Naqib Dan Munsib
Orang yang bertugas menjaga dan memelihara keturunan ahli bait
Di
muka bumi ini dapat dikatakan keturunan yang masih terpelihara baik
sampai waktu sekarang ini kemungkinan hanyalah keturunan keluarga
Rasulullah saw. Hal itu merupakan pertolongan Allah swt untuk memberi
peringatan kepada kaum kafir dan musyrik yang mendustakan da’wah
Rasulullah saw dan mengatakan bahwa nabi Muhammad saw tidak mempunyai
keturunan.
Allah
swt telah menggerakkan hati khalifah Umar bin Khattab sebagai pelopor
yang mencatat keturunan Rasulullah saw. Selanjutnya banyak ulama yang
berusaha menghimpun catatan-catatan tentang keturunan ahli bait,
sehingga timbullah usaha pencatatan nasab keturunan nabi menjadi ilmu
tersendiri, dan pemerintah Abbasiyah mendirikan kantor-kantor yang
dipimpin oleh seorang Naqib untuk melaksanakan tugas menjaga dan
memelihara keturunan ahli bait dengan menulis dan menetapkan seseorang
itu adalah benar keturunan ahli bait Rasulullah saw. Kantor Naqabah
didirikan untuk mengatur semua urusan mereka dan yang terpenting menjaga
keturunan dan famili-famili mereka dengan teliti.
Al-Qadhi Abi Hasan Ali bin Muhammad al-Baghdadi al-Mawardi al-Syafii berkata :
‘Jika
khalifah hendak mengangkat bagi bangsa Thalibiyin seorang pemimpin atau
bagi bangsa Abbasiyin seorang Naqib, maka ia pilih di antara mereka
seorang yang familinya paling terpandang dan yang paling banyak berbuat
kebajikan serta mempunyai kematangan berfikir. Maka siapa saja yang
mempunyai sifat-sifat itu, diangkatlah menjadi kepala atas mereka, agar
mereka lebih patuh dan urusan mereka dapat berjalan dengan lancar’.
Al-Mawardi
menyebutkan dalam kitabnya dua belas kewajiban yang berhubungan dengan
urusan tersebut. Di antara kewajiban itu,
Pertama menjaga keturunan mereka (ahlu bait) agar tidak seorangpun dari keturunan ahli bait dapat masuk di dalamnya atau tidak seorangpun yang keluar dari keturunan ahli bait.
Kedua, membedakan golongan-golongan dan mengetahui betul keturunannya agar tidak bercampur baur anak-anak yang dari satu bapak dan dari keturunan lainnya, serta mencatat nama-nama mereka ke dalam buku-buku dengan mengklasifikasikan nama famili mereka.
Ketiga, mengetahui siapa saja anak laki dan perempuan yang dilahirkan dan mencatat namanya, begitu pula mencatat yang meninggal dunia, hal itu dilakukan untuk menjaga agar tidak hilang keturunannya dan mengaku sebagai keturunan dari yang telah meninggal.
Pertama menjaga keturunan mereka (ahlu bait) agar tidak seorangpun dari keturunan ahli bait dapat masuk di dalamnya atau tidak seorangpun yang keluar dari keturunan ahli bait.
Kedua, membedakan golongan-golongan dan mengetahui betul keturunannya agar tidak bercampur baur anak-anak yang dari satu bapak dan dari keturunan lainnya, serta mencatat nama-nama mereka ke dalam buku-buku dengan mengklasifikasikan nama famili mereka.
Ketiga, mengetahui siapa saja anak laki dan perempuan yang dilahirkan dan mencatat namanya, begitu pula mencatat yang meninggal dunia, hal itu dilakukan untuk menjaga agar tidak hilang keturunannya dan mengaku sebagai keturunan dari yang telah meninggal.
Dalam kitab Syubhu al-Asja
disebutkan oleh pengarangnya bahwa jabatan-jabatan yang terpandang pada
khalifah yaitu jabatan yang berkaitan dengan urusan naqabah :
‘Yaitu
sebagai naqabah bangsa syarif pada masa sekarang ini, yang jabatan itu
tidak bisa diserahkan kepada lain orang melainkan ketua-ketua golongan
ini, dan yang paling tinggi derajatnya serta mempunyai hak buat
memperhatikan urusan mereka dan melarang siapa saja yang akan masuk di
dalam keturunannya yang memang bukan dari keturunan itu’.
Dalam
sejarah kerajaan Ayyubiyin banyak terdapat jabatan-jabatan agama
sebagaimana tertulis dalam buku sejarah tersebut, bahwa daripada
jabatan-jabatan pemerintahan yang berhubungan dengan agama adalah
naqabah bangsa syarif-syarif, hal itu merupakan suatu jabatan yang mulia
dan tingkatan yang berharga. Disebutkan juga bahwa jabatan naqabah
bangsa Thalibiyin di kota Damaskus Syria disebut dengan Naqabah
al-Asyraf.
Berkenaan
dengan peraturan mengenai pengangkatan naqabah bangsa Thalibiyin yang
ditulis oleh Abu Ishaq al-Sya’bi atas perintah khalifah Attaillah kepada
syarif Abu Hasan Muhammad bin Husein al-Alawi al-Musawi pada tahun 380
hijriyah disebutkan :
‘Dan
ia perintah kepadanya buat menjaga keturunan yang paling suci ini dan
yang kemuliaannya sangatlah besar, agar tidak diakui oleh orang-orang
ingin mengakuinya, atau dimasuki oleh orang-orang yang ingin memasukkan
dirinya ke dalamnya, dan barang siapa memasukkan dirinya di dalam
keturunan itu dengan dusta dan mempergunakan keturunan itu bagi dirinya
dengan tidak benar, padahal di dalam silsilah keturunan itu tidak
terdapat tempat baginya, ataupun tidak dapat diakui sah oleh ahli
keturunan yang pandai, maka haruslah dijatuhkan suatu hukuman (siksa)
kepadanya yang sepadan dengan perbuatannya itu, dan diberi tanda
kepadanya agar diketahui bahwa ia telah berbohong dan berbuat fasiq’.
Begitu pula Naqabah al-Asyraf pada masa kerajaan Fathimiyin yang membuat peraturan sebagai berikut :
‘Dan
gunakanlah ketelitian dan perhatian untuk menjaga keturunan itu
daripada keburukan dan peliharalah dari bercampurnya dengan keturunan
lain, karena itu adalah nasabnya keturunan Rasulullah saw yang
senantiasa tidak putus pada saat keturunan lain terputus, dan
mengalirnya darah Rasulullah saw terus menerus di saat aliran darah
keturunan lain hilang, dan catatlah nama semua orang yang berasal dari
famili ini menurut kedudukan pada asalnya, supaya engkau tidak dapat
ditipu oleh seorang yang hendak menyelipkan dirinya di dalam keturunan
itu dengan jalan yang dusta, dan seorang palsu nasabnya yang hendak
menampakkan dirinya kepada keturunan itu. Dan apabila ada seorang yang
mengaku berketurunan membawa suatu keterangan keturunannya dengan tidak
mempunyai alasan yang kuat atas hal itu ataupun tidak mempunyai
keterangan yang cukup, maka jatuhkanlah suatu hukuman (siksa) yang keras
kepadanya, dan sebarkanlah perkara itu kepada orang ramai agar lain
kali ia tidak melakukan kebohongan lagi’.
Seorang
naqib adalah mereka yang terpilih dari anggota keluarga yang paling tua
dan alim, seperti Syekh Umar Muhdhar bin Abdurahman al-Saqqaf. Ketika
terpilih menjaga naqib, beliau mengajukan beberapa persyaratan,
diantaranya :
1. Kepala
keluarga Alawiyin dimohon kesediaannya untuk menikahkan anak-anak
perempuan mereka dari keluarga kaya dengan anak laki-laki dari keluarga
miskin, begitu pula sebaliknya untuk menikahkan anak laki-laki dari
keluarga kaya dengan anak perempuan dari keluarga miskin.
2. Menurunkan besarnya mahar pernikahan dari 50 uqiyah menjadi 5 uqiyah, sebagaimana perintah shalat dari 50 waktu menjadi 5 waktu.
3. Tidak menggunakan tenaga binatang untuk menimba air secara berlebihan.
Setelah
syekh Umar Muhdhar wafat, jabatan naqib dipegang oleh syekh Abdullah
Alaydrus bin Abu Bakar al-Sakran, syekh Abu Bakar al-Adeni Alaydrus,
sayid Ahmad bin Alwi Bajahdab, sayid Zainal Abidin Alaydrus.
Menurut syekh Ismail Yusuf al-Nabhani dalam kitabnya ‘Al-Saraf al-Muabbad Li Aali Muhammad’ berkata, ‘Salah satu amalan yang khusus yang dikerjakan oleh keluarga Rasulullah, adanya naqib yang dipilih di antara mereka’. Naqib dibagi menjadi dua, yaitu :
Naqib Umum ( al-Naqib al-Am ), dengan tugas :
a. Menyelesaikan pertikaian yang terjadi di antara keluarga
b. Menjadi ayah bagi anak-anak dari keluarga yatim
c. Menentukan dan menjatuhkan hukuman kepada mereka yang telah membuat suatu kesalahan atau menyimpang dari hukum agama.
d. Mencarikan jodoh dan menikahkan perempuan yang tidak punya wali.
Naqib khusus (al-Naqib al-khos), dengan tugas :
a. Menjaga silsilah keturunan suatu kaum
b. Mengetahui dan memberi legitimasi terhadap nasab seseorang.
c. Mencatat nama-nama anak yang baru lahir dan yang meninggal.
d. Memberikan pendidikan akhlaq kepada kaumnya.
e. Menanamkan rasa cinta kepada agama dan melarang untuk berbuat yang tidak baik.
f. Menjaga keluarga dari perbuatan yang dilarang oleh ajaran agama.
g. Menjaga keluarga bergaul kepada mereka yang mempunyai akhlaq rendah demi kemuliaan diri dan keluarganya.
h. Mengajarkan dan mengarahkan keluarga tentang kebersihan hati
i. Menjaga orang yang lemah dan tidak menzaliminya.
j. Menahan perempuan-perempuan mereka menikah kepada lelaki yang tidak sekufu’.
k. Menjaga harta yang telah diwakafkan dan membagi hasilnya berdasarkan ketentuan yang berlaku.
l. Bertindak tegas dan adil kepada siapa saja yang berbuat kesalahan.[1]
Dewan
naqabah terdiri dari sepuluh anggota yang dipilih. Setiap anggota
mewakili kelompok keluarga atau suku dan dikukuhkan lima orang sesepuh
suku itu dan menjamin segala hak dan kewajiban yang dibebankan atas
wakil mereka. Dewan yang terdiri dari sepuluh anggota ini mengatur
segala sesuatu yang dipandang perlu sesuai kepentingan, dan bersesuaian
pula dengan ajaran syari’at Islam serta disetujui oleh pemimpin umum.
Apabila keputusan telah ditetapkan maka diajukanlah kepada pemimpin umum
(naqib) untuk disahkan dan selanjutnya dilaksanakan.
Pada
saat Naqib al-Asyraf di pegang oleh syekh Umar Muhdhar bin Abdurrahman
al-Seqqaf, sepuluh anggota yang menjadi dewan naqabah tersebut ialah :
1. Syekh Abdullah bin Abdurrahman al-Saqqaf
2. Syekh Abdullah bin Alwi bin Muhammad Maula Dawilah
3. Syekh Muhammad bin Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Alwi bin al-Faqih al-Muqaddam
4. Syekh Hasan bin Syech bin Ali bin Muhammad Maula Dawilah
5. Syekh Hasan bin Ali bin Abdullah bin Muhammad Maula Dawilah
6. Syekh Husein bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin al-Faqih al-Muqaddam
7. Syekh Abubakar bin Hasan bin Abubakar al-Wara’ bin Ahmad bin al-Faqih al-Muqaddam
8. Syekh Ali bin Muhammad Jamalullail Bahasan bin Hasan al-Mualim bin Muhammad Asadullah bin Hasan bin Ali bin al-Faqih al-Muqaddam
9. Syekh Muhammad bin Umar bin Ali bin Umar bin Ahmad bin al-Faqih al-Muqaddam
10. Muhammad
bin Ali shahib Aidid bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad bin
Abdurrahman bin Alwi Ammu al-Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath.[2]
Dari waktu ke waktu tugas naqib semakin berat, hal itu disebabkan banyak keluarga dan mereka menyebar ke berbagai negeri yang memerlukan perjalanan berhari-hari untuk bertemu naqib jika mereka hendak bertemu untuk menyelesaikan masalah yang timbul. Untuk meringankan tugas naqib tersebut, maka terbentuklah munsib. Munsib merupakan perluasan dari tugas naqib yang mulai digunakan pada zaman syekh Abu Bakar bin Salim. Para munsib berdiam di lingkungan keluarga yang paling besar atau di tempat asal keluarganya. Jabatan munsib diterima secara turun menurun, dan di antara tugasnya selalu berusaha mendamaikan suku-suku yang bersengketa, menjamu tamu yang datang berkunjung, menolong orang-orang lemah, memberi petunjuk dan bantuan kepada mereka yang memerlukan. Sebagian besar munsib Alawiyin muncul pada abad sebelas dan abad ke dua belas hijriyah, diantaranya keluarga bin Yahya mempunyai munsib di al-Goraf, keluarga al-Muhdar di al-Khoraibah, keluarga al-Jufri di dzi-Asbah, keluarga al-Habsyi di khala’ Rasyid, keluarga bin Ismail di Taribah, keluarga al-Aidrus di al-Hazm, Baur, Salilah, Sibbi dan al-Ramlah, keluarga Syekh Abu Bakar di Inat, keluarga al-Attas di al-Huraidah, keluarga al-Haddad di al-Hawi dan keluarga Aqil bin Salim di al-Qaryah.[3]
[1] Yusuf Bin Ismail al-Nabhani. al-Syaraf al-Muabbad Li Aali Muhammad, hal. 87.
[2] Muhammad Dhiya’ Syahab, Tahqiq Syamsu al-Dzahirah karangan al-Allamah Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur, Jilid 2 hal. 614.
[3] Van Den Berg. Hadramaut Dan Koloni Arab di Nusantara, hal. 23.
Organisasi Alawiyin "Annagabah"
Pada tahap pertama sejarah perkembangan Alawiyin, sebelum bercabang-cabang dan bersuku-suku, kaum Alawiyin tidak merasa perlu untuk
membuat suatu sistem sosial khusus sebagai pengatur kehidupan mereka.
Cukuplah bagi golongan ini untuk mempunyai seorang atau beberapa orang
pemimpin yang secara otomatis diakui sebagai pemimpin keluarga atau
marga.
|
Baru pada
tahap kedua dalam sejarah perkembangan Alawiyin, setelah rnenjadi
banyak dan tersebar ke berbagai daerah terasalah bagi tokoh Alawiyin
guna membela dan memelihara kedudukan dan kepentingan mereka, melindungi
kehormatan serta memecahkan problema yang timbul, baik yang bersifat
intern maupun ekstern. Sistim ini dikenal dengan sebutan " Nagabah".
|
Sistem ini baru diadakan pada zaman
Al-Muhdhar, yakni pada akhir abad kesembilan Hijriah, di mana Al Muhdhar
sekaligus terpilih sebagai Naqib. Dewan "Nagabah"
ini terdiri dari sepuluh anggota yang dipilih. Setiap anggota mewakili
kelompok keluarga atau suku dan dikukuhkan oleh 5 orang sesepuh suku itu
dan menjamin segala hak dan kewajiban yang dibebankan atas wakil
mereka, sebagai tersirat di dalam teks piagam yang disetujui oleh tokoh-tokoh Alawiyin dan pernah dimuat di majalah Al-Jam'iyah, nornor 8, tahun 1357 H.
|
Dewan yang terdiri atas 10 anggota ini mengatur segala sesuatu yang dipandang perlu sesuai kepentingan, dan
bersesuaian pula dengan ajaran syari'at Islam serta disetujui oleh
pemimpin umum. Apabila keputusan telah ditetapkan maka diajukanlah
kepada pemimpin umum (atau Nagib) untuk disahkan dan selanjutnya
dilaksanakan.
|
Dengan demikian jelaslah, sepuluh orang
anggota dewan masing-masing merupakan wakil-wakil atau naqib-naqib dari
setiap kelompok atau suku, sedang wakil-wakil itu dipimpin oleh "Naqib Annagabah" [atau Naqib para Naqib] yang kemudian dikenal pula dengan sebutan "Nagib Al-Asyraf". Setiap anggota dewan sangat patuh dan taat terhadapnya. Dan kepadanya pula dikembalikan
segala problema, serta pelaksanaan organisasi dan perbaikan, di samping
ia merupakan lambang kekuatan, kesepakatan, wibawa dan pengaruh
Alawiyin.
|
Dalam memecahkan persoalan yang
dihadapi, lembaga ini akan menempuh cara damai. Namun jika tidak
berhasil, maka digunakanlah cara boikot, yaitu
Nagib memutuskan hubungan dengan orang-orang yang dianggap melakukan
pelanggaran atau membangkang, dengan cara menolak berjabat tangan
(bersalam-salaman) maupun dengan cara-cara lain. 'Tindakan Naqib akan
diikuti semua Alawiyin, sehingga orang itu kembali kepada jalan yang
benar.
|
Apa yang kami tuturkan
ini adalah bersumberkan piagam yang telah kami sebutkan, di atas dan
ditetapkan oleh Alawiyin pada zaman Al Muhdhar, dan didukung dan
dibubuhi tanda tangan Sultan Tarim ketika
itu, yaitu Sultan bin Duais bin Yamani. Sultan ini berjanji akan
membantu terlaksananya ketentuan-ketentuan yang termaktub di dalam
piagam itu, yang diikuti pula oleh tanda tangan seluruh naqib (anggota
dewan) beserta pendukungnya yang jumlah keseluruhan tidak kurang dari 50
orang.
|
Patut disayangkan bahwa teks piagam ini
tidak rnenyebutkan tanggal dan tahun penulisannya dan juga tidak
menyebut urut-urutan nama (daftar) para nagib yang pernah menduduki
jabatan itu, namun dengan membaca kembali kitab-kitab biografi Alawiyin,
seperti kitah Al-Masyra 'Arrawiy dan lain-lain, menerangkan bahwa di antara para Naqib yang terkenal, antara lain adalah Al-A'idarus Al-Akbar (wafat 865 H.). Sebab setelah Al Muhdhar wafat, tokoh-tokoh Alawiyin telah sepakat untuk mengangkat Muhammad bin Hasan bin Asad Allah, yang terkenal dengan gelar Jamalullail untuk
diangkat sebagai Nagib, namun ia menolak dan menunjuk Al-A'idarus
sebagai gantinya, yang dewasa itu masih berusia muda, tetapi telah
menunjukkan kemampuan untuk memangku jabatan tersebut. Akhirnya -
setelah pertamanya menolak juga - Al-A'idarus menerima. Pengganti A1-A'idarus adalah Ahmad bin Alawi Bajahdab yang wafat tahun 973 H. Berikutnya Abdullah bin Syekh bin Abubakar Al-A'idarus (wafat 1019 H.), kemudian putranya bernama Zainal Abidin (wafat 1041 H.).
|
Adapun pada masa-masa setanjutnya saya
tidak menemukan catatan sejarah yang menegaskan adanya seorang Naqib
yang dipilih, meskipun kadang-kadang terjadi kepemimpinan
seorang tokoh Alawiyin semata-mata karena daya tarik karisma dan
kekuatan pribadinya di samping memang memenuhi persyaratan untuk jabatan
sebagai Naqib.
|
Pada masa-masa selanjutnya telah timbul pula sistem "Manshabah", yang tersebar luas di beberapa daerah Hadramaut. Tugas "Munshib"
pada dasarnya adalah mendamaikan sengketa yang terjadi antara suku-suku
yang memanggul senjata, menyebarluaskan ilrnu dan dakwah, menjamu para
tamu yang datang berkunjung. Soal ini akan dibicarakan lebih luas lagi
kemudian.
|
Pernah pada masa akhir-akhir ini muncul
seorang tokoh yang mengugguli tokoh-tokoh Alawiyin yang lain dalam
ilmu, pengaruh dan kedermawanannya, yaitu pribadi Habib Muhammad bin Thahir Al-Haddad
(wafat 1316 H.) sehingga sepakatlah tokoh-tokoh Alawiyin untuk
mengangkatnya sebagai Nagib. Mereka telah menandatangani piagam untuk
pengangkatannya itu. namun ada seorang tokoh yang cukup terkenal dan
berpengaruh tidak menyetujui pengangkatan itu. Yaitu Habib Husein bin Hamid Al-Muhdhar, sehingga rencana itu akhirnya gagal .
|
Ada pula riwayat yarg menerangkan, selain Habib Husein tersebut ada dua tokoh lain
yang tidak menyetujui. Dengan demikian maka yang bersikap oposisi
terhadap pengangkatan itu hanya tiga orang saja, namun mereka
orang-orang yang cukup kuat, sehingga golongan oposisi yang kecil itu
dapat rnengalahkan mayoritas yang menyetujui..
|
sumber: http://freepages.genealogy.rootsweb.ancestry.com/~naqobatulasyrof/news/ris02/page7.htm
0 Response to "Naqib Dan Munsib"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip