NUR MUHAMMAD
Proses Penciptaan dzat
Ahlul Bait Nabi saw
1. Pengertian Nur.
Menurut bahasa Arab arti nur adalah cahaya, yaitu sesuatu yang menyinari suatu objek, sehingga objek itu menjadi jelas dan terang. Menurut Ibrahim Anis (seorang ahli bahasa) dalam al-Mu'jam al-Wasit, nur adalah cahaya yang menyebabkan mata dapat melihat. Sementara itu, Muhammad Mahmud Hijazi, seorang ahli tasawuf mengatakan bahwa nur adalah cahaya yang tertangkap oleh indera, dan dengannya mata dapat melihat sesuatu. Selanjutnya pengertian ini berkembang dengan makna petunjuk dan nalar.
Menurut Tabataba'i, penulis tafsir al-Mizan, pengertian awal dari kata 'nur' itu adalah sesuatu yang tampak dengan sendirinya, dan juga menyebabkan lainnya yang bersifat sensual (naluriah, implisit) menjadi tampak. Kemudian arti ini berkembang lebih luas, yaitu setiap indera dipandang sebagai nur atau mempunyai nur, dan dengannya hal-hal yang sensual dapat terlihat. Selanjutnya, pengertian ini berkembang lagi hingga mencakup yang nonsensual, termasuk akal juga dikatakan sebagai nur karena ia dapat menyingkap hal-hal yang abstrak.
Ibnu Sina, ketika ditanya tentang pengertian nur pada surah al-Nur ayat 35, menjawab bahwa kata 'nur' mengandung dua makna, yang esensial dan metaforikal. Yang esensial berarti kesempurnaan kebeningan karena nur itu pada dirinya bersifat bening. Adapun makna metaforikal harus dipahami dalam dua cara, yaitu sebagai sesuatu yang bersifat baik, atau sebagai sebab yang mengarahkan kepada baik.
Al-Isfahani, seorang ahli tafsir, membagi pengertian 'nur' atas arti material (duniawi) dan arti spiritual (ukhrawi). Nur dalam arti material adalah cahaya yang dapat dilihat/ditangkap di dunia, dan arti ini dibedakan menjadi dua, yaitu arti abstrak (ma'qul) yakni cahaya yang hanya dapat ditangkap oleh mata hati (bashirah), dan arti konkret atau sensual (mahsus) yakni cahaya yang dapat ditangkap oleh mata kepala. Adapun nur dalam arti spiritual ialah cahaya yang akan dilihat di akhirat.
Dalam alquran, kata 'nur' disebutkan 43 kali dan paling tidak memiliki arti dalam tiga kemungkinan, pertama berarti cahaya itu sendiri, misalnya pada surah Yunus ayat 5. Kedua berarti petunjuk, misalnya pada surah al-Hadid ayat 9. Ketiga berarti alquran, misalnya pada surat al-Taghabun ayat 8.
Makna dasar kata 'nur' itu adalah petunjuk, karena nur dalam arti cahaya itu sendiri, petunjuk, ataupun alquran berfungsi sebagai petunjuk bagi orang yang tersesat jalan atau orang yang sedang mencari kebenaran. Maka Nabi Muhammad saw disebut juga nur, karena beliau diyakini sebagai orang yang membawa petunjuk atau menunjukkan jalan yang benar. Hal ini disebutkan pula dalam kamus al-Munawwir yang menjelaskan bahwa arti kata nur itu adalah Rasulullah saw.
Al-Ghazali dalam kitab Misykat al-Anwar mengatakan bahwa kedudukan alquran bagi mata akal sama seperti kedudukan cahaya matahari bagi mata lahiriah. Sebab hanya dengan itulah sempurna penglihatan. Dengan itu pula alquran lebih patut menyandang nama nur sebagaimana sinar matahari biasa dinamakan cahaya.
Al-Ghazali menjelaskan bahwa kata nur atau cahaya memiliki empat pengertian. Pertama, cahaya yang mewujudkan sesuatu sehingga dapat dijangkau oleh penglihatan sedang nur itu sendiri tidak dapat melihat diri, misalnya cahaya matahari. Kedua, cahaya penglihatan, ia menampakkan segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh penglihatan dan ia sendiri dapat melihatnya. Nur ini lebih mulia dari yang pertama. Ketiga, cahaya aqli yaitu yang mewujudnyatakan segala sesuatu yang rasional yang tersembunyi bagi penglihatan pada kegelapan kenyataan, dan nur ini dapat menjangkau dan melihatnya. Keempat, nur al-Haq (Allah swt) yang mewujudnyatakan segala sesuatu yang tidak tampak dan tersembunyi bagi penglihatan pada ketidakadaan, seperti malaikat.
Menurut al-Ghazali, hakikat nur yang sebenarnya hanyalah Allah swt, sedang sebutan cahaya bagi selain-Nya hanyalah kiasan, tak ada wujud sebenarnya. Karena itu al-Ghazali membedakan makna nur di kalangan orang awam dan di kalangan orang khusus.
Nur dalam pengertian orang awam menunjuk kepada sesuatu yang nampak. Ketampakan itu adalah sesuatu yang nisbi. Ada kalanya sesuatu tampak dengan pasti bagi suatu pandangan di saat ia tersembunyi bagi pandangan lainnya. Cahaya adalah sebutan sesuatu yang tampak dengan sendirinya ataupun yang membuat tampak benda lainnya.
Nur dalam pengertian orang khusus adalah 'jiwa yang melihat'. Rahasia cahaya adalah ketampakannya bagi suatu daya cerap. Akan tetapi pencerapan bergantung, selain pada adanya cahaya, juga pada adanya mata yang memiliki daya lihat. Meskipun cahaya disebut sebagai sesuatu yang tampak dan menampakkan sesuatu, namun tidak ada suatu cahaya yang tampak dan menampakkan sesuatu bagi orang buta. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa 'jiwa yang melihat' sama dengan cahaya yang tampak dalam kedudukannya sebagai unsur yang harus ada bagi pencerapan. Bahkan, berdasarkan hal ini, 'jiwa yang melihat' lebih tinggi kedudukannya karena memiliki daya cerap dan dengannya pula suatu pencerapan dapat terwujud.
Selain kata nur, perlu pula dikemukakan pengertian kata Muhammad. Muhammad yang dimaksud dalam tyulisan ini adalah Nabi Muhammad saw. Di kalangan sufi, pribadi Nabi Muhammad mempunyai penilaian tersendiri. Al-Tustury misalnya, berpendapat bahwa Nabi Muhammad adalah merupakan sumber dasar terciptanya tanah yang mulia yang merupakan sumber kejadian. Nabi Muhammad adalah azali karena ia merupakan bahagian dari Allah swt yakni dari nur-Nya.
Pendapat lain dikemukakan oleh Amin al-Qurdy, yang mengatakan bahwa Muhammad adalah manusia 'Ain al-Wujud' yang wujudnya merupakan sumber segala sesuatu sementara para nabi yang mendahuluinya adalah pengganti dan pembantunya.
Dari beberapa keterangan di atas agaknya dapat dipahami bahwa nur Muhammad disandarkan kepada Nabi Muhammad saw yang memiliki kemulian dan keutamaan, baik dari segi jasmaniah maupun dari segi ruhaniah. Ibnu Khatib mengatakan bahwa dengan Muhammad dan dari cahayanyalah maka bulan itu bercahaya dengan sempurna, begitu pula matahari bersinar dengan perantaraan cahaya Muhammad.
2. Konsep Nur Muhammad
Nur Muhammad dalam tasawuf merupakan makhluq yang pertama sekali diciptakan oleh Allah swt dan setelah itu baru diciptakan alam yang lainnya. Nur Muhammad sering juga disebut Hakikat Muhammad atau Ruh Muhammad. Untuk pertama kalinya, konsep Nur Muhammad dibawa oleh seorang sufi bernama al-Hallaj.
Ensiklopedia Islam menyebutkan bahwa Nur Muhammad atau Cahaya Muhammad, dalam filsafat tasawuf adalah paham bahwa yang pertama diciptakan Allah swt adalah Nur Muhammad dan dari Nur Muhammad inilah segala yang lain diciptakan. Nur Muhammad terdapat bukan hanya dalam diri Muhammad saw, tetapi juga dalam diri nabi-nabi yang lain. Nur Muhammad muncul pertama kali dalam diri Adam, kemudian dalam diri nabi-nabi lain, tetapi belum mencapai kesempurnaan. kesempurnaannya baru tercapai dalam diri Nabi Muhammad saw. Maka Nabi Muhammad saw dalam istilah sufi adalah al-Insan al-Kamil, manusia sempurna. Tidak ada manusia lebih sempurna dan lebih mulia dari Nabi Muhammad saw. Gagasan Nur Muhammad pertama kali dicetuskan oleh seorang tokoh sufi dari Iraq yang bernama Sahal Abdullah al-Tusturi pada abad ke sembilan masehi. Selanjutnya dikembangkan oleh al-Hallaj, Ibnu Arabi dan Abdul Karim al-Jilli.
Gerhard Bowering dalam buku Dan Muhammad Adalah Utusan Allah, dalam telaah mendasarnya tentang peranan Nabi saw dalam teologi al-Tusturi menulis:
"Allah, dalam keesaan-Nya yang mutlak dan realitas transenden-Nya, ditegaskan oleh Tusturi sebagai misteri yang tak tertembus dari cahaya Ilahi yang bagaimanapun juga mengungkapkan dirinya sendiri dalam perwujudan pra keabadian dari 'persamaan cahaya-Nya' (matsalu nurihi), yaitu 'persamaan cahaya Muhammad' (Nur Muhammad). Asal-usul Nur Muhammad dalam pra keabadian dilukiskan sebagai suatu masa bercahaya dari pemuliaan primordial di haribaan Allah yang mengambil bentuk suatu tiang tembus cahaya (amud), cahaya Ilahi dan membentuk Muhammad sebagai ciptaan utama Allah. Dengan demikian, dalam menjelaskan tentang terminologi ayat cahaya itu, Tustari berkata: Ketika Allah berkehendak untuk menciptakan Muhammad, Dia memunculkan sebuah cahaya dari cahaya-Nya. Ketika ia mencapai selubung keagungan (hijab al-azhamah), ia membungkuk dan bersujud di hadapan Allah. Allah menciptakan dari sujudnya itu sebuah tiang yang besar bagaikan kaca kristal dari cahaya, yang dari luar maupun dari dalam dapat ditembus pandang."
Yang menarik, Tusturi juga mengaitkan surat al-Najm dengan cahaya Muhammad. Dia tidak menafsirkan surah ini dengan peristiwa penglihatan permulaan Nabi atau perjalanannya ke langit, tetapi justru menyatakan bahwa kata-kata 'Dan dia melihat-Nya lagi di waktu yang lain' mengandung arti pada awal waktu, ketika tiang cahaya Muhammad berdiri di hadapan Allah, jelasnya sebagai berikut:
'Sebelum dimulainya penciptaan selama sejuta tahun, dia berdiri di hadapan-Nya untuk memuja-Nya, dengan keteguhan iman, dan (kepadanya) diungkapkan misteri oleh misteri itu sendiri 'di pohon Sidrah di Tapal Batas', yaitu pohon di mana pengetahuan setiap orang berakhir.'
Lalu, ketika penciptaan dimulai, Allah menciptakan Adam dari cahaya Muhammad, sebagai berikut:
'Cahaya para nabi berasal darinya, dari cahaya Muhammad, dan cahaya kerajaan langit, malakut, adalah dari cahayanya, dan cahaya dunia ini dan dunia yang akan datang berasal dari cahayanya.'
Selanjutnya Bowering melanjutkan penafsirannya atas doktrin Tusturi:
'Akhirnya ketika kemunculan para nabi dan alam raya spiritual di dalam pra keabadian telah sempurna, Muhammad dibentuk tubuhnya, dalam bentuk temporal dan teresterial, dari lempung Adam, yang telah diambil dari tiang Nur Muhammad dalam pra keabadian. Dengan demikian, penciptaan cahaya pra keabadian telah disempurnakan: manusia pertama itu dicetak dari cahaya Muhammad yang telah terkristal dan mengambil sosok pribadi Adam."
Seperti telah dikatakan oleh Ibnu Arabi tiga abad setelah Tusturi, bahwa Nabi saw adalah seperti benih umat manusia. Dan para penyair tak henti-hentinya melukiskan tentang peristiwa itu, yaitu bahwa Muhammad ternyata ada lebih dahulu dibanding Adam dalam esensinya, meskipun secara lahiriah dia adalah keturunannya.
Ibnu Arabi berkata: 'Ketahuilah bahwa cahaya-cahaya alam semesta ini, dari arsy, farsy (hamparan), langit, bumi, surga, hijab, hingga lebih atas lagi, atau dibawahnya, jika seluruhnya dikumpulkan, maka hanya sepadan dengan sebagian cahaya Nabi saw. Seluruh cahaya Nabi saw, seandainya diletakkan di arsy, maka arsy akan terbelah. Seandainya cahaya itu diletakkan di atas tujuh puluh hijab, maka ia akan berserakan. Seandainya seluruh makhluq dikumpulkan dan di atasnya diletakkan cahaya agung, niscaya akan berterbangan dan jatuh.'
Konsep Nur Muhammad berhubungan dengan pencapaian manusia (sufi) pada derajat insan kamil (manusia sempurna), yaitu manusia yang sudah mencapai tingkat tertinggi dari sifat kemanusiaannya atau manusia yang telah memiliki Nur Muhammad, Hakikat Muhammad atau Ruh Muhammad tersebut.
Menurut al-Jilli dalam kitabnya Insan Kamil, benda-benda yang diciptakan dari Nur Muhammad adalah benda-benda yang diciptakan dari Nur Tuhan. Jadi dalam setiap benda terdapat Nur Muhammad, hanya yang sempurna terdapat pada diri nabi-nabi, dan yang paling sempurna adalah pada diri Nabi Muhammad saw. Nur Muhammad bukan Nabi Muhammad saw dan Nabi Muhammad saw bukan Nur Muhammad. Tetapi Nur Muhammad mengambil bentuk pada diri Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, meskipun Nabi Muhammad saw telah wafat, Nur Muhammad tetap abadi dan dapat menampakkan diri pada seseorang yang masih hidup yang dikehendakinya, seperti pada para sufi besar, terutama pada keluarga dan keturunan Nabi Muhammad saw.
Bersambung .....
Sumber :
BUNGA RAMPAI KEUTAMAAN DZAT AHLULBAIT
Oleh : Aidarus Alwee Almashoor
اسمع يا اسرائيل. الرب الهنا رب واحد.
ReplyDeleteولكن لا يكون ظلام للتي عليها ضيق. كما اهان الزمان الاول ارض زبولون وارض نفتالي يكرم الاخير طريق البحر عبر الاردن جليل الامم.
الشعب السالك في الظلمة ابصر نورا عظيما. الجالسون في ارض ظلال الموت اشرق عليهم نور.
لان عندك ينبوع الحياة. بنورك نرى نورا.
ثم كلمهم يسوع ايضا قائلا انا هو نور العالم .من يتبعني فلا يمشي في الظلمة بل يكون له نور الحياة .
Sayidina Yasu'a Al-Masih🕎🇮🇱🍷🥛🍯❤️🕍📜🌒🤴🏼 ✝️🕊️🍷₪