebutkan Abdullah bin Said bin Kullab di dalam akhir kitabnya Ghayat
al-Maram fi `Ilm al-Kalam, berkata: “Di antara teologi Ahl al-Sunnah
pada masa khalifah al-Makmun adalah Abdullah bin Said al-Tamimi yang
telah mengalahkan Muktazilah di dalam majlis al-Makmun dan memalukan
mereka dengan hujjah-hujjahnya” (Al-Subki (t.t), Tabaqat al-Syafi`iyyah
al-Kubra, Dar Ihya’ al-Kutub, Beirut, ed Abdul Fattah Muhammad dan
Mahmud al-Tanahi, juz 2, hal. 300)
Al-Hafiz Ibn Asakir al-Dimasyqi
telah berkata: “Aku pernah membaca tulisan Ali ibn Baqa’ al-Warraq,
ahli hadits dari Mesir, berupa risalah yang ditulis oleh Abu Muhammad
Abdullah ibn Abi Zaid al-Qairawani, seorang ahli fiqih mazhab al-Maliki.
Dia adalah seorang tokoh terkemuka mazhab al-Imam Malik di Maghrib
(Maroko) pada zamannya. Risalah itu ditujukan kepada Ali ibn Ahmad ibn
Ismail al-Baghdadi al-Muktazili sebagai jawaban terhadap risalah yang
ditulisnya kepada kalangan pengikut mazhab Maliki di Qairawan kerana
telah memasukkan pandangan-pandangan Muktazilah. Risalah tersebut
sangat panjang sekali, dan sebagian jawaban yang ditulis oleh Ibn Abi
Zaid kepada ‘Ali bin Ahmad adalah sebagai berikut: Engkau telah
menisbahkan Ibn Kullab kepada bid`ah, padahal engkau tidak pernah
menceritakan satu pendapatpun dari Ibn Kullab yang membuktikan dia
memang layak disebut ahli bid`ah. Dan kami sama sekali tidak mengetahui
adanya orang (ulama ’) yang menisbahkan Ibn Kullab kepada bid`ah.
Justru fakta yang kami terima, Ibn Kullab adalah pengikut sunnah (ahl
al-Sunnah) yang melakukan bantahan terhadap Jahmiyyah dan pengikut ahli
bid`ah lainnya, dia adalah ‘Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab
(al-Qaththan, wafat 240H)”. (Tabyin Kidzb al-Muftari oleh al-Hafiz Ibn
Asakir(1347H) tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, Maktabah al-Azhariyyah
li at-Turats, cet.1, 1420H, hal 298 – 299)
Data sejarah yang disampaikan oleh
al-Hafiz Ibn Asakir di atas adalah kesaksian yang sangat penting dari
ulama’ sekaliber al-Imam Ibn Abi Zaid al-Qairawani terhadap Ibn Kullab,
bahwa ia termasuk pengikut Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah dan bukan
pengikut ahli bid`ah.
Al-Hafiz al-Dzahabi telah
berkata: “Ibn Kullab adalah seorang tokoh ahli kalam (teologi – ilmu
yg berkaitan dengan ketuhanan) daerah Bashrah pada zamannya.”
Selanjutnya al-Dzahabi berkata: Ibn Kullab adalah ahli kalam yang
paling dekat kepada Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah bahkan ia adalah juru
debat ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah (terhadap Mu’tazilah). Ia mempunyai
karya diantaranya al-Shifat, Khalq al-Af’al dan al-Radd ‘ala
al-Mu’tazilah”. (Lihat Siyar A’lam al-Nubala, Maktabah al-Shafa, cet.1,
1424H, juz 7, hal 453)
Di dalam kitab Siyar A’lam an-Nubala
yang ditahqiqkan oleh Syeikh Syuaib al-Arnauth, pernyataan al-Dzahabi
tersebut dipertegas oleh al-Syeikh Syuaib al-Arnauth dengan komentarnya
mengatakan: “Ibn Kullab adalah pemimpin dan rujukan Ahl al-Sunnah pada
masanya. Al-Imam al-Haramain menyebutkan di dalam kitabnya al-Irsyad
bahwa dia termasuk sahabat kami (mazhab al-Asy`ari)”. (Siyar A’lam
an-Nubala cetakan Muassasah al-Risalah (1994), Beirut, ed. Syuaib
al-Arnauth, juz 11, hal. 175)
Demikian pula al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani
menyatakan bahwa Ibn Kullab sebagai pengikut Salaf dalam hal
meninggalkan takwil terhadap ayat-ayat dan hadith-hadith mutasyabihat
yang berkaitan dengan sifat Allah. Mereka juga disebut dengan golongan
mufawwidhah (yang melakukan tafwidh).(Ibn Hajar al-`Asqalani(t.t.),
Lisan al-Mizan, Dar, al-Fikr, Beirut, juz 3, hal. 291)
Dari paparan di atas dapatlah
disimpulkan bahawa al-Imam Ibn Kullab termasuk dalam kalangan ulama’ Ahl
al-Sunnah Wa al-Jama`ah dan konsisten dengan metodologi Salaf al-Salih
dalam pokok-pokok akidah dan keimanan. Mazhabnya menjadi inspirasi
al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari (perintis mazhab al-Asy`ari).
Di sini mungkin ada yang bertanya apakah metodologi Ibn Kullab hanya diikuti oleh al-Imam al-Asy`ari?
Jawabannya adalah tidak. Metodologi Ibn
Kullab tidak hanya diikuti oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari saja,
akan tetapi diikuti juga oleh ulama’ besar seperti al-Imam al-Bukhari
yaitu pengarang Sahih al-Bukhari, kitab hadits yang menduduki peringkat
terbaik dalam segi kesahihannya. Dalam konteks ini, al-Hafiz Ibn Hajar
al-`Asqalani telah berkata :
“Al-Bukhari dalam semua yang
disajikannya berkaitan dengan penafsiran lafaz-lafaz yang gharib (aneh),
mengutipnya dari pakar-pakar bidang tersebut seperti Abu Ubaidah,
al-Nahzar bin Syumail, al-Farra’ dan lain-lain. Adapun kajian-kajian
fiqh, sebagian besar diambilnya dari al-Syafi’i, Abu Ubaid dan
semuanya. Sedangkan permasalahan-permasalahan teologi (ilmu kalam),
sebagian besar diambilnya dari al-Karrabisi, Ibn Kullab dan sesamanya”.
(Ibn Hajar al-`Asqalani (t.t), Syarh Sahih al-Bukhari, Salafiyyah,
Cairo, juz 1, hal. 293)
Pernyataan al-Hafiz Ibn Hajar
al-`Asqalani tersebut menyimpulkan bahwa al-Imam Abdullah bin Said bin
Kullab adalah Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah yang mengikuti metodologi
ulama’ Salaf, oleh karena itu dia juga diikuti oleh al-Imam al-Bukhari,
Abu al-Hassan al-Asy`ari dan lain-lain.
Di sini mungkin ada yang bertanya,
apabila Ibn Kullab termasuk salah seorang tokoh ulama’ Salaf dan
mengikuti Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah, beliau (Ibn Kullab) juga diikuti
oleh banyak ulama’ seperti al-Imam al-Bukhari dan lain-lain, lalu
mengapa Ibn Kullab dituduh menyimpang dari metodologi Salaf atau Ahl
al-Sunnah Wa al-Jama`ah?
Hal tersebut sebenarnya datang dari satu
persoalan, yaitu tentang pendapat apakah bacaan seseorang terhadap
al-Quran termasuk makhluk atau tidak. Al-Imam Ahmad bin Hanbal dan
pengikutnya berpandangan untuk tidak menetapkan apakah bacaan seseorang
terhadap al-Quran itu makhluk atau bukan. Menurut al-Imam Ahmad bin
Hanbal, pandangan bahwa bacaan seseorang terhadap al-Quran termasuk
makhluk adalah bid`ah. Sementara al-Karabisi, Ibn Kullab, al-Muhasibi,
al-Qalanisi, al-Bukhari, Muslim dan lain-lain berpandangan tegas, bahwa
bacaan seseorang terhadap al-Quran adalah makhluk. Berangkat dari
perbedaan pandangan tersebut akhirnya kelompok al-Imam Ahmad bin Hanbal
menganggap kelompok Ibn Kullab termasuk ahli bid`ah, meskipun
sebenarnya kebenaran dalam hal tersebut berada di pihak Ibn Kullab dan
kelompoknya. Dalam konteks ini al-Hafiz al-Zahabi telah berkata :
“Tidak diragukan lagi bahwa pandangan
yang dibuat dan ditegaskan oleh al-Karabisi tentang masalah pelafazan
al-Quran (oleh pembacanya) dan bahwa hal itu adalah makhluk, adalah
pendapat yang benar. Akan tetapi al-Imam Ahmad enggan membicarakannya
karena khawatir membawa kepada pandangan kemakhlukan al-Quran. Sehingga
al-Imam Ahmad lebih cenderung menutup pintu tersebut rapat-rapat”.
(Al-Dzahabi(1994), Siyar A`lam al-Nubala, Muassasah al-Risalah, Beirut,
ed, Syuaib al-Arnauth, juz 12, hal. 82 dan juga juz 11, hal. 510)
Dari paparan di atas dapat disimpulkan
bahwa Ibn Kullab bukanlah ulama’ yang menyimpang dari metodologi Salaf
yang mengikuti faham Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah, sehingga mazhabnya
juga diikuti oleh al-Imam al-Bukhari, al-Asy`ari dan lain-lain.
Sekarang apabila demikian, dari mana asal-usul pendapat bahawa al-Imam
Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan mazhab dan
pendapat-pendapatnya yang mengikuti Ibn Kullab?
Pertanyaan ini mengajak kita untuk mengkaji artikel yang terakhir berikut ini.
KETIGA, KITAB AL-IBANAH ‘AN USUL AL-DIYANAH
Kitab al-Ibanah `an Usul al-Diyanah di
dakwa sebagai hujjah bagi golongan yang mengatakan bahawa pemikiran
al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari melalui tiga fase perkembangan di
dalam kehidupannya. Memang harus diakui, bahwa al-Imam Abu al-Hassan
al-Asy`ari di dalam kitab al-Ibanah dan sebagian kitab-kitab yang lain
juga dinisbahkan terhadapnya mengikuti metodologi yang berbeda dengan
kitab-kitab yang pernah dikarang olehnya. Di dalam kitab al-Ibanah,
al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari mengikuti metodologi tafwidh yang
diikuti oleh mayoritas ulama’ Salaf berkaitan dengan ayat-ayat
mutasyabihat. Berdasarkan hal ini, sebagian golongan memahami bahwa
al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari sebenarnya telah meninggalkan
mazhabnya yang kedua yaitu mazhab Ibn Kullab, dan kini beralih kepada
metodologi Salaf.
Di atas telah kami paparkan, bahawa Ibn
Kullab bukanlah ahli agama yang menyalahi ulama’ Salaf. Bahkan dia
termasuk dalam kalangan ulama’ Salaf dan konsisten mengikuti metodologi
tafwidh sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Hafiz Ibn Hajar
al-`Asqalani di dalam kitabnya Lisan al-Mizan. Paparan di atas
sebenarnya telah cukup untuk membatalkan dakwaan yang mengatakan bahawa
al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari meninggalkan metodologi Ibn Kullab dan
berpindah ke metodologi Salaf, kerana Ibn Kullab sendiri termasuk
dalam kalangan ulama’ Salaf yang konsisten dengan metodologi Salaf.
Oleh itu, bagaimana dengan kitab
al-Ibanah yang menjadi dasar kepada kelompok yang mengatakan bahwa
al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan pendapatnya yang
mengikuti Ibn Kullab?
Di sini, dapatlah kita ketahui bahawa kitab al-Ibanah yang asli
telah membatalkan kenyataan golongan Wahhabi yang mengatakan bahwa
al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan pendapatnya yang
mengikuti Ibn Kullab, karena kitab al-Ibanah di tulis untuk mengikuti
metodologi Ibn Kullab, sehingga tidak mungkin dakwaan yang mengatakan
bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan pendapat
tersebut. Ada beberapa fakta sejarah yang mengatakan bahwa al-Imam Abu
al-Hassan al-Asy`ari menulis kitab al-Ibanah dengan mengikut metodologi
Ibn Kullab, kenyataan ini disebut oleh al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani
di dalam kitabnya Lisan al-Mizan yaitu :“Metodologi Ibn Kullab diikuti oleh al-Asy`ari di dalam kitab al-Ibanah”. (Ibn Hajar al-`Asqalani(t.t.), Lisan al-Mizan, Dar, al-Fikr, Beirut, juz 3, hal. 291)
Pernyataan al-Hafiz Ibn Hajar
al-`Asqalani ini menambah keyakinan kita bahwa Ibn Kullab konsisten
dengan metodologi Salaf al-Salih dan termasuk ulama’ mereka, karena
kitab al-Ibanah yang dikarang oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari
pada akhir hayatnya dan mengikuti metodologi Salaf, juga mengikuti
metodologi Ibn Kullab. Hal ini membawa kepada kesimpulan bahawa
metodologi Salaf dan metodologi Ibn Kullab ADALAH SAMA, dan itulah yang diikuti oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari setelah keluar dari Muktazilah.
Dengan demikian, kenyataan al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani tersebut juga telah membatalkan dakwaan golongan Wahhabi
melalui kenyataan mereka yang mengatakan bahwa pemikiran al-Imam Abu
al-Hassan al-Asy`ari mengalami tiga fase perkembangan. Bahkan kenyataan
tersebut dapat menguatkan lagi kenyataan yang menyatakan bahwa
pemikiran al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari hanya mengalami dua fase
perkembangan saja, yaitu fase ketika mengikuti faham Muktazilah dan
fase kembalinya al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari kepada metodologi Ahl
al-Sunnah Wa al-Jama`ah yang sebenarnya sebagaimana yang diikuti oleh
Ibn Kullab, al-Muhasibi, al-Qalanisi, al-Karabisi, al-Bukhari, Muslim,
Abu Tsaury, al-Tabari dan lain-lain. Dalam fase kedua ini al-Imam Abu
al-Hassan al-Asy`ari mengarang kitab al-Ibanah.
Dalil lain yang menguatkan lagi bahwa
kitab al-Ibanah yang dikarang oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari
sesuai dengan mengikut metodologi Ibn Kullab adalah fakta sejarah,
kerana al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari pernah menunjukkan kitab
al-Ibanah tersebut kepada sebagian ulama’ Hanabilah di Baghdad yang
sangat menitik beratkan tentang fakta, mereka telah menolak kitab
al-Ibanah tersebut karena tidak setuju terhadap metodologi al-Imam Abu
al-Hassan al-Asy`ari. Di dalam hal ini, al-Hafiz al-Zahabi telah berkata
:
“Ketika al-Asy`ari datang ke Baghdad,
dia mendatangi Abu Muhammad al-Barbahari (ketua mazhab Hanbali) dan
berkata : Aku telah membantah al-Jubba’i. Aku telah membantah Majusi.
Aku telah membantah Kristen. Abu Muhammad menjawab, Aku tidak mengerti
maksud perkataanmu dan aku tidak mengenal kecuali apa yang dikatakan
oleh al-Imam Ahmad. Kemudian al-Asy`ari pergi dan menulis kitab
al-Ibanah. Ternyata al-Barbahari tetap tidak menerima al-Asy`ari”.
(Al-Dzahabi(1994), Siyar A`lam al-Nubala, Muassasah al-Risalah, Beirut,
ed, Syuaib al-Arnauth, juz 12, hal. 82 dan juga juz 15, hal. 90 dan
Cetakan Maktabah al-Shafâ, cet.1, 1424H, vol.9, hal.372; Ibn Abi Ya’la
al-Farra’(t.t.) Tabaqat al-Hanabilah, Salafiyyah, Cairo, ed. Hamid
al-Faqi, juz 2, hal. 18)
Fakta sejarah di atas menyimpulkan,
bahwa al-Barbahari mewakili kelompok Hanabilah tidak menerima konsep
yang ditawarkan oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari. Kemudian al-Imam
Abu al-Hassan al-Asy`ari menulis kitab al-Ibanah dan diajukan kepada
al-Barbahari, ternyata ditolaknya juga. Hal ini menjadi bukti bahwa
al-Ibanah yang asli ditulis oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari tidak
sama dengan kitab al-Ibanah yang kini diikuti oleh golongan Wahhabi.
Kitab al-Ibanah yang asli sebenarnya mengikut metodologi Ibn Kullab.
Perlu diketahui pula, bahwa sebelum fase
al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari, kelompok Hanabilah yang cenderung
kepada penelitian fakta itu telah menolak metodologi yang ditawarkan
oleh Ibn Kullab, al-Bukhari, Muslim, Abu Tsaury, al-Tabari dan
lain-lain berkaitan dengan MASALAH BACAAN SESEORANG TERHADAP AL-QURAN APAKAH TERMASUK MAKHLUK ATAU BUKAN.
Sekarang, apabila kitab al-Ibanah yang
asli sesuai dengan metodologi Ibn Kullab, lalu bagaimana dengan kitab
al-Ibanah yang tersebar dewasa ini yang menjadi dasar kaum Wahhabi
untuk mendakwa bahwa al-Asy`ari telah membuang mazhabnya ?
Berdasarkan kajian yang mendalam, para
pakar telah membuat kesimpulan bahwa kitab al-Ibanah yang dinisbahkan
kepada al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari tersebut telah tersebar dewasa
ini penuh dengan tahrif/distorsi, pengurangan dan penambahan. Terutama
kitab al-Ibanah yang diterbitkan di Saudi Arabia dan ditahqiqkan oleh
ulama Wahhabi. Untuk melihat bukti tahrif/distorsi yang dilakukan oleh
kalangan Wahabi baca artikel ini: Pemalsuan Kitab Al-Ibanah Al-Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari.
Benar-benar wahabi memang sengaja MENYEBAR TIPU DAYA dan FITNAH pada semua umat Islam di dunia
Semoga setelah membaca dengan pelan-pelan, pikiran terbuka, tanpa ada emosi dan mengutamakan SIKAP OBYEKTIF, kita bisa lebih waspada akan apa-apa yang disampaikan oleh kaum salafy wahabi ini.
Pemalsuan Kitab Al-Ibanah Imam Abu Hasan Al-Asy’ariy
Bismillah Ar-rahmaan Ar-rahiim.
إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرإ ما نوى
HR: al-Bukhari, Muslim, Abû Dâwûd, al-Nasâ’î dan Ibn Mâjah
قال أبو إسحاق رحمه الله، كنت في جنب الشيخ أبي الحسن الباهلي كقطرة في البحر، وسمعت الشيخ أبا الحسن الباهلي قال، كنت أنا في جنب الشيخ الأشعري كقطرة في جنب البحر
Al-Ustâdz Abû Ishâq al-Isfarâyînî berkata, “Berada di samping al-Syeikh Abû al-Hasan al-Bâhilî, aku terasa bagaikan setetes embun di lautan” . Sementara aku dengar al-Syeikh Abû al-Hasan al-Bâhilî berkata, “di samping al-Syeikh Abû al-Hasan al-Asy‘arî, aku terasa bagaikan tetesan embun di pinggir lautan” . -Tabyîn Kidzb al-Muftarî, hal.141-
لو لم يصنف عمره غير الإبانة واللمع لكفى
Sekiranya semasa hidupanya al-Asy‘arî hanya menulis kitab al-Ibânah dan al-Luma‘, itu sudah memadai. -Tabyîn Kidzb al-Muftarî, hal.134-
Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah
Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah. Itulah nama lengkap dari salah satu karya Mishbâh al-Tawhîd Abû al-Hasan al-‘Asy‘arî (260-324H), seorang Mujaddid peralihan abad ke-3 sampai ke-4 Hijriyah. Al-Ibânah adalah salah satu karyanya dengan metode Tafwîdh dan membuktikan bahwa ia telah melepaskan diri dari ideologi sekte Mu‘tazilah kepada ajaran Salaf al-Shâlih yang dinilai steril mengikuti ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah. Istilah “Salaf al-Shâlih” telah memberi pukauan kuat terhadap banyak kalangan terutama bagi pemerhati sejarah al-Asy‘ariyyah dan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah, sehingga masing-masing mereka merasa sebagai pengikut Salaf al-Shâlih. Tak ayal, kandungan al-Ibânah yang dinilai mengikuti Salaf al-Shâlih pun menjadi rebutan beberapa kalangan.
Kalangan al-Asy‘ariyyah menganggap bahwa merekalah yang berhak terhadap al-Ibânah lantaran al-Asy‘ariyyah adalah penisbatan kepada al-Asy‘arî sang penulis kitab, dan beberapa alasan lain. Begitu pun kalangan yang mengaku sebagai pengikut Salaf al-Shâlih menganggap bahwa merekalah yang berhak terhadap al-Ibânah meski keberatan disebut sebagai al-Asy‘ariyyah, lantaran mereka menilai bahwa al-Asy‘ariyyah adalah sekte bid‘ah dan sesat menyesatkan sehingga berimbas kepada pen-drop out-an terhadap cendikiawan muslim yang dikenal sebagai al-Huffâzh, bahwa mereka bukan pengikut Salaf al-Shâlih meski tidak secara mutlak. Seperti al-Khathîb al-Baghdâdî, al-Bayhaqî, al-Nawawî, al-‘Asqalânî dan al-Suyûthî yang dikenal sebagai pemuka al-Asy‘ariyyah, Radhiyallâhu ‘Anhum.
Jika al-Asy‘ariyyah mengaku sebagai pengikut Abû al-Hasan al-Asy‘arî, hal ini tentunya sangat wajar. Sebagaimana al-Hanafiyyah adalah pengikut Abû Hanifah, al-Mâlikiyyah sebagai pengikut Mâlik, al-Syâfi‘iyyah sebagai pengikut al-Syâfi‘î, al-Hanâbilah sebagai pengikut Ibn Hanbal, Radhiyallâhu ‘Anhum. Namun akan terasa janggal jika pengakuan itu muncul dari kalangan yang mengaku sebagai pengikut Salaf al-Shâlih namun pada sisi lain mereka mencerca kalangan al-Asy‘ariyyah. Bahkan al-Asy‘ariyyah dianggap telah keluar dari paham al-Asy‘arî. Dan tentunya ini sah-sah saja karena mereka pun boleh berpendapat. Dan yang menjadi barometer bagi kalangan ini untuk mengatakan bahwa al-Asy‘ariyyah sebenarnya tidak mengikuti al-Asy‘arî adalah isu-isu yang beredar bahwa al-Ibânah merupakan bukti peralihan al-Asy‘arî dari paham -yang konon katanya- Kullâbiyyah kepada Salaf al-Shâlih. Menurut mereka al-Asy‘arî dalam al-Ibânahnya mengakui Allah subhânahû wa ta‘âlâ menetap, menempati, bersemayam atau duduk di atas ‘arasy, sekaligus mereka beranggapan bahwa al-Asy‘ariyyah sebetulnya mengikuti paham Kullâbiyyah, bukan al-Asy‘arî. Lalu, ada apa dengan al-Ibânah sehingga kalangan ini begitu yakin akan isu-isu yang beredar sehingga menjadi pegangan bagi mereka untuk memisahkan al-Asy‘ariyyah dengan al-Asy‘arî? Dan siapakah Kullâbiyyah yang mereka anggap sebagai panutan al-Asy‘ariyyah dan dinilai sebagai sekte bid‘ah?
Three in One (3 in 1); Tiga al-Ibânah, Satu al-Asy‘arî
Proyek pengelabuan umat yang dilakukan beberapa kalangan sentak menggelitik telinga para santri tradisional tanah air yang notabene mereka mempelajari kitab-kitab karya para ulama al-Asy‘ariyyah seperti al-Jawâhir al-Kalâmiyyah, al-Aqwâl al-Mardhiyyah, Kifâyah al-‘Awwâm, Fath al-Majîd (bukan kitab Wahhâbî), Ummu al-Barâhîn, al-Dasûqî, Nazhm Jawhar al-Tawhîd, dan lain sebagainya. Isu-isu yang mereka angkat adalah bahwa para santri dan masyarakat yang mengaku sebagai pengikut al-Asy‘arî yang disebut dengan al-Asy‘ariyyah telah menyalahi al-Asy‘arî sendiri, terbukti bahwa al-Asy‘arî dengan kitab al-Ibânahnya dan beberapa kitab lain berbeda akidah dengan orang-orang yang mengaku sebagai pengikutnya atau al-Asy‘ariyyah. Al-Asy‘arî mengakui keberadaan Allah subhânahû wa ta‘âlâ bertempat di atas ‘Arasy sementara al-Asy‘ariyyah tidak. Tentunya hal ini bertolak belakang antara al-Asy‘arî dengan pemahaman penggikutnya. Begitulah diantara argumen mereka untuk merusak keharmonisan antara al-Asy‘arî dan al-Asy‘ariyyah. Sebuah usaha yang amat buruk dan tercela. Namun apa benar seperti itu? Kita akan mencoba membandingkan, al-Ibânah manakah kira-kira yang menjadi landasan bagi sementara kalangan yang mengatakan bahwa al-Asy‘arî meyakini Allah subhânahû wa ta‘âlâ bertempat (hulûl), bersemayam, menetap. Berikut scannan tiga versi al-Ibânah karya al-Asy‘arî;- Dâr al-Anshâr Mesir edisi Doktor Fawqiyyah Husein Mahmûd (al-Ibânah dengan cetakan sama yang terdapat di Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan edisi Syeikh Zâhid al-Kautsarî, seorang ulama pada masa Khilâfah ‘Utsmâniyyah).
- Maktabah al-Mu’ayyad Saudi Arabia bekerja sama dengan Maktabah Dâr al-Bayân Suriah edisi Basyîr Muhammad ‘Uyûn.
- Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah Lebanon edisi ‘Abdullâh Mahmûd Muhammad ‘Umar.
استواءً يليق به من غير طول الاستقرار
tidak terdapat pada cetakan Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah hal.46. Sehingga kalangan yang disebut oleh para ulama sebagai Antropomorphisme (Musyabbihah) akan memahami dengan artian bahasa yaitu bersemayam, duduk, menetap, dengan kata lain yaitu menempati ‘Arasy.* Kalimat bergaris biru pada cetakan Dâr al-Anshâr hal.113 dan Maktabah al-Mu’ayyad/ Maktabah Dâr al-Bayân hal.100;
استواءً منزها عن الحلول والاتحاد
tidak terdapat pada cetakan Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, hal.48. Sehingga kalangan yang disebut oleh para ulama sebagai Antropomorphisme (Musyabbihah) akan memahami dengan artian bahasa yaitu bersemayam, duduk, menetap, dengan kata lain semua pemahaman ini adalah Hulûl. Bahkan jika hadis Nuzûl dipahami secara lahirnya yaitu Allah subhânahû wa ta‘âlâ turun ke langit dunia, turun dari atas ke bawah dan berpindah, maka pemahaman ini akan melahirkan Ittihâd sekaligus Hulûl lantaran langit ada tujuh lapis, dan Allah subhânahû wa ta‘âlâ turun ke langit dunia atau langit pertama sehingga langit ke dua sampai ke enam bahkan ‘Arasy akan berada di atas Allah subhânahû wa ta‘âlâ, na‘ûdzu billâh.Jika konsep “Bi Lâ Kayf” telah tertanam dalam keyakinan kita, maka segala karakter turunnya makhluk yaitu pergerakan dari atas ke bawah dan berpindah pasti ternafi dari Allah subhânahû wa ta‘âlâ karena segala bentuk perpindahan adalah sebuah “Kayf”. Maka, kata “nuzûl, istiwâ’” lebih layak kita katakan Nuzûl-Nya Allah subhânahû wa ta‘âlâ adalah Nuzûl yang layak bagi keagungan dan kemulian-Nya tanpa berpindah, tanpa Kayf. Begitu pun dengan Istiwâ’, Allah Yang Maha beristiwâ’, tidak dapat dikatakan “bagaimana” (sebuah kalimat istifhâm untuk menanyakan metode, tata cara, visualisasi), karena bagaimana mungkin kita akan menanyakan “bagaimana” padahal segala bentuk metode, tatacara, visualisasi (Kayfiyyât) semuanya ternafi dari Allah subhânahû wa ta‘âlâ.
الرحمن على العرش استوى، كما وصف نفسه، ولا يقال له كيف، وكيف عنه مرفوع
Begitu ungkapan shahîh dari Imam Malik dan dinukil oleh al-Baihaqî dan Ibn Hajar. Lihat al-Asmâ’ wa al-Shifât, Dâr al-Hadîts, 1426H, hal.411 dan Fath al-Bârî, Dâr al-Hadîts, 1424H, vol.13, hal.461.* Kalimat bergaris biru pada cetakan Dâr al-Anshâr hal.117 dan Maktabah al-Mu’ayyad/ Maktabah Dâr al-Bayân hal.102; بلا كيف ولا استقرار tidak terdapat pada cetakan Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah hal.49. Tentunya kita mengetahui arti penting dari ungkapan yang lenyap tersebut. Sehingga dengan adanya ungkapan itu akan memberi penjelasan bahwa sifat Istiwâ’ Allah subhânahû wa ta‘âlâ tidak dapat diartikan dengan pemahaman bahasa kita seperti menetap, bersemayam, bertempat. Lalu mengapa al-Qur’an tidak mencantumkan lafazh itu? Jawabannya adalah karena salah satunya Allah subhânahû wa ta‘âlâ ingin menguji hamba-hamba-Nya agar diketahui siapa saja orang-orang yang di dalam hatinya terdapat Zaigh (kekeliruan). Oleh karena itu ungkapan “Bi Lâ Kayf” sangat berperan dalam membentengi umat muslim dari pemahaman ala Antropomophisme. Dan di sisi lain, dengan mengimani keberadaan sifat-sifat yang Allah subhânahû wa ta‘âlâ tetapkan pada Zat-Nya begitupun yang ditetapkan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam akan menjadi sanggahan bagi sekte Jahmiyyah, Mu‘tazilah dan yang sepaham dengan mereka dari kalangan Mu‘aththilah.
Ini hanyalah sekelumit dari kitab al-Ibânah khususnya bab Istiwâ’. Dan tidak menutup kemungkinan jika kita terus membandingkan antara beberapa cetakan akan tampak penambahan ataupun pengurangan. Namun yang terpenting adalah manakala kita membaca karya al-Asy‘arî seperti al-Ibânah, perlu kiranya pembanding dan pendamping bacaan tersebut seperti karya-karya ulama yang bersanad kepada al-Asy‘arî seperti al-Inshâf karya al-Baqillânî, Musykil al-Hadîts wa Bayânuh karya Ibn Fawrak, al-Jâmi‘ fî Ushûl al-Dîn karya Abû Ishâq al-Isfarâyînî, Ushûl al-Dîn karya ‘Abd al-Qâhir al-Baghdâdî, al-Tabshîr fî al-Dîn wa Tamyîz al-Firqah al-Nâjiyah ‘an al-Firaq al-Hâlikîn karya Abû al-Muzhaffar al-Isfarâyînî, al-Asmâ’ wa al-Shifât karya al-Baihaqî, al-‘Aqîdah al-Nizhâmiyyah fî al-Arkân al-Islâmiyyah karya Imam al-Haramain al-Juwainî, al-Iqtishâd fî al-I‘tiqâd karya al-Ghazâlî, dan masih banyak lagi karena terkadang seorang ulama menulis beberapa karya dalam satu tema akidah.Di samping al-Ibânah, al-Asy‘arî juga mempunyai karya di antaranya al-Luma‘ fî al-Radd ‘Alâ Ahl al-Zaigh wa al-Bida‘, Kasyf al-Asrâr wa Hatk al-Astâr. Bersama kitab-kitab inilah al-Asy‘arî mengumumkan peralihannya dari Mu‘tazilah ke Ahl al-Sunnah. Pada saat itu kitab-kitab ini dibaca dan ditelaah oleh ahli hadis dan fiqih dari kalangan Ahl al-Sunnah, lalu mereka mengamalkan kandungannya. Sehingga mereka mengakui kelebihan al-Asy‘arî dan menjadikannya sebagai al-Imâm, lalu mereka menisbatkan mazhab mereka kepada al-Asy‘arî, sehingga bernamalah al-Asy‘ariyyah. Lihat Tabyîn Kidzb al-Muftarî, Al-Maktabah al-Azhâriyyah li al-Turâts, cet.1, 1420H, hal.43.
Nah, jikalau benar al-Asy‘arî melalui dua fase peralihan dalam keyakinannya, yaitu dari Mu‘tazilah ke Salaf al-Shâlih (dan ternyata -konon kata mereka- Kullâbiyyah), kemudian dari Kullâbiyyah ke Salaf al-Shâlih yang sebenarnya, tentunya al-Asy‘arî juga mengumumkan peralihannya itu sebagaimana yang ia lakukan saat beralih dari Mu‘tazilah mengingat ini adalah hal yang sangat penting bagi diri al-Asy‘arî dan masyarakatnya karena ia pernah menjadi seorang al-Imâm bagi kalangan Mu‘tazilah dan akhirnya menjadi al-Imâm bagi kalangan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah. Betapa beraninya Mishbâh al-Tawhîd ini mengumumkan keluarnya ia dari paham Mu‘tazilah di tengah kekuasaan Mu‘tazilah. Tentunya akan sangat ringan dan mudah jika ia melakukan hal yang sama jika benar ia keluar dari Kullâbiyyah mengingat Kullâbiyyah bukan sekte, juga bukan pemerintahan.Sejenak kita perhatikan lagi, adakah kalangan yang lebih baik dari ahli hadis dan fiqh yang kesaksian mereka dapat dipercaya? Merekalah yang menyaksikan al-Asy‘arî menanggalkan jubah Mu‘tazilahnya. Merekalah yang menyaksikan akan kebenaran paham yang didengungkan oleh al-Asy‘arî. Mereka pulalah yang menelaah karya al-Asy‘arî sehingga menjadikannya sebagai al-Imâm untukk mazhab mereka. Jikalau paham yang dibawa oleh al-Asy‘arî setelah beralih dari Mu‘tazilah masih terdapat percampuran antara yang hak dengan yang batil, tentunya ahli hadis dan fiqh itulah yang berada di garis terdepan untuk menangkal kebatilan itu. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, mereka membenarkan paham yang didengungkan oleh al-Asy‘arî karena yang ditawarkan olehnya adalah akidah Salaf al-Shâlih. Ingat, mereka adalah ahli hadis dan fiqh. Atau barangkali “di sana” ada kriteria ahli hadis oleh kalangan yang mengaku pengikut Salaf al-Shâlih yang lebih baik dari kriteria yang diterapkan oleh al-Hâfizh Ibn ‘Asâkir?
Mereka Bertutur Tentang al-Ibânah dan Ibn Kullâb
1. Al-Hâfizh Ibn ‘Asâkir;Ibn ‘Asâkir berkata, “Aku pernah membaca tulisan ‘Alî ibn al-Warrâq seorang ahli hadis daerah Mesir. Tulisan itu berisikan risalah yang ditulis oleh Abû Muhammad ‘Abdullah ibn Abî Zaid al-Qairuwânî seorang ahli fikih madzhab maliki. Ia adalah seorang pemuka ahli fikih maliki pada masanya dari daerah Maghrib (Maroko sekarang-pen). Risalah itu ditujukan kepada ‘Alî ibn Ahmad ibn Ismâ‘îl seorang mu‘tazilah dari Baghdad sebagai jawaban terhadap risalah yang ia (‘Alî ibn Ahmad-pen) kirimkan kepada kalangan malikiyyah Qairuwân karena ia telah menyisipkan paham-paham mu‘tazilah. Risalah yang begitu dikenal itu sangat panjang. Dan sebagian jawaban yang dituliskan oleh Ibn Abî Zaid terhadap ‘Alî ibn Ahmad adalah sebagai berikut, Anda telah menisbatkan Ibn Kullâb kepada bid‘ah, sementara anda tidak menyebutkan bukti yang dengannya dapat diketahui bahwa Ibn Kullâb memang ahli bid‘ah. Dan sama sekali kami tidak mengetahui adanya orang yang menisbatkan Ibn Kullâb kepada bid‘ah (kecuali ‘Alî ibn Ahmad-pen). Namun informasi yang kami terima, Ibn Kullâb adalah pengikut sunnah (Ahl al-Sunnah-pen) dan ia banyak membantah kalangan Jahmiyyah dan ahli bid‘ah lainnya. Ia adalah ‘Abdullah ibn Sa‘îd ibn Kullâb (al-Qaththân, w.240H-pen)”. Lihat Tabyîn Kidzb al-Muftarî, Al-Maktabah al-Azhâriyyah li al-Turâts, cet.1, 1420H, hal.298-299.2. Al-Hâfizh al-Dzahabî;
Al-Dzahabî berkata, Ibn Kullâb adalah seorang pemuka teolog daerah Basrah pada masanya. Kemudian lanjut al-Dzahabî sembari menukil, Ia adalah teolog yang paling dekat kepada Ahl al-Sunnah, bahkan ia adalah juru debat mereka (terhadap Mu‘tazilah-pen). Ia mempunyai karya di antaranya, al-Shifât, Khalq al-Af‘âl dan al-Radd ‘alâ al-Mu‘tazilah. Lihat Siyâr A‘lâm al-Nubalâ’, Maktabah al-Shafâ, cet.1, 1424H, vol.7, hal.453.3. Al-Hâfizh Ibn Hajar;
Al-Dzahabî juga menuturkan, Suatu ketika al-Asy‘arî mendatangi Abû Muhammad al-Barbahârî di Baghdad, lalu ia berkata, “Aku telah membantah al-Jubbâ’î (ayah tirinya-pen), aku telah membantah kaum Majûsi dan Nasrani” . Al-barbahârî malah mengatakan, “Aku tidak paham apa yang anda ucapkan, kami (al-Barbahârî dan kalangan Hanâbilah-pen) tidak mengerti melainkan apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad”. Lalu al-Asy‘arî pergi dan menuliskan al-Ibânah, namun pada akhirnya al-Barbahârî tetap saja tidak menerimanya. Lihat Siyâr A‘lâm al-Nubalâ’, Maktabah al-Shafâ, cet.1, 1424H, vol.9, hal.372.
Ibn Hajar berkata, Sesungguhnya al-Bukhârî dalam segala hal yang berkaitan dengan teks-teks gharîb (asing-pen), ia menukil dari pakarnya seperti Abû ‘Ubaidah, al-Nadhr ibn Syumail, al-Farrâ’ dan lain-lain. Adapun perkara-perkara fikih, sebagian besar ia sandarkan kepada al-Syâfi‘î, Abû ‘Ubaid dan yang seperti keduanya. Dan adapun perkara-perkara kalâm (teologi-pen), maka sebagian besar ia ambil dari al-Karâbîsî, Ibn Kullâb, dan yang seperti keduanya. Lihat Fath al-Bârî, Dâr al-Hadîts, 1424H, vol.1, hal.293.
Ibn Hajar juga menuturkan sembari menukil, Ibn Kullâb menggunakan metode Salaf al-Shâlih dalam hal meninggalkan takwîl terhadap ayat-ayat dan hadis-hadis yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah. Mereka (Salaf al-Shâlih-pen) disebut sebagai al-Mufawwidhah. Kemudian lanjut Ibn Hajar, Dalam menuliskan al-Ibânah, al-Asy‘arî menggunakan metode Ibn Kullâb. Lihat Lisân al-Mîzân, Dâr al-Fikr, cet.1, 1408H, vol.3, hal.361.
Al-Nuqath al-Muhimmah (Poin-poin penting)
- Al-Asy‘arî, ia adalah Abû al-Hasan ‘Alî ibn Ismâ‘îl ibn Abî Bisyr Ishâq ibn Sâlim ibn Ismâ‘îl ibn ‘Abdillah ibn Mûsâ ibn Amîr al-Bashrah Bilâl ibn Abî Burdah ibn Abî Mûsâ ‘Abdillah ibn Qais ibn Hadhdhâr al-Asy‘arî al-Yamânî al-Bashrî, Mishbâh al-Tawhîd.
- Semenjak ibunya menikah dengan al-Jubbâ’î, ia digembleng oleh al-Jubbâ’î sehingga ia menjadi pemuka Mu‘tazilah. Dan pada tahun 300H ia beralih kepada metode Salaf al-Shâlih dan mengumumkannya di masjid Bashrah di hadapan para ahli hadis dan fikih.
- Adapun isu-isu yang mengatakan bahwa ia bertaubat dari akidah bid‘ah sebanyak dua kali adalah tidak benar. Karena prosesi pengumuman yang dilakukannya di masjid Bashrah di hadapan ahli hadis dan fikih adalah yang pertama dan terakhir.
- Sekiranya setelah ia bertaubat dari paham mu‘tazilah masih membawa paham-paham menyimpang tentunya ahli hadis dan fikih yang menyaksikan itu berada pada garis terdepan dalam menangkal pemikiran menyimpang itu.
- Kitab al-Luma‘ fî al-Radd ‘Alâ Ahl al-Zaigh wa al-Bida‘, Kasyf al-Asrâr wa Hatk al-Astâr dan beberapa kitab lainnya telah ditelaah oleh ahli hadis dan fikih pada saat itu sehingga mereka menerimanya meskipun al-Ibânah belum ditulis oleh al-Asy‘arî.
- Al-Asy‘arî, Ibn Kullâb, al-Karâbîsî dan sebelumnya yaitu al-Bukhârî dan Muslim mempunyai pandangan yang sama dalam masalah akidah Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah. Hal ini tampak ketika mereka berbicara tentang konsep Af‘âl al-‘Ibâd.
- Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, adalah salah satu karya al-Asy‘arî yang mengikuti metode salaf yaitu tafwîdh. Isi dan kandungannya mengikuti metode Ibn Kullâb terutama dalam menyanggah Jahmiyyah dan Mu‘tazilah.
- Boleh dikata; al-Asy‘arî, kitab al-Ibânah, Ibn Kullâb dan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah bagaikan empat sisi pada segi empat yang saling melengkapi karena semuanya mengikuti al-Qur’ân, al-Sunnah dan Salaf al-Shâlih.
- Untuk mengenal al-Asy‘ariyyah, rujukan utama adalah karya-karya para ulama yang mempunyai silsilah keguruan kepada al-Asy‘arî seperti al-Khaththâbî (w.319), Ibn al-Mujâhid (w.370H), al-Baqillânî (w.403H), al-Lâlikâ’î (w.418), al-Baihaqî (w.458H), dll.
- Al-Zabîdî berkata, “Jika disebutkan tentang Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah (setelah masa salaf) maka yang dimaksud adalah kalangan al-Asyâ‘irah dan al-Mâturîdiyyah” . Lihat Ithâf al-Sâdât al-Muttaqîn, Dâr al-Fikr, vol.2, hal.6.
Daftar Pustaka
- Al-Asy‘arî, Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, Dâr al-Anshâr, Mesir, cet.1, 1379H.
- Al-Asy‘arî, Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, Maktabah al-Mu’ayyid, Saudi Arabia, dan Maktabah Dâr al-Bayân, Suriah, cet.3, 1411H.
- Al-Asy‘arî, Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Lebanon, cet.2, 1426H.
- Al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, Dâr al-Hadîts, Mesir, 1424H.
- Al-‘Asqalânî , Lisân al-Mîzân, Dâr al-Fikr, Lebanon, cet.1, 1408H.
- Al-Baihaqî, al-Asmâ’ wa al-Shifât, Dâr al-Hadîts, Mesir, 1426H.
- Al-Dimasyqî, Tabyîn Kidzb al-Muftarî fî Mâ Nusiba ilâ Abî al-Hasan al-Asy‘arî, Al-Maktabah al-Azhâriyyah li al-Turâts, Mesir, cet.1, 1420H.
- Al-Dzahabî, Siyâr A‘lâm al-Nubalâ’, Maktabah al-Shafâ, Mesir, cet.1, 1424H.
- Al-Zabîdî, Ithâf al-Sâdât al-Muttaqîn fî Syarh Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Dâr al-Fikr, Lebanon, t.t.
abdkadiralhamid@2013
Artikel yang bagus, terimakasih
ReplyDelete