HUKUM MENGQADHA’ SHALAT WAJIB
DAN KESALAHAN DALAM MEMAHAMI IMPLIKASINYA
Mengqadha’ shalat adalah melaksanakan shalat di luar waktunya
(setelah waktunya habis). Masalah hukum mengqadha’ shalat banyak menjadi
pembicaraan masyarakat dan sering terjadi kesalahpahaman dalam memahami
pendapat para ulama mengenai hal itu. Terutama memahami akibat atau
implikasi dari pendapat yang diambil. Banyak orang mengira bahwa seluruh
shalat yang pernah ditinggalkan, baik karena lupa, tertidur, lalai dan
lain sebagainya, TIDAK PERLU diqadha tapi cukup memperbanyak istigfar
dan amal saleh saja.
Akibatnya, banyak diantara orang awam bertambah malas dalam
melaksanakan shalat. Mereka menyangka bahwa pendapat yang menyatakan
tidak ada qadha` shalat merupakan pendapat yang memberikan keringanan
apalagi bagi mereka yang telah bertahun-tahun tidak pernah melaksanakan
shalat. Lebih miris lagi, banyak diantara awam menggunakan “dalil-dalil”
yang mereka anggap kuat dan mendukung pilihan mereka padahal
kenyataannya itu semua bukan dalil, tapi lebih tepat dikatakan lelucon.
Secara umum, shalat yang tidak dilaksanakan (ditinggalkan) hingga
keluar waktunya terjadi karena dua hal, yaitu disengaja untuk
ditinggalkan dan tidak sengaja ditinggalkan. Kesengajaan meninggalkan
shalat adalah dengan melalaikannya meskipun ia sadar dan tahu telah
datang kewajiban pelaksanaannya. Adapun ketidaksengajaan adalah seperti
karena terlupa atau tertidur dan baru menyadari bahwa ia belum
melaksanakan shalat setelah waktunya habis.
a. Meninggalkan shalat secara tidak sengaja (tertidur atau terlupa).
Para ulama berijmak (sepakat secara menyeluruh) bahwa seseorang yang
tidak melaksanakan shalat karena lupa atau tertidur hingga habis
waktunya maka ia wajib mengqadhanya setelah ingat atau setelah bangun
dari tidurnya. Hal ini didasarkan pada sejumlah dalil, diantaranya
adalah:
1. Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Muslim dari Anas bin Malik RA, bahwa Nabi SAW bersabda:
مَنْ نَسِيَ صَلَاةً، أَوْ نَامَ عَنْهَا، فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Barang siapa yang terlupa shalatnya, atau tertidur darinya, maka kafaratnya adalah melaksanakan shalat itu ketika telah ingat.”
2. Anas bin Malik RA berkata: “Nabi SAW ditanya tentang seseorang yang terlupa atau tertidur dari shalatnya. Beliau menjawab:
يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Ia melaksanakannya jika telah ingat.” (HR. Ibnu Majah).
3. Beberapa kisah Nabi SAW dan para sahabatnya yang tertidur sehingga
tidak sempat melaksanakan shalat kecuali setelah keluar waktu.
Diantaranya adalah:
- Diriwayatkan oleh Muslim dari Imran bin Hushain, ia berkata: “Aku bersama Nabi SAW dalam sebuah perjalanan. Lalu kami memasuki waktu malam. Hingga ketika sudah mendekati waktu shubuh kami beristirahat. Kami tak kuasa menahan mata hingga kami tertidur hingga matahari terbit. Yang pertama bangun adalah Abu Bakar. Kami tidak ingin membangunkan Nabi SAW dari tidurnya hingga beliau bangun sendiri. Lalu bangunlah Umar dan berdiri di sisi Nabi SAW sambil mengumandangkan takbir dengan suara keras hingga beliau terbangun. Ketika mengangkat kepalanya dan melihat matahari telah terbit, beliau berkata: “Berangkatlah.” Lalu kami berjalan lagi hingga matahari menjadi terang lalu kami beristirahat dan melaksanakan shalat shubuh.”
- Imam Muslim juga meriwayatkan dari Abu Qatadah RA dalam sebuah kisah yang panjang tentang perjalanan Nabi SAW bersama beberapa orang sahabatnya. Disebutkan bahwa Nabi SAW tertidur di atas tunggangannya hingga mendekati shubuh. Lalu beliau turun dan beristirahat dan berpesan kepada para sahabatnya untuk menjaga shalat shubuh mereka. Ternyata yang pertama kali bangun adalah Nabi SAW sementara matahari telah naik. Kami pun terkejut dan terbangun. Lalu beliau memerintahkan untuk berjalan lagi. Setelah matahari agak tinggi, beliau istirahat dan meminta air wudhu lalu melaksanakan shalat seperti biasanya.
Dalam riwayat Abu Daud, Nabi SAW bersabda:
أَلَا إِنَّا نَحْمَدُ اللَّهَ أَنَّا لَمْ
نَكُنْ فِي شَيْءٍ مِنْ أُمُورِ الدُّنْيَا يَشْغَلُنَا عَنْ صَلَاتِنَا
وَلَكِنَّ أَرْوَاحَنَا كَانَتْ بِيَدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
فَأَرْسَلَهَا أَنَّى شَاءَ فَمَنْ أَدْرَكَ مِنْكُمْ صَلَاةَ الْغَدَاةِ
مِنْ غَدٍ صَالِحًا فَلْيَقْضِ مَعَهَا مِثْلَهَا
“Ketahuilah bahwa kita bersyukur kepada Allah bahwa kita tidak dalam
urusan dunia yang membuat kita lupa dari shalat kita. Namun, ruh kita
dalam kekuasaan Allah Azza wa Jalla yang Dia lepaskan sesuai
kehendak-Nya. Maka barang siapa diantara kalian yang mendapati shalat
shubuhnya di esok harinya dalam keadaan sehat maka hendaklah ia mengqadhanya bersama persis seperti itu.”
4. Kisah Nabi SAW dan sahabat yang terlupa sehingga tidak melaksanakan shalat. Diantaranya:
- Diriwayatkan oleh Bukhari dari Jabir bin Abdullah RA, ia berkata: “Pada perang Khandak, Umar mengejek orang-orang kafir. Umar berkata: “Sampai-sampai aku tidak melaksanakan shalat Ashar hingga terbenam matahari.” Jabir berkata: “Lalu kami istirahat di sebuah tempat yang agak luas. Lalu Umar shalat ashar setelah terbenam matahari, lalu shalat magrib.”
- Diriwayatkan oleh Nasa’i dari Abdullah bin Mas’ud RA, ia berkata: “Sesungguhnya orang-orang musyrik telah menyibukkan Nabi SAW dari empat shalat ketika perang Khandak. Lalu beliau memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan azan, lalu mengumandangkan iqamat dan shalat Zhuhur, lalu iqamat dan shalat Ashar, lalu iqamat dan shalat Magrib, lalu iqamat dan shalat Isya.”
Berdasarkan dalil-dalil di atas, dan dalil-dalil lainnya, maka para
ulama bersepakat bahwa barang siapa yang secara tidak sengaja
meninggalkan shalat karena lupa atau tertidur maka wajib baginya untuk
mengqadha’ shalat yang ditinggalkan tersebut.
b. Meninggalkan shalat secara sengaja (lalai).
Mayoritas ulama –termasuk para ulama empat mazhab yaitu Hanafi,
Maliki, Syafii dan Hambali—berpendapat bahwa seseorang yang meninggalkan
shalat secara sengaja maka ia harus mengqadha’ shalat tersebut. Inilah
pendapat yang benar dan didukung dengan berbagai dalil. Bahkan sejumlah
ulama, seperti Nawawi, menyebutkan adanya ijmak dalam masalah ini.
Sebagian kecil ulama, seperti ulama mazhab Dhahiriyah dan Ibnu
Taimiyah, berpendapat bahwa shalat wajib yang ditinggalkan dengan
sengaja TIDAK DAPAT dan TIDAK SAH diqadha’ selamanya, tapi ia harus
bertaubat dan memperbanyak amal shaleh –terutama shalat sunah—untuk
menutupi dosa dari kemaksiatannya tersebut.
a) Dalil mayoritas ulama tentang kewajiban mengqadha` shalat wajib. Diantaranya adalah:
- Kiyas aula (kiyas utama). Yaitu jika shalat yang ditinggalkan dengan tidak sengaja saja wajib diqadha’ maka lebih utama shalat yang ditinggalkan dengan sengaja.
- Kiyas kepada puasa ramadhan dan ibadah wajib lain. Sebagaimana puasa ramadhan harus diqadha` bagi yang meninggalkannnya maka shalat pun harus diqadha` jika ditinggalkan karena sama-sama ibadah wajib yang harus dilaksanakan.
b) Dalil Dhahiriyah. Diantaranya:
- Ancaman keras bagi orang yang meninggalkan shalat, seperti firman Allah: “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (Al-Maa’uun: 4-5). Jika orang yang meninggalkan shalat dapat mengganti dan mengqadha shalatnya kembali maka tidak ada faidah dari ancaman tersebut.
- Allah telah menetapkan batas waktu dalam melaksanakan shalat, sehingga siapapun yang melaksanakan shalat sebelum atau sesudah waktunya maka shalat itu menjadi tidak sah. Dan jika tetap dilakukan maka termasuk dari pelanggaran batas-batas hukum yang ditetapkan Allah dan diancam dengan hukuman yang keras.
- Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلَاةُ ، قَالَ : يَقُولُ
رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ لِمَلَائِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ : انْظُرُوا فِي
صَلَاةِ عَبْدِي أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا ؟ فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً
كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً ، وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا ، قَالَ :
انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ ؟ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ ،
قَالَ : أَتِمُّوا لِعَبْدِي فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ ، ثُمَّ
تُؤْخَذُ الْأَعْمَالُ عَلَى ذَاكُمْ
“Sesungguhnya amalan manusia yang paling pertama kali diperiksa pada
hari kiamat adalah shalat. Rabb kita ‘azza wa jalla berkata kepada
malaikat-Nya -dan Dia lebih mengetahui- : “Lihatlah kepada shalat
hamba-Ku ini, apakah dia menyempurnakannya ataukah ada kekurangannya.”
Kalau shalatnya sempurna, dituliskan baginya pahala yang sempurna. Kalau
ada kekurangan, maka Allah akan berkata: “Coba periksa apakah hamba-Ku
pernah melaksanakan shalat sunat? Kalau dia ada melaksanakan shalat
sunat, maka sempurnakanlah pahala shalat fardhunya dari pahala shalat
sunatnya. Begitu pula seluruh amalan yang fardhu akan dinilai dengan
cara demikian.” (HR. Abu Daud).
Berdasarkan argumen di atas, para ulama Dhahiriyah dan para
pengikutnya, menyatakan bahwa shalat wajib tidak dapat diqadha` atau
ditutupi dengan pelaksanaan shalat itu lagi. Oleh karena itu, hendaknya
ia banyak bertaubat dan meminta ampun atas dosa yang sangat besar
tersebut yang tidak dapat ditutupi kecuali dengan banyak beribadah
kepada Allah.
Pendapat yang kuat dan rajih –wallahu a’lam—adalah yang
dinyatakan oleh mayoritas ulama, yaitu kewajiban dan keabsahan
mengqadha’ shalat wajib yang pernah ditinggalkan. Adapun dalil-dalil
yang disebutkan oleh Dhahiriyah maka dijawab sebagai berikut:
- Ancaman keras terhadap orang yang meninggalkan shalat adalah bagi orang-orang yang meninggalkan shalat itu secara mutlak. Bukan ditujukan kepada orang yang bertaubat membayar hutang shalatnya. Hal ini juga berlaku pada ibadah-ibadah wajib lain yang diancam dengan berbagai hukuman berat dari Allah SWT, seperti tidak berpuasa, berzakat, amar makruf nahi mungkar. Ulama Dhahiriyah sendiri sependapat dengan mayoritas ulama bahwa semua ibadah wajib yang ditinggalkan harus diqadha, seperit puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, tidak ada alasan membedakan antara shalat dan ibadah wajib lain dari segi hukuman bagi yang meninggalkannya.
- Jika argumen ini diterima maka tidak ada istilah qadha’ untuk ibadah-ibadah lain yang ditetapkan waktunya oleh syariat, seperti puasa, haji, dan lain-lain. Tapi, kenyataannya para ulama sepakat adanya istilah qadha’ ibadah yaitu pelaksanaan ibadah berwaktu diluar waktunya. Jika dibedakan antara waktu shalat dan waktu ibadah lain maka harus ada dalil khusus, sementara tidak ada dalil itu.
- Maksud ketidaksempurnaan dalam shalat yang disebutkan dalam hadits itu adalah seseorang yang melaksanakan shalat tetapi tidak sempurna dalam pelaksanaannya, seperti karena meninggalkans sebagian sunah-sunah shalat, tidak khusyuk, dilakukan di akhir waktu, dan lain sebagainya. Dan inilah hikmah disyariatkannya ibadah-ibadah sunah pendamping ibadah wajib, seperti berbagai jenis shalat sunah, puasa sunah, sedekah, yaitu melengkapi dan menyempurnakan ibadah wajib yang telah dilakukan. Jika yang dimaksud dengan tidak sempurnanya ibadah adalah tidak dilaksanakannya sebuah ibadah secara mutlak, maka seharusnya seorang yang meninggalkan puasa Ramadhan, misalnya, seharusnya bisa ditutupi atau diganti dengan puasa sunah. Tetapi tidak ada seorang ulama pun yang berpendapat demikian.
Kesalahpahaman sebagian masyarakat
Pada umumnya, masyarakat lebih suka memilih pendapat yang memberikan
kemudahan. Begitu pula dalam masalah ini. Hanya saja, keterbatasan info
dan ilmu yang sampai kepada mereka, justeru menjerumuskan mereka dalam
memilih pendapat yang lebih sulit. Lalu, apakah benar bahwa pendapat
yang menolak qadha’ shalat wajib adalah memberikan kemudahan? Ataukah
justeru sebaliknya?
Secara sekilas, tampaknya pendapat yang menyatakan tidak ada qadha’
untuk shalat wajib adalah memberikan kemudahan dan keringanan bagi orang
yang pernah meninggalkan shalat terutama yang bertahun-tahun tidak
melaksanakannya. Karena dengan mengikuti pendapat ini maka orang
tersebut tidak perlu bersusah-payah mengqadha ratusan bahkan ribuan
shalat yang pernah ia lalaikan.
Namun, jika direnungkan dalil dan argumen mazhab Dhahiriyah di atas
maka bisa ditarik benang merah bahwa pendapat ini justeru memberikan
peringatan sangat keras kepada orang yang meninggalkan shalat. Pendapat
ini justeru menyulitkan orang yang meninggalkan shalat karena tidak
memberikan kesempatan baginya untuk menutupi kesalahan besar itu di
dunia. Tetapi ia harus langsung berhadapan dengan Allah di akhirat
dengan membawa semua beban dosa meninggalkan shalat. Jika Allah
berkehendak memaafkan maka ia akan selamat tapi jika Allah tidak
memaafkan maka bencana besar akan ia dapatkan.
Menurut pendapat ini, shalat adalah ibadah yang sangat penting
sehingga tidak dapat disepelekan begitu saja. Tidak ada toleransi dalam
pelanggarannya. Tidak ada kesempatan kedua bagi yang melanggar untuk
memperbaiki kembali kesalahan itu di dunia. Ia harus
mempertanggungjawabkan langsung semua kesalahan besar itu di akhirat.
Oleh karena itu, untuk meringankan beban tersebut maka dianjurkan bagi
pelanggarnya agar segera bertaubat dengan sebenar-benarnya dan
melipatgandakan amal salehnya sehingga dapat memeperberat timbangan amal
baiknya dan menutup kesalahannya.
Di sisi lain, jika kita mengikuti pendapat mayoritas ulama yang
membolehkan qadha’ maka kita masih diberi kesempatan untuk memperbaiki
kesalahan dan hutang besar itu di dunia. Dan tentu saja, menyelesaikan
masalah di dunia jauh lebih mudah daripada menyelesaikannya di akhirat.
Karena di dunia kita masih memiliki waktu dan usaha untuk menutupi
hutang itu dengan melaksanakan kembali shalat-shalat yang pernah
ditinggalkan. Adapun jika sudah di akhirat maka tidak ada lagi yang bisa
dilakukan selain pasrah menunggu keputusan Allah.
Lebih ironisnya, terdapat sebagian masyarakat yang salah pilih itu
mencari-cari berbagai argumen tambahan sehingga pendapat yang mereka
pilih bisa tampak lebih kuat. Ternyata, argumen itu justeru sangat lemah
bahkan lebih dekat kepada sebuah lelucon belaka.
Diantara argumen yang mereka berikan adalah:
1. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun sehingga akan mengampuni dosa seseorang yang meninggalkan shalat.
Jawaban: benar bahwa Allah Maha Pengampun, tapi Allah juga maha keras
azabnya. Jika semua pelanggaran bisa begitu saja dimaafkan maka untuk
apa kaum muslimin bersusah payah beribadah dan taat kepada Allah selama
di dunia. Dan tentu saja, untuk apa Allah menciptakan surga dan neraka.
Namun ini tidak berarti bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa
seorang hamba. Pengampunan dari Allah selalu diharapkan tetapi tidak
bisa dijadikan sandaran utama. Oleh karena itu, harus ada keseimbangan
antara pengharapan ampunan (ar-rajaa’) dan khawatir tidak diterima amal
dan tidak diampuni (al-khauf).
2. Aisyah berkata: “Kami diperintahkan mengqadha` puasa tapi tidak diperintahkan untuk mengqadha` shalat.”
Jawaban: Perkataan Aisyah ini adalah jawaban yang beliau sampaikan
ketika ditanya mengenai kewajiban perempuan haid berkaitan dengan shalat
dan puasa yang ia tinggalkan. Maka beliaupun menjawab bahwa perempuan
haid tidak perlu mengqadha’ shalat tapi harus mengqadha puasa.
3. Shalat sunah di bulan Ramadhan setara dengan shalat wajib. Maka
jika kita banyak melaksanakan shalat sunah, seperti tarawih dan lainnya,
maka kekurangan shalat wajib bisa tertutupi.
Jawaban: usaha ini benar jika shalat wajib yang ditinggalkan adalah
sedikit sehingga bisa ditutupi dengan mudah dengan banyak ibadah. Tapi
realitasnya, orang yang biasanya malas melaksanakan shalat memiliki
hutang shalat yang sangat banyak sehingga jika mengandalkan ibadah itu
saja maka masih banyak kekurangan untuk menutupinya. Ditambah lagi,
biasanya seseorang yang malas melaksanakan shalat wajib maka ia akan
lebih malas dalam melaksanakan shalat sunah, sehingga bagaimana ia bisa
mengandalkan pahala dari shalat sunahnya tersebut?
Selain itu, semua pahala dari ibadah sunah tersebut meskipun sangat
banyak maka belum tentu Allah akan memaafkan kesalahan karena
meninggalkan kewajiban beribadah dan taat kepada-Nya. Karena mungkin
saja ada makna dan hikmah dibalik ibadah di dunia yang tidak bisa
ditebus dengan sekedar pahala dari ibadah sunah.
4. Pahala shalat di Masjidil Haram adalah 100 ribu lebih besar
daripada shalat di selainnya. Maka jika kita punya hutang shalat wajib
maka cukup dengan shalat beberapa kali di Masjidil Haram.
Jawaban: membayar hutang shalat (qadha’) adalah dengan melaksanakan
shalat itu satu persatu, bukan dengan berhitung pahala yang didapat dari
ibadah. Meskipun tentu saja, pahala yang banyak dapat meringankan beban
di akhirat.
c. Meninggalkan shalat karena sebab lain, seperti murtad, gila, dan pingsan.
Dalam kitab al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (Ensiklopedia
Fikih Kuwait) disebutkan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai
kewajiban menqadha’ shalat bagi murtad, orang gila dan pingsan.
- Murtad
Orang murtad yang telah kembali menjadi muslim, menurut ulama
Hanafiyah dan Malikiyah, tidak harus mengqadha’ shalat yang ditinggalkan
selama masa kemurtadannya. Sementara menurut ulama Syafi’iyah, ia harus
mengqadha’ semua shalatnya tersebut. Dalam mazhab Hanabilah ada tiga
riwayat, yaitu pertama: tidak wajib mengqadha, kedua: wajib mengqadha
shalat di masa kemurtadannya dan masa keislaman sebelum murtad, dan
ketiga: wajib mengqadha di masa keislaman sebelum murtad saja.
- Orang gila
Para ulama juga berbeda pendapat mengenai kewajiban mengqadha’ shalat
bagi orang gila setelah sadar. Menurut Hanafiyah, ia tidak wajib
mengqadha’ jika shalat yang ditinggalkan lebih dari satu hari satu malam
(lima kali shalat).
Menurut Malikiyah, wajib mengqadha’ shalat jika waktu shalat masih
memungkinkan untuk melaksanakan shalat tersebut. Jika ia sadar sebelum
terbenam matahari dalam waktu yang memungkinkannya shalat lima rakaat
(bagi mukim) dan tiga rakaat (bagi musafir) maka ia harus melaksanakan
shalat Zhuhur dan Ashar. Jika hanya cukup kurang dari itu hingga satu
rakaat maka harus melaksanakan Ashar saja. Jika hanya cukup untuk kurang
dari satu rakaat maka gugurlah kedua shalat itu. Jika sadar sebelum
terbit matahari dalam waktu yang cukup untuk lima rakaat maka harus
melaksanakan Magrib dan Isya. Jika cukup untuk tiga rakaat maka gugur
Magrib. Dan jika cukup empat rakaat maka harus melaksanakan Isya saja,
ada juga yang menyatakan wajib Magrib dan Isya.
Menurut ulama Syafi’iyah, jika gilanya karena faktor ketidaksengajaan maka tidak wajib mengqadha’ tapi dianjurkan.
Menurut Hanabilah, tidak wajib mengqadha’ shalat yang ditinggalkan.
3. Pingsan
Menurut mayoritas ulama –Malikiyah, Syafi’iyah dan salah satu
pendapat dalam Hanabilah—orang yang sadar dari pingsan tidak wajib
mengqadha’ shalatnya.
Menurut Hanafiyah tidak wajib mengqadha’ jika lebih dari lima kali shalat.
Menurut Hanabilah dalam pendapat yang kuat, ia wajib mengqadha’ semua shalatnya, karena orang pingsan seperti tidur.
Wallahu a’lam
Sumber : http://ahmadghozali.com
abdkadiralhamid@2016
0 Response to "HUKUM MENGQADHA’ SHALAT WAJIB DAN KESALAHAN DALAM MEMAHAMI IMPLIKASINYA"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip