KAJIAN FIKIH MAZHAB SYAFII — FIKIH SHALAT
RUKUN SHALAT (BAGIAN KE-1)
BAB IV
RUKUN SHALAT
Yang dimaksud rukun adalah perbuatan yang tanpanya tidak mungkin
terwujud keberadaan sesuatu, dan ia merupakan bagian dari sesuatu itu
sendiri. Rukun shalat berarti sesuatu yang shalat tidak akan terwujud
tanpa sesuatu itu dan merupakan bagian dari shalat itu sendiri, seperti
rukuk dan sujud. Oleh karena itu, rukun merupakan kewajiban di dalam
shalat yang tidak sah shalat tanpanya.
Rukun shalat merupakan bagian utama dalam tata cara shalat. Tata cara shalat bersifat ta’abbudi
(berasal dari Allah dan tidak didasarkan akal) yang diajarkan kepada
Nabi SAW oleh malaikat Jibril AS. Lalu Nabi SAW melaksanakannya dan
mengajarkannya kepada para sahabat. Beliau bersabda:
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ
“Shalatlah kalian seperti kalian melihatku shalat.” (HR. Bukhari).
Diantara hal pokok yang berkaitan dengan tatacara shalat adalah
jumlah rakaatnya. Shalat Shubuh berjumlah dua rakaat, Zhuhur empat
rakaat, Ashar empat rakaat, Magrib, tiga rakaat, dan Isya empat rakaat.
Perbuatan yang termasuk dalam rukun shalat berjumlah tiga belas yang terbagi dalam empat macam rukun, yaitu:
- Rukun qauli (ucapan), yaitu rukun yang harus dibaca (dilafalkan) dengan mengeluarkan suara minimal terdengar oleh dirinya sendiri. Jumlahnya ada lima, yaitu takbiratul ihram, membaca al-Fatihah, tasyahud akhir, shalawat kepada Nabi SAW dan salam.
- Rukun fi’li (perbuatan), yaitu rukun yang diwujudkan dengan melakukan perbuatan itu. Ada enam, yaitu berdiri, rukuk, i’tidal, sujud, duduk diantara dua sujud dan duduk pada tasyahud akhir.
- Rukun ma’nawi (maknawi), yaitu rukun yang berwujud keadaan. Ada satu, yaitu tertib (melakukan secara berurutan).
- Rukun qalbi (hati), yaitu rukun yang diwujudkan dalam hati. Ada satu, yaitu niat.
Rukun thuma`nînah (ketenangan antara dua gerakan sejarak
minimal sebuah ucapan tasbih) dimasukkan (digabungkan) dalam rukun yang
lain. Berikut penjelasan secara terperinci rukun-rukun tersebut.
1. NIAT
Niat adalah tekad (keinginan kuat) untuk melakukan sesuatu yang
dihadirkan bersamaan dengan melakukan bagian awal dari perbuatan
tersebut. Niat adalah perbuatan yang harus dilakukan dalam setiap
ibadah. Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan itu tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Tempat menghadirkan niat adalah dalam hati. Di dalam shalat niat
dilakukan bersamaan dengan mengucapkan takbiratul ihram (takbir
pembuka). Jika seseorang berniat sebelum takbiratul ihram atau
sesudahnya maka niatnya tidak sah. Yang dimaksud kebersamaan ini bukan
kebersamaan mutlak, tetapi kebersamaan takbiratul ihram dengan sebagian
lafal niat.
Meskipun niat yang terhitung adalah yang dihadirkan dalam hati namun
orang yang akan melaksanakan shalat dianjurkan untuk melafalkan niat
sebelum bertakbir guna membantu menghadirkan niat ketika bertakbir.
Tingkatan menghadirkan niat dalam shalat terbagi menjadi tiga, yaitu:
- Niat untuk shalat wajib. Dalam shalat wajib ada tiga hal yang minimal harus dihadirkan dalam niat, yaitu niat untuk melakukan perbuatan shalat, kefarduan (keharusan) shalat dan jenis shalat. Misalnya dengan mengatakan: أُصَلِّيْ فَرْضَ الْمَغْرِبِ “Ushallî fardhal maghribi” (aku berniat melaksanakan shalat Magrib).
- Niat untuk shalat sunah yang memiliki waktu, seperti shalat Dhuha, Witir, rawatib qabliyah dan ba’diyah. Atau shalat sunah yang memiliki sebab, seperti shalat Kusuf (gerhana) dan Istisqa` (meminta hujan). Dalam shalat jenis ini, minimal dua hal yang harus disebutkan, yaitu keinginan melakukan perbuatan shalat dan menentukan jenisnya. Seperti dengan mengucapkan: أُصَلِّيْ الضُّحَى “Ushallid Dhuhâ” (aku berniat melaksanakan shalat Dhuha).
- Niat untuk shalat sunah mutlak, yaitu shalat sunah yang tidak dibatasi waktu atau karena sebab tertentu. Minimal menyebutkan perbuatan shalat, seperti mengatakan: أُصَلِّيْ “Ushallî” (aku berniat melaksanakan shalat).
Catatan :
1. Ketika berniat dianjurkan menyebutkan beberapa hal tambahan,
yaitu: ثَلاَثَ رَكَعَاتٍ (menunjukkan jumlah rakaat), مُسْتَقْبِلَ
الْقِبْلَةِ (menghadap kiblat), أَدَاءً (dilaksanakan tepat waktu), dan
لِلهِ تَعَالَى (dilakukan karena Allah SWT).
2. Seorang makmum harus menambahkan niat sebagai makmum, dengan menyatakan misalnya: “makmûman” atau “jamâ’atan”.
Tapi niat ini tidak harus dinyatakan di awal shalat. Jika ia masuk
dalam shalat tanpa niat sebagai makmum dan tidak menyatakannya sampai
berlalu waktu yang panjang maka batal shalatnya.
Adapun imam maka ia tidak wajib menambahkan niat sebagai imam kecuali
dalam empat shalat, yaitu shalat Jum’at, shalat yang diulang, shalat
nazar berjamaah, dan shalat jamak takdim karena hujan.
3. Jika seseorang ingin melaksanakan shalat qashar di dalam
perjalanan maka ia wajib berniat mengqashar shalat. Jika tidak
meniatkannya maka ia harus melakukan shalat secara lengkap (tidak
diqashar).
4. Jika seorang berniat keluar dari shalat, memutus niat shalat, atau
ragu apakah akan terus shalat atau membatalkannya, maka shalatnya batal
dalam semua keadaan itu.
WALLAHU A’LAM
Sumber :
abdkadiralhamid@2016
0 Response to "RUKUN SHALAT (BAGIAN KE-1) : NIAT , KAJIAN FIKIH MAZHAB SYAFII"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip