Ibnu Hibban al-Busty (ulama hadits wafat 354 H) berkata dalam kitabnya Raudhatul Uqalaa’ wa Nuzhatul Fudhalaa’ (hlm. 151):
Saya pernah mendengar Ishak bin Ahmad al-Qaththan al-Baghdadi
berkata: “Kami dulu memiliki seorang tetangga di Baghdad. Kami
menyebutnya Thabibul Qurra’ (dokter para pembaca quran). Ia mempunyai
hobi mengunjungi dan bersilaturahmi kepada orang-orang saleh.
Suatu hari, ia berkata padaku: “Suatu ketika, aku berkunjung ke rumah
Imam Ahmad bin Hambal. Ternyata ia sedang dirundung kesedihan dan
kesusahan. Aku berkata, “Ada apa denganmu, wahai Abu Abdillah?”. Ia
menjawab, “Tidak ada apa-apa.”
“Tidak apa-apa bagaimana?”, lanjutku. Ia berkata: “Aku telah diuji
dengan ujian itu (dipenjara oleh penguasa karena mempertahankan
akidahnya, penj.). Hingga aku dipukuli. Mereka lalu mengobati diriku
sampai sembuh. Hanya saja, di bagian rusukku ini masih ada rasa sakit
yang lebih menusuk daripada pukulan-pukulan itu.”
Aku berkata: “Tunjukkan padaku tulang rusukmu itu.” Imam Ahmad lalu
memperlihatkan rusuknya, tapi tidak ada sesuatu hal kecuali memar bekas
pukulan saja. “Aku tidak memiliki pengetahuan tentang masalah ini tetapi
aku akan mencari tahu tentangnya.”
Lalu aku pamit untuk pulang dan langsung mendatangi temanku yang
merupakan kepala bagian penjagaan harta wakaf. “Boleh aku masuk untuk
sebuah keperluan?”, pintaku. “Masuklah”, jawabnya.
Aku pun masuk dan meminta izin untuk mengumpulkan para budak yang ada
disana. Aku lalu membagikan beberapa recehan uang dirham yang kebetulan
aku bawa. Lalu aku berbincang-bincang hingga mereka lupa tentang diriku
(menjadi akrab). Akhirnya aku bertanya kepada mereka: “Siapa diantara
kalian yang paling sering dipukul?” Mereka pun saling membanggakan diri
sebagai yang paling sering dipukul hingga akhirnya mereka sepakat
menunjuk seseorang yang paling sering mendapat hukuman dan paling kuat
menanggung rasa sakit.
Aku berkata padanya, “Boleh aku bertanya sesuatu?” “Silahkan”,
jawabnya. Aku lalu bercerita: “Aku punya teman seorang lelaki tua tapi
tidak terbiasa melakukan pekerjaan berat seperti kalian. Ia dipukul
dalam keadaan perut kosong beberapa kali untuk membunuhnya tapi ia tidak
mati. Lalu ia pun diobati hingga sembuh. Hanya saja, ada satu bagian di
rusuknya yang masih terasa sakit yang tidak bisa ia tahan.”
Budak itu tertawa mendengar ceritaku. “Mengapa kamu tertawa?”
tanyaku. Budak itu berkata: “Yang mengobati orang itu pasti seorang
tukang pijat.” “Memangnya kenapa?” tanyaku kembali.
“Ia membiarkan bagian daging yang sudah mati di rusuk orang itu dan tidak membuangnya.”
“Kalau begitu, apa yang harus aku lakukan?”, tambahku. Ia berkata,
“Bagian rusuknya harus dibelek (disayat) dan dibuang bagian daging mati
itu. Jika dibiarkan saja daging tersebut maka akan menjalar sampai hati
dan membunuhnya.”
Setelah mendapat penjelasan tersebut, aku langsung bergegas
meninggalkan tempat penyimpanan wakaf itu dan pergi menuju rumah Imam
Ahmad bin Hambal. Ia tampak terbaring seperti keadaan semula. Aku pun
lalu menceritakan apa yang baru saja terjadi.
Imam Ahmad berkata: “Siapa yang akan membeleknya?” “Aku”, jawabku.
“Benar kamu bisa melakukannya?”, tanyanya seolah tidak percaya. “Ya,
tentu.”
Imam Ahmad lalu bangkit dan masuk ke dalam rumah. Tidak lama kemudian
beliau keluar lagi dengan membawa dua buah bantal. Di pundaknya ada
sebuah kain sarung yang menutupi badannya. Beliau lalu duduk di salah
satu bantal dan yang satu lagi diberikan padaku sambil berkata:
“Mulailah dengan memohon pertolongan dari Allah.”
Aku lalu membuka kain sarung yang menutupi rusuknya. “Tunjukkan
bagian mana yang sakit”. Beliau menjawab: “Letakkan tanganmu di sana
nanti kuberitahu jika sakit.” Aku pun melakukannya. “Disini yang
sakit?”, kataku. “Disitu alhamduillah baik,” jawabnya. “Disini?”,
tanyaku lagi. “Disitu alhamduillah baik,” jawabnya. “Disini?”, tanyaku.
“Disitulah semoga Allah menyembuhkannya,” jawabnya. Aku pun tahu bahwa
itulah tempat yang sakit.
Lalu aku meletakkan pisau bedah di bagian itu. Ketika mulai terasa
panasnya beliau meletakkan tangannya di kepala sambil berdoa: “Ya Allah,
ampunilah Mu’tashim (penguasa yang memenjarakannya, penj.)”.
Ia terus mengucapkan doa itu hingga aku berhasil mengambil bagian
daging yang mati dan membuangnya. Lalu aku memperban bekas luka di
rusuknya itu sementara beliau masih terus mengucapkan doa tersebut.
Beberapa lama kemudian, rasa sakit mulai hilang dan beliau menjadi
tenang. Imam Ahmad pun berkata: “Dulu sepertinya aku terikat tapi
sekarang sudah bebas.”
Aku lalu bertanya kepadanya: “Wahai Abu Abdillah, ORANG-ORANG JIKA
MENDAPATKAN UJIAN SEPERTIMU INI MAKA MEREKA AKAN MENDOAKAN BURUK KEPADA
YANG MENZALIMI MEREKA. TAPI ENGKAU JUSTERU MENDOAKAN BAIK UNTUK
MU’TASHIM.”
Beliau menjawab: “Sempat terlintas di pikiranku untuk melakukan yang
engkau katakan itu. Tetapi, bagaimanapun juga, ia adalah anak paman
Rasulullah SAW. AKU TIDAK MAU DI HARI KIAMAT KELAK MEMILIKI PERMUSUHAN
DENGAN SALAH SATU KERABAT NABI SAW. Sungguh orang itu telah kumaafkan.”
SUMBER:
Kitab Raudhatul ‘Uqalaa’ wa Nuzhatul Fudhalaa, hlm. 151.
abdkadiralhamid@2016
0 Response to "KISAH MENGAGUMKAN IMAM AHMAD BIN HAMBAL"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip