//

Perang Hunain

Dengan dibebaskannya kota Makkah, jatuhlah sudah kerajaan berhala di ranah Hijaz. Bangsa ‘Arab mulai tunduk kepada Islam, dan mereka berduyun-duyun masuk ke dalamnya. Suku Hawazin yang mendengar peristiwa itu, merasa khawatir Rasulullah n akan mengerahkan pasukan kepada mereka. Mereka pun bersatu untuk menyerang beliau. Peristiwa ini pun meletus di Hunain, sebuah lembah yang terletak antara Makkah dan Thaif, pada bulan Syawwal tahun ke-8 Hijrah.
Sebab-sebab Peperangan
Setelah Allah l memberi kemenangan kepada Rasulullah n dan kaum mukminin dengan takluknya Makkah, serta tunduknya masyarakat Quraisy, penduduk Tsaqif dan Hawazin pun ketakutan. Mereka yakin bahwa Rasulullah n tentu akan menyiapkan pasukan menyerang mereka. Maka sebelum itu terjadi, mereka bertekad untuk mendahului serangan.
Akhirnya mereka bersepakat untuk itu dan mengangkat Malik bin ‘Auf An-Nashri sebagai panglima perang. Dia seorang pemuda berusia sekitar 30 tahun dan dikenal sebagai ahli (strategi) perang. Maka  berkumpullah suku Hawazin, Tsaqif, Bani Hilal, Bani Jusyam, dan lain-lain. Di antara mereka ada Duraid bin Ash-Shimmah yang terkenal sangat ahli dalam peperangan, pendapat dan taktiknya sangat jitu. Tetapi dia buta dan sudah sangat tua, sehingga hanya dapat memberikan saran dan arahan.
Adapun strategi yang diatur oleh Malik, sangat berbeda dengan keinginan Duraid. Malik berpendapat agar mereka membawa serta semua anak dan istri mereka berikut harta benda mereka. Menurut Malik, apabila seorang prajurit mengetahui sesuatu yang berharga dalam hidupnya (keluarga dan harta) ada di belakangnya, kalaupun terjadi kekalahan, dia tidak akan mungkin meninggalkan mereka jatuh ke tangan musuh. Sehingga dia akan berjuang sampai mati mempertahankan harta dan keluarganya.
Ketika hal ini didengar oleh Duraid, dia bertanya kepada Malik: ”Ada apa ini, aku mendengar suara anak-anak, kaum wanita, dan binatang ternak dalam pasukanmu?”
Kata Malik: ”Aku ingin menempatkan di belakang setiap laki-laki ada anak, istri, dan harta mereka agar dia berperang mempertahankannya.”
Duraid berkata mencemooh: ”(Itulah) penggembala kambing, demi Allah. Bukan untuk perang. Apakah itu akan dapat membela orang yang kalah? Sungguh, kalau kau menang itu semua tidak berguna bagimu selain laki-laki dan senjata. Kalau kau kalah, berarti kau telah mempermalukan keluarga dan hartamu.”
Tapi Malik tetap dengan pendiriannya. Bahkan mengancam: ”Wahai masyarakat Hawazin, kalau kalian tidak menaatiku, aku akan bunuh diri di depan kalian.”
Orang-orang Hawazin terkejut, mereka berbisik satu sama lain: ”Kalau kita tinggalkan Malik, dia bunuh diri padahal dia masih muda. Tapi kalau kita ikuti Duraid, dia sudah tua, tidak ada lagi perang bersama dia.”
Akhirnya mereka memilih Malik. Kemudian Malik berorasi membakar semangat pasukannya: ”Sungguh, Muhammad (n) belum pernah berperang sama sekali sebelum ini. Selama ini dia hanya melawan orang-orang yang tidak mengerti bagaimana berperang, sehingga bisa mengalahkan mereka. Maka jika kalian bertemu mereka, pecahkan sarung pedang kalian serta seranglah mereka secara serentak dan tiba-tiba!!”
Akhirnya mereka pun berangkat membawa serta puluhan ribu ekor unta. Malik memerintahkan agar kaum wanita dan anak-anak diletakkan di atas unta-unta tersebut. Dengan cara ini, Malik sudah menjatuhkan mental lawan yang melihatnya karena mereka akan mengira di belakangnya ada ratusan ribu pasukan. Taktik ini adalah salah satu sebab kemenangan Hawazin pada awal pertempuran.
Malik membawa pasukannya hingga tiba di lembah Hunain. Daerah ini sudah sangat dikenal oleh Malik sehingga dia dengan mudah menempatkan pasukannya untuk memusnahkan kaum muslimin dengan sekali serangan.
Malik mulai membagi pasukannya. Lembah dan bukit-bukit di sekitarnya menjadi tempat persembunyian dan jebakan yang sangat kuat. Apabila lawan terpancing masuk ke perut lembah, maka pasukannya yang ada di kanan kiri bukit akan menghujani mereka dengan panah dan batu. Apalagi prajurit Hawazin memang dikenal sebagai ahli panah dan tombak.
Persiapan kaum Muslimin
Sebelum berangkat, Rasulullah n menunjuk ‘Attab bin Usaid bin Abil ‘Uaish bin Umayyah z yang ketika itu berusia sekitar 20 tahun tinggal di kota Makkah sebagai kepala pemerintahan dan Mu’adz bin Jabal z sebagai pengajar bagi penduduk Makkah.
Setelah Rasulullah n mendengar rencana penyerangan Hawazin ini, beliau mengirim ‘Abdullah bin Abi Hadrad z sebagai mata-mata mengintai sejauh mana kesiapan orang-orang kafir tersebut. Lalu berangkatlah ‘Abdullah dan tinggal di tengah-tengah mereka sehari semalam atau lebih.
Tak lama, ‘Abdullah kembali menemui Rasulullah n dan menceritakan apa yang dilihatnya. Tetapi bisa jadi informasi yang disampaikannya tidak lengkap. Ada beberapa hal yang tidak tersampaikan oleh ‘Abdullah kepada Rasulullah n termasuk taktik perang yang akan dilancarkan oleh Malik. Sehingga ketidaktahuan akan hal ini menjadi salah satu sebab mundurnya pasukan muslimin pada awal pertempuran.
Rasulullah n mulai menyiapkan pasukan. Terkumpullah 10.000 orang yang sebelumnya ikut bersama beliau dari Madinah untuk membebaskan Makkah. Kemudian ditambah dua ribu orang dari penduduk Makkah yang baru masuk Islam.
Beliau juga meminjam beberapa puluh baju besi dan senjata kepada Shafwan bin Umayyah dan Naufal bin Al-Harits yang ketika itu masih musyrik (lihat kisahnya di Jejak Vol. V/No. 52/1430 H/2009, red.).
Kisah Dzatu Anwath
Dahulu, orang-orang kafir Quraisy dan bangsa ‘Arab lainnya mempunyai sebatang pohon sidr (bidara) yang sangat besar bernama Dzatu Anwath. Kebiasaan mereka dahulu, selalu menziarahinya setiap tahun dan menggantungkan senjata mereka di atas pohon itu, mengharapkan berkahnya. Mereka juga melakukan penyembelihan hewan korban dan tirakat selama satu hari di bawah pohon itu.
أَنَّ رَسُولَ اللهِ n لَمَّا خَرَجَ إِلَى حُنَيْنٍ مَرَّ بِشَجَرَةٍ لِلْمُشْرِكِينَ يُقَالُ لَهَا ذَاتُ أَنْوَاطٍ يُعَلِّقُونَ عَلَيْهَا أَسْلِحَتَهُمْ فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لَهُمْ ذَاتُ أَنْوَاطٍ. فَقَالَ النَّبِيُّ :n سُبْحَانَ اللهِ هَذَا كَمَا قَالَ قَوْمُ مُوسَى: اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ؛ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَرْكَبُنَّ سُنَّةَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
Ketika Rasulullah n berangkat menuju Hunain, mereka melewati sebatang pohon yang dipuja oleh kaum musyrikin bernama Dzatu Anwath. Mereka menggantungkan di atasnya senjata-senjata mereka.
Maka mereka pun berkata: ”Ya Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka punya Dzatu Anwath.”
Mendengar perkataan ini, Nabi n berseru: ”Subhanallah (Maha Suci Allah). Ini adalah ucapan yang sama seperti diucapkan Bani Israil: ’Buatkanlah untuk kami sebuah sesembahan sebagaimana mereka mempunyai beberapa sesembahan.’ Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, jalian sungguh-sungguh akan mengikuti sunnah (jalan hidup) orang-orang sebelum kalian.”1
Riwayat ini menunjukkan bahwa orang yang selama ini hidup di lingkungan yang rusak, lalu berpindah dari lingkungan tersebut, masih tersisa dalam dirinya sebagian dari lingkungan buruk itu. Apalagi yang belum lama meninggalkan lingkungan buruk tersebut. Dan kita mesti ingat, kalau para sahabat yang baru masuk Islam saja demikian keadaannya, padahal mereka langsung di bawah bimbingan Rasulullah n. Maka bagaimana dengan orang-orang yang datang sesudah mereka, yang lebih jahil dan lemah dari mereka.
Kenyataan ini juga menunjukkan kepada kita betapa jeleknya kejahilan (terhadap ilmu agama). Seseorang dapat saja terjerumus ke dalam kesyirikan karena kejahilannya.
Pernyataan Rasulullah n bahwa perkataan mereka itu adalah sunnah yang pernah dijalani oleh umat sebelumnya, memberi pengertian pula bahwa sebab yang menjerumuskan mereka dalam perbuatan syirik ini adalah tasyabbuh (meniru) kepada apa yang dianut oleh orang banyak (ketika itu).
Dari kisah ini pula kita pahami batilnya tabarruk (meminta berkah) kepada pohon-pohon kayu dan batu, karena itu semua adalah kesyirikan. Apalagi Nabi Musa q berkata, sebagaimana firman Allah l:
“Patutkah aku mencarikan sesembahan untuk kamu yang selain daripada Allah.” (Al-A’raf: 140)
Demikian pula ungkapan yang diucapkan oleh Rasulullah n. Beliau menyamakan ucapan sebagian sahabat yang baru masuk Islam itu sama seperti perkataan Bani Israil kepada Nabi Musa q; karena itulah hakikat kesyirikan meski lafadznya berbeda.
Seperti ini juga yang dilakukan oleh para penyembah kubur. Yaitu orang-orang yang meminta syafaat, berkah, rezeki, jabatan, dan sebagainya kepada para penghuni kubur. Mereka mengatakan bahwa perbuatan mereka adalah tawassul dan mencintai wali, bukan syirik. Padahal sesungguhnya, para wali Allah l tidak ridha diperlakukan demikian oleh mereka.
Dari kisah ini juga kita lihat para sahabat dan Bani Israil tidak dikafirkan. Sebab, mereka segera berhenti dan tidak mewujudkan apa yang mereka minta kepada dua rasul yang mulia ini. Seandainya mereka tetap melanjutkan apa yang mereka minta, niscaya mereka jatuh kepada kekafiran.
Rasulullah n berangkat dari Makkah pada hari Sabtu di bulan Syawwal tahun ke delapan hijrah.
Menyusun barisan muslimin
Setelah mendekati wilayah pertahanan musuh, Rasulullah n mulai menyusun barisan para sahabatnya dan menyerahkan bendera kepada beberapa orang Muhajirin dan Anshar:
-    Bendera Muhajirin dipegang oleh ‘Ali bin Abi Thalib z
-    Bendera juga dipegang oleh ‘Umar bin Al-Khaththab z
-    Satu bendera diserahkan kepada Sa’d bin Abi Waqqash z
-    Bendera Khazraj dipegang oleh Hubaib bin Al-Mundzir z
-    Sedangkan bendera Aus dipegang oleh Usaid bin Hudhair z
Rasulullah n juga menyusun barisan kabilah-kabilah ‘Arab dan menyerahkan bendera kepada mereka. Pada waktu itu beliau mengenakan dua lapis baju perang, topi baja, dan menaiki bighalnya, Duldul. Di bagian depan pasukan, beliau menempatkan Khalid bin Al-Walid z.
Sementara itu, Malik bin ‘Auf mengirimkan mata-matanya mengintai kekuatan kaum muslimin beserta Rasulullah n. Para pengintai itu kembali dalam keadaan ketakutan dan menyarankan agar pasukan Hawazin kembali. Malik menjadi marah dan menuduh mereka pengecut serta menahan mereka di dekatnya agar tidak menimbulkan keresahan di tengah-tengah pasukan.
Serangan mendadak
Begitu tiba di Hunain dan mulai menyusuri lembah, masih dalam keremangan subuh, pasukan Hawazin secara serempak dan tiba-tiba menyerang kaum muslimin yang belum bersiap sepenuhnya. Ternyata pasukan Hawazin telah bersembunyi lebih dahulu di balik-balik bukit lembah Hunain. Mereka betul-betul menjalankan strategi Duraid bin Ash-Shimmah untuk melakukan serangan mendadak dan serempak.
Mendapat serangan mendadak ini, meskipun tersentak, kaum muslimin dapat juga melakukan pembalasan dan menyerang mereka dengan hebat. Akhirnya pasukan musuh kewalahan dan melarikan diri serta meninggalkan kaum muslimin dengan ghanimah yang cukup banyak. Kejadian ini mungkin persis dengan peristiwa Uhud, sebelum mereka dihabisi oleh pasukan berkuda yang ketika itu dipimpin oleh Khalid bin Al-Walid.
Kaum muslimin akhirnya sibuk dengan ghanimah, lupa jalannya pertempuran dan lengah, padahal musuh belum ditumpas seluruhnya, dan mereka masih bersembunyi.
Melihat keadaan ini, pasukan musuh mulai melancarkan serangan mematikan. Ratusan panah dan tombak bahkan batu-batu meluncur bagai hujan yang sangat deras menyerang kaum muslimin. Jeritan kematian berkumandang, pekik kesakitan terdengar riuh. Sebagian pasukan muslimin melarikan diri meninggalkan gelanggang pertempuran. Mereka terus berlari kocar-kacir meninggalkan Rasulullah n dengan beberapa gelintir sahabatnya, di antaranya Abu Bakr dan ‘Umar c. Sementara itu, kendali bighal beliau dipegang oleh saudaranya Abu Sufyan bin Al-Harits bersama ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib c.
Pasukan kaum muslimin semakin terdesak. Kekalahan mulai membayang. Allah l berfirman menceritakan peristiwa ini:
“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (wahai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai.” (At-Taubah: 25)
Pasukan berkuda Bani Sulaim mulai tercerai-berai, lari meninggalkan Nabi n lalu diikuti orang-orang Makkah dan yang lainnya.
Nabi n sendiri mengambil posisi di sebelah kanan sambil memanggil: “Wahai kaum muslimin, ke sini! Aku Rasulullah. Aku Muhammad bin ‘Abdullah!” Tapi tak ada yang menoleh. Orang-orang berlarian, kecuali beberapa gelintir sahabat dan ahli bait beliau, seperti ‘Ali, ‘Abbas, Abu Sufyan, Fadhl bin ‘Abbas, dan lainnya.
Di saat yang genting itu, orang-orang yang masih menyimpan dendam terhadap Rasulullah n mencoba mengambil kesempatan untuk membunuh beliau diam-diam.
Ibnu Ishaq mengisahkan dalam Sirahnya:
Syaibah bin ‘Utsman Al-Hajibi bercerita: “Setelah pembebasan kota Makkah, aku ikut bersama Quraisy menuju Hawazin, dengan harapan dapat membunuh Muhammad (n), agar akulah yang menuntaskan dendam Quraisy. Aku katakan: ‘Seandainya tidak tersisa satu pun Arab dan ajam melainkan mengikutinya, niscaya aku tetap tidak akan mengikutinya, selama-lamanya’.”
Setelah kedua pasukan mulai saling serang, aku pun menghunus pedang sambil mendekati Rasulullah n yang masih di atas bighalnya. Ketika aku mulai mengayunkn pedang, tiba-tiba berkelebat selarik api menyambar bagai kilat. Aku menutupi mata karena takut melihat api tersebut. Rasulullah (n) menoleh ke arahku lalu memanggilku: “Wahai Syaib, mendekatlah!”
Aku pun mendekati beliau lalu (beliau) mengusap dadaku dan berdoa: “Ya Allah, lindungilah dia dari setan.”
Sungguh, demi Allah. Saat itu juga beliau berbalik menjadi orang yang lebih aku cintai dari penglihatan dan pendengaranku serta diriku sendiri.
“Mendekatlah dan seranglah musuh-musuh itu,” kata beliau. Aku pun maju menyerang dan sungguh, seandainya aku bertemu ayahku waktu itu juga tentu aku tikamkan pedangku ke tubuhnya.
Akhirnya, aku pun selalu menyertai beliau sampai pasukan berkumpul kembali. Aku mendekatkan bighal kepada Rasulullah n hingga beliau duduk di atasnya. Beliau pun bergabung dengan pasukan muslimin.
Ketika aku masuk ke dalam tenda beliau, beliau berkata kepadaku: “Wahai Syaib, apa yang diinginkan Allah l untuk dirimu lebih baik daripada apa yang engkau inginkan untuk dirimu sendiri.”
Keberanian Rasulullah n
Kembali ke kancah pertempuran.
Rasulullah n yang dalam peperangan selalu di barisan depan, berseru memanggil para sahabatnya: “Wahai kaum muslimin, kemari! Aku Muhammad bin ‘Abdillah.”
Tetapi tidak ada yang menoleh memerhatikan beliau. Setiap orang berusaha menyelamatkan dirinya sendiri dari serangan mendadak yang dilancarkan pasukan Hawazin. Kaum muslimin betul-betul bercerai-berai. Jumlah banyak yang mereka banggakan tak sedikitpun menolong.
Memang kenyataannya demikian. Kemenangan dalam sebuah pertempuran bukan ditentukan oleh jumlah kekuatan dan perbekalan serta keahlian perang semata. Allah l berfirman:
“Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah.” (Al-Baqarah: 249)
Kemenangan dan pertolongan itu murni dari sisi Allah l.
Allah l berfirman:
“Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Ali ‘Imran: 126)
Dengan diapit Abu Sufyan dan ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib c, Rasulullah n terus menuju ke arah barisan pertahanan musuh. Bahkan dengan sengaja beliau berseru lantang:
أَنَا النَّبِيُّ لاَ كَذِبٌ     أنَاَ ابْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ
Aku adalah Nabi, tidak dusta
Aku putra ‘Abdul Muththalib
Pernyataan ini membuat beliau menjadi sasaran empuk panah dan tombak musuh yang menyerbu dengan derasnya. Karena seruan beliau ini seolah-olah memberitahukan kepada musuh siapa dan di mana kedudukan beliau. Pasukan musuh yang memang berambisi melenyapkan beliau dan menumpas dakwah beliau mengarahkan panah serta tombak mereka kepada beliau.
Derasnya panah dan tombak musuh tidak membuat luntur semangat beliau. Bahkan beberapa sahabat yang menyertai beliau semakin merapat ke dekat beliau.
Kemenangan sesudah kekalahan
Allah l berfirman:
“Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang yang kafir.” (At-Taubah: 26)
Melihat pasukan muslimin semakin lemah, Rasulullah n memerintahkan ‘Abbas untuk berseru lantang: “Wahai ‘Abbas, panggil para pengikut Bai’at Ridhwan (Ash-habus Samurah).”
‘Abbas mulai berseru: “Wahai orang-orang Anshar yang menampung dan membela. Wahai kaum Muhajirin yang bersumpah setia di bawah pohon. Ini Muhammad masih hidup, kemari!”
‘Abbas mengulangi seruannya: “Wahai Ash-habus Samurah. Wahai penghafal Surat Al-Baqarah!”
Teriakan ‘Abbas menggema mengalahkan dentingan pedang dan tombak yang beradu. Menembus ke dalam jantung mereka yang mengerti arti panggilan itu.
Serta-merta dengan izin Allah l, terbangkitlah semangat kaum muslimin. Bagaikan sapi betina yang meradang melihat anaknya terancam bahaya, prajurit muslimin berbalik menyambut seruan ‘Abbas: “Labbaik, labbaik.”
Mereka yang berada di atas kuda dan untanya berusaha membelokkan unta dan kudanya ke arah Rasulullah n yang berada di tengah-tengah kepungan musuh.
Tapi kuda dan unta itu menolak kembali bersama tuannya. Akhirnya, mereka lemparkan pedang, tombak dan perisai ke tanah, lalu mereka lepaskan tunggangan mereka. Sedangkan mereka segera berlari mengikuti suara ‘Abbas menembus kepungan musuh terhadap Rasulullah n.
Perlahan tapi pasti, mulai terkumpul kembali seratus orang di sekitar Rasulullah n. Rasulullah n memungut beberapa butir kerikil lalu melemparkannya ke arah musuh sambil berkata: “Wajah-wajah buruk.” Muka yang terkena lemparan menjadi hitam. Perang semakin memuncak.
Ternyata pasukan musuh tidak berani berhadapan langsung dengan pasukan kaum muslimin. Keadaan pun berbalik.
Pasukan muslimin yang tadi melarikan diri, mulai merapat ke arah Rasulullah n. Pertempuran sengit semakin berkobar. Satu demi satu korban dari pihak musuh mulai bertambah. Ali bin ‘Abi Thalib z menewaskan lebih dari 40 orang. Sementara Khalid bin Al-Walid z terluka cukup berat.
Kali ini, Malik bin ‘Auf dan pasukannya benar-benar kewalahan. Kekalahan mulai nampak. Mental pasukannya sudah jatuh. Akhirnya mereka melarikan diri meninggalkan harta dan keluarga mereka. Jatuhlah ke tangan kaum muslimin ribuan tawanan perang yang terdiri dari anak-anak dan kaum wanita. Juga puluhan ribu ternak, lebih dari 40.000 ekor kambing, 24.000 ekor unta, serta ribuan uqiah perak.
Jubair bin Muth’im z menceritakan: “Sungguh sebelum kekalahan musuh ini, aku melihat ada orang-orang yang berperang seperti bayangan hitam yang turun dari langit, jatuh ke tengah-tengah kami. Aku lihat seperti kawanan semut hitam memenuhi perut lembah, dan ternyata akhirnya mereka kalah. Aku tidak sangsi kalau mereka adalah malaikat.”
Setelah menempatkan ghanimah tersebut di tempat yang aman, mulailah kaum muslimin menyiapkan senjata untuk mengejar musuh yang melarikan diri.
Kaum musyrikin yang dipimpin Malik bin ‘Auf berlari menuju Thaif dan menyusun pasukan di Authas. Ketika mereka di Authas, Rasulullah n mengirim pasukan dipimpin oleh Abu ‘Amir Al-Asy’ari z. Terjadi pertempuran dan Abu ‘Amir terkena panah musuh dan gugur sebagai syahid.
Bendera pasukan dipegang oleh Abu Musa Al-Asy’ari z. Dia pun memerangi mereka dengan hebat dan Allah l pun memenangkan mereka.
Malik bin ‘Auf terus melarikan diri berlindung ke benteng Tsaqif.
Membagi ghanimah
Sengaja Rasulullah n menunggu beberapa hari dengan harapan ada pihak Hawazin yang datang masuk Islam, meminta tawanan dan harta  mereka. Namun sudah ketetapan Allah l bahwa ghanimah berupa harta itu menjadi hak kaum muslimin. Kemudian mulailah Rasulullah n membagikan ghanimah yang diperoleh dalam perang Hunain itu.
Beliau memberi harta itu kepada orang-orang yang dilunakkan hati mereka kepada Islam. Abu Sufyan diberi seratus ekor unta dan 40 uqiyah perak. Dia berkata: “Putraku Yazid?” Kata Rasulullah n: “Beri dia seratus ekor unta dan 40 uqiyah perak.” Abu Sufyan menukas: “Anakku, Mu’awiyah?”
Akhirnya Mu’awiyah juga menerima jumlah yang sama. Setelah itu, beliau memberi Hakim bin Hizam seratus ekor unta dan dia minta seratus lagi, beliau memberinya. Kemudian An-Nadhr bin Al-Harits bin Kaladah menerima seratus ekor unta. Kemudian beberapa orang lainnya dari pembesar Quraisy. Ghanimah yang dibagikan itu hampir mencapai 14.850 ekor unta, yang diambil dari khumus.
Termasuk yang ada dalam ghanimah tersebut adalah Asy-Syaima’, saudara perempuan Rasulullah n satu susuan. Ketika dia dihadapkan kepada Rasulullah n, dia menerangkan siapa dirinya. Rasulullah n bertanya kepadanya apa tanda buktinya. Asy-Syaima’ mengatakan bahwa di bagian punggungnya masih ada bekas gigitan Rasulullah n ketika dia dahulu menggendong beliau. Setelah beliau mengenalnya, beliau menghormatinya, membentangkan kainnya dan mendudukkannya di atas kain itu lalu memberinya pilihan.
Asy-Syaima’ masuk Islam dan memilih pulang ke kampung halamannya. Oleh Rasulullah n, dia diberi sepasang budak yang kemudian mereka nikahkan. Wallahu a’lam.
Setelah itu beliau perintahkan Zaid bin Tsabit z menghitung kambing dan jumlah pasukan. Baru kemudian beliau bagikan kepada pasukan. Setiap orang menerima empat ekor unta dan empat puluh ekor kambing. Kalau dia dari pasukan berkuda, dia menerima 12 ekor unta dan 120 ekor kambing.
Kaum Anshar dan Ghanimah
Al-Imam Ahmad t meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri z, beliau berkata:
لَمَّا أَعْطَى رَسُولُ اللهِ n مَا أَعْطَى مِنْ تِلْكَ الْعَطَايَا فِي قُرَيْشٍ وَقَبَائِلِ الْعَرَبِ وَلَمْ يَكُنْ فِي الْأَنْصَارِ مِنْهَا شَيْءٌ وَجَدَ هَذَا الْحَيُّ مِنَ الْأَنْصَارِ فِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى كَثُرَتْ فِيهِمُ الْقَالَةُ حَتَّى قَالَ قَائِلُهُمْ: لَقِيَ رَسُولُ اللهِ n قَوْمَهُ. فَدَخَلَ عَلَيْهِ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ هَذَا الْحَيَّ قَدْ وَجَدُوا عَلَيْكَ فِي أَنْفُسِهِمْ لِمَا صَنَعْتَ فِي هَذَا الْفَيْءِ الَّذِي أَصَبْتَ قَسَمْتَ فِي قَوْمِكَ وَأَعْطَيْتَ عَطَايَا عِظَامًا فِي قَبَائِلِ الْعَرَبِ وَلَمْ يَكُنْ فِي هَذَا الْحَيِّ مِنَ الْأَنْصَارِ شَيْءٌ. قَالَ: فَأَيْنَ أَنْتَ مِنْ ذَلِكَ، يَا سَعْدُ؟ قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا أَنَا إِلاَّ امْرُؤٌ مِنْ قَوْمِي وَمَا أَنَا؟؟؟ قَالَ: فَاجْمَعْ لِي قَوْمَكَ فِي هَذِهِ الْحَظِيرَةِ. قَالَ: فَخَرَجَ سَعْدٌ فَجَمَعَ النَّاسَ فِي تِلْكَ الْحَظِيرَةِ، قَالَ: فَجَاءَ رِجَالٌ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ فَتَرَكَهُمْ فَدَخَلُوا وَجَاءَ آخَرُونَ فَرَدَّهُمْ فَلَمَّا اجْتَمَعُوا أَتَاهُ سَعْدٌ فَقَالَ: قَدِ اجْتَمَعَ لَكَ هَذَا الْحَيُّ مِنَ الْأَنْصَارِ. قَالَ: فَأَتَاهُمْ رَسُولُ اللهِ n فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ بِالَّذِي هُوَ لَهُ أَهْلٌ ثُمَّ قَالَ: يَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ، مَا قَالَةٌ بَلَغَتْنِي عَنْكُمْ وَجِدَةٌ وَجَدْتُمُوهَا فِي أَنْفُسِكُمْ، أَلَمْ آتِكُمْ ضُلاَّلاً فَهَدَاكُمُ اللهُ، وَعَالَةً فَأَغْنَاكُمُ اللهُ وَأَعْدَاءً فَأَلَّفَ اللهُ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ؟ قَالُوا: بَلِ اللهُ وَرَسُولُهُ أَمَنُّ وَأَفْضَلُ. قَالَ: أَلاَ تُجِيبُونَنِي يَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ؟ قَالُوا: وَبِمَاذَا نُجِيبُكَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ وَلِلهِ وَلِرَسُولِهِ الْمَنُّ وَالْفَضْلُ. قَالَ: أَمَا وَاللهِ لَوْ شِئْتُمْ لَقُلْتُمْ فَلَصَدَقْتُمْ وَصُدِّقْتُمْ، أَتَيْتَنَا مُكَذَّبًا فَصَدَّقْنَاكَ وَمَخْذُولاً فَنَصَرْنَاكَ وَطَرِيدًا فَآوَيْنَاكَ وَعَائِلاً فَأَغْنَيْنَاكَ، أَوَجَدْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ يَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ، فِي لُعَاعَةٍ مِنَ الدُّنْيَا تَأَلَّفْتُ بِهَا قَوْمًا لِيُسْلِمُوا وَوَكَلْتُكُمْ إِلَى إِسْلاَمِكُمْ، أَفَلاَ تَرْضَوْنَ يَا مَعْشَرَ اْلأَنْصَارِ أَنْ يَذْهَبَ النَّاسُ بِالشَّاةِ وَالْبَعِيرِ وَتَرْجِعُونَ بِرَسُولِ اللهِ n فِي رِحَالِكُمْ؟ فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْلاَ الْهِجْرَةُ لَكُنْتُ امْرَأً مِنَ الْأَنْصَارِ، وَلَوْ سَلَكَ النَّاسُ شِعْبًا وَسَلَكَتِ الْأَنْصَارُ شِعْبًا لَسَلَكْتُ شِعْبَ الْأَنْصَارِ، اللهُمَّ ارْحَمِ الْأَنْصَارَ وَأَبْنَاءَ الْأَنْصَارِ وَأَبْنَاءَ أَبْنَاءِ الْأَنْصَارِ. قَالَ: فَبَكَى الْقَوْمُ حَتَّى أَخْضَلُوا لِحَاهُمْ وَقَالُوا: رَضِينَا بِرَسُولِ اللهِ قِسْمًا وَحَظًّا. ثُمَّ انْصَرَفَ رَسُولُ اللهِ n وَتَفَرَّقْنَا
Ketika Rasulullah n mulai membagi-bagikan ghanimah kepada beberapa tokoh Quraisy dan kabilah ‘Arab; sama sekali tidak ada dari mereka satu pun yang dari Anshar. Hal ini menimbulkan kejengkelan dalam hati orang-orang Anshar hingga berkembanglah pembicaraan di antara mereka, sampai ada yang mengatakan: “Rasulullah n sudah bertemu dengan kaumnya kembali.”
Kemudian masuklah Sa’d bin ‘Ubadah menemui Rasulullah n, katanya: “Wahai Rasulullah. Orang-orang Anshar ini merasa tidak enak terhadap anda melihat apa yang anda lakukan dengan harta rampasan yang anda peroleh dan anda bagikan kepada kaummu. Engkau bagikan kepada kabilah ‘Arab dan tidak ada satu pun Anshar yang menerima bagian.”
Rasulullah n bertanya: “Engkau sendiri di barisan mana, wahai Sa’d?”
Katanya: “Saya hanyalah bagian dari mereka.”
Kata Rasulullah n: “Kumpulkan kaummu di tembok ini.”
Lalu datang beberapa orang Muhajirin tapi beliau biarkan mereka, dan mereka pun masuk. Datang pula yang lain, tapi beliau menolak mereka. Setelah mereka berkumpul, Sa’d pun datang, katanya: “Orang-orang Anshar sudah berkumpul untuk anda.”
Rasulullah n pun menemui mereka, lalu beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya dengan pujian yang layak bagi-Nya. Kemudian beliau bersabda: “Wahai sekalian orang Anshar, apa pembicaraanmu yang sampai kepadaku? Apa perasaan tidak enak yang kalian rasakan dalam hati kalian? Bukankah aku datang kepada kalian dalam keadaan sesat lalu Allah memberi hidayah kepada kamu melalui aku? Bukankah kamu miskin lalu Allah kayakan kamu denganku? Bukankah kamu dahulu bermusuhan lalu Allah satukan hati kamu?”
Kata mereka: “Bahkan Allah dan Rasul-Nya lebih banyak memberi kebaikan dan keutamaan.”
Rasulullah n menukas: “Mengapa kamu tidak membantahku, wahai kaum Anshar?”
“Dengan apa kami membantahmu, wahai Rasulullah? Padahal kepunyaan Allah dan Rasul-Nya semua kebaikan serta keutamaan,” jawab orang-orang Anshar.
Kata Rasulullah n: “Demi Allah, kalau kamu mau, kamu dapat mengatakan dan pasti kamu benar dan dibenarkan: ‘Engkau datang kepada kami dalam keadaan didustakan, lalu kami yang membenarkanmu. Engkau datang dalam keadaan terhina, kamilah yang membelamu. Engkau datang dalam keadaan terusir, kamilah yang memberimu tempat. Engkau datang dalam keadaan miskin, kamilah yang mencukupimu. Apakah kalian dapati dalam hati kamu, hai kaum Anshar keinginan terhadap sampah dunia, yang dengan itu aku melunakkan hati suatu kaum agar mereka menerima Islam, dan aku serahkan kamu kepada keislaman kamu. Tidakkah kamu ridha, hai orang-orang Anshar, manusia pergi dengan kambing dan unta mereka, sedangkan kamu pulang ke kampung halamanmu membawa Rasulullah n? Demi yang jiwa Muhammad di Tangan-Nya, kalau bukan karena hijrah, tentulah aku termasuk salah seorang dari Anshar. Seandainya manusia menempuh satu lembah, dan orang-orang Anshar melewati lembah lain, pastilah aku ikut melewati lembah yang dilalui orang-orang Anshar. Ya Allah, rahmatilah orang-orang Anshar, anak-anak kaum Anshar, dan cucu-cucu kaum Anshar.”
Mendengar ini, menangislah orang-orang Anshar hingga membasahi janggut-janggut mereka, sambil berkata: “Kami ridha bagian kami adalahRasulullah n.”
Kemudian Rasulullah n pergi, dan kami pun bubar.
Perang Thaif
Sebagian besar pasukan Hawazin dan Tsaqif yang melarikan diri akhirnya masuk ke benteng Thaif bersama panglima mereka, Malik bin ‘Auf An-Nadhari. Maka Rasulullah n pun bergerak mengejar mereka setelah mengumpulkan ghanimah di Ji’ranah bulan itu juga.
Khalid bin Al-Walid bersama seribu prajurit mendahului di barisan pelopor. Kemudin Rasulullah n menyusul ke Thaif. Dalam perjalanan itu pasukan muslimin diperintah menghancurkan benteng Malik bin ‘Auf yang ada di Liyyah. Setelah tiba di Thaif, mereka mengepung benteng tersebuthingga beberapa hari. Ada yang mengatakan empat puluh hari, tapi ahli sejarah menyebutkan sekitar dua puluh hari.
Dalam pengepungan ini terjadi saling lempar batu dan panah. Pada awal pengepungan itu, kaum muslimin diserang dari dalam benteng bertubi-tubi sehingga menyebabkan beberapa orang terluka dan sekitar dua belas orang gugur. Akhirnya mereka pindah ke tempat yang sekarang dibangun masjid Thaif dan bermarkas di sana.
Kemudian Rasulullah n memerintahkan untuk melemparkan manjaniq (peluru besi berapi) hingga melubangi dinding benteng. Beberapa pasukan berusaha menerobos masuk dari bawah gerobak, tetapi disambut dengan ranjau-ranjau besi yang membara. Akhirnya kaum muslimin keluar, dan mereka diserang lagi dengan panah sehingga beberapa orang muslimin gugur.
Melihat ini Rasulullah n memerintahkan agar menebang dan membakar ladang-ladang anggur mereka. Hal ini membuat cemas orang-orang Tsaqif, lalu mereka meminta kepada beliau n demi Allah dan kasih sayang, agar beliau membiarkan tanaman tersebut. Beliau pun membiarkannya.
Setelah itu, Rasulullah n memerintahkan agar diserukan bahwasanya siapa saja budak yang keluar dari benteng dan datang kepadaRasulullah n maka dia merdeka. Mendengar ini, keluar 23 orang budak termasuk Abu Bakrah. Dia memanjat dinding benteng dan turun dengan timba bulat yang dipakai untuk mengambil air minum lalu menemui Rasulullah n. Oleh Rasulullah n, dia pun diberi kuniah Abu Bakrah. Rasulullah nmembebaskan mereka dan menyerahkan masing-masing mereka kepada seorang muslim untuk diberi santunan. Hal ini semakin menyusahkan penghuni benteng.
Semakin lama pengepungan semakin berat dan menyusahkan pasukan muslimin. Terlebih lagi para penghuni benteng telah menyiapkan bekal untuk bertahan selama setahun. Akhirnya Rasulullah n bermusyawarah dengan para sahabatnya untuk meninggalkan benteng tersebut.
Naufal bin Mu’awiyah Ad-Daili menyarankan kepada beliau: “Mereka itu seperti pelanduk di liangnya. Kalau anda tetap mengepungnya niscaya anda dapat menangkapnya. Tapi kalau anda membiarkannya, maka dia tidak akan merugikan anda.”
Saat itulah Rasulullah n bertekad meninggalkan benteng. Beliau memerintahkan ‘Umar bin Al-Khaththab bahwa mereka akan pulang besok, Insya Allah. Tetapi ada sebagian sahabat yang tidak menerima dan merasa keberatan, kata mereka: “Kita pergi dari sini padahal kita belum menaklukkan mereka?”
Rasulullah n pun menukas: “Kita berangkat untuk perang.” Maka keesokan paginya mereka berangkat untuk menyerang, tetapi mereka malah mendapat serangan hebat hingga jatuh korban. Akhirnya Rasulullah n berkata pula: “Kita bersiap untuk pulang besok, Insya Allah.” Tentu saja hal ini menyenangkan para sahabat. Mereka pun tunduk menerima dan mulai bertolak untuk pulang, sedangkan Rasulullah n tertawa.
Ada yang mengatakan kepada Rasulullah n: “Ya Rasulullah, doakanlah kejelekan terhadap Tsaqif.”
Kata Rasulullah n: “Ya Allah, berilah hidayah kepada Tsaqif dan datangkanlah mereka.”
Akhirnya Rasulullah n kembali ke Ji’ranah menunggu beberapa hari sebelum membagi-bagikan ghanimah dengan harapan Hawazin akan datang dalam keadaan taubat dan menerima Islam, lalu beliau akan menyerahkan kepada mereka harta dan keluarga mereka. Akan tetapi tidak ada seorang pun dari mereka yang datang menemui beliau hingga beliau pun membagi-bagikan ghanimah tersebut.
Utusan Hawazin
Setelah membagi-bagikan ghanimah, tak berapa lama datanglah utusan Hawazin. Mereka ada 14 orang dipimpin oleh Zuhair bin Shurad termasuk Abu Burqan, paman susuan Rasulullah n. Mereka masuk Islam dan berbai’at lalu berkata: “Wahai Rasulullah. Sesungguhnya di antara yang jadi tawanan anda ini adalah ibumu dan saudara perempuanmu, ’ammah (bibi dari pihak ayah) dan khalah (bibi dari pihak ibu, yakni dari susuan).”
Rasulullah n berkata kepada mereka: “Yang bersamaku adalah seperti yang kamu lihat. Yang paling aku sukai adalah perkataan yang paling jujur. Anak istri kalian yang lebih kalian sukai untuk dikembalikan ataukah harta kalian?”
Kata mereka: “Kami tidak akan menukar anak-anak dan istri-istri kami dengan harta sedikitpun.”
Beliau pun berkata: “Seusai shalat zhuhur datanglah dan katakan: ‘Kami mencari syafaat kepada Rasulullah n menghadapi kaum muslimin dan mengharap syafaat kepada kaum muslimin menghadapi Rasulullah n agar mengembalikan kepada kami tawanan yang ada’.”
Selesai shalat zhuhur, mereka berdiri dan mengucapkan hal itu. Rasulullah n pun berkata: “Adapun yang di tanganku dan Bani ‘Abdil Muththalib maka itu dikembalikan kepada kalian. Aku akan mintakan hak kalian kepada kaum muslimin.”
Mendengar perkataan beliau, kaum Muhajirin dan Anshar berkata: “Apa yang ada di tangan kami maka itu untuk Rasulullah n.”
Al-Aqra’ bin Habis berkata: “Adapun saya dan Bani Tamim, tidak akan menyerahkan tawanan kami.”
‘Uyainah bin Hishn juga menukas: “Apa yang di tangan saya dan Bani Fazarah tidak akan kami serahkan.”
Al-’Abbas bin Mirdas juga berucap: “Yang di tanganku dan Bani Sulaim tidak akan kami serahkan.” Tetapi Bani Sulaim justru mengatakan: “Apa yang di tangan kami maka itu milik Rasulullah n.”
Mendengar ini, Al-’Abbas bin Mirdas berkata kecewa: “Kalian mempermalukanku.”
Rasulullah n pun berkata: “Sesungguhnya mereka ini datang dalam keadaan muslim. Aku sudah menjauhkan tawanan mereka dan memberi mereka pilihan. Tapi mereka tidak akan menukar anak istri mereka dengan apapun. Maka siapa yang masih menahan tawanan dan senang hatinya serta mau mengembalikan, itu adalah haknya. Dan siapa yang mau menahan haknya hendaklah dia mengembalikannya juga kepada mereka dan akan diganti haknya itu setiap bagiannya dengan enam kali lipat dari fai’ yang pertama Allah anugerahkan kepada kami.”
Akhirnya kaum muslimin pun berkata: “Kami senang menyerahkannya kepada Rasulullah n.”
Kata beliau: “Kami tidak tahu siapa di antara kamu yang rela dan yang tidak. Kembalilah hingga cerdik pandai di kalangan kamu menyerahkan urusannya kepada kami.”
Akhirnya, mereka pun mengembalikan anak-anak dan istri-istri orang-orang Hawazin tersebut. Tidak ada yang tertinggal kecuali ‘Uyainah bin Hishn yang akhirnya menyerahkan juga seorang wanita tua yang jadi tawanannya. Rasulullah n pun memberi pakaian kepada setiap tawanan.
Setelah selesai membagi dan mengembalikan tawanan, Rasulullah n menuju Ji’ranah dan bersiap ‘umrah lalu kembali pulang ke Madinah. Beliau tugaskan ‘Attab bin Usaid mengatur urusan kaum muslimin di Makkah.
Di bulan Dzul Qa’dah tahun ke-8 hijriah, rombongan kaum muslimin mulai bertolak kembali ke Madinah.
Utusan Tsaqif
Sebelum tiba di Madinah, salah seorang pemuka Tsaqif yaitu ‘Urwah bin Mas’ud datang menemui Rasulullah n setelah usai perang Thaif, di bulan Dzul Qa’dah. Dia masuk Islam lalu kembali kepada kaumnya untuk mengajak mereka masuk Islam. Karena kedudukannya sebagai pemuka yang ditaati di tengah-tengah kaumnya, ‘Urwah mengira mereka akan mengikuti pula jejaknya masuk Islam.
Tetapi, setelah dia mengajak mereka, ternyata mereka menembakinya dengan panah dari segala penjuru sampai akhirnya dia tewas.
Penduduk Tsaqif kembali seperti biasa selama beberapa bulan. Kemudian mereka bermusyawarah melihat kenyataan bahwa mereka tidak mungkin sanggup melawan kabilah ‘Arab di sekitar mereka yang sudah masuk Islam dan berbai’at. Akhirnya mereka ingin mengutus ‘Abd Ya Lail bin ‘Amr.
Tapi ‘Abd Ya Lail menolak. Dia khawatir kejadian yang menimpa ‘Urwah akan dialaminya juga, dia pun berkata: “Aku tidak mau kecuali kalian utus juga beberapa orang bersamaku.”
Mereka pun mengutus beberapa orang termasuk ‘Utsman bin Abil ‘Ash yang paling muda di antara mereka.
Ketika mereka menemui Rasulullah n, beliau sediakan kemah buat mereka di sudut masjid agar mereka mendengar Al-Qur’an dan melihat kaum muslimin mengerjakan shalat.
Akhirnya, mereka tinggal di sana silih berganti menemui Rasulullah n yang selalu mengajak mereka kepada Islam. Hingga suatu ketika, pemimpin rombongan itu meminta agar Rasulullah n membuat kesepakatan antara beliau dengan Tsaqif. Mereka minta agar beliau mengizinkan mereka berzina, minum khamr, memakan riba, dan membiarkan Al-Latta tetap jadi sesembahan mereka serta tidak mengerjakan shalat. Mereka juga minta agar berhala mereka tidak dihancurkan oleh tangan mereka sendiri.
Tapi, semua keinginan mereka itu ditolak oleh Rasulullah n. Melihat ini, utusan Tsaqif kehabisan akal dan melihat tidak ada jalan lain kecuali mereka harus menerima dan tunduk kepada Islam. Akhirnya mereka masuk Islam dan minta kepada Rasulullah n agar menugaskan orang lain menghancurkan Al-Latta.
Rasulullah n mengabulkan keinginan mereka dan mengangkat ‘Utsman bin Abil ‘Ash sebagai pemimpin mereka. Hal itu karena utusan tersebut setiap pagi datang kepada Rasulullah n dan meninggalkan ‘Utsman. Apabila mereka kembali dan tidur siang, maka ‘Utsman datang menemuiRasulullah n minta dibacakan Al-Qur’an dan bertanya tentang Islam. Kalau dia dapati Rasulullah n sedang tidur, dia datang menemui Abu Bakr dengan maksud yang sama, belajar tentang Islam.
Di kemudian hari, ‘Utsman menjadi orang yang paling besar mendatangkan keberkahan kepada kaumnya terlebih di zaman riddah (murtadnya beberapa kabilah). Ketika penduduk Tsaqif juga ikut-ikutan ingin murtad, dia berkata kepada mereka: “Wahai penduduk Tsaqif. Kalian adalah orang yang paling akhir masuk Islam, maka janganlah kalian menjadi orang yang pertama murtad.” Akhirnya mereka pun menyadari, dan tetap di atas Islam. Semoga Allah l meridhainya.
Para utusan itu kembali tetapi menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya. Mereka menakut-nakuti penduduk lain bahwa mereka akan diserang dan dibunuh. Mereka nampakkan kesedihan dan kepedihan, bahwa Rasulullah n meminta mereka meninggalkan zina, khamr, riba dan sebagainya, kalau tidak dia akan memerangi mereka.
Hal itu mendorong bangkitnya sentimen jahiliah penduduk Tsaqif, maka mereka menolak hal itu. Mereka tenang selama dua atau tiga hari bersiap untuk perang. Kemudian Allah l masukkan ke dalam hati mereka rasa takut. Mereka pun menemui para utusan itu dan berkata: “Kembalilah kepadanya (Rasulullah n) dan berikan apa yang dimintanya.”
Saat itu juga para utusan itu memaparkan yang sebenarnya. Mereka menunjukkan kesepakatan yang telah ditetapkan antara Rasulullah ndengan mereka. Akhirnya, penduduk Tsaqif masuk Islam.
Allah Yang Maha pemurah, lagi Maha penyayang mengabulkan doa kekasih-Nya Muhammad n.
Tak lama, Rasulullah n mengirim beberapa orang untuk menghancurkan Al-Latta. Beliau mengangkat Khalid bin Al-Walid sebagai pemimpin rombongan.
Sesampai di sana, Al-Mughirah bin Syu’bah memukulkan palu yang ditangannya, kemudian dia terjatuh. Ini membuat penduduk Thaif ribut, dan berkata: “Semoga Allah jauhkan Al-Mughirah, semoga dia dibunuh dewi itu (Al-Latta).”
Al-Mughirah melompat dan berkata: “Semoga Allah memburukkan kamu. Dia hanyalah benda hina, sebongkah batu dan bulu.”
Dia pun menghancurkan pintu dan naik ke tembok tempat pemujaan. Lalu naik pula beberapa orang dan meruntuhkan bangunan itu serta meratakannya dengan tanah sampai mencabut pondasinya. Mereka keluarkan kain dan perhiasan pemujaan itu. Sementara orang-orang Tsaqif terdiam, melihat pujaan mereka tidak berdaya apa-apa.
Setelah itu, rombongan Khalid kembali dan menyerahkan perhiasan tempat pemujaan itu dan dibagi-bagikan oleh Rasulullah n hari itu juga sambil memuji Allah l atas pertolongan-Nya kepada Nabi-Nya dan agama-Nya.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Perang Hunain"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip