1. Pengertian Kafa'ah.
Arti dari kata Kafa'ah adalah: Sama, sederajat, sepadan atau sebanding. Dalam perkawinan, yang dimaksud dengan kufu' yaitu laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlaq, kekayaan dan keturunannya.
2. Dasar Hukum Kafa'ah.
Menurut Imam Syafei, masalah kafa'ah pertama kali diistinbat berdasarkan hadits dari Bariroh. Bariroh dikawinkan dengan lelaki yang tidak sekufu' dengannya, beliau mengadu kepada Rasulullah saw dan Rasulullah saw memberikan hak untuk memilih kepadanya.
Hadits yang diriwayatkan dari Imam Ali bin Abi Thalib, Rasulullah saw bersabda:
يا علي ثلاثل لاتؤخر الصلاة اذا اتت والجنازة اذا حضرة والايم اذا وجدت كفؤا
"Wahai Ali ada tiga perkara jika tiba waktunya tidak boleh ditunda-tunda: shalat jika telah masuk waktunya, jenazah jika telah hadir untuk dishalatkan dan wanita jika telah datang jodoh yang sekufu' dengannya".
Hadits yang diriwayatkan dari Aisyah ra, bersabda Rasululullah saw:
تخيروا لنطفكم فأنكحوا الا اكفاء وانكحوا اليهم
"Pilihlah wanita sebagai wadah untuk menumpahkan nutfahmu, carilah mereka yang sekufu' denganmu dan kawinilah mereka".
Hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah An-Anshori, bersabda Rasulullah saw:
ألا لايزوج النساء الا الأولياء ولا يزوجن من غير الأكفاء
"Janganlah engkau menikahi wanita kecuali dengan izin walinya, dan janganlah engkau menikahinya kecuali dengan yang sekufu'.
Hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim, Rasulullah saw bersabda:
تخيروا لنطفكم ولا تضعوها في غير الأكفاء
"Pilihlah wanita sebagai wadah untuk menumpahkan nutfahmu, janganlah letakkan nutfahmu ke (rahim) wanita yang tidak sekufu'.
3. Ijtihad ulama tentang kafa'ah.
Mengenai kafa'ah, para fuqaha telah sepakat bahwa faktor agama termasuk dalam pengertian kafa'ah, kecuali pendapat dari Muhammad bin Hasan yang tidak memasukkan faktor agama dalam pengertian kafa'ah.
Tidak diperselisihkan lagi di kalangan madzhab Maliki, bahwa apabila seorang gadis dikawinkan oleh ayahnya dengan seorang peminum khamr atau singkatnya dengan orang fasik, maka gadis tersebut berhak menolak perkawinan tersebut. Kemudian hakim memeriksa perkaranya dan menceraikan antara keduanya. Begitu pula halnya apabila ia dikawinkan dengan pemilik harta haram atau dengan orang yang banyak bersumpah dengan kata-kata "talaq".
Fuqaha berselisih pendapat tentang faktor nasab (keturunan), apakah termasuk dalam pengertian kafa'ah atau tidak. Begitu pula tentang faktor kemerdekaan, kekayaan dan keselamatan dari cacat (aib).
Menurut pendapat yang terkenal dari Imam Malik, dibolehkan kawin dengan hamba sahaya Arab dan mengenai hal itu ia beralasan dengan firman Allah:
"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah swt ialah yang paling bertaqwa diantara kamu."
Akan tetapi dalam perkawinan antara hamba sahaya tersebut Imam Malik dan pengikutnya mempunyai dua pendapat,: Pertama: jika hamba sahaya berkulit putih kawin dengan wanita merdeka maka perkawinannya kufu'. Kedua: jika perkawinan antara hamba sahaya berkulit hitam dengan wanita merdeka maka perkawinannya tidak sekufu' dan itu merupakan aib.
Sufyan ats-Tsauri dan Imam Ahmad berpendapat bahwa wanita Arab tidak boleh kawin dengan hamba sahaya. Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya berpendapat bahwa wanita Quraisy tidak boleh kawin kecuali dengan lelaki Quraisy, dan wanita Arab tidak boleh kawin kecuali dengan lelaki Arab pula. Silang pendapat ini disebabkan pendapat mereka tentang mafhum (pengertian) dari Sabda Nabi saw:
"Wanita itu dinikahi karena agamanya, kecantikannya, hartanya dan keturunannya, maka carilah wanita yang taat kepada agama, niscaya akan beruntung."
Segolongan fuqaha ada yang memahami bahwa factor agama sajalah yang dijadikan pertimbangan. Demikian itu karena didasarkan kepada sabda Nabi saw: … maka carilah wanita yang taat kepada agama. Segolongan yang lain berpendapat bahwa factor Nasab (keturunan) sama kedudukannya dengan faktor agama, demikian pula faktor kekayaan. Dan tidak ada yang keluar dari lingkup kafa'ah kecuali apa yang dikeluarkan oleh ijma', yaitu bahwa kecantikan tidak termasuk dalam lingkup kafa'ah. Semua fuqaha yang berpendapat adanya penolakan nikah karena adanya cacat, mereka akan menganggap keselamatan dari cacat termasuk dalam lingkup kafa'ah. Berdasarkan pendapat ini ada yang memasukkan kecantikan sebagai lingkup kafa'ah.
Di kalangan madzhab Maliki, tidak diperselisihkan lagi bahwa faktor kemiskinan (pada pihak lelaki) termasuk salah satu perkara yang menyebabkan dibatalkannya perkawinan yang dilakukan oleh seorang ayah bagi anak gadisnya, begitu pula faktor kemerdekaan (bukan budak).
Mengenai mahar mitsil (yakni mahar yang semisal ukurannya), maka Imam Malik dan Imam Syafii berpendapat bahwa hal tersebut tidak digolongkan sebagai kafa'ah. Oleh karenanya seorang ayah boleh mengawinkan anak gadisnya dengan mahar yang kurang dari mahar mitsil. Sedangkan Imam Hanafi memasukkan mahar mitsil sebagai kafa'ah.
4. Kafa'ah nasab dalam pernikahan.
Semua Imam madzhab dalam Ahlus Sunnah Wal Jamaah sepakat akan adanya kafa'ah walaupun mereka berbeda pandangan dalam menerapkannya. Salah satu yang menjadi perbedaan tersebut adalah dalam masalah keturunan (nasab).
Dalam hal keturunan orang Arab adalah kufu' antara satu dengan lainnya. Begitu pula halnya orang Quraisy dengan Quraisy lainnya. Karena itu laki-laki yang bukan Arab (Ajam) tidak sekufu' dengan wanita-wanita Arab. Laki-laki Arab tetapi bukan dari golongan Quraisy tidak sekufu' dengan wanita Quraisy. Hal tersebut berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar , bahwa Rasulullah saw bersabda:
العرب اكفاء بعضهم لبعض , قبيلة لقبيل , ورجل لرجل...
"Orang-orang Arab sekufu' satu dengan yang lainnya. Kabilah dengan kabilah lainnya, kelompok yang satu sekufu' dengan kelompok yang lainnya, laki-laki yang satu sekufu' dengan yang lainnya …"
Hadits riwayat Aisyah, bahwa Rasulullah bersabda:
العرب للعرب اكفاء...
"Orang-orang Arab satu dengan yang lainnya adalah sekufu'…"
Menurut Imam Hanafi: Laki-laki Quraisy sepadan (kufu') dengan wanita Bani Hasyim. Menurut Imam Syafi'i: Laki-laki Quraisy tidak sepadan (tidak sekufu') dengan wanita Bani Hasyim dan wanita Bani Muthalib. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim:
ان الله اصطفى كنانة من بنى اسماعيل واصطفى كنانة قريشا واصطفى قريش بنى هاشم واصطفنى من بن هاشم
"Bahwasanya Allah swt memilih Kinanah dari anak-anak Ismail dan memilih Quraisy dari Kinanah dan memilih Bani Hasyim dari Quraisy dan memilih aku dari Bani Hasyim …"
Akan tetapi kebanyakan ahli fiqih berpendapat bahwa kafa'ah merupakan hak bagi perempuan dan walinya. Seorang wali tidak boleh mengawinkan perempuan dengan lelaki yang tidak kufu' dengannya kecuali dengan ridhanya dan ridha segenap walinya. Jika para wali dan perempuannya ridha maka ia boleh dikawinkan, sebab para wali berhak menghalangi kawinnya perempuan dengan laki-laki yang tidak sepadan (tidak kufu'). Imam Syafi'i berkata: Jika perempuan yang dikawinkan dengan lelaki yang tak sepadan (tidak sekufu') tanpa ridhanya dan ridha para walinya, maka perkawinannya batal. Imam Hanafi berkata: Jika seorang wanita kawin dengan pria yang tidak sederajat (tidak sekufu') tanpa persetujuan walinya, maka perkawinan tersebut tidak sah dan wali berhak untuk menghalangi perkawinan wanita dengan pria yang tidak sederajat tersebut, karena yang demikian itu akan menimbulkan aib bagi keluarga. Imam Ahmad berkata Perempuan itu hak bagi seluruh walinya, baik yang dekat ataupun jauh. Jika salah seorang dari mereka tidak ridha dikawinkan dengan laki-laki yang tidak sederajat (tidak sekufu'), maka ia berhak membatalkan. Riwayat lain dari Ahmad, menyatakan: bahwa perempuan adalah hak Allah, sekiranya seluruh wali dan perempuannya sendiri ridha menerima laki-laki yang tidak sederajat (tidak sekufu'), maka keridhaan mereka tidaklah sah.
5. Kewenangan wali dalam pernikahan.
Para ulama telah sepakat bahwa wanita yang waras dan dewasa dapat melaksanakan semua aqad kecuali aqad nikah, dan juga dapat mewakilkannya kepada siapa yang dikehendakinya tanpa ada hak sanggah bagi siapapun terhadapnya. Mereka sepakat pula bahwa aqad nikah wanita merdeka yang baligh dan berakal, apabila dilaksanakan oleh walinya menurut hukum syara' dengan persetujuan wanita yang bersangkutan, adalah sah.
Adapun apabila wanita sendiri yang melaksanakannya atau mewakilkan kepada orang lain yang melaksanakannya, maka para ulama berbeda pendapat tentang sahnya. Abu Hanifah, Abu Yusuf menurut lahir riwayat dan Zufar berpendapat bahwa nikah itu sah, hanya wali mempunyai hak sanggah, selama belum melahirkan atau belum hamil yang nyata, apabila perkawinan itu dilangsungkan dengan tidak sekufu'.
Dan diriwayatkan dari Abu Hanifah dan Abu Yusuf pendapat bahwa nikah itu hanya sah kalau dengan yang sekufu' saja dan batal kalau bukan dengan yang sekufu'. Sedangkan Daud dan orang-orang yang sefaham dengan dia mengambil dalil dengan hadits:
الثيب احقّ بنفسها من وليها
"Wanita tsayyib (janda) lebih berhak mengenai dirinya daripada walinya".
Mengenai perbedaan hukum antara wanita perawan dan wanita janda, terdapat hadits:
ليس للولي مع الثيب امر
"Tidak ada urusan wali mengenai wanita janda".
Mereka mengatakan: Kedua hadits ini adalah tegas mengenai seluruh urusan wanita janda terserah kepadanya sendiri, dan di antaranya ialah aqad nikah. Dan kedua hadits itu juga jelas menunjukkan perintah minta izin wanita perawan. Maka dengan demikian, si perawan tidak ada haknya kecuali memberi izin mengenai nikahnya, dan hal itu menunjukkan bahwa yang menguasai nikah adalah orang lain dari pada dia, yaitu walinya yang meminta izin kepadanya.
Abu Tsaur mengambil dalil dengan hadits Asiyah Ayyuma imra-atin dan selanjutnya mengenai syarat hanyalah izin wali saja. Hadits itu menunjukkan bahwa pernikahan yang dilakukan oleh wanita sendiri hanya batal apabila walinya tidak mengizinkan. Apabila ia mengawinkan dirinya dengan seizing walinya, maka nikah itu sah. Muhammad berpegang pada hadits ini juga mengenai pendapatnya bahwa sahnya aqad itu tergantung pada izin wali. As-Sya'bi dan Az-Zuhry mengambil dalil tentang aqad itu sah kalau sekufu' dan tidak sah kalau tidak sekufu'. Malik, Syafi'i, Ahmad, Ishaq dan kebanyakan para ulama berpendapat bahwa nikah tidak sah dengan dilaksanakan oleh wanita sendiri atau wakilnya.
Jumhur ulama kalangan Ahlus Sunnah sepakat bahwa salah satu syarat sahnya pernikahan adalah wali. Adapun alasan tersebut berdasarkan pada ayat 32 Surat An-Nuur:
وَاَنْكِحُوا الأيَامى مِنْكُمْ...
"Nikahkanlah orang-orang yang tidak bersuami/tidak beristeri dari padamu".
Ayat tersebut ditujukan kepada wali di mana mereka diminta supaya menikahkan orang-orang yang belum bersuami atau orang-orang yang belum beristri. Ini menunjukkan bahwa urusan pernikahan adalah urusan wali. Kalau tidak demikian halnya, tentulah khitab ayat tersebut tidak ditujukan kepada mereka (para wali).
Hal ini diperkuat oleh hadits yang datang mengenai sebab turun ayat itu. Bukhari telah meriwayatkan dalam kitab sahihnya, juga Abu Daud, dan Turmudzy telah mensahihkannya, dari Ma'qal bin Yassar bahwa ayat itu turun mengenai dia. Ia berkata: Aku telah mengawinkan saudara perempuan, kemudian suaminya menceraikannya. Sesudah habis iddahnya bekas suaminya datang meminang nya lagi, maka aku katakan kepadanya: Aku telah mengawinkanmu, telah kuberi tempat kepadamu dan telah aku muliakanmu, tetapi kamu menceraikannya, kemudian kamu datang meminangnya lagi. Tidak, demi Allah, ia tidak boleh kembali kepadamu selama-lamanya.
Bekas suami itu adalah seorang laki-laki dimana bekas istrinya ingin kembali kepadanya. Allah mengetahui hajat laki-laki itu kepada bekas isterinya dan hajat perempuan itu kepada bekas suaminya, maka Allah swt menurunkan ayat: Wa Idzaa Thallaqtumu an-nisaa dan seterusnya. Maka aku berkata: Sekarang saya kerjakan Ya Rasulullah. Ia berkata bahwa: ia mengawinkannya kepada bekas suaminya.
Mereka mengatakan: Kalaulah wanita dapat mengawinkan dirinya, tentulah saudara perempuan Ma'qal telah melakukannya, karena ia suka kepada bekas suaminya. Dan berdasarkan ini, maka jauhlah pendapat yang mengatakan bahwa khitab dalam ayat itu ditujukan kepada suami.
Hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, At-Turmuzy dan Ibnu Majah:
لا نكاح الا بولي
"Tidak ada pernikahan melainkan dengan wali".
Dan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Daruqutny dan Baihaqy dari Abu Hurairah, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw:
لاتزوج المرأة المرأة ولا تزوج المرأة نفسها فإن الزّانية هي التى تزوج
"Wanita tidak dapat mengawinkan wanita dan ia tidak dapat mengawinkan dirinya, maka sesungguhnya wanita penzinalah yang mengawinkan dirinya".
Adapun dalil logika ialah bahwa nikah mempunyai maksud yang bermacam-macam, sedang nikah itu adalah ikatan antara keluarga. Wanita dengan kekurangannya dalam hal memilih, tentulah tidak dapat memilih dengan cara yang baik, lebih-lebih lagi karena wanita itu tunduk kepada hukum perasaan halus yang kadang-kadang menutupi segi-segi kemaslahatan. Maka untuk menghasilkan tujuan-tujuan ini dengan cara yang lebih sempurna, maka dilaranglah wanita mencampuri langsung aqad nikah.
Menurut riwayat yang masyhur Imam Malik berpendapat serupa dengan Imam Syafii, tetapi yang diriwayatkan oleh Ibnu Al-Qasim dari beliau, bahwa mengenai wanita yang tidak mempunyai kedudukan (wanita biasa) dapat menikahkan dirinya sendiri dan aqad nikah wanita yang mempunyai kedudukan (wanita bangsawan) yang dilakukan oleh seorang muslim yang tidak berfungsi sebagai wakil wali, sahnya akad nikah tersebut tergantung kepada restu wali atau qadhi.
Mengenai janda yang sah mengucapkan sighat ijab aqad nikahnya bertentangan dengan apa yang diriwayatkan oleh Thabari. Thabari berkata: Tentang riwayat Hafsah, ketika ia dalam status janda diaqadkan oleh Umar dan bukan yang berkepentingan mengaqadkan dirinya sendiri. Peristiwa ini membatalkan pendapat yang menyatakan bahwa wanita yang sudah dewasa dan mampu mengurus dirinya sendiri dapat mengawinkan dan mengaqadkan dirinya sendiri tanpa wali. Andaikata memang demikian, tentu Rasulullah saw meminang Hafsah secara pribadi (langsung) saja karena ia lebih berhak atas dirinya daripada ayahnya dan beliau tidak usah melamar lewat orang lain yang tak berhak mengurus persoalannya serta mengaqadkan nikahnya.
Di dalam kitab Usdu al-Ghabah diterangkan berita dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib, katanya: Pada waktu Umu Kulsum telah menjadi janda sepeninggalan Umar bin Khattab, Imam Ali berkata kepada Umu Kulsum: Anakku, sebenarnya Allah swt sudah menetapkan bahwa engkau sekarang ini berhak memilih jodohmu, namun saya ingin sekali kalau engkau menyerahkan pilihan itu kepadaku. Umu Kulsum menjawab: Ayah! Saya ini hanyalah wanita biasa, yang tentunya menginginkan apa yang biasa diinginkan oleh kaum wanita. Saya ingin memilih sendiri siapa yang akan menjadi jodoh saya. Imam Ali ra menjawab: Tidak! Demi Allah, wahai anakku, sungguh ini bukan buah pikiranmu sendiri!. Hasan dan Husein berkata: Dik Umu Kulsum! Serahkanlah urusan jodohmu itu kepada Ayah kita. Umu Kulsum menjawab: Ya ayah! Saya mengikuti apa yang ayah katakan tadi. Kemudian Imam Ali berkata: Ya, baiklah! Sekarang aku menikahkan engkau dengan 'Aun bin Ja'far bin Abi Thalib.
6. Dalil-dalil yang mendasari kafa'ah syarifah.
Pada dasarnya ayat-ayat Alquran yang menyebutkan keutamaan dan kemuliaan ahlul bait secara umum merupakan dalil yang mendasari pelaksanaan kafa'ah dalam perkawinan syarifah. Begitu juga ayat yang terdapat dalam alquran surat al-An'am ayat 87, berbunyi:
وَمِنْ ءَابَائِهِمْ وَذُرِّيَتِهِمْ وَإِخْوَانِهِمْ...
"(dan kami lebihkan pula derajat) sebahagian dari bapak-bapak mereka, keturunan mereka dan saudara-saudara mereka …"
ayat di atas jelas memberitahukan kepada kita bahwa antara keturunan para nabi (khususnya keturunan nabi Muhammad saw) dengan keturunan lainnya terdapat perbedaan derajat keutamaan dan kemuliaan, hal ini didasari oleh sabda Rasulullah saw:
نحن اهل البيت لا نقاس بنا
"Kami Ahlul Bait tidaklah bisa dibandingkan dengan siapapun.", begitu pula dengan perkataan Imam Ali bin Abi Thalib dalam kitab 'Nahjul Balaghoh', bahwa: "Tiada seorang pun dari umat ini dapat dibandingkan dengan keluarga (aal) Muhammad saw". Tentang keluarga Nabi, Imam Ali mengatakan bahwa tiada orang di dunia ini yang setaraf (sekufu') dengan mereka, tiada pula orang yang dapat dianggap sama dengan mereka dalam hal kemuliaan.
Turmudzi meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Abbas bin Abdul Mutthalib, ketika Rasulullah ditanya tentang kemuliaan silsilah mereka, beliau menjawab:
"Allah menciptakan manusia dan telah menciptakan diriku yang berasal dari jenis kelompok manusia terbaik. Kemudian Allah menciptakan kabilah-kabilah terbaik, dan menjadikan diriku dari kabilah yang terbaik. Lalu Allah menciptakan keluarga-keluarga terbaik dan menjadikan diriku dari keluarga yang paling baik. Akulah orang yang terbaik di kalangan mereka, baik dari segi pribadi maupun dari segi silsilah."
Baihaqi, Abu Nu'aim dan Tabrani meriwayatkan dari Aisyah, Disebutkan bahwa Jibril as pernah berkata:
قلبت مشارق الأرض و مغاربها فلم أجد رجلا افضل من محمد , وقلبت مشارق الأرض و مغاربها فلم أجد بنى أب افضل من بنى هاشم
"Aku membolak balikkan bumi, antara Timur dan Barat, tetapi aku tidak menemukan seseorang yang lebih utama daripada Muhammad saw dan akupun tidak melihat keturunan yang lebih utama daripada keturunan Bani Hasyim."
Dalam Alquran disebutkan bahwa manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Sebagai contoh para sahabat nabi, mereka adalah orang-orang yang mulia walaupun mereka bukan dari kalangan ahlul bait. Memang benar, bahwa mereka semuanya sama-sama bertaqwa, taat dan setia kepada Allah dan Rasul-Nya. Persamaan keutamaan itu disebabkan oleh amal kebajikannya masing-masing. Akan tetapi ada keutamaan yang tidak mungkin dimiliki oleh para sahabat nabi yang bukan ahlul bait. Sebab para anggota ahlul bait secara kodrati dan menurut fitrahnya telah mempunyai keutamaan karena hubungan darah dan keturunan dengan manusia pilihan Allah yaitu junjungan kita Nabi Muhammad saw. Hubungan biologis itu merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal dan tidak mungkin dapat diimbangi oleh orang lain. Lebih-lebih lagi setelah turunnya firman Allah swt dalam surah Al-Ahzab ayat 33 dan wasiat Rasulullah saw berupa hadits Tsaqalain, di samping itu beliau sendiri telah menegaskan:
ياايهاالناس ان الفضل و الشرف و المنزلة و الولاية لرسول الله وذرّيته , فلا تذهبنّ الأباطيل
"Hai manusia bahwasanya keutamaan, kemuliaan, kedudukan dan kepemimpinan ada pada Rasulullah dan keturunannya. Janganlah kalian diseret oleh kebatilan."
Walaupun para ahlil bait Rasulullah menurut dzatnya telah mempunyai keutamaan, namun Rasulullah tetap memberi dorongan kepada mereka supaya memperbesar ketaqwaan kepada Allah swt, jangan sampai mereka mengandalkan begitu saja hubungannya dengan beliau. Karena hubungan suci dan mulia itu saja tanpa disertai amal saleh tidak akan membawa mereka kepada martabat yang setinggi-tingginya di sisi Allah.
Dengan keutamaan dzatiyah dan keutamaan amaliyah, para ahlul bait dan keturunan Rasul memiliki keutamaan ganda, keutamaan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Keutamaan ganda itulah (khususnya keutamaan dzatiyah) yang mendasari pelaksanaan kafa'ah di kalangan keturunan Rasullulah.
Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai kafa'ah syarifah, marilah kita perhatikan hadits yang menceritakan tentang adanya kafa'ah di kalangan wanita Arab. Telah diceritakan dalam kitab syarah al-Wasith: bahwa Umar bin Khattab akan menikahkan anak perempuannya kepada Salman al-Farisi, kemudian berita tersebut sampai kepada Amr bin Ash, dan beliau berkata kepada Salman: Saya lebih setara (sekufu') dari pada engkau. Maka Salman berkata: Bergembiralah engkau. Dan selanjutnya dengan sikap tawadhu' Salman berkata: Demi Allah, saya tidak akan menikah dengan dia selamanya. Keputusan yang diambil oleh Salman berdasarkan hadits Rasulullah saw:
من سلمان , نهانا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نتقدّم امامكم او ننكح نساءكم
"Dari Salman, sesungguhnya Rasulullah telah melarang kami untuk memimpin (mengimami) kamu atau menikahi wanita-wanita kamu."
Dari hadits tersebut jelaslah bahwa di kalangan wanita Arab telah ada kafa'ah nasab dalam perkawinan. Hal tersebut dibuktikan oleh penolakan Salman al-Farisi yang berasal dari Persi ketika hendak dinikahkan dengan wanita Arab. Jika dalam pernikahan wanita Arab dengan lelaki non Arab saja telah ada kafa'ah, apalagi halnya dengan kafa'ah dalam pernikahan antara syarifah dimana mereka adalah wanita Arab yang mempunyai kemuliaan dan keutamaan. Kemuliaan dan keutamaan yang didapatkan tersebut dikarenakan mereka adalah keturunan Rasulullah saw. Hadits tersebut sekaligus juga merupakan jawaban yang mengeliminir perkataan Imam Ali yang berbunyi: Mu'min kufu' antara sesama mu'min, Arab dengan Ajam, Quraisy dan Bani Hasyim bila mereka telah Islam dan beriman."
Sedangkan hadits Rasulullah yang memberikan dasar pelaksanaan kafa'ah syarifah adalah hadits tentang peristiwa pernikahan Siti Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib, sebagaimana kita telah ketahui bahwa mereka berdua adalah manusia suci yang telah dinikahkan Rasulullah saw berdasarkan wahyu Allah swt. Hadits tersebut berbunyi:
انما انا بشر مثلكم اتزوج فيكم وازوجكم الا فاطمة , فان تزويجها نزل من السماء , ونظر رسول الله صلىالله عليه وسلم الى اولاد على وجعفر فقال بناتنا لبنينا و بنونا لبناتنا
"Sesungguhnya aku hanya seorang manusia biasa yang kawin dengan kalian dan mengawinkan anak-anakku kepada kalian, kecuali perkawinan anakku Fathimah. Sesungguhnya perkawinan Fathimah adalah perintah yang diturunkan dari langit (telah ditentukan oleh Allah swt). Kemudian Rasulullah memandang kepada anak-anak Ali dan anak-anak Ja'far, dan beliau berkata: "Anak-anak perempuan kami hanya menikah dengan anak-anak laki kami, dan anak-anak laki kami hanya menikah dengan anak-anak perempuan kami".
Menurut hadits di atas dapat kita ketahui bahwa: Anak-anak perempuan kami (syarifah) menikah dengan anak-anak laki kami (sayid/syarif), begitu pula sebaliknya anak-anak laki kami (sayid/syarif) menikah dengan anak-anak perempuan kami (syarifah). Berdasarkan hadits ini jelaslah bahwa pelaksanaan kafa'ah yang dilakukan oleh para keluarga Alawiyin didasari oleh perbuatan Rasul, yang dicontohkannya dalam menikahkan anak puterinya Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib. Hal itu pula yang mendasari para keluarga Alawiyin menjaga anak puterinya untuk tetap menikah dengan laki-laki yang sekufu sampai saat ini. Di zaman Syekh Umar Muhdhar bin Abdurahman al-Saqqaf, oleh para keluarga Alawiyin beliau diangkat menjadi 'Naqib al-Alawiyin' yang salah satu tugas khususnya adalah menjaga agar keluarga Alawiyin menikahkan putrinya dengan lelaki yang sekufu'. Mustahil jika ulama Alawiyin seperti Muhammad bin Ali al-Faqih al-Muqaddam, Syekh Abdurahman al-Saqqaf, Syekh Umar Muhdhar, Syekh Abu Bakar Sakran, Syekh Abdullah Alaydrus, Syekh Ali bin Abi Bakar Sakran dan lainnya, melaksanakan pernikahan yang sekufu' antara syarifah dengan sayid hanya berdasarkan dan mengutamakan adat semata-mata dengan meninggalkan ajaran datuknya Rasulullah saw sebagai uswatun hasanah bagi umat, padahal mereka bukan saja mengetahui hal-hal yang zhohir tapi juga mengetahui hal-hal bathin yang didapat karena kedekatan mereka dengan Allah swt.
Para ulama Alawiyin mempunyai sifat talazum (tidak menyimpang) dari alquran dan seruannya, mereka tidak akan berpisah meninggalkan alquran sampai hari kiamat sebagaimana hadits menyebutkan mereka sebagai padanan alquran, dan mereka juga sebagai bahtera penyelamat serta sebagai pintu pengampunan. Rasulullah mensifatkan mereka ibarat bingkai yang menyatukan umat ini. Berpegang pada mereka dan berjalan di atas jalan mereka adalah jaminan keselamatan dan tidak adanya perpecahan serta perselisihan, sebagaimana hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:
"Bintang-bintang adalah sebagai pengaman bagi penduduk bumi dari tenggelam (di lautan) dan ahlil baitku sebagai pengaman bagi penduduk bumi dari perselisihan."
Tidaklah alquran memperkenalkan mereka kepada umat, melainkan agar umat itu memahami kedudukan mereka (dalam Islam) serta agar umat mengikuti dan menjadikan mereka rujukan dalam memahami syariah, mengambil hukum-hukumnya dari mereka. Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad dalam syairnya menulis:
Ahlul Bait Musthofa, mereka adalah orang-orang suci
Mereka pemberi keamanan di muka bumi
Mereka ibarat bintang-bintang yang bercahaya
Demikianlah sunnatullah yang telah ditentukan
Mereka ibarat bahtera penyelamat
dari segala topan (bahaya) yang menyusahkan
Maka menyelamatkan dirilah kepadanya
Dan berpegang teguhlah kepada Allah swt
serta memohon pertolongan-Nya
Wahai Tuhanku, jadikanlah kami orang yang berguna atas berkah mereka
Tunjukkanlah kepada kami kebaikan dengan kehormatan mereka
Cabutlah nyawa kami di atas jalan mereka
Dan selamatkanlah kami dari berbagai macam fitnah.
Mengapa para ulama Alawiyin mewajibkan pernikahan tersebut?, hal itu bertujuan agar kemuliaan dan keutamaan mereka sebagai keturunan Rasulullah saw yang telah ditetapkan dalam alquran dan hadits Nabi saw, tetap berada pada diri mereka. Sebaliknya, jika telah terjadi pernikahan antara syarifah dengan lelaki yang bukan sayid, maka anak keturunan selanjutnya adalah bukan sayid, hal itu disebabkan karena anak mengikuti garis ayahnya, implikasinya keutamaan serta kemuliaan yang khusus dikarunia oleh Allah swt untuk ahlul bait dan keturunannya tidak dapat disandang oleh anak cucu keturunan seorang syarifah yang menikah dengan lelaki yang bukan sayid.
Hadits-hadits lain yang menjadi dasar pelaksanaan kafa'ah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani, Al-Hakim dan Rafi'i:
"…maka mereka itu keturunanku diciptakan (oleh Allah) dari darah dagingku dan dikaruniai pengertian serta pengetahuannku. Celakalah (neraka wail) bagi orang dari ummatku yang mendustakan keutamaan mereka dan memutuskan hubunganku dari mereka. Kepada mereka itu Allah tidak akan menurunkan syafa'atku."
Makna yang terkandung dalam hadits ini adalah: mustahil akan terjadi pemutusan hubungan keturunan nabi saw kalau tidak dengan terputusnya nasab seorang anak dan tidak akan terputus nasab seorang anak kalau bukan disebabkan perkawinan syarifah dengan lelaki yang tidak menyambung nasabnya kepada nabi saw. Dan jika telah terjadi pemutusan hubungan tersebut, maka menurut hadits di atas Nabi Muhammad tidak akan memberi syafa'atnya kepada orang yang memutuskan hubungan keturunannya kepada Rasulullah melalui perkawinan syarifah dengan lelaki yang bukan sayid.
Sejarah menginformasikan kepada kita bahwa khalifah Abu Bakar dan Umar bersungguh-sungguh untuk melamar Siti Fathimah dengan harapan keduanya menjadi menantu nabi. At-Thabary dalam kitabnya yang berjudul Dzakhairul Uqba halaman 30 mengetengahkan sebuah riwayat, bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah meminang Siti Fathimah oleh Rasulullah dijawab: "Allah belum menurunkan takdir-Nya". Demikian pula jawaban Rasulullah kepada Umar bin Khattab ketika meminang Siti Fathimah ra.. Mengapa mereka ingin menjadi menantu nabi? Dua orang sahabat itu meminang Fathimah, semata-mata ingin mempunyai hubungan kekerabatan dengan Rasulullah dan karena keutamaan-keutamaan yang diperoleh keluarga nabi menyebabkan mereka ingin sekali menjadi menantunya. Mereka mendengar Rasulullah bersabda:
كلّ نسب وصهر ينقطع يوم القيامة الا نسبي وصهري
"Semua hubungan nasab dan shihr (kerabat sebab hubungan perkawinan) akan terputus pada hari kiamat kecuali nasab dan shihr-ku".
Al-Baihaqi, Thabrani dan yang lain meriwayatkan bahwa ketika Umar bin Khattab ra meminang puteri Imam Ali ra yang bernama Ummu Kulsum, beliau berkata:
"Aku tidak menginginkan kedudukan, tetapi saya pernah mendengar Rasulullah saw berkata: 'Sebab dan nasab akan terputus pada hari kiyamat kecuali sababku dan nasabku. Semua anak yang dilahirkan ibunya bernasab kepada ayah mereka kecuali anak Fathimah, akulah ayah mereka dan kepadaku mereka bernasab.' Selanjutnya Umar ra berkata lebih lanjut: Aku adalah sahabat beliau, dan dengan hidup bersama Ummu Kulsum aku ingin memperoleh hubungan sabab dan nasab (dengan Rasulullah saw)."
Orang lain saja (khalifah Abu Bakar dan khalifah Umar) ingin menjadi menantu nabi karena ingin mendapatkan keutamaan dan kemuliaan melalui perkawinan dengan keturunan Rasulullah saw , sebaliknya ada sebagian keturunan Rasulullah yang dengan sengaja melepas dan menghilangkan keutamaan dan kemuliaan itu pada diri dan keluarganya khususnya kepada keturunannya hanya karena mereka mengikuti nafsu untuk bebas memilih dan menikahkan anak perempuannya dengan seorang lelaki yang tidak sekufu' (bukan sayyid).
Seharusnya para keturunan Rasulullah yang hidup saat ini melipatgandakan rasa syukurnya kepada Allah, karena melalui kakeknya Nabi Muhammad saw mereka menjadi manusia yang memiliki keutamaan dan kemuliaan, bukan sebaliknya mereka kufur ni'mat atas apa yang mereka telah dapatkan dengan melepas keutamaan dan kemuliaan diri dan keturunannya melalui pernikahan yang mengabaikan kafa'ah nasab dalam perkawinan anak dan saudara perempuannya, yaitu dengan mengawinkan anak dan saudara perempuannya sebagai seorang syarifah dengan lelaki yang bukan sayyid.
Sebelum pernikahan kedua manusia suci itu, Siti Fathimah pernah dilamar oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq. Lamaran tersebut tidak diterima oleh Rasulullah dengan alasan Allah swt belum menurunkan wahyu-Nya untuk menikahkan Siti Fathimah. Begitu pula dengan Umar bin Khattab, beliau juga melamar Siti Fathimah, akan tetapi lamaran itu pun tidak diterima Rasulullah dengan alasan yang sama ketika menolak lamaran Abu Bakar Ash-Shiddiq. Akan tetapi ketika Ali bin Abi Thalib melamar Siti Fathimah kepada Rasulullah, saat itu juga Rasulullah menerima lamaran Ali bin Abi Thalib dan Rasulullah berkata: " Selamat wahai Ali, karena Allah telah menikahkanmu dengan putriku Fathimah ".
Secara selintas memang peristiwa tersebut merupakan pernikahan biasa yang dialami nabi sebagai seorang ayah, dan sebagai utusan Allah yang senantiasa menerima wahyu dari Tuhannya. Akan tetapi dibalik peristiwa itu, terkandung nilai-nilai yang disampaikan Allah kepada nabinya yaitu berupa hukum kafa'ah dalam perkawinan keluarga Rasulullah, dimana Allah mensyariatkan pernikahan Imam Ali bin Abi Thalib dan Siti Fathimah yang keduanya mempunyai hubungan darah dengan Rasulullah dan mempunyai keutamaan ganda yang tidak dimiliki oleh Abu Bakar dan Umar. Mereka adalah ahlul bait, dimana Allah telah menghilangkan dari segala macam kotoran dan membersihkan mereka dengan sesuci-sucinya.
Generasi Nabi saw lahir dari putrinya Fathimah ra. Beliau sangat mencintai mereka, al-Hasan dan al-Husein disebut sebagai anaknya sendiri, bahkan kepada menantunya, suami dari Fathimah ra, Rasulullah saw mengatakan:
"Seandainya Ali bin Abi Thalib tidak lahir ke bumi maka Fathimah tidak akan mendapatkan suami yang sepadan (sekufu'), demikian pula halnya dengan Ali, bila Fathimah tidak dilahirkan maka Ali bin Abi Thalib tidak pula akan menemukan istri yang sepadan (sekufu'), mereka dan anak-anaknya diriku dan diriku adalah diri mereka."
Abu Abdillah Ja'far al-Shaddiq mengatakan, "Seandainya Allah tidak menjadikan Amirul Mukminin (Imam Ali) maka tidak ada yang sepadan (sekufu') bagi Fathimah di muka bumi, sejak Adam dan seterusnya."
Para ulama seperti Abu Hanifah, Imam Ahmad dan Imam Syafii dalam masalah kafa'ah sependapat dengan pendapat khalifah Umar bin Khattab yang mengatakan: "Aku melarang wanita-wanita dari keturunan mulia (syarifah) menikah dengan lelaki yang tidak setaraf dengannya."
Menurut mazhab Syafii, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal, seorang wanita keturunan Bani Hasyim, tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki dari selain keturunan mereka kecuali disetujui oleh wanita itu sendiri serta seluruh keluarga (wali-walinya). Bahkan menurut sebagian ulama mazhab Hambali, kalaupun mereka rela dan mengawinkannya dengan selain Bani Hasyim, maka mereka itu berdosa. Sebaliknya, Imamiyah tidak mensyaratkan adanya kafaah dalam pernikahan. Menurut mereka sikap muslim yang baik adalah kufu' dengan wanita muslimah yang baik. Imam Ahmad bin Hanbal berkata:
"Wanita keturunan mulia (syarifah) itu hak bagi seluruh walinya, baik yang dekat ataupun jauh. Jika salah seorang dari mereka tidak ridho di kawinkannya wanita tersebut dengan lelaki yang tidak sekufu', maka ia berhak membatalkan. Bahwa wanita (syarifah) hak Allah, sekiranya seluruh wali dan wanita (syarifah) itu sendiri ridho menerima laki-laki yang tidak sekufu', maka keridhaan mereka tidak sah."
Seorang ulama yang terkenal yang dianggap pendobrak kebekuan pemikiran kaum muslimin seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seorang Syarif yang putrinya dikawinkan dengan seorang bukan Syarif padahal si ayah tidak setuju, apakah nikah tersebut sah? Ibnu Taimiyah menjawab:
"Kafaah dalam hal nasab tidak merupakan persyaratan bagi Imam Malik. Adapun menurut Abu Hanifah, Syafii dan Ahmad dalam salah satu riwayat darinya– kafaah adalah hak isteri dan kedua orang tua. Maka apabila mereka semua rela tanpa kafu, sahlah nikah mereka. Akan tetapi dalam riwayat lainnya dari Ahmad, kafaah adalah " hak Allah "dan oleh karenanya tidaklah sah nikah tanpa adanya kafaah."
Dalam kitabnya 'Bughya al-Mustarsyidin' al-Allamah Sayid Abdurahman bin Muhammad bin Husein al-Masyhur, berkata:
"Seorang syarifah yang dipinang oleh orang selain laki-laki keturunan Rasulullah, maka aku tidak melihat diperbolehkannya pernikahan tersebut. Walaupun wanita keturunan Ahlul Bait Nabi SAW dan walinya yang terdekat merestui. Ini dikarenakan nasab yang mulia tersebut tidak bisa diraih dan disamakan. Bagi setiap kerabat yang dekat ataupun jauh dari keturunan sayyidah Fatimah Az-Zahra adalah lebih berhak menikahi wanita keturunan Ahlul Bait Nabi tersebut."
Selanjutnya beliau berkata:
"Meskipun para fuqaha mengesahkan perkawinannya, bila perempuan itu ridho dan walinya juga ridho, akan tetapi para fuqaha leluhur kami mempunyai pilihan yang para ahli fiqih lain tidak mampu menangkap rahasianya, maka terima sajalah kamu pasti selamat dan ambillah pendapatnya, jika kamu bantah akan rugi dan menyesal."
Dijelaskan oleh Sayyid Usman bin Abdullah bin Yahya (Mufti Betawi):
"Dalam perkara kafa'ah, tidaklah sah perkawinan seorang laki-laki dengan perempuan yang tidak sekufu' apalagi perempuan itu seorang syarifah maka yang bukan sayyid tidak boleh menikahinya sekalipun syarifah itu dan walinya menyetujuinya. Sekalipun para fakih telah berkata bahwa pernikahan itu sah namun para ulama ahlul bait mempunyai ijtihad dan ikhtiar dalam perkara syara' yang tiada di dapati oleh para fakih lain. Maka sesudah diketahui segala nash ini tentang larangan pernikahan wanita keturunan ahlul bait nabi SAW, sebaiknya menjauhkan diri dari memfatwakan bolehnya pernikahan syarifah dengan selain dari keturunan Rasulullah tersebut dengan berlandaskan semata-mata nash umum fuqaha, yakni nikah itu sah bila si wanitanya ridha dan walinya yang dekatpun ridha. Hal ini berlaku secara umum, tidak berlaku untuk syarifah dengan lain bangsa yang bukan sayyid."
Selanjutnya beliau berkata:
"Daripada yang menjadi godaan yang menyakitkan hati Sayidatuna Fathimah dan sekalian keluarga daripada sayid, yaitu bahwa seorang yang bukannya dia daripada bangsa sayid Bani Alawi, ia beristerikan syarifah daripada bangsa Bani Alawi, demikian juga orang yang memfatwakan harus dinikahkannya, demikian juga orang yang menjadi perantaranya pernikahan itu, karena sekaliannya itu telah menyakitkan Sayidatuna Fathimah dan anak cucunya keluarga Rasulullah saw."
Mufti Makkah al-Mukarromah, Sayid Alwi bin Ahmad al-Saqqaf , menjelaskan dalam kitabnya 'Tarsyih al-Mustafidin Khasiyah Fath al-Mu'in':
"Dalam kitab al-Tuhfah dan al-Nihayah disebutkan bahwa tidak ada satupun anak keturunan Bani Hasyim yang sederajat (sekufu') dengan anak keturunan Siti Fathimah. Hal ini disebabkan kekhususan Rasulullah saw, karena anak keturunan dari anak perempuannya (Siti Fathimah) bernasab kepada beliau dalam hal kafa'ah dan lainnya."
Pendapat-pendapat yang dikeluarkan oleh para ulama keturunan Rasulullah saw tersebut merupakan dalil hukum syariat yang dapat dijadikan pedoman dalam pernikahan seorang syarifah. Mengapa demikian? Dikarenakan mereka adalah hujjah-hujjah Ilahi yang berusaha menjaga umat ini dan memelihara kelurusan terhadap penyimpangan dari aspek-aspek ibadah dan lain-lain. Oleh karena itu, umat ini seyogyanya berpegang teguh kepada mereka serta tidak mendahului dan tidak mengabaikan mereka. Orang yang bersandar dan mengikuti mereka tidak akan tersesat, sebagaimana tidak akan tersesat orang yang bersandar pada alquran, hal tersebut adalah jaminan Rasulullah kepada ummatnya, sebagaimana sabda beliau saw yang dinamakan dengan hadits al-Tsaqalain:
"Kepada kalian kutinggalkan sesuatu yang jika kalian berpegang teguh kepadanya sepeninggalanku kalian tak akan tersesat: Kitab Allah sebagai tali yang terentang dari langit sampai ke bumi, dan keturunanku, ahlul baitku. Dua-duanya tidak akan terpisah hingga kembali kepadaku di Haudh (sorga). Perhatikanlah kedua hal itu dalam kalian meneruskan kepemimpinanku."
Mengenai ucapan Rasulullah saw: "Dua-duanya tidak akan terpisah hingga kembali kepadaku di Haudh" dan ucapan beliau: "jika kalian berpegang teguh kepadanya sepeninggalanku kalian tak akan tersesat" yang dimaksud adalah para ulama yang berasal dari keturunan ahlul bait, tidak berlaku bagi orang-orang selain mereka. Mereka mempunyai keistimewaan sebagai teladan dan berada pada martabat lebih tinggi daripada yang tidak mempunyai keistimewaan sebagai teladan. Kita wajib berteladan kepada ulama dari kalangan mereka, dengan menimba dan menghayati ilmu-ilmu mereka yang telah dijamin oleh Allah swt. Rasulullah saw dengan ucapannya menunjuk anggota-anggota keluarga keturunan beliau, dikarenakan mereka mempunyai keistimewaan dapat memahami apa yang diperlukan (hikmah-hikmah yang terkandung dalam suatu perkara, yang tidak dapat dipahami oleh ulama selain mereka). Sebab kebaikan unsur penciptaan yang ada pada mereka dapat melahirkan kebaikan akhlaq, dan kebaikan akhlaq akan menciptakan kebersihan dan kesucian hati. Manakala hati telah bersih dan suci ia akan memberikan cahaya terang dan dengan cahaya itu dada akan menjadi lebih cerah. Semuanya itu merupakan kekuatan bagi mereka dalam usahanya memahami apa yang harus dilakukan menurut perintah syariat. Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya yang berjudul al-Aqidah al-Wasithiyah memberi tanggapan terhadap hadits tsaqalain sebagai berikut:
"Dua kalimat hadis tsaqalain yang menyatakan 'dua-duanya tidak akan terpisah hingga kembali kepadaku di Haudh', dan 'jika kalian berpegang teguh kepadanya sepeninggalanku kalian tak akan tersesat', hal tersebut tidak hanya berlaku bagi para Imam atau orang-orang terkemuka dari keluarga keturunan Rasulullah saw saja, melainkan berlaku juga bagi semua orang yang berasal dari keluarga keturunan beliau, baik yang awam maupun yang khawas, yang menjadi Imam maupun yang tidak."
Perkataan Ibnu Taimiyah semakin menjelaskan bahwa masalah kafa'ah yang dilaksanakan oleh para keturunan Rasulullah -baik ia seorang ulama ataupun ia seorang awam- di mana status mereka sebagai padanan alquran, bukanlah suatu yang bertentangan dengan ajaran Islam atau berdasar kepada adat semata-mata.
Disamping itu, hal itu dilakukan berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam alquran, diantaranya surat Surat al-Ra'du ayat 21:
"dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungan (mengadakan hubungan silaturahmi dan tali persaudaraan), dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk."
Surat Muhammad ayat 22-23:
"Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa, kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?. Mereka itulah orang-orang yang dila'nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka."
Sebagai pelengkap uraian di atas, seorang hakim pengadilan Mesir memfasakhkan pernikahan seorang syarifah yang menikah dengan lelaki yang bukan sayid seperti yang terdapat dalam Fatawa al-Manar, Juz VII, hal 447 ditulis:
"Sebagaimana yang pernah terjadi dalam kasus peradilan di Mesir pada sekitar tahun 1904, mengenai perkawinan Syekh Ali Yusuf, pemimpin majalah al-Mu'ayyad dengan sayidah Shofiyah binti sayid Abdul Khaliq al-Saadat. Hakim syar'i menetapkan batalnya akad berdasarkan tidak adanya kafa'ah. Karena si perempuan dari golongan Alawiyah sedang syekh Ali Yusuf bukan orang Alawi."
Sungguh patut disesalkan jika seseorang dalam suatu pernikahan mengangkat wali kuasa sebagai wali nikah (wali hakim) dan dengan sengaja menikahkan wanita tersebut tanpa seizin wali terdekatnya, apalagi tidak sekufu' serta seorang syarifah yang kawin lari dengan laki-laki yang bukan sayid dikarenakan orang tua mereka tidak menyetujui pernikahan tersebut. Tindakan tersebut merupakan suatu hal yang mengganggu Rasulullah SAW dan menyakitinya apabila terjadi suatu perkawinan terhadap putri-putri dari keturunan beliau dengan tanpa pertimbangan kafa'ah terlebih dahulu, melalaikan amanat dan tidak memperhatikan serta tidak menjaga perihal hubungan nasab keturunan beliau. Sehubungan dengan itu, Allah SWT berfirman dalam Alquran:
"Tidak boleh bagi kalian menyakiti diri Rasulullah SAW dan tidak boleh mengawini isteri-isterinya selama-lamanya setelah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu amat besar dosanya di sisi Allah SWT."
Dari ayat tersebut kita dapat memahami dan mengambil kesimpulan, bahwa apabila isteri-isteri Nabi saw saja dilarang bagi orang-orang lain untuk mengawini mereka karena dianggap akan mengganggu Rasulullah saw, di mana ikatan mereka dengan Rasul karena adanya hubungan pernikahan, apalagi terhadap anak cucu beliau yang bersambung karena hubungan nasab , darah dan kefamilian.
Jika kita membaca sejarah, ketika anak perempuan Abu Lahab meninggalkan orang tuanya dan hijrah ke Madinah, beberapa orang dari kaum muslimin berpendapat bahwa hijrah mereka ke Madinah tidak ada gunanya sama sekali, karena orang tua mereka adalah umpan api neraka. Ketika anak perempuan Abu Lahab melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah, beliau bersabda:
"Kenapa masih ada orang-orang yang masih menggangguku melalui nasab dan kerabatku? Barang siapa mengganggu nasabku dan kaum kerabatku berarti ia menggangguku, barang siapa menggangguku berarti ia mengganggu Allah SWT"
Begitu pula sabda Rasulullah SAW:
اشتدّ غضب الله على من اذاني في عترتي
"Amat keras murka Allah SWT atas orang-orang yang menyakiti aku di dalam hal keturunanku "
7. Penafsiran tentang makna dzurriyah.
Sebagaimana telah dketahui bahwa "keturunan Rasulullah" ialah mereka yang telah diberi karunia besar berupa martabat kemuliaan dari Allah swt. Siapakah keturunan Rasulullah itu? Beberapa ulama memberi definisi dan batasan mengenai keturunan Rasulullah saw, sebagai berikut:
Syaikhul Islam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata dalam kitabnya 'Jala' al-Afham' halaman 138 menjelaskan beberapa makna 'aal Muhammad saw' (keluarga Nabi) yang mengklasifikasikan menjadi empat pendapat. Di antara pendapat tersebut mengatakan bahwa 'aal Muhammad' ialah: khusus anak cucu Rasulullah saw dan para isteri beliau. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik berasal dari Nu'aim bin Mujmar. Akan tetapi pendapat yang mengatakan 'aal Muhammad' ialah isteri-isteri Nabi tidak didukung oleh dalil-dalil yang kuat. Menurut Sayyid Alwi bin Thahir Al-Haddad:
"Jika ayat itu turun untuk istri-istri Nabi tentunya pembicaraan akan tetap tertuju kepada mereka sebagaimana dalam ayat sebelumnya. Akan tetapi penggunaan dhamir mudzakkar menunjukkan bahwa pembicaraan (khitab) bukan dengan mereka. Adapun peletakan ayat ini di tengah ayat-ayat yang membicarakan istri-istri Nabi menunjukkan adanya hikmah pada perintah-perintah yang diwajibkan atas istri-istri Nabi tersebut dan ini cukup sebagai alasan peletakannya dan sekaligus menggugurkan alasan mereka yang menjadikan siyaq al-ayat sebagai dalil bahwa ayat itu untuk istri-istri Nabi".
Di dalam riwayat Muslim disebutkan: Kami bertanya, "Apakah istri-istri Nabi saw termasuk Ahlul Bait?" Ia menjawab, "Tidak, karena istri tinggal bersama suami hanya beberapa saat saja. Kemudian jika ia diceraikan, ia kembali kepada keluarganya. Ahlul Baitnya adalah keluarga yang haram menerima sedekah sepeninggal Nabi."
Dalam riwayat lain disebutkan: "Sesungguhnya telah aku tinggalkan untukmu sesuatu yang jika kalian ambil, kalian tidak akan tersesat sepeninggalku, yaitu ats-Tsaqalain. Pertama, Kitab Allah sebagai tali yang terbentang di antara langit dan bumi. Kedua, keluargaku, Ahlul baitku. Keduanya tidak akan terpisah hingga kembali kepadaku di al-Haudh.
Hal ini menjelaskan bahwa istri-istri Nabi tidak termasuk ke dalam keluarga atau ahlul baitnya. Juga ditegaskan bahwa keluarga atau ahlul bait itu keluarga yang senasab saja. Hal ini sesuai dengan pendapat Mufti Makkah Syeikh Muhammad Said bin Muhammad Babushail, yang mengemukakan pendapatnya dalam kitab 'Al-Durar al-Naqiyah Fi Fadha'ili Dzurriyati Khair al-Barriyah'. Dalam kitab tersebut ia mengatakan bahwa: 'Kaum kerabat Nabi saw (termasuk anak cucu keturunan beliau) adalah keluarga yang mempunyai pertalian nasab.'
Setelah makna 'aal Muhammad' bukan ditujukan untuk istri-istri Nabi, maka makna 'aal Muhammad' tersebut tertuju kepada anak-cucu (keturunan) Rasulullah saw. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan: Tidak ada perbedaan di kalangan ahli bahasa bahwa makna Dzurriyah itu adalah keturunan baik yang masih anak-anak maupun yang sudah dewasa. Sebagaimana dinyatakan oleh Allah dalam firman-Nya surat Al-Baqarah ayat 124:
"Dan ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa nikmat, maka ia menunaikannya. Allah berfirman: Aku akan menjadikan kamu Imam bagi seluruh manusia. Ibrahim berkata dan dari keturunanku …"
Kemudian Ibnu Qayyim berkata: Jika hal ini ditetapkan maka Dzurriyah adalah anak-anak dan anak-anak mereka. Lalu apakah anak-anak perempuan termasuk ke dalam dzurriyah? Dalam hal ini terdapat dua pendapat. Keduanya berdasarkan dua riwayat dari Ahmad: Pertama, memasukkan anak-anak wanita ke dalam Dzurriyah Mereka berpendapat bahwa ummat Islam sepakat anak-anak dari Fathimah adalah Dzurriyah Nabi saw, yang kepada mereka ini Allah memerintahkan bershalawat. Karena tak ada seorang pun dari puteri-puteri Nabi saw kecuali Fathimah yang mempunyai keturunan, maka tidak ada orang yang bernasab kepada Rasulullah kecuali dari Fathimah saw. Oleh karenanya nabi berkata: Sesungguhnya puteraku ini sayyid.
Mereka berkata: "Dan juga Allah swt berfirman akan hak Ibrahim as (Surat Al-An'am ayat 84-85):
"…dan kepada sebahagiaan dari keturunan (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas, semua termasuk orang-orang yang saleh"
Dan alquran surat Ali Imran ayat 61:
"Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu…".
Kedua, adapun orang yang tidak memasukkan anak wanita ke dalam Dzurriyah, ia berhujjah bahwa anak-anak dari anak perempuan, mereka pada hakikatnya hanya bernasab kepada ayahnya. Karena jika puteri Bani Hasyim menikah dengan selain Bani Hasyim kemudian mempunyai keturunan, maka anaknya itu bukan keturunan Bani Hasyim, sebab ia bernasab kepada ayahnya. Karena itu seorang penyair mengatakan:
بنونا بنوا ابنائنا وبناتنا بنوهن اولاد الرجال الاباعد
Keturunan kami adalah keturunan dari anak laki-laki dan wanita kami, Keturunan dari puteri kami adalah keturunan dari laki-laki yang terjauh.
Mereka berkata: adapun masuknya Fathimah ke dalam Dzurriyah Nabi saw karena kemuliaannya, keagungan dan martabat ayahnya Muhammad saw yang tidak ada satupun manusia yang sama dengannya di dunia. Dengan demikian maka Dzurriyah Nabi dari puterinya itu merupakan kelanjutan dari keluhuran dan kemuliaan martabat Nabi saw, sebagaimana Thabrani meriwayatkan hadits dari Siti Fathimah ra, bahwasanya Rasulullah menegaskan:
كل ابن انثى ينتمون الى عصبتهم ال ولد فاطمة فإني انا وليهم وانا عصبتهم وابوهم
Semua anak yang dilahirkan oleh ibunya bernasab kepada ayah mereka kecuali Fathimah, akulah wali mereka, akulah nasab mereka dan akulah ayah mereka.
Kita mengetahui bahwa kemuliaan dan keagungan seperti itu tidak dapat kita temukan pada para pembesar, raja-raja dan lainnya karena mereka tidak memandang keturunan dari anak perempuan mereka sebagai Dzurriyah yang meneruskan kebesaran dan kemuliaan mereka.
Mereka berkata: Adapun alasan dengan masuknya Al-Masih (Isa as) dalam keturunan Ibrahim as, bukan merupakan argumentasi yang kuat, karena sesungguhnya Al-Masih tidak memiliki seorang ayah, maka nisbatnya dari pihak ayahnya mustahil, hingga ibunya menempati posisi ayahnya (oleh karena itu Allah swt menisbatkannya kepada ibunya). Demikian juga setiap orang terputus nasabnya dari ayahnya, baik karena sumpah li'an ataupun yang lainnya, maka ibunya menempati posisi ayahnya sekaligus sebagai ibunya dalam nasab.
Itu adalah salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan itu sesuai dengan tuntutan nash. Dan pendapat Ibnu Mas'ud ra dan lainnya, menurut kaidah pendapat itu benar, karena nasab seseorang asalnya kepada ayahnya. Jika nasabnya terputus dari arah ayahnya, ia kembali kepada ibunya walaupun kembalinya dari ayahnya telah ditentukan, ia tetap kembali dari ibunya kepadanya. Demikian juga, sebagaimana yang disepakati mayoritas umat atasnya dalam kewalian, bahwasanya ia adalah milik wali bapak, jika kembalinya ia kepada mereka sulit, maka ia berada dalam kewalian ibunya namun jika kembalinya ia kepada mereka dimungkinkan, ia kembali dari ibu kepada sumbernya dan asalnya.
Sehubungan dengan masalah tersebut, pada dasarnya yang dimaksud dengan keturunan ahlul bait khususnya mereka yang berasal dari keturunan Al-Hasan dan Al-Husein, bukan keturunan dari dua orang saudara perempuan mereka, kendatipun semuanya adalah putri-puteri Fathimah binti Muhammad saw. Ketentuan tersebut didasarkan pada sebuah hadits shahih berasal dari Jabir ra, diketengahkan oleh Al-Hakim di dalam 'Mustadrak' dan oleh Abu Ya'la di dalam Musnadnya ; bahwasanya Siti Fathimah ra meriwayatkan ayahandanya saw berkata:
لكلّ بني ادم عصبة الاّ ابني فاطمة , انا وليّهما وعصبتهما
Semua anak Adam dilahirkan oleh seorang ibu termasuk di dalam suatu Usbah – yakni kelompok dari satu keturunan – kecuali dua orang putera Fathimah. Akulah wali dan 'usbah mereka berdua.
Yang dimaksud "dua orang putera Fathimah" dalam hadits tersebut ialah al-Hasan dan al-Husein. Dengan memperhatikan lafazd hadits tersebut, dapat diketahui dengan jelas bagaimana Rasulullah mengkhususkan pengelompokkan al-Hasan dan al-Husein sebagai keturunan beliau, sedangkan dua orang saudari perempuan mereka (Zainab dan Ummu Kulsum) dikecualikan dari pengelompokkan nasab tersebut di atas, karena anak-anak dari dua orang puteri Siti Fathimah itu bernasab kepada ayahnya masing-masing yang bukan dari ahlul bait Rasulullah saw.
Itulah sebabnya kaum salaf dan khalaf memandang anak lelaki seorang syarifah (wanita keturunan ahlul bait Rasulullah saw) tidak dapat disebut sayyid atau syarif jika ayahnya bukan seorang sayyid atau syarif. Kalau pengkhususan tersebut di atas berlaku umum bagi semua anak yang dilahirkan oleh anak cucu perempuan Rasulullah, tentu anak lelaki seorang syarifah adalah syarif yang diharamkan menerima shadaqah, walaupun ayahnya bukan seorang syarif.
Karena itu pula Rasulullah saw menetapkan kekhususan tersebut hanya berlaku bagi dua orang putera Siti Fathimah, tidak berlaku bagi puteri-puteri Rasulullah selain Siti Fathimah , karena kakak perempuan Siti Fathimah yaitu Zainab binti Muhammad saw tidak melahirkan putera lelaki tetapi hanya melahirkan anak perempuan yaitu Amamah binti Abul 'Ash bin Rabi' seorang pria bukan dari kalangan ahlul bait Rasulullah. Ketentuan itu diambil oleh Rasulullah semasa hidupnya. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak Amamah tidak bernasab kepada Nabi saw, karena Amamah adalah anak perempuan dari puteri beliau Zainab yang menjadi isteri seorang pria bukan dari ahlul bait, sedangkan Zainab sendiri jelas bernasab kepada Rasulullah. Seumpama Zainab melahirkan anak lelaki dari suami seorang ahlul bait, tentu bagi anak lelakinya itu berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi Al-Hasan dan Al-Husein yaitu bernasab kepada Rasulullah saw.
Dalam mengomentari keutamaan keturunan Rasulullah saw melalui Siti Fathimah , al-Allamah Ibnu Hajar dalam kitabnya 'Al-Shawaiq al-Muhriqah', menerangkan sebagai berikut: Barang siapa mengganggu salah seorang putera Fathimah, ia akan menghadapi bahaya karena perbuatannya itu membuat marah Siti Fathimah ra. Sebaliknya barang siapa mencintai putera-putera Fathimah ra, ia akan memperoleh keridhoannya. Para ulama khawas (yakni ulama yang mempunyai keistimewaan khusus) merasa di dalam hatinya terdapat keistimewaan yang sempurna karena kecintaan mereka kepada Rasulullah saw dan keturunannya disebabkan mereka (keturunan Nabi saw) mempunyai dzat mulia yang diciptakan dari nur Muhammad sebelum Allah menciptakan bumi dan langit. Sebagaimana Nabi saw bersabda:
Allah telah menciptakan cahaya Fathimah sebelum menciptakan bumi dan langit. Sebagian sahabat bertanya, "ya Rasulullah! Bukankah dia adalah manusia biasa? Rasulullah menjawab: "Dia adalah bidadari berbentuk manusia."
Dan diantara tanda-tanda bidadari yang ada pada dirinya adalah bahwa dia tidak pernah melihat darah yang keluar dari rahim. Demikianlah Fathimah ra, ia suci dari haid dan nifas seperti yang disepakati oleh kaum muslimin.
Yang menjadi pertanyaan, apakah seorang anak yang lahir dari perkawinan antara syarifah dengan lelaki yang bukan sayyid mendapat keutamaan dan kemuliaan sebagai ahlul bait? Jawabnya sangat jelas, bahwa anak tersebut tidak mendapatkan keutamaan dan kemuliaan sebagai ahlul bait dan keistimewaannya sebagaimana yang disebutkan dalam alquran dan hadits, disebabkan anak yang mereka lahirkan tidak tergolong ahlul bait (keturunan) nabi, melalui puterinya Siti Fathimah ra dan kedua puteranya Al-Hasan dan Al- Husein. Rasulullah saw mengkhususkan pengelompokkan Al-Hasan dan Al-Husein sebagai keturunan beliau, sedangkan dua orang saudari perempuan mereka (Zainab dan Ummu Kulsum) dikecualikan dari pengelompokkan nasab tersebut di atas, karena anak-anak dari dua orang puteri Siti Fathimah itu bernasab kepada ayahnya masing-masing yang bukan dari ahlul bait Rasulullah saw.
Berdasarkan nash-nash tersebut dan ijma ulama, maka ditetapkan bahwa anak yang dilahirkan oleh seorang syarifah (wanita keturunan ahlul bait Rasulullah saw dari puterinya Siti Fathimah serta puteranya Al-Hasan dan Al-Husein) tidak dapat disebut sayyid atau syarif jika ayahnya bukan seorang sayyid atau syarif.
Sumber :
BUNGA RAMPAI KEUTAMAAN DZAT AHLULBAIT
Oleh : Aidarus Alwee Almashoor
0 Response to "KAFA'AH SYARIFAH Upaya Menjaga Kemuliaan Dzat Ahlul Bait Nabi saw"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip