Rasulullah SAW bersabda:
إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئاً
“Jika telah masuk sepuluh hari (dari bulan Dzulhijjah) sementara
salah seorang diantara kalian ingin berkurban maka hendaklah ia tidak
menyentuh sesuatu pun dari rambut dan kulitnya.” (HR. Bukhari
Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW melarang seseorang yang
berniat berkurban untuk mengambil kuku dan rambutnya hingga selesai
penyembelihan hewan kurbannya. Makna inilah yang dipahami oleh para
ulama dan kaum muslimin sepanjang masa. Tetapi, mereka berbeda mengenai
tingkat larangan tersebut. Imam Ahmad menilai larangan itu sebagai
keharaman, Imam Syafii menilainya sebagai kemakruhan, dan Imam Abu
Hanifah menilai sebagai kebolehan, bukan makruh apalagi haram.
Saat ini, ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa yang dilarang
dalam hadis di atas adalah mengambil kuku dan bulu hewan yang akan
dikurbankan, bukan orang yang akan berkurban.
Pendapat kedua ini tidak benar dengan beberapa alasan berikut:
1. Tidak ada seorang ulama pun yang berpendapat bahwa yang dilarang
untuk diambil kuku dan bulu atau rambutnya adalah hewan yang akan
dikurbankan. Kesepakatan ini bisa dianggap ijmak karena tidak ada
seorang pun dari ulama yang menyelesihinya.
2. Redaksi hadits menyatakan: (من شعره وبشره) . Dhamir (kata ganti)
Hu/Hi yang disebutkan dalam hadits ini adalah kembali kepada pengurban
bukan kepada hewan kurban. Karena Hu/Hi adalah dhamir mudzakar (kata
ganti maskulin) sementara hewan kurban –yang dalam bahasa arab disebut
al-udhhiyyah / الأضحية — adalah kata muannas (feminin). Jika yang
diinginkan adalah kata “al-udhhiyyah” ini maka seharusnya menggunakan
dhamir Haa yang menunjukkan muannas.
Kembalinya dhamir Hu/Hi kepada pelaku kurban bukan kepada hewan
kurban adalah berdasarkan kaidah kebolehan pengembalian dhamir kepada
kata yang tidak tersebutkan dalam kalimat selama dipahami dari
konteksnya (al-‘ahdu adz-dzikriy). Pemahaman tersebut diambil dari
penggunaan kata: وأراد أن يضحي (ingin berkurban) sehingga yang dimaksud
dalam larangan adalah pelaku atau orang yang ingin melakukan kurban.
Oleh karena itu, tidak tepat jika ada yang mengatakan bahwa al-‘ahdu
adz-dzikriy dari redaksi hadits adalah kata: الشاة (kambing) atau الإبل
(onta) dengan alasan bahwa kedua kata tersebut adalah kata mudzakar
(maskulin) sehingga memungkinkan sebagai tempat kembali dari dhamir
Hu/Hi dalam hadits. Karena kedua kata tersebut tidak memiliki hubungan
redaksi dengan kata-kata yang disebutkan dalam teks hadits sehingga sisi
al-‘ahdu adz-dzikriy darinya menjadi sangat jauh.
Hal ini seperti kalimat dalam surah Ali Imraan ayat 36 yang berbicara tentang kisah kelahiran Maryam:
فَلَمَّا وَضَعَتْهَا قَالَتْ رَبِّ إِنِّي وَضَعْتُهَا أُنْثَى
Dhamir Haa yang digunakan pada dua kata dalam ayat tersebut kembali
kepada Maryam meskipun kata Maryam tidak pernah disebutkan sebelumnya.
Tetapi itu dipahami dari konteks ayat yang berbicara tentang seorang
bayi yang dilahirkan oleh isteri Imran. Dan seperti yang telah jamak
diketahui bahwa isteri Imran adalah ibunda dari Maryam.
3. Orang yang menyatakan bahwa yang dilarang dalam hadits adalah
memotong kuku dan rambut hewan kurban berasalan bahwa larangan mengambil
kuku dan rambut orang yang berkurban bertentangan dengan anjuran
memotong kuku dan memendekkan bulu setiap pekan. Sementara larangan
dalam hadits ini berlaku sejak awal Dzulhijjah hingga tanggal 10 atau
bahkan bisa mencapi tanggal 13 yang melebihi waktu sepekan dalam
memotong kuku.
Maka kami menjawab bahwa tidak ada pertentangan antara kedua hal sunah tersebut, karena:
a) Batas waktu kesunahan dalam memotong kuku adalah tergantung pada
panjang dan pendeknya kuku sehingga tergantung pada keadaan setiap
manusia. Hanya saja dianjurkan tidak melebihi dari empat puluh hari
sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih bahwa Anas bin Malik berkata:
وُقِّتَ لَنَا فِي قَصِّ الشَّارِبِ
وَتَقْلِيمِ الأَظْفَارِ وَنَتْفِ الإِبِطِ وَحَلْقِ الْعَانَةِ أَنْ لا
نَتْرُكَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Ditetapkan waktu bagi kami dalam mencukur kumis, memotong kuku,
mencabut bulu ketiak dan mencukur bulu kemaluan agar kami tidak
meninggalkannya lebih dari empat puluh malam.” (HR Muslim).
b) Meskipun sebagian ulama menganjurkan memotong kuku setiap pekan
(khususnya hari Jumat), tetapi ini adalah hukum asal dari kesunahan
tersebut. Sementara larangan memotong bagi orang yang berkurban adalah
hukum khusus karena adanya keadaan tertentu. Oleh karena itu, jika
terdapat keadaan tersebut maka dibolehkan untuk tidak memotongnya,
seperti dalam larangan memotong bagi yang ingin berkurban.
Ini sesuai juga dengan keadaan orang yang berhaji yang dilarang
memotong kuku dan rambut yang terkadang waktu larangan tersebut bisa
melebihi satu pekan. Seperti jamaah haji atau umroh yang datang dari
arah Madinah. Jarak antara miqat Madinah (Bir Ali) adalah sekitar 450 km
yang di zaman Rasulullah SAW umumnya ditempuh rata-rata selama 10 hari
atau bahkan lebih.
4. Secara logika dan tradisi, tidak ada urgensi atau keperluan dari
memotong atau mengambil kuku dan bulu hewan kurban karena kuku hewan
tidaklah berguna. Adapun bulu maka tidak ada yang bisa dimanfaatkan dari
bulu kambing (selain domba), sapi dan onta. Sehingga, jika larangan
Rasulullah SAW dalam hadits di atas dimaksudkan untuk melarang sesuatu
yang sangat jarang atau mustahil dilakukan maka berarti larangan itu
tidak berguna dan sia-sia. Dan sungguh jauh bagi Rasulullah SAW
memerintahkan sesuatu yang tidak memiliki manfaat yang besar bagi kaum
muslimin.
Dengan demikian dapat disimpulkan berdasarkan dalil-dalil yang tidak
terbantahkan bahwa yang dimaksud dengan larangan memotong kuku dan bulu
badan bagi yang ingin berkurban adalah kuku dan bulu badan seseorang
yang akan berkurban, bukan kuku dan bulu hewan kurban.
Wallahu a’lam.
Sumber : http://ahmadghozali.com
abdkadiralhamid@2016
0 Response to "LARANGAN MEMOTONG KUKU DAN RAMBUT BAGI YANG AKAN BERKURBAN"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip