KAJIAN FIKIH MAZHAB SYAFII — FIKIH SHALAT
RUKUN SHALAT (BAGIAN KE-2)
2. Takbiratul Ihram.
Yaitu mengucapkan allâhu akbar pada permulaan shalat. Dalil rukun ini adalah hadits yang diriwayatkan Ali bin Abi Thalib RA, bahwa Rasulullah SAW:
مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ، وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
“Kunci shalat adalah bersuci, pembukanya adalah takbir, dan penutupnya adalah salam.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Takbiratul ihram harus menggunakan kalimat takbir, yaitu Allahu
Akbar. Tidak apa-apa menambahkan sesuatu yang tidak merubah istilah
takbir, seperti: “Allahul akbar”, atau menambah sifat Allah, seperti: “Allahul jalîl akbar”. Tapi semua itu tidak afdal.
Syarat takbiratul ihram
Terdapat sejumlah syarat yang harus dipenuhi dalam takbiratul ihram, diantaranya adalah:
1. Memperdengarkan bacaan takbir tersebut minimal kepada dirinya.
2. Dilakukan dalam keadaan berdiri jika melaksanakan shalat wajib.
3. Menghadap kiblat.
4. Harus dengan bahasa Arab jika mampu.
5. Diucapkan bersamaan dengan menghadirkan niat shalat dalam hati.
6. Mengucapkan takbir setelah masuk waktu shalat.
7. Mengakhirkan takbir makmum daripada takbir imamnya.
8. Menggunakan kata “Allah” dan “akbar”.
9. Dibaca secara berurut.
10. Melafalkan setiap hurufnya dengan benar.
11. Tidak menambah dengan huruf lain, misalnya:
- Tidak memanjangkan huruf hamzah di awal lafal “Allah”, seperti: Aallah.
- Tidak memanjangkan huruf ba` pada lafal “akbar”, seperti: akbaar.
- Tidak mentasydidkan (membaca dobel) huruf ba`, seperti: akbbar.
- Tidak menambahkan huruf waw diantara keduanya, seperti: allahuwakbar.
- Tidak menambahkan huruf wal sebelum lafal “Allah”, seperti: wallahu.
- Tidak merubah huruf kaf menjadi kho’, seperti: akhbar, atau menjadi qaf, seperti: aqbar.
12. Membaca secara muwalah (tidak membuat jeda antara kedua kata).
13. Tidak memanjangkan huruf mad (alif) pada lafal “Allah” lebih dari tujuh alif (14 ketukan).
14. Tidak bermaksud mengucapkan takbir selain takbir untuk shalat,
misalnya takbir untuk memberikan semangat, berzikir, dan lain-lain.
3. BERDIRI
Berdiri ketika melaksanakan shalat adalah rukun dalam shalat wajib.
Yang dimaksud berdiri adalah menegakkan tubuhnya sehingga setiap tulang
berposisi tegak di tempatnya. Berdiri adalah wajib meskipun dengan
bersandar pada sesuatu yang jika dihilangkan ia akan terjatuh, seperti
tongkat, badan manusia, dan lainnya, tapi hukumnya adalah makruh. Jika
seseorang menunduk tanpa uzur hingga tangannya mencapai lutut maka batal
shalatnya. Diriwayatkan dari Imran bin Hushain RA, ia berkata: “Aku
memiliki penyakit wasir, lalu aku bertanya kepada Rasulullah SAW maka
beliau berkata:
صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
“Shalatlah sambil berdiri, jika tidak dapat maka sambil duduk, dan jika tidak dapat maka dengan berbaring.” (HR. Bukhari).
Adapun dalam shalat sunah, seseorang boleh melaksanakannya dengan
duduk tapi hanya mendapatkan setengah pahala dari orang yang
melaksanakannya sambil berdiri. Begitu pula, ia boleh shalat sunah
sambil berbaring menyamping dan hanya mendapatkan seperempat dari pahala
shalat sambil berdiri. Tapi, tidak boleh shalat sunah sambil terlentang
bagi orang yang mampu melaksanakannya sambil berdiri, duduk atau
berbaring menyamping. Rasulullah SAW:
مَنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَلُ،
وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ اْلقَائِمِ، وَمَنْ صَلَّى
نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ اْلقَاعِدِ
“Barang siapa yang shalat sambil berdiri maka itu afdal. Barang siapa
yang shalat sambil duduk maka baginya setengah pahala yang berdiri. Dan
barang siapa yang shalat sambil tidur maka baginya setengah pahal yang
duduk.” (HR. Bukhari)
Seseorang tidak boleh melaksanakan shalat wajib sambil duduk kecuali
tidak mampu berdiri. Yang dimaksud dengan ketidakmampuan disini adalah
mendapatkan kondisi sangat sulit atau membahayakan diri yaitu kondisi
yang karenanya seseorang diizinkan untuk bertayamum. Kondisi sulit
tersebut adalah kekhawatiran bertambahnya penyakit, keterlambatan
sembuh, terjadinya cela (cacat) besar pada anggota tubuh yang tampak,
cacat tetap pada salah satu anggota tubuh, atau kesulitan yang biasanya
tidak mampu dipikul.
Ketidakmampuan berdiri
Jika seseorang tidak mampu berdiri maka ia harus melakukan salah satu dari beberapa hal berikut secara berurutan, yaitu:
- Berdiri sambil bersandar.
- Jika tidak mampu maka berdiri diatas lutut.
- Jikat tidak mampu maka shalat sambil duduk. Cara duduk yang paling baik adalah duduk iftirasy, yaitu duduk diatas telapak kaki kiri sementara telapak kaki kanan ditegakkan (dijinjitkan), seperti dalam duduk diantara dua sujud.
- Jika tidak mampu maka dengan berbaring menyamping. Yang afdal adalah menyamping pada sisi kanan tubuhnya.
- Jika tidak mampu maka berbaring sambil terlentang dengan meninggikan bagian kepalanya agar dapat menghadap kiblat. Rukuk atau sujudnya dengan menundukkan kepala.
- Jika tidak mampu maka shalat dengan kelopak mata.
- Jika tidak mampu maka melaksanakan shalat dalam hatinya.
Jika di tengah-tengah shalat seseorang mampu berdiri maka ia wajib
berdiri, atau mampu duduk maka ia wajib duduk dari posisi berbaring atau
terlentang. Begitu seterusnya.
WALLAHU A’LAM
Sumber : http://ahmadghozali.com
abdkadiralhamid@2016
0 Response to "RUKUN SHALAT (BAG. 2) : TAKBIRATUL IHRAM, DAN BERDIRI, KAJIAN FIKIH MAZHAB SYAFII"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip