ZAKAT, HALAL ATAU HARAM ?
Upaya Menjaga Kesucian Dzat Ahlul Bait saw
Proses Penciptaan dzat Ahlul Bait Nabi saw
1. Makna Zakat
Arti kata zakat menurut bahasa adalah tumbuh. Di dalam syariat, zakat ialah sedekah wajib dari sebagian harta. Sebab dengan mengeluarkan zakat maka pelakunya akan tumbuh (mendapat kedudukan tinggi) di sisi Allah swt dan menjadi orang yang suci dan disucikan. Makna yang demikian ini diisyaratkan oleh firman Allah swt dalam surah at-Taubah ayat 104:
خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَ تُزَكِّهِمْ بِهَا
Artinya: Ambillah sedekah dari harta mereka agar menyucikan dan membersihkan mereka.
Firman Allah swt dalam surah al-Hajj ayat 41:
الَّذِينَ اِنْمَّكَّنَّهُمْ فىِالأَرْضِ اَقَامُوا الصَّلوةَ وَاتَوُا الزَّكوةَ...
Artinya: (Yang dinamakan orang mu'min ialah) orang-orang yang bila Kami tempatkan di bumi, maka mereka mengerjakan sholat dan mengeluarkan zakat.
Rasulullah saw bersabda: "Tiga macam, yang karenanya saya bersumpah menceritakan kisah yang sebenarnya terjadi, yaitu: harta tidak berkurang karena disedekahkan, tidaklah teraniaya hamba Allah yang bersabar, kecuali tambah kemuliaannya di akhirat, dan Allah tidak membukakan suatu pintu tempat meminta, kecuali dibukakan-Nya pula pintu kefakiran."
Bila orang yang mengeluarkan zakat memperhatikan bagaimana gembiranya orang yang menerima zakat, maka ia akan mempunyai hati yang halus, bagaikan seorang gadis yang baru menyiram bunganya yang sedang layu, maka bunga tersebut segar kembali. Sebenarnya bila Allah swt membukakan pintu pahala bagi orang kaya, maka dijadikan-Nya orang-orang yang meminta kepadanya, bila semua manusia kaya, maka si kaya tidak akan dapat menambah pahalanya. Kepada siapa mereka akan memberikan hartanya. Semua itu merupakan kejadian yang harus diambil hikmahnya.
Anas menceritakan, bahwa seorang laki-laki dari suku Tamim datang dan mengatakan kepada Rasulullah saw: Ya Rasulullah, sesungguhnya saya ini mempunyai kekayaan yang banyak, mempunyai keluarga dan banyak teman yang menjadi tamu. Bagaimana seharusnya saya mengeluarkan zakat saya? Rasulullah saw menjawab: "Keluarkan zakat itu dari harta milikmu sendiri, karena zakatnya itu bagaikan pencuci yang mensucikan kamu, menghubungkan tali silaturahmi kepada kerabatmu, di samping itu kamu juga mengakui adanya hak fakir miskin, tetangga dan orang yang meminta-minta". Selanjutnya Rasulullah bersabda:
من ادّى زكاة ماله ذهب عنه شرّه
Artinya: Siapa saja yang telah membayarkan zakat hartanya, maka telah dilenyapkan daripadanya hal-hal yang jahat.
2. Pendapat ulama tentang Ghanimah dan Fa'i.
Berdasarkan sumber hukum, semua keturunan ahlul bait Rasulullah saw termasuk Bani Hasyim dan Bani Abdul Mutholib diharamkan menerima sedekah atau zakat dalam bentuk apapun juga. Mereka diberi hak untuk memperoleh bagian dari ghanimah atau dari harta kekayaan umum (baitul mal). Akan tetapi dalam zaman kita dewasa ini tidak ada lagi ghanimah dan tidak ada pula dana baitul mal sebagaimana yang dahulu pernah terjadi pada zaman pertumbuhan Islam.
Dengan terjadinya perkembangan yang demikian jauh dibanding dengan zaman Rasulullah saw, maka sebagai akibatnya para keturunan ahlul bait Rasulullah saw yang hidup kekurangan tidak dapat menerima tunjangan yang oleh syariat telah ditetapkan sebagai hak mereka. Lagi pula banyak sekali di antara mereka yang hidup bertebaran di negeri atau daerah-daerah terpencil. Dalam keadaan seperti ini apakah oleh syariat mereka diperkenankan menerima sedekah atau zakat dari orang-orang kaya setempat untuk meringankan beban hidup mereka sehari-hari?
Untuk menjawab masalah ini, dipandang perlu kita mengetahui dalil-dalil tentang hal tersebut, baik yang diambil dari alquran, hadits maupun ijtihad para ulama. Mudah-mudahan uraian ini dapat membantu menghantarkan dalam upaya membahas masalah halal atau tidaknya keluarga Rasulullah saw menerima sedekat/zakat, dan dengan membaca uraian ini diharapkan pula dapat menghasilkan jawaban yang menghapus keragu-raguan selama ini di antara sebagian keturunan Rasulullah saw tentang boleh atau tidaknya mereka menerima sedekah/zakat.
وَاعْلَمُوْا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِّن شَيْءٍ فَأَنَّ لِلّهِ خُمُسَهُ وَ لُلْرُسُولِ وَ لِذِى الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِيْنِ وَابْنِ السَبِيْلِ
Artinya: Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang (ghanimah), maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil.
Dalam kitab tafsir Fath al-Qadir dan Ibnu Katsir disebutkan pendapat yang mengatakan bahwa khumus adalah untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, ibnu sabil. Selain itu disebutkan pula pendapat yang mengatakan bahwa khumus tersebut dibagi enam, dan bagian yang keenam untuk Ka'bah.
Perbedaan pendapat terjadi pula atas bagian rasul dan kerabat setelah rasul wafat, ada yang mengatakan bagian rasul untuk khalifahnya, pendapat lain mengatakan bagian tersebut tetap untuk kerabat nabi saw, pendapat lain mengatakan bagian kerabat nabi diperuntukkan kerabat khalifah.
Dalam kitab Majma' al-Bayan disebutkan bahwa khumus merupakan hak dari keluarga Rasulullah, yaitu anak-anak yatim keluarga Muhammad, orang-orang miskin dari mereka, dan ibnu sabil dari kalangan mereka. Hal tersebut sesuai dengan yang diriwayatkan oleh al-Thabari dari Zainal Abidin Ali bin Husin, sesungguhnya khumus adalah hak kami. Allah berfirman:
وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِيْنِ وَابْنِ السَبِيْلِ
Yang dimaksud dengan ayat di atas adalah anak-anak yatim kami, orang-orang miskin dan ibnu sabil dari kalangan kami. Hal itu disebabkan mereka telah diharamkan menerima sedekah yang merupakan daki/kotoran manusia, sebagai gantinya yaitu khumus.
Menurut Syafii dan Hambali: "Harta rampasan perang itu, yaitu seperlima (khumus) dibagi ke dalam lima bagian. Satu bagian adalah untuk rasul, dan dipergunakan untuk kemaslahatan dan perbaikan umat Islam. Dan satu bagian diberikan untuk kerabat (keluarga), yaitu keluarga dari keturunan Bani Hasyim, baik yang kaya maupun fakir, tak ada bedanya. Dan tiga bagian lainnya dikeluarkan untuk anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil, baik mereka dari keturunan Bani Hasyim maupun bukan."
Menurut Hanafi: "Bagian untuk Rasulullah telah gugur dengan wafatnya. Kalau para kerabat (famili), mereka seperti yang lain dari kalangan orang-orang fakir. Mereka diberi karena kefakiran mereka, bukan karena mereka menjadi kerabat (famili) Rasulullah saw.
Menurut Maliki: "Masalah khumus (seperlima) ini kembali atau diserahkan kepada imam (pemimpin) agar dipergunakan untuk kemaslahatan umat."
3. Siapa keluarga (آل) Muhammad saw?
Berkata Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitabnya Fath al-Bari, dan al-Syaukani dalam kitabnya Nail-al-Authar mengenai makna keluarga (آل ) Muhammad saw. Para ulama berbeda pendapat mengenai makna keluarga (آل ) Muhammad saw, sebagai berikut:
Pendapat Imam Syafii, Ahmad, Abu Tsaur, Mujahid, Qatadah, Ibnu Juraij dan Muslim bin Kholid: ‘Sesungguhnya yang dimaksud dengan (آل ) Muhammad saw adalah Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Hal itu dikarenakan Bani Mutholib dan Bani Hasyim berserikat dalam bagian dzawil qurba, dan Nabi saw tidak memberi bagian tersebut kepada siapapun dari suku Quraisy, selain kepada mereka. Pemberian itu adalah sebagai ganti, karena mereka diharamkan untuk menerima sedekah.
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Jubair bin Math'am:
قال: مشيت انا و عثمان بن عفان الى النبي صلى الله عليه وسلم فقلنا: يا رسول الله أعطيت بني المطلب من حمس خيبر وتركتنا ونحن وهم بمنزلة واحدة !فقال رسول الله عليه وسلم انما بنو المطلب و بنو هاشم شيئ واحد
Artinya: "Saya berjalan bersama Usman bin Affan ke tempat Nabi saw, lalu kami berkata ‘Wahai Rasulullah saw, engkau telah memberi Bani Mutholib seperlima bagian dari harta rampasan Khaibar dan engkau tinggalkan kami, padahal kami dan mereka sama. Lalu Rasulullah bersabda: Bani Mutholib dan Bani Hasyim adalah satu."
Pendapat Abu Hanifah, Malik dan Hadawiyah: Mereka adalah Bani Hasyim saja.
Dan yang dimaksud dengan Bani Hasyim adalah keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja'far, keluarga Abbas dan keluarga Harits. Keluarga Abu Lahab tidak termasuk didalamnya, hal tersebut disebabkan tidak ada satupun keluarga Abu Lahab yang beragama Islam pada masa Rasulullah saw hidup. Akan tetapi dalam kitab Jami' al-Ushul disebutkan bahwasanya anak Abu Lahab yang bernama Utbah dan Mu'tab masuk Islam ketika penaklukan kota Makkah, mereka meninggal dalam perang Hunain dan Thaif.
4. Bolehkan Keluarga Rasulullah saw menerima sedekah?
عن عبد المطلب بن ربيعة بن الحارث , قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ان الصدقة لا تنبغي لأل محمد, إنما هي أوساح الناس (رواه مسلم)
Artinya: Dari Abdul Mutholib bin Rabi'ah bin Harits berkata, bersabda Rasulullah saw: Sesungguhnya sedekah tidak pantas (tidak halal) bagi keluarga Muhammad, karena sedekah itu adalah daki (kotoran) manusia.
Dalam suatu riwayat Muslim dari Abdul Mutholib, Rasulullah saw bersabda:
وانها لا تحل لمحمد ولا لأل محمد (رواه مسلم)
Artinya: Sesungguhnya sedekah itu tidak halal bagi Nabi Muhammad dan bagi Keluarga Muhammad saw.
Hadits tersebut memberikan pengertian bahwa lafadz لا تنبغي itu beliau maksudkan "tidak halal" yang berarti memberikan pengertian haram. Hadits tersebut sebagai dalil yang menunjukkan haram sedekah bagi Nabi Muhammad dan keluarganya. Mengenai haramnya zakat bagi pribadi Nabi saw para ulama telah sepakat.
Abu Hurairah menceritakan, bahwa pernah Hasan bin Ali mengambil sebiji kurma dari hasil zakat, maka berkata Rasulullah kepadanya:
كخ كخ , ليطرحها , اما شعرت انّا لا نأ كل الصدقة
Artinya: Hai Hai! (maksudnya agar dibuang). Apakah kamu belum tahu, bahwa kita tidak boleh memakan hasil dari zakat.
Imam Ja'far al-Shaddiq pernah ditanya, apakah sedekah halal bagi Bani Hasyim. Beliau menjawab: "Sedekah wajib tidak halal bagi kami, adapun selainnya tidak apa-apa".
Berkata Ibnu Qudamah: Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa sesungguhnya Bani Hasyim tidak dihalalkan untuk menerima sedekah wajib/zakat. Hal itu disebutkan dalam kitab al-Ijma karangan Ibnu Ruslan.
Abdullah bin Nuh menulis, menurut madzhab Syafii, dalam keadaan bagaimanapun juga mereka mutlak diharamkan menerima sedekah atau zakat. Akan tetapi sebagian ulama Syafiiyah membolehkan keluarga Nabi saw menerima sedekah atau zakat.
Ibnu Jarir al-Thabari menukil akan kebolehan Bani Hasyim menerima sedekah dari Imam Hanafi, begitu pula dari Imam Malik dan sebagian ulama Syafiiyah. Menurut Abu Yusuf, sesungguhnya mereka dihalalkan menerima sedekah dari mereka untuk mereka bukan dari yang lainnya. Artinya keluarga Bani Hasyim dihalalkan menerima sedekah dari yang diberikan dari Bani Hasyim juga. Jika keluarga Bani Hasyim menerima sedekah dari bukan Bani Hasyim maka hal itu tidak dibolehkan. Begitu pula pendapat dari Zaid bin Ali, Abi Abbas dan Imamiyah.
Menurut Ibnu Hajar al-Asqolani: Menurut ulama Malikiyah terdapat empat pendapat: membolehkan, melarang, membolehkan menerima sedekah sunnah dan melarang menerima sedekah wajib (zakat), membolehkan menerima sedekah wajib dan melarang menerima sedekah sunnah.
Adapun dalil yang menghalalkan pemberian sedekah dari Bani Hasyim ke Bani Hasyim, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Hakim:
ان العباس بن عبد المطلب قال: قلت يا رسول الله إنك حرمت علينا صدقاة الناس ، هل تحل صدقاة بعضنا لبعض ؟ قال: نعم
Artinya: Abbas bin Abdul Mutholib berkata: "Saya berkata kepada Rasulullah saw; Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau mengharamkan sedekah manusia untuk kami, apakah engkau menghalalkan sedekah yang diberikan dari kami untuk kami? Rasulullah berkata: Ya."
Dalam kitab fiqih Hanafiah yang berjudul Majma' al-Anhar, berkata Imam Hanafi: Tidak mengapa mencampuradukan semuanya (sedekah wajib dan sedekah sunnah) dan memberikannya kepada mereka. Di lain riwayat Imam Hanafi berkata: Boleh memberikan zakat kepada mereka.
Sedangkan Imam Muhammad mengatakan mereka boleh menerima sedekah, dikarenakan pengharaman untuk menerima sedekah kepada mereka hanya berlaku pada zaman Rasulullah masih hidup. Dan dalam kitab Dar al-Muntaqo, beliau berpendapat bahwa Bani Hasyim boleh menerima zakat pada zaman setelah Rasulullah saw.
Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan: Bani Hasyim boleh menerima zakat yang dikeluarkan oleh Bani Hasyim.
Imam Ja'far al-Shaddiq berkata: "Sesungguhnya Allah swt telah menjadikan fuqara dan aghniya (orang-orang kaya) bersekutu di dalam memiliki harta kekayaan, maka tidak dibenarkan mereka (orang-orang kaya) membelanjakan harta kepada selain sekutunya (para fuqara)."
Muhammad Abduh Yamani berkata: Jika keluarga Rasul saw tidak boleh menerima zakat dan dengan menerima sedekah atau zakat mereka berdosa, sebenarnya yang berdosa itu adalah orang-orang kaya yang tidak peduli akan hak-hak keluarga Rasul saw yang telah disebutkan dalam alquran dan ditetapkan dalam hadits-haditsnya.
Rasulullah saw bersabda:
انّ الله فرض على أغنياء المسلمين فى اموالهم بقدرالّذي يسع فقراءهم, ولن يّجهد الفقراء اذا جاعوا او غروا الاّبما يصنع اغنياؤهم, الا وانّ الله يحاسبهم حساباشديد, ويعذّبهم عذابا اليما
Artinya: Sesungguhnya Allah swt mewajibkan atas semua orang kaya muslimin mengenai harta mereka agar mengeluarkan zakat sekedar untuk melapangi orang-orang fakir mereka, sehingga orang fakir tidak kelaparan atau kesulitan, kecuali karena sikap orang-orang kaya mereka (tidak mau mengeluarkan zakat). Ketahuilah, bahwa Allah akan memperhitungkan harta mereka itu dengan ketat (di akhirat) dan akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih.
Imam Ja'far al-Shaddiq berkata:
"Sesungguhnya Allah swt telah mencukupi bagi fukara' harta yang dapat mencukupi hidup mereka di dalam harta orang-orang kaya. Jika Allah swt tahu hal itu tidak akan mencukupi, tentu Allah swt akan menambahnya. Mereka menjadi fukara' bukan karena tidak ada bagian dari Allah swt untuk mereka, tetapi karena orang-orang (kaya) itu tidak mau memberikan hak para fukara' tersebut. Seandainya setiap orang (kaya) menunaikan kewajiban mereka, maka mereka (para fukara') akan hidup dengan baik".
Berdasarkan riwayat di atas menunjukkan dengan jelas bahwa kefakiran datangnya dari bumi, bukan dari langit, dari kezaliman manusia (orang kaya yang tidak mau mengeluarkan zakat) yang satu terhadap yang lain (orang miskin), bukan dari Allah yang maha agung dan bijaksana.
Terhadap orang kaya yang enggan mengeluarkan zakat, Allah swt berfirman dalam surat al-Taubah ayat 34-35 yang artinya:
Dan orang-orang yang menyimpan (harta) emas dan perak, dan tidak membelanjakannya untuk kepentingan agama Allah , maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih. Pada hari itu dipanaskan semua (harta) emas dan peraknya itu dalam neraka Jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.'
Mengenai orang-orang yang merasa berat untuk mengeluarkan hartanya dijalan Allah swt (berzakat), Rasulullah saw bersabda:
Siapa yang telah dikarunia Allah swt harta, tetapi tidak dibayarkan zakatnya, maka hartanya itu nanti akan dirupakan pada hari kiamat sebagai seekor ular yang siap melahap orang tersebut, dengan perkataan ancaman: ‘Sayalah simpanan dan hartamu dahulu.'
Salah satu nasehat Nabi saw yang disampaikan kepada kaum Muhajirin, bahwa kalau tidaklah karena rasa belas kasihan Allah swt kepada binatang, maka Allah swt tidak akan menurunkan hujan yang disebabkan keengganan orang-orang kaya dalam mengeluarkan harta. Jadi menurut hadits ini orang-orang kaya yang tidak mau mengeluarkan zakat mempunyai saham atas kekeringan yang terjadi di seluruh dunia dan Indonesia khususnya. Sadar dan pikirkanlah wahai para orang kaya!
5. Bolehkan keluarga Rasulullah menerima sedekah, setelah khumus tidak ada lagi?
Imam Ja'far al-Shaddiq berkata: "Ketika Allah saw mengharamkan sedekah bagi kami maka Allah swt menurunkan khumus untuk kami. Sedekah haram bagi kami, tetapi khumus adalah hak kami."
Menurut sebagian ulama Malikiah: Dimungkinkan untuk memberi hak Bani Hasyim dari baitul mal, dimana jika tidak diberikan akan menjadikan mereka orang-orang yang faqir. Dan memberikan hak Bani Hasyim dari baitul mal lebih utama daripada memberikannya kepada selain mereka.
Sebagian lagi berpendapat bahwa kebolehan pemberian tersebut dikarenakan darurat, yaitu sekedar diperbolehkannya manusia memakan bangkai dalam keadaan darurat. Artinya, mereka tetap diharamkan untuk menerima sedekah, kecuali dalam keadaan darurat maka mereka boleh menerimanya.
Berkata Abu Said al-Asthakhri al-Syafii: Sesungguhnya ketiadaan hak mereka dari khumus, membolehkan pemberian sedekah kepada mereka, dikarenakan mereka diharamkan menerima zakat dan hak mereka ada pada khums al-khumus. Jika tidak ada yang diberikan kepada mereka dari khumus, maka wajib memberikan zakat kepada mereka. Berkata al-Nawawi dari al-Rafii: Sesungguhnya Imam al-Ghazali memberikan fatwa yang sama.
Ibnu Taimiyah dan al-Qadhi Ya'kub al-Hanabilah menjelaskan kebolehan mengambil dari zakat manusia, jika tidak ada khumus ghanimah dan fa'i. Sesungguhnya hal tersebut untuk memenuhi hajat yang darurat.
Akan tetapi jumhur ulama masih belum bersepakat mengenai kebolehan pemberian zakat kepada Bani Hasyim walaupun tidak ada khumus. Mereka berdalil bahwa zakat diharamkan untuk mereka karena kemuliaan mereka yang merupakan kemuliaan Rasulullah saw. Pengharaman tersebut berlaku walaupun tidak ada khumus.
Sebagaimana kita membaca bahwa pemberian zakat untuk keluarga dekat Rasulullah dalam zaman sekarang berdasarkan pembahasan terdahulu, diperbolehkan. Hal itu disebabkan tidak ada lagi hak mereka dari seperlima bagian ghanimah dan fa'i, dimana hak tersebut selalu diberikan pada zaman Rasulullah saw sebagai pengganti dari Allah dikarenakan mereka diharamkan untuk menerima sedekah.
Bagian dzawil qurba telah disebutkan dalam alquran:
وَاعْلَمُوْا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِّن شَيْءٍ فَأَنَّ لِلّهِ خُمُسَهُ وَ لُلْرُسُولِ وَ لِذِى الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِيْنِ وَابْنِ السَبِيْلِ
Artinya: Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang (ghanimah), maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil.
Dan firman Allah swt:
مَّا أَفَاءَ الله عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلّهِ وَ لِلْرُّسُولِ وَ لِذِى الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِيْنِ وَابْنِ السَبِيْلِ , كَيْلاَ يَكُونَ دُولَةَ بَيْنَ الأغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
Artinya: Apa saja harta rampasan (fa'i) yang diberikan Allah kepada rasul-Nya yang berasal dari kota-kota maka adalah untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.
Menurut pendapat Yusuf al-Qardhawi, yang mengatakan bahwa zakat diharamkan atas mereka dikarenakan kemuliaan mereka, tidaklah kuat, hal itu terutama disebabkan pemberian zakat kepada mereka untuk membantu mereka. Sedangkan gugurnya pengganti dari bagian dzawil qurba dikarenakan beberapa alasan, yaitu ketiadaan baitul mal, keputusan hakim yang mengharamkan pemberian zakat kepada mereka atau diperbolehkan karena alasan darurat.
Banyak ulama yang berpendapat bahwa bagian dzawil qurba dari baitul mal gugur setelah wafatnya Rasulullah saw, begitu pula yang dilakukan pada zaman khalifahnya, dimana bagian dzawil qurba tersebut dipergunakan untuk berjihad menyebarkan agama Islam. selanjutnya para ulama membolehkan kerabat rasul menerima zakat.
Selanjutnya Yusuf al-Qardhawi berkata: Mengenai pendapat yang terdapat dalam beberapa hadits yang dijadikan dalil oleh jumhur ulama akan keharaman zakat untuk Bani Hasyim dan Bani Mutholib hingga hari kiamat, bahkan menjadikan maula Bani Hasyim sama kedudukannya dengan mereka dalam hukum adalah pendapat yang tidak jelas. Yang benar adalah dalam mengeluarkan pendapat terhadap hadits-hadits tersebut harus mengesampingkan rasa ashobiyah dan mengikutinya tanpa memikirkannya terlebih dahulu.
Menurut Yusuf al-Qardhawi, harus ada penjelasan terhadap hadits-hadits Rasulullah mengenai keharaman keluarganya dalam menerima sedekah. Menurutnya hadits yang berbunyi: إن الصدقة لا تنبغي لا ل محمد menunjukkan bahwa perbuatan itu dibenci dan diusahakan untuk tidak dilakukan. Menurutnya, banyak ulama madzhab yang membolehkan keluarga Rasulullah saw menerima zakat. Hal itu disebabkan Bani Hasyim yang menjadi Amil zakat berhak menerima bagiannya dalam zakat tersebut. Sesungguhnya keluarga Rasulullah saw baik yang dekat maupun yang jauh dalam hal keharaman mereka menerima sedekah bukanlah dikarenakan kemuliaan nasab, tetapi untuk memberikan contoh kepada manusia bahwa mereka bukanlah orang yang tamak. Jika hal itu disebabkan karena kemuliaan nasab, maka maula mereka tidak akan dimasukkan ke dalam orang-orang yang diharamkan menerima sedekah.
Seorang amil hendaknya bukan dari kalangan Bani Hasyim, sebab zakat dari selain Bani Hasyim tidak halal bagi Bani Hasyim. Imam Ja'far al-Shaddiq berkata: Orang-orang dari Bani Hasyim datang kepada Rasulullah saw meminta kepada beliau agar mempekerjakan mereka pada zakat ternak. Mereka berkata, ‘agar kami mendapat bagian yang Allah tentukan bagi para amil. Kami lebih berhak untuk itu'. Maka Rasulullah saw berkata: Wahai Bani Abdul Muthalib ! sesungguhnya zakat tidaklah halal bagiku dan tidak juga bagi kalian. Akan tetapi aku telah dijanjikan untuk memberi syafat'. Dengan demikian, zakat tersebut tidak halal bagi mereka walaupun sebagai imbalan atas jerih payah mereka.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Hasan bin Ali berkaitan dengan sabda Rasulullah saw: لا تحل لنا الصدقة, hal tersebut bukan saja ditujukan kepada keluarga Rasulullah saw tetapi juga kepada para pemimpin kaum muslimin saat itu, sebagaimana diriwayatkan bahwasanya Umar bin Khotob minum susu dari pemberian sedekah, maka ia memuntahkan kembali susu tersebut.
Suatu saat Umar bin Khottob diberi sesuatu, beliau menolaknya, akan tetapi Rasulullah bersabda:
يا عمر إذا اتاك الله شيئا من هذا المال من غير مسألة فخذه فإن كنت محتاجا إليه فتموّله وان لم تكن محتاجا إليه فاصرفه إلى غيرك
Artinya: Wahai Umar, jika Allah memberimu harta padahal kamu tidak memintanya, maka terimalah. Jika kamu membutuhkannya, gunakanlah. Jika kamu tidak membutuhkannya, berikanlah kepada orang lain.
Mengenai etika pemberian sedekah/zakat kepada yang berhak, Imam Muhammad al-Bagir pernah ditanya bahwa salah satu orang merasa malu untuk menerima zakat yang menjadi haknya. Beliau menjawab: "Berilah, dan tidak usaha kau sebutkan bahwa itu adalah zakat, dan janganlah kau menghinakan seorang muslim."
Habib Alwi bin Tohir Al-Haddad dalam kitab Al-Qaul al-Fashlu berpendapat bahwa keharaman menerima zakat bagi keluarga Rasulullah saw disebabkan untuk membersihkan kedudukan mereka dan mensucikan dzat mereka sebagai ahlul bait, dikarena zakat merupakan kotoran manusia yang dikeluarkan untuk membersihkan harta mereka.
6. Batas yang diperbolehkan seorang menerima zakat atau sedekah!
Para ulama berbeda pendapat mengenai batas kecukupan yang memperbolehkan seseorang menerima zakat atau sedekah, diantaranya adalah cukup untuk makan sehari semalam. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Sahl bin al-Hanzhaliyyah, bahwa: "Rasulullah saw melarang meminta-minta bagi siapa yang berkecukupan". Ketika ditanya tentang batas kecukupan itu, beliau menjawab: "Yang cukup untuk makan siang serta makan malamnya".
Sebagian ulama mengatakan bahwa seorang mustahiq boleh mengambil dari uang zakat sebatas yang mencapai nisab zakat. Hal ini mengingat bahwa Allah swt tidak mewajibkan zakat kecuali atas diri orang-orang yang berkecukupan, yakni yang memiliki lebih dari nisab. Karena itu ia boleh mengambil untuk dirinya sendiri dan untuk setiap orang anggota keluarga yang menjadi tanggungannya, sampai sebatas nisab untuk masing-masing orang.
Imam Ja'far al-Shaddiq berkata: "Zakat haram hukumnya bagi orang yang mempunyai biaya hidup satu tahun, dan orang yang memiliki biaya hidup setahun ini wajib mengeluarkan zakat fithrah". Beliau ditanya tentang seorang yang mempunyai biaya makan untuk sehari, apakah dia boleh menerima zakat? Beliau menjawab: "Orang tersebut boleh mengambil dari zakat, sekedar yang dapat mencukupi hidupnya untuk satu tahun, walaupun saat itu dia mempunyai biaya hidup untuk satu bulan, sebab zakat ialah dari tahun ke tahun".
Adapun mengenai batas sampai ‘kecukupan untuk makanan sehari semalam' adalah berkaitan dengan tidak disukainya perbuatan meminta-minta atau kebiasaan mengemis dari pintu ke pintu. Yakni, orang yang masih memiliki makanan untuk sehari semalam, hendaknya tidak meminta-minta dengan mendatangi pintu-pintu rumah orang lain. Sebab yang demikian itu adalah perbuatan yang sangat tidak disukai dalam agama. Ibnu Mas'ud meriwayatkan, Rasulullah saw bersabda:
من سأل وله مال جاء يوم القيامة وفىوجه خموش
Artinya: Barangsiapa meminta-minta sedangkan ia memiliki harta yang mencukupi, kelak pada hari kiamat ia akan datang dengan wajah yang penuh noda.
Dari Abu Daud dan Ibnu Hibban dalam sahihnya, Rasulullah saw bersabda:
من سأل وله ما يغنيه فانّما يستكثر من النار
Artinya: Barangsiapa meminta sedangkan ia memiliki apa yang mencukupi, Maka sesungguhnya ia telah memperbanyak bara api jahanam bagi dirinya sendiri.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Rasulullah saw bersabda:
لا يزال الرجل يسأل الناس حتّى يأتي يوم القيامة وليس في وجهه مزعة لحم
Artinya: Orang yang senantiasa minta-minta pada orang-orang hingga hari kiyamat, maka pada mukanya tidak ada daging sekerat pun.
Diriwayatkan dari Samurah bin Jundab, Rasulullah saw bersabda:
المسألة كدّ يكدّ بها الرّجل وجهه
Artinya: Minta-minta itu suatu garutan seseorang terhadap mukanya sendiri.
Diperbolehkan meminta-minta, jika seseorang dalam keadaan sangat miskin, sakit keras, dan hutangnya mencekik, sebagaimana hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan dari Qubaishoh:
لا يحلّ السؤال الاّ لثلاثة ذي فقر مدقع او دم موجّع او غرم مغظع
Artiya: Tidak halal (haram) meminta-minta kecuali karena 3 (tiga) sebab, yaitu: orang yang sangat miskin, orang yang sakit keras dan orang yang mempunyai hutang mencekik.
Kebanyakan para fukaha mengatakan bahwa seorang yang mampu bekerja mencari uang tidak boleh diberi zakat, sebab dia dianggap kaya. Imam Muhammad al-Bagir berkata: "Sedekah tidak halal untuk orang yang mampu bekerja, dan tidak juga untuk orang yang sehat jasmani yang mampu menanggung jerih payah kerja".
Di kalangan ulama Syafiiyah terdapat dua macam peminta-minta, yaitu:
Peminta-minta yang masih mampu bekerja mencari nafkah. Orang semacam ini haram meminta-minta.
Peminta-minta yang makruh (dibenci), yaitu yang memenuhi tiga syarat: bahwa dia tidak menghina dirinya dengan meminta-minta, dia tidak merengek- rengek/memaksa dalam meminta, dia tidak menyakitkan hati orang yang dimintai. Jika dari ketiga syarat ini tidak terpenuhi, maka ulama Syafiiyah sepakat akan keharamannya.
Sebagai penutup pembahasan tentang boleh atau tidaknya menerima zakat, semua tergantung kepada penerima zakat itu sendiri, karena yang dapat menentukan dia boleh atau tidak menerima zakat hanyalah dirinya sendiri, sebagaimana hadits Rasulullah saw:
استفت قلبك وإن أفتوك وأفتوك
Artinya: Mintalah fatwa dari hati nuranimu sendiri, apapun yang difatwakan kepadamu oleh orang lain.
Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, Rasulullah saw bersabda:
اليد العليا خير من اليد السّفلى … ومن يستعفف يعفّه الله ومن يستغن يغنهالله.
Artinya: Tangan di atas (pemberi) lebih baik dari tangan di bawah (penerima). Barangsiapa yang mampu menjaga diri (dari meminta-minta), maka Allah akan menjaga dirinya, dan barangsiapa yang merasa cukup (puas dengan apa yang ada tanpa meminta-minta), niscaya Allah akan mencukupkan kebutuhannya.
Sumber :
BUNGA RAMPAI KEUTAMAAN DZAT AHLULBAIT
Oleh : Aidarus Alwee Almashoor
0 Response to "ZAKAT, HALAL ATAU HARAM ? Upaya Menjaga Kesucian Dzat Ahlul Bait saw"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip