Al-Imam Zaid bin Ali Zainal Abidin Ibnul Husain
Beliau
juga dikenal sebagai ahli Fiqih kenamaan di masanya. Pengakuan tersebut
pernah diucapkan oleh Imam Abu Hanifah sendiri: "Aku kenal Imam Zaid
bin Ali sebagaimana aku kenal tentang keluarganya. Di masanya tidak
pernah seorang yang lebih ahli dalam Fiqah daripada beliau. Dan aku
tidak pernah melihat seorangpun yang lebih luas pengetahuannya, lebih
cepat menjawab dan lebih terang penjelasannya daripada beliau, jarang
sekali mendapati orang semacam beliau".
Kumpulan
Syiah Zaidiyah nisbatnya kembali pada beliau. Beliau dikhianati oleh
pengikut beliau sendiri yang berada di kota Kufah. Sebahagian pengikut
beliau ada pula golongan yang ekstrimis. Mereka menuntut agar beliau
tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar secara sah.
Namun
beliau menolak dan beliau menyatakan dengan terang-terangan bahawa Abu
Bakar dan Umar adalah khalifah Rasulullah yang sah. Sejak itulah
pengikut beliau yang menolak kekhalifahan Abu Bakar dan Umar disebut
golongan Syiah Rafidha (yang menolak). Sedangkan pengikut beliau yang
tetap mengikuti pendapat beliau tentang sahnya kekhalifahan Abu Bakar
dan Umar disebut Syiah Zaidiyah. Kelompok inilah yang ikut berjuang
dengan beliau mati-matian.
Imam
Zaid bin Ali dihukum mati kerana menentang pemerintahan Hisyam bin
Abdul Malik salah seorang khalifah dari dinasti Bani Umayyah. Ketika
dinaikkan di atas tiang salib, beliau ditelanjangi dahulu sebelum
dibunuh. Namun Allah tetap melindungi aurat beliau. Allah mengutus
segerombolan labah-labah untuk membuat anyaman dari sarangnya sehingga
dapat menutupi seluruh aurat beliau. Radhiyallohu anhu wa ardhah…
Perkembangan Dan Keilmuan Imam Zaid
“Ketika
saya melihat Zaid Bin Ali, saya tidak pernah menemukan seorangpun
dizamannya yang melebihi kefaqihan-nya, tidak pula pengetahuaanya,
kelihaiannya dalam memberikan jawaban, dan kefasihannya dalam
berbicara,…….”.
Imam
Zaid Bin Ali tumbuh dan berkembang ditengah-tengan keluargan yang
selalu memprioritaskan pendidikan. Dalam usianya yang masih muda, imam
Zaid sudah memiliki keunggulan yang jarang dimiliki oleh orang lain
sebayanya, seperti keilmuan dan kesopan-santunan yang luar biasa, akhlak
yang sempurna, dll. Hal itu didukung oleh beberapa factor internal,
diantaranya ialah:
• Karena Imam Zaid mempunyai nasab yang paling mulia dinegeri arab, dan didalam tubuhnya mengalir darah suci Rasulullah SAW.
•
Karena beliau dan keluarganya telah lulus ujian yang diberikan Allah
kepada mereka, sehingga Allah mengangkat derajat mereka.
•
Karena keluarganya yang selalu mengarahkannya kepada ilmu
pengetahuan, serta menganggap suatu ujian sebagi hiburan yang pada
akhirnya akan berbuah pengetahuan.
Dari
tiga faktor internal inilah, Imam Zaid Bin Ali tumbuh dan berkembang
selalu dalam pengawasan ayahnya hingga menjadi seorang ulama’ terkemuka
di Kuffah, yang alim dan banyak menguasai ilmu pengetahuan tentang
islam. Dia adalah seorang imam yang ahli dalam bidang Qira’aat, seperti
ilmu Al-Qur’an beserta tafsirnya, ilmu Nasikh Wal Mansukh, dan dia juga
seorang ulama’ aqidah yang banyak dijadikan rujukan. Disamping ilmu
qira’at, Imam Zaid juga seorang yang mumpuni dalam bidang fiqih dan
hadits, karena beliau mengambil hadits langsung dari ayahnya, ahlul
bait, dan selainnya. Bahkan banyak syekh dari Kuffah yang belajar
kepadanya. Berbagai pujian dan sanjungan datang kepada beliau dari orang
yang pernah belajar kepadanya, diantaranya ialah Imam Abu Hanifah (yang
ungkapannya penulis kutipkan diatas), Abdullah Bin Al-Hasan Bin
Al-Hasan, Abu Muhammad , Ibrahim, dll.
Dalam
satu pujiannya, Abdullah Bin Hasan mengungkapkan tentang keilmuan yang
dimiliki oleh Imam Zaid dengan mengatakan bahwa dia belum pernah melihat
seorangpun semasanya yang menandingi keahliannya, dan tidak pula dari
ahlul bait-nya.
Ilmu
tanpa dihisai dengan sulukiyah al-hasanah tidak akan bermanfaat. Maka,
selain menguasai ilmu keislaman, Imam Zaid juga menguasai sulukiyah
al-hasanah sebagai sarana bersosialisasi dan berinteraksi dengan
masyarakat dalam menyebarkan pemikirannya. Seperti keikhlasan, karena
keikhlasan itu bagaikan cahaya yang akan menerangi dirinya; pemberani,
sabar, kesadaran berfikir, kefasihan dalam bertutur kata, insting yang
kuat, haibah yang tinggi, dll.
Dalam
pengembaraannya mencari ilmu, Imam Zaid tidak hanya berkutat di Madinah
bersama Alul Bait, tapi dia sudah mengembara kepenjuru negeri arab
hanya untuk memperdalam pengetahuannya. Seperti hijrahnya ke Iraq,
disana ia mendapatkan ilmu baru yang tidak ia dapatkan sebelumnya di
Madinah, seperti ilmu tentang filsafat, ilmu al-adyan, dan ‘ilmu
al-firaq.
Guru Imam Zaid Bin Ali
Sebagaimana yang telah penulis kemukakan diatas, pada bab
perkembangan dan keilmuan Imam Zaid bahwa yang berperan sebagai
pembimbing sekaligus guru Imam Zaid adalah ayahnya sendiri Ali Bin
Husain. Dengan kata lain, ayahnya adalah guru pertama yang mengajarkan
Imam Zaid tentang pengetahuan agama Islam, dan mendidiknya dari kecil
hingga ia tumbuh dewasa menjadi seorang ulama’ terkemuka. Peran ayahnya
sangat menentukan masa depan Imam Zaid. Semua ilmu yang dimiliki ayahnya
diwariskan kepadanya, terutama ilmu hadits dan ilmu fiqih. Itu karena
ayahnya pernah bertemu dan belajar dengan sahabat serta tabi’in ketika
di Madinah, dan dia meriwayatkan hadits dari ayahnya Husain, pamannya
Hasan, ‘Aisyah, Ibnu ‘Abbas, Jabir, Shafiyah, Ummu Salamah, dll. yang
mereka itu semuanya dari golongan sahabat . Kemudian anaknya –Al- Baqir
dan Zaid- mengambil sanad langsung dari ayahnya. sedangkan ayahnya
sendiri adalah seorang tabi’in.
Selain
dari ayahnya, Imam Zaid juga banyak belajar dan mengambil riwayat dari
para tabi’in seperti Fuqahaa’u As-Sab’ah, yang masyhur sebagai pembawa
ilmu sahabat. Walaupun dia tidak sempat belajar banyak dari mereka tapi
sedikit banyaknya Imam Zaid pernah melihat mereka semua, karena kemudian
ia hijrah ke Iraq.
Hubungan Imam Zaid Dengan Syi’ah
Jika
kita berbicara tentang biografi Imam Zaid Bin Ali dan semua yang
bersangkutan dengannya, tentunya kita tidak bisa lepas dari membicarakan
Syi’ah. Karena Imam Zaid adalah pendiri Zaidiyah yang merupakan pecahan
dari Syi’ah. Sebelum kita berbicara lebih jauh tentang hubungan Imam
Zaid dengan Syi’ah, alangkah baiknya bila kita mengetahui apa itu
Syi’ah?
Syi’ah
adalah sekte islam yang pertama kali berdiri, dan awal kemunculannya di
Mesir yang kemudian pindah ketanah Iraq. Pindahnya Syi’ah Dari Mesir ke
Iraq ada sebab-sebab tertentu, diantaranya adalah karena Iraq sebagai
tempat dimana semua aliran keislaman berkumpun disana, juga merupakan
bertemunya peradaban-peradaban kuno seperti peradaban Yunani kuno,
pemikiran Hindu, dsb. Mereka-kaum Syi’ah- mulai muncul kepermukaan kaum
muslimin dengan politiknya pada masa akhir kepemimpinan Utsman Bin
Affan, tapi diproklamirkan dan berkembang pesat pada masa khilafah Ali
Bin Abi Thalib.
Syi’ah
menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang.
Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu
perkara. (Tahdzibul Lughah, 3/61, karya Azhari dan Tajul Arus, 5/405,
karya Az-Zabidi. Dinukil dari kitab Firaq Mu’ashirah, 1/31, karya Dr.
Ghalib bin ‘Ali Al-Awaji).
Adapun
menurut terminologi syariat, Syi’ah bermakna: Mereka yang menyatakan
bahwa Ali bin Abu Thalib lebih utama dari seluruh shahabat dan lebih
berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula
anak cucu sepeninggal beliau. (Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal,
2/113, karya Ibnu Hazm).
Syi’ah,
dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan
bergulirnya waktu, kelompok ini terpecah menjadi lima sekte yaitu
Kaisaniyyah, Imamiyyah (Rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat, dan Isma’iliyyah.
Dari kelimanya, lahir sekian banyak cabang-cabangnya. (Al-Milal Wan
Nihal, hal. 147, karya Asy-Syihristani).
Adapun
yang akan jadi pembahasan kita adalah Syi’ah Zaidiyah yang dinisbahkan
kepada Imam Zaid Bin Ali Zainal Abidin. Karena Zaidiyah merupakan
pecahan dari Syi’ah dan yang paling menonjol perbedaannya diantara
sekian banyak cabang Syi’ah, terutama dalam masalah penentuan imamiyah.
Nampaknya agak sulit membedakan antara agama Islam dan Syi’ah. “Serupa
tapi tak sama”. Barangkali ungkapan ini tepat untuk menggambarkan Islam
dan kelompok Syi’ah. Secara fisik, memang sulit dibedakan antara
penganut Islam dengan Syi’ah. Namun jika ditelusuri -terutama dari sisi
aqidah- perbedaan di antara keduanya ibarat minyak dan air. Sehingga,
tidak mungkin disatukan.
Berbeda dengan Zaidiyah, walaupun dia beraliran Syi’ah-pada dzahirnya- tapi pemikirannya sangat bertentangan dengan Syi’ah sendiri,
justru lebih cenderung kepada pemikiran Ahlussunah Wal Jama’ah. Inilah
yang perlu dicatat, ditelusuri dan dipahami oleh kita semua sebagai
penerus perjuangan mereka.
Sebagaimana
yang telah penulis sebutkan diatas, perbedaan yang paling mencolok dari
Syi’ah Zaidiyah ini adalah masalah imamiyah. Golongan ini rupanya
lebih moderat. Mereka bisa menerima Imam Mafdul yakni imam yang
dinominasikan, disamping adanya Imamal-Afdal atau imam yang
lebih utama. Sekte ini memiliki persyaratan khusus dalam memilih seorang
imam yaitu seorang yang 'Alim, Zahid (sangat berhati-hati
denganmasalah dunia), pemberani, pemurah, dan mau berjihad dijalan
Allah guna menegakkan keimaman, taat pada agama baik dia dari putera
Hasan atau Husain. Oleh sebab itu, aliran ini tidak menyalahkan atau
membenci khalifah-khalifah sebelum 'Ali ibn Abi Talib. Selain
masalah imamah, seperti juga masalah tentang dasar-dasar aqidah dan
fiqih, Zaidiyah lebih mendekati pada pemikiran Ahlussunah.
Fiqih Pada Masa Imam Zaid
Adapun fiqih pada masa Imam Zaid merupakan masa berproduksinya
ijtihad al-fiqhi. Yaitu masa bermulanya tentang perbandingan fiqih,
peng-qiyasan yang shahih dan yang ghairu shahih. Hal ini sebenarnya
sudah terjadi pada masa sahabat-setelah meninggalnya Rasulullah SAW,
ketika para sahabat menyebar keseluruh penjuru negeri arab untuk
berdakwah yang tentunya mempunyai permasalahan yang kolektif. Karena
mereka datang dari daerah dan suku yang berbeda-beda sehingga berbeda
pula permasalahannya. Perbedaan itu terjadi pada sahabat ketika
menentukan suatu hukum dari Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Sunah, dan hanya
pada permasalahan dalil dzanni, bukan yang qath’i. Ditengah-tengah
maraknya perbandingan fiqih, ada beberapa orang tabi’in yang terkenal
sebagai pembawa ilmu sahabat, mereka ialah Ulama’ Sab’ah. Seperti:
1.
Sa’id Bin Al Musayyab, beliau lahir pada masa pemerintahan Umar Bin
Khatab dan wafat pada tahun 93 H, yaitu pada masa pemerintahan Walid Bin
Abdul Malik.
2. Urwah Bin
Zabir; dia lahir pada masa pemerintahan Usman Bin Affan dan wafat pada
tahun 94 H (pada tahun wafatnya Ali Zainal Abidin).
3. Abu Bakar Bin Abdurrahman Bin Harits; wafat pada tahun 94 H.
4.
Qasim Bin Muhammad Bin Abi Bakr; dia adalah anak saudaranya Ummul
Mu’minin ‘Aisyah radliyallahu anha, wafat pada tahun 108 H.
5. ‘Ubaidullah Bin Ubaidillah Bin ‘Utbah Bin Mas’ud; wafat pada tahun 99 H, ada juga yang mengatakan pada tahun 98 H.
6. Sulaiman Bin Yasar; wafat pada tahun 100 H.
7. Kharijah Bin Zaid Bin Tsabit; wafat pada tahun 100 H .
Mereka
semua adalah tabi’in yang ahli dalam bidang fiqih dan termasyhur dimasa
itu, bukan berarti selain mereka ulama’ sab’ah tidak ada lagi ulama
yang mumpuni, seperti di Madinah, karena madinah merupakan pusat ilmu
Al-Qur’an dan Hadits. Tapi merekalah ulama’ termasyhur dari sekian
banyak tabi’in.
Pada
masa Imam Zaid, bukan hanya Fiqih Atsar saja yang berkembang tapi Fiqhu
Ar-Ra’yi juga ikut berkembang. Pada awalnya fiqhurra’yi ini berkembang
di tanah Iraq, namun lama-kelamaan merambat sampai ke Madinah, fiqih
ra’yi ini sudah ada sejak zaman sahabat, tapi yang menjadi perbedaan
sebatas mana mereka mengambil fiqih ini. Diantara sahabat ada yang hanya
mengambil fatwa jika tidak terdapat nashnya, ada yang mengambil
ra’yunya, dan ada juga yang tidak mengambilnya sama sekali karena jika
dirinya akan mendustai Rasulullah SAW.
Pemikiran dan Fiqih Imam Zaid
A. Pemikiran Imam Zaid Tentang Ushuluddin
1. Pemikiran Imam Zaid Tentang Imamatu Al-Afdlal
Salah satu keshahihan pemikiran Imam Zaid ialah tentang Imamah
setelah kepemimpinan Rasulullah SAW yang mengatakan sesungguhnya imamah
itu bukan satu warisan mutlak, adapun pemba'itan yang kerap terjadi
dalam kelompok Syi’ah, merupakan akibat dari peng-afdlalan dan bukan
hukum dasar.
Imam
Zaid juga tidak mengingkari dengan adanya pendapat yang mengatakan
bahwasanya imam Ali Bin Abi Thalib lebih utama dari sahabat-sahabatnya
yang lain, yaitu Abu Bakar dan Umar radliyallahu ‘anhuma. Akan tetapi
beliau juga mengakui sesungguhnya kepemimpinan mereka berdua adalah
benar, dan mentaati keduanya merupakan kewajiban. Imam Bukhari
meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Ubaidah bahwa ia mendengar
Ali radhiallahu ‘anhu mengatakan:
“Putuskanlah
sebagaimana kalian putus-kan, sesungguhnya aku membenci perselisihan
hingga manusia berada dalam satu jama’ah atau lebih baik aku mati
seperti para shahabat-shahabatku yang telah mati”.
2. Syarat Imamah Menurut Imam Zaid
Sebagaimana yang kita ketahui, pemikiran Imam Zaid sangat kontroversi
dengan pemikiran Syi’ah pada umumnya, terutama dalam hal ke-imamahan.
Dalam menentukan imamah, dia mempunyai cara yang sangat selektif dalam
memilihnya. Kelompok ini (Zaidiyah) memiliki persyaratan khusus dalam
memilih seorang imam yaitu seorang yang 'Alim, Zahid (sangat
berhati-hati dengan masalah dunia), pemberani, pemurah, dan mau
berjihad dijalan Allah guna menegakkan keimaman serta taat pada
agama, baik dia dari putera Hasan atau Husain atau dari keturunan Ali
dan Fathimah radliyallahu ‘anhuma. Hal ini bertolak belakang dengan
kelompok Syi’ah Al-Kisaniyah yang mensyaratkan agar seorang imam itu
hanya dari anak-anaknya Ali. Berbeda lagi dengan Syi’ah Imamiyah yang
mensyaratkan bahwa seorang imam itu harus dari anak-anaknya Husain.
3. Pendapat Imam Zaid Tentang Orang Yang Berbuat Dosa Besar
Dalam
masalah ini kita ambil contoh dari beberapa kelompok tentang peristiwa
Tahkim yang terjadi antara Ali Bin Abi Thalib dan Muawiyah.
1.
Al-Khowarij (Al-Azariqah): berpendapat bahwa yang terlibat dalam
peristiwa tahkim adalah kafir. Begitu pula bila seseorang telah berbuat
dosa besar, maka dicap sebagai kafir bahkan sampai anak-anaknya juga
ikut kafir.
2. Al-Ibadliyah: mengatakan bahwa orang yang berbuat dosa besar berarti ia telah kufur nikmat bukan kufur iman.
3.
Hasan Al-Bashri: Berpendapat bahwa semua yang terlibat dalam dosa
besar adalah munafik, karena menurutnya manusia ada tiga macam, yaitu
mukmin, munafik dam kafir. Dan jika seandainya seorang mukmin maka ia
tak akan berbuat dosa besar.
4.
Lalu bagaimana dengan pendapat Imam Zaid sendiri tentang ini?
sebagaimana yang telah disebutkan diatas, bahwa imam Zaid pernah berguru
kepada Washil Bin Atha’-pendiri Mu’tazilah- dan sedikit banyaknya
berpengaruh terhadap pemikirannya. Ia berpendapat bahwa orang yang
berbuat dosa besar kedudukannya diantara iman dan kafir, manzilatu baina
manzilataini. Ia adalah seorang muslim tapi fasiq.
4. Pendapat Imam Zaid Berkenaan Dengan Qadla dan Qadar
Pembahasan tentang qalda dan qadar tak kalah menariknya untuk dikaji
dan dipelajari, karena ini berkenaan dengan amal perbuatan manusia
dalam sehari-hari. Sebagai perbandingan, disini saya cantumkan juga
beberapa pendapat dari aliran yang ada pada umat islam. Diantara:
1.
Al-Jabariyah: Mereka berpendapat bahwa, sesungguhnya manusia itu
tidak punya kemampuan dan ikhtiar untuk berbuat dengan dirinya, bahkan
manusia dalam beramal tak ubahnya seperti terbangnya sepotong kapas yang
diterpa oleh angin, kapas tersebut tidak bergerak sendiri melainkan
digerakan oleh angin. Dengan kata lain, kelompok Jabariyah ini menerima
qadar yang ditetapkan Allah kepada mereka, tapi dalam melaksanakan suatu
amal perbuatan mereka tidak ada ikhtiar, karena semuanya sudah
ditetapkan oleh Allah SWT.
2.
Al-Qadariyah: kelompok ini merupakan lawan dari Jabariyah yang mengakui
takdir tapi menafikan qadla. Sedangkan Al-Qadariyah berpendapat bahwa
suatu amal perbuatan manusia itu tidak ada sangkut pautnya dengan qadar
Allah, artinya apa yang dilakukan manusia itu merupakan kehendaknya
sendiri tidak ada kaitannya dengan takdir. Dan yang berlaku pada mereka
adalah ilmu Allah ketika manusia sedang berbuat.
3. Az-Zaidiyah: Lain Qadariyah lain pula dengan Imam Zaid, beliau berpendapat bahwa;
(1).
Manusia harus menggabungkan antara qadla dan qadar, keduanya tidak
boleh dipisah. Dia menggambarkan bahwasanya manusia diberi kebebasan
memilih dalam berbuat ketaatan dan maksiat, akan tetapi perbuatan
maksiat itu bukan kehendak dan takdir Allah, karena manusia bisa
memilah-milah suatu perbuatan. Dan sesungguhnya Allah SWT tidak ridha
bila hambanya berbuat kekafiran. Imam Zaid berkata: “Barang siapa yang
tidak beriman kepada Allah beserta qadla dan qadarnya, berarti dia telah
kafir,……”
(2). Sesungguhnya
Allah telah menetapkan kepada manusia takdir dan ikhtiar dalam berbuat,
maka mereka berbuat sesuai dengan apa yang Allah tetapkan. Hasan
berkata: “sesungguhnya itu adalah takdir yang telah Allah takdirkan bagi
manusai,…..”.
B. Fiqih Imam Zaid
Imam
Zaid Bin Ali adalah seorang ahli fiqih pada zamannya, dia melandasi
fiqihnya dengan hadits dan ra’yun-bila tidak ditemukan dalilnya dalam
Al-Qur’an dan Sunah, yang ia ambil dari sahabat, tabi’in dan dari ahlul
baitnya sendiri.
1. Ushul Mazhab Zaidiyah
Dalam fiqihnya, Imam Zaid tidak meletakkan dasar-dasar (ushul) ketika
berijtihad menentukan suatu hukum. Yang perlu diketahui adalah, fiqih
Zaidiyah itu lebih umum dan syumul dari fiqihnya Imam Zaid. Karena fiqih
Zaidiyah tidak sepenuhnya berasal dari dia, didalamnya terkumpul
fiqih-fiqih dari Alul Bait seperti Al-Hadi, An-Nasir, dll. Yang terutama
adalah masalah ijtihad, maka dari itu kita tidak bisa mengatakan kalau
ushul yang ditulis oleh Zaidiyah itu merupakan ushulnya Imam Zaid
sendiri.
Ijtihad yang dilakukan
Alul Bait adalah ijtihad mutlak, yaitu bukan hanya terbatas pada masalah
furu’iyah tapi mencakup ke-ushuliyah juga. Dari sini kita tidak bisa
menyimpulkan apakah ijtihad furu’iyah-nya Zaidiyah sama dengan
ijtihadnya Imam Abu Hanifah?
Adapun dasar-dasar yang digunakan Zaidiyah dalam berijtihad atau menentukan suatu hukum adalah sebagai berikut:
1. Al-qur’an
2. As-Sunah
3. Ijma’
4. Qiyas
5. Istihsan
6. Istishab
7. Ijtihad
Tapi
mazhab Zaidiyah ini mempunyai urutan khusus ketika akan menentukan
suatu hokum yang berdasarkan nash-nash, baik dari Al-qur’an maupun dari
As-Sunah, yaitu sebagai berikut:
1. Nash Al-Qur’an dan As-Sunnah
2. Dzahirnya Al-Qur’an dan Sunah
3. Nash-nash khabar ahad
4. Dzahir khabar ahad
5. Pemahaman tentang Al-Qur’an
6. Pemahaman tentang Hadits
7. Perbuatan nabi Muhammad SAW dan ketetapannya
2. Murid- Murid Imam Zaid
Isa,
Muhammad, Husain, Yahya (anak-anaknya Imam Zaid), Ibnu Abi Laily, Zaid
Bin Rabi’, Abu Hanifah An-Nu’man Bin Tsabit, A’masy, Mansur Bin
Muktamar, Al-A’jali, Nasr Bin Khazimah, Muamar Al-Hilaly dan Amru Bin
Khalid.
Mazhab Zaidiyah ini
menyebar kepenjuru dunia layaknya sama seperti mazhab-mazhab yang lain,
terutama dibelahan negeri arab, Maroko (Maghriby), Irak, Mesir, dll.
[Disarikan
dari Syarh Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin
Alwi Alhaddad Ba’alawy, karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain
Alhabsyi Ba’alawy, dan Alawiyin, Asal Usul & Peranannya, karya Alwi
Ibnu Ahmad Bilfaqih juga berbagai sumber]
abdkadiralhamid@2013
abdkadiralhamid@2013
0 Response to "Al-Imam Zaid bin Ali Zainal Abidin Ibnul Husain"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip