Dalam kitab yang berjudul Fushul al-Ilmiyah Wa al-Ushul al-Hikamiyyah, Imam al-Haddad berkata :
“ Siapapun yang mendukung ahlul-bait tidak boleh mengagung-agungkannya dan tidak boleh juga memuji-muji orang yang bodoh (jahil) kendati orang jahil itu berasal dari keturunan mulia (syarif) atau keturunan dari kaum salaf yang saleh. Sebab, mengagung-agungkan dan memuji-muji orang dari ahlul-bait secara berlebih-lebihan menurut kenyataannya akan dapat membuat lengah mereka terhadap agama dan dapat pula membuat mereka merasa bangga. Juga dapat menjauhkan diri dari amal saleh dan membuatnya lalai akan menambah bekal kehidupan akhiratnya. Orang yang mengagung-agungkan dan memuji-muji anggota ahlul-bait hingga tergelincir dalam kebanggaan, sama dengan orang yang berusaha menjerumuskan mereka ke dalam bencana. Jika demikian mereka itu layak menerima murka Allah dan Rasul-Nya, dan dari kaum saleh (salihin) asal keturunan mereka, yang mereka pandang sebagai sumber kemuliaan mereka, khususnya mereka yang jahil (tidak berilmu).”
Selanjutnya Imam Haddad ra berkata,
"Mereka harus diberitahu bahwa merekalah yang paling layak menghayati kehidupan seperti itu dan lebih wajib daripada kaum muslimin lainnya.
Imam Haddad ra berkata,
"Mereka harus diberi pengertian sebaik-baiknya, bahwa nasab (keturunan) saja tidak bermanfaat, tidak akan mengangkat derajat orang tanpa dibarengi dengan ketaqwaan kepada Allah SWT, apalagi jika ia lebih mengutamakan soal-soal keduniaan, mengabaikan ketaatan dan mengotori dirinya sendiri dengan perbuatan-perbuatan yang menyalahi ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya.”
Berkata Imam Abdullah bin Ahmad Baswedan dalam kitabnya al-Futuhat al-Arsyiyah :
"Kawasan thariqah al-Saadah al-Abi Alawi ialah senantiasa menutupi dan tidak mau berlebih-lebihan dan penonjolan diri, kecuali penonjolan yang didasari oleh ilmu dan hidayat. Sebagian thariqah mereka adalah berkunjung kepada teman/handai taulan dan berziarah kepada sahabat, para shalihin yang telah meninggal dunia seperti kuburan salafus sholeh dengan husnuz zhon yang sempurna selama tidak dibarengi oleh hal-hal yang makruh atau haram, menghadiri majlis ilmu, maulid, dzikir dan disertai adab dengan diharamkanya hadir/campur baur dengan lawan jenis".
Berkata al-Imam Ahmad bin Zein al-Habsyi :
“Thariqah Saadah al-Abi Alawi, tiada lain adalah ilmu, amal, wara, takut dan ikhlas kepada Allah SWT. Thariqah ini tidak menyimpang seujung kaki semut pun dari aqidah Ahlussunnah wal jamaah. Barang siapa yang meninggalkan jalan para habaib yang shalih, menuju kepada jalan lain, ia tidak bakal mendapat taufiq hidayah”.
Imam Abdullah bin Alwy al-Haddad berkata :
“Adapun orang dari keturunan Ahlul bait yang tidak mengikuti jejak para sesepuh mereka yang suci, orang demikian itu telah kerasukan angan-angan yang merusak disebabkan oleh ketidaktahuan mereka akan soal-soal agama".
Imam Abdullah bin Alwy al-Haddad berkata :
"Meski demikian mereka masih tetap harus dihormati, karena tali kekerabatannya dengan Rasulullah SAW. Ia harus diingatkan dan diberi nasehat-nasehat dan didorong agar mau mempelajari dan mengkaji ilmu-ilmu agama seperti yang dilakukan oleh para sesepuh mereka, banyak berbuat kebajikan, menghayati akhlaq mulia dan berperilaku yang diridhai Allah SWT".
Wajib menghormati mereka yakni dengan penghormatan sepantasnya yg tidak berlebihan sampai menjurus fanatisme,yakni penghormatan yg tidak akan dapat membuat lengah mereka terhadap agama dan dapat pula membuat mereka merasa bangga. Juga dapat menjauhkan diri dari amal saleh dan membuatnya lalai akan menambah bekal kehidupan akhiratnya.
Telah ditanya Sayiduna al-Habib al-Imam Abdurahman bin Abdullah bin Ahmad Bilfaqih tentang thariqah al-Saadah al-Abi Alawi, beliau menjawab : “Ketahuilah bahwa thariqah al-Saadah al-Abi Alawi adalah Sabil al-Thoriqah al-Shufiah yang pada dasarnya ialah mengikuti al-Kitab dan al-Sunnah.”
Al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi berkata :
"Jika Keluarga Bani Alawi mengikuti manhaj imamiyah, maka sesungguhnya yang pertama kali akan membawanya ialah al-Faqih al-Muqaddam. Akan tetapi al-Faqih al-Muqaddam membawa manhaj tasawuf sebagaimana yang dianut oleh ahlu sunnah wal jamaah
Fatwa Al Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi Shohibul Maulid SimthudDuror ,
“ Kalau ada seorang ‘Alawi (Habib) tidak berjalan di jalan Orang tua nya, maka dia bukan ‘Alawi, Artinya kalau ada seorang ‘Alawi (Habib) tidak mengikuti Aqidah Ahlus Sunnah maka dia bukan ‘Alawi atau jika ada seorang ‘Alawi, tapi mengikuti Faham Syiah maka dia bukan Habib. Dengan demikian kalau ada seorang ‘Alawi tidak mengikuti Aqidah AhlusSunnah, tapi dia justru mengikuti Faham Syiah Imamiyyah itsna’asyariyyah, maka dia bukan ‘Alawi, dan tepatnya dia adalah “Walad Nuh” anak durhaka yang menolak ajakan orang tua nya. Konsekwensi seorang ‘Alawi yang mengikuti faham Syiah, maka dia telah melepaskan ke ‘Alawiyannya. Dia sendiri yang melepaskan ke’Alawiyannya, dia sendiri Menolak Fadhel Ikhtishos yang Allah berikan. Hal Mana berdasarkan keyakinannya yang menganggap Ahlussunnah dalam kesesatan dan pernikahan secara Ahlussunnah tidak sah, padahal dia lahir dari pernikahan secara Ahlussunnah yang dia yakini tidak sah tersebut, dengan demikian dia sendiri yang menolak sebagai ‘Alawi ( Habib)”. Demikian Fatwa Habib Ali Al-Habsyi tentang Habib Syiah yang di bacakan oleh Habib Anis di acara haulnya Habib Ali al-Habsyi Shohibul Maulid di Kota Solo.
“ Siapapun yang mendukung ahlul-bait tidak boleh mengagung-agungkannya dan tidak boleh juga memuji-muji orang yang bodoh (jahil) kendati orang jahil itu berasal dari keturunan mulia (syarif) atau keturunan dari kaum salaf yang saleh. Sebab, mengagung-agungkan dan memuji-muji orang dari ahlul-bait secara berlebih-lebihan menurut kenyataannya akan dapat membuat lengah mereka terhadap agama dan dapat pula membuat mereka merasa bangga. Juga dapat menjauhkan diri dari amal saleh dan membuatnya lalai akan menambah bekal kehidupan akhiratnya. Orang yang mengagung-agungkan dan memuji-muji anggota ahlul-bait hingga tergelincir dalam kebanggaan, sama dengan orang yang berusaha menjerumuskan mereka ke dalam bencana. Jika demikian mereka itu layak menerima murka Allah dan Rasul-Nya, dan dari kaum saleh (salihin) asal keturunan mereka, yang mereka pandang sebagai sumber kemuliaan mereka, khususnya mereka yang jahil (tidak berilmu).”
Selanjutnya Imam Haddad ra berkata,
"Mereka harus diberitahu bahwa merekalah yang paling layak menghayati kehidupan seperti itu dan lebih wajib daripada kaum muslimin lainnya.
Imam Haddad ra berkata,
"Mereka harus diberi pengertian sebaik-baiknya, bahwa nasab (keturunan) saja tidak bermanfaat, tidak akan mengangkat derajat orang tanpa dibarengi dengan ketaqwaan kepada Allah SWT, apalagi jika ia lebih mengutamakan soal-soal keduniaan, mengabaikan ketaatan dan mengotori dirinya sendiri dengan perbuatan-perbuatan yang menyalahi ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya.”
Berkata Imam Abdullah bin Ahmad Baswedan dalam kitabnya al-Futuhat al-Arsyiyah :
"Kawasan thariqah al-Saadah al-Abi Alawi ialah senantiasa menutupi dan tidak mau berlebih-lebihan dan penonjolan diri, kecuali penonjolan yang didasari oleh ilmu dan hidayat. Sebagian thariqah mereka adalah berkunjung kepada teman/handai taulan dan berziarah kepada sahabat, para shalihin yang telah meninggal dunia seperti kuburan salafus sholeh dengan husnuz zhon yang sempurna selama tidak dibarengi oleh hal-hal yang makruh atau haram, menghadiri majlis ilmu, maulid, dzikir dan disertai adab dengan diharamkanya hadir/campur baur dengan lawan jenis".
Berkata al-Imam Ahmad bin Zein al-Habsyi :
“Thariqah Saadah al-Abi Alawi, tiada lain adalah ilmu, amal, wara, takut dan ikhlas kepada Allah SWT. Thariqah ini tidak menyimpang seujung kaki semut pun dari aqidah Ahlussunnah wal jamaah. Barang siapa yang meninggalkan jalan para habaib yang shalih, menuju kepada jalan lain, ia tidak bakal mendapat taufiq hidayah”.
Imam Abdullah bin Alwy al-Haddad berkata :
“Adapun orang dari keturunan Ahlul bait yang tidak mengikuti jejak para sesepuh mereka yang suci, orang demikian itu telah kerasukan angan-angan yang merusak disebabkan oleh ketidaktahuan mereka akan soal-soal agama".
Imam Abdullah bin Alwy al-Haddad berkata :
"Meski demikian mereka masih tetap harus dihormati, karena tali kekerabatannya dengan Rasulullah SAW. Ia harus diingatkan dan diberi nasehat-nasehat dan didorong agar mau mempelajari dan mengkaji ilmu-ilmu agama seperti yang dilakukan oleh para sesepuh mereka, banyak berbuat kebajikan, menghayati akhlaq mulia dan berperilaku yang diridhai Allah SWT".
Wajib menghormati mereka yakni dengan penghormatan sepantasnya yg tidak berlebihan sampai menjurus fanatisme,yakni penghormatan yg tidak akan dapat membuat lengah mereka terhadap agama dan dapat pula membuat mereka merasa bangga. Juga dapat menjauhkan diri dari amal saleh dan membuatnya lalai akan menambah bekal kehidupan akhiratnya.
Telah ditanya Sayiduna al-Habib al-Imam Abdurahman bin Abdullah bin Ahmad Bilfaqih tentang thariqah al-Saadah al-Abi Alawi, beliau menjawab : “Ketahuilah bahwa thariqah al-Saadah al-Abi Alawi adalah Sabil al-Thoriqah al-Shufiah yang pada dasarnya ialah mengikuti al-Kitab dan al-Sunnah.”
Al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi berkata :
"Jika Keluarga Bani Alawi mengikuti manhaj imamiyah, maka sesungguhnya yang pertama kali akan membawanya ialah al-Faqih al-Muqaddam. Akan tetapi al-Faqih al-Muqaddam membawa manhaj tasawuf sebagaimana yang dianut oleh ahlu sunnah wal jamaah
Fatwa Al Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi Shohibul Maulid SimthudDuror ,
“ Kalau ada seorang ‘Alawi (Habib) tidak berjalan di jalan Orang tua nya, maka dia bukan ‘Alawi, Artinya kalau ada seorang ‘Alawi (Habib) tidak mengikuti Aqidah Ahlus Sunnah maka dia bukan ‘Alawi atau jika ada seorang ‘Alawi, tapi mengikuti Faham Syiah maka dia bukan Habib. Dengan demikian kalau ada seorang ‘Alawi tidak mengikuti Aqidah AhlusSunnah, tapi dia justru mengikuti Faham Syiah Imamiyyah itsna’asyariyyah, maka dia bukan ‘Alawi, dan tepatnya dia adalah “Walad Nuh” anak durhaka yang menolak ajakan orang tua nya. Konsekwensi seorang ‘Alawi yang mengikuti faham Syiah, maka dia telah melepaskan ke ‘Alawiyannya. Dia sendiri yang melepaskan ke’Alawiyannya, dia sendiri Menolak Fadhel Ikhtishos yang Allah berikan. Hal Mana berdasarkan keyakinannya yang menganggap Ahlussunnah dalam kesesatan dan pernikahan secara Ahlussunnah tidak sah, padahal dia lahir dari pernikahan secara Ahlussunnah yang dia yakini tidak sah tersebut, dengan demikian dia sendiri yang menolak sebagai ‘Alawi ( Habib)”. Demikian Fatwa Habib Ali Al-Habsyi tentang Habib Syiah yang di bacakan oleh Habib Anis di acara haulnya Habib Ali al-Habsyi Shohibul Maulid di Kota Solo.
- Al-Habib Ahmad bin Hasan al-Attas berkata :
“ Orang saleh dari kaum Alawiyin zaman dahulu dan orang-orang selain mereka dalam mengajarkan ilmu lebih menitikberatkan pada pendidikan untuk menyelamatkan dada (membersihkan dan meluruskan hati), menanamkan prasangka baik terhadap Allah SWT dan terhadap sesama manusia, hidup zuhud (tidak bergelimang dalam kesenangan duniawi), mendambakan kebahagiaan akhirat, menjaga hak-hak orang lain dan menghormati ilmu, para ulama, para wali serta kaum mukminin dan muslimin.
0 Response to "Imam al-Haddad : Pengagungan AhlulBait Secara Berlebihan"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip