Teguran Keras terhadap Pelaku Pemalsu Nasab !!!
Firman Allah Ta'ala dalam surat
Al-Syura:23:
"Katakanlah (Muhammad)
untuk itu Aku tiada meminta upah (bayaran) kepada kamu, (yang Kuminta) hanya
kasih sayang terhadap keluarga terdekat".
Dalam menghadapi "maraknya Habib/Syarifah Palsu", kita harus berpikir
secara kritis yang tetap mengacu pada “standar baku yaitu ilmu nasab” agar pikiran tidak
menjadi liar. Lalu kita juga jangan jadi pengekor atau "merasa gak enak" hati seperti tabiat orang
Indonesia kebanyakan jika menemukan teman atau guru melakukan kesalahan dengan
mengaku sebagai HABIB/SYARIFAH dalam pengakuan nya sebagai seorang Dzurriah
Rasul !!!
Inilah butir-butir pertanyaan kritis yang perlu direnungkan :
1. Jika catatan nasabmu benar,kenapa sampai sekarang menjadi polemik?. Dari masa Sayyid Ali bin Ja'far hingga sekarang pun catatan mu tidak digunakan untuk diiktiraf dan diitsbat.
2.Siapa penulis catatan tersebut? ahli nasab kah? atau hanya abdi dalem (khadam) kerajaan?
3.Apakah ada jaminan bahwa kafa'ah Syarifah terjaga?
4. Apakah ada jaminan bahwa nasab tersebut tidak bercampur budaya tempatan?. Karena bisa saja ada yang menisbahkan nasab nya ke pihak ibu.
5. Apa ada jaminan bahwa nasab yang tak tercatat selama 500 tahun itu adalah anak dari perkawinan yang sah alias bukan math'unun nasab?. Sebab seorang Munsib tak mungkin mencatat math'unun nasab
6. Apakah pakar nasab seperti Sayyid Ali bin Ja'far Assegaf dan generasi setelahnya adalah orang bodoh sehingga tak mau mengitsbat dan mengiktiraf catatan nasab tersebut jika memang benar?..
Namun jangan salah sangka dulu, tidak semua catatan kerajaan tertolak jika catatan tersebut memenuhi kriteria standar ilmu nasab, maka sudah pasti akan di iktiraf. Contohnya catatan kerajaan Kubu, Siak dan kesultanan Alqadri Pontianak dan lain-lain.
Inilah butir-butir pertanyaan kritis yang perlu direnungkan :
1. Jika catatan nasabmu benar,kenapa sampai sekarang menjadi polemik?. Dari masa Sayyid Ali bin Ja'far hingga sekarang pun catatan mu tidak digunakan untuk diiktiraf dan diitsbat.
2.Siapa penulis catatan tersebut? ahli nasab kah? atau hanya abdi dalem (khadam) kerajaan?
3.Apakah ada jaminan bahwa kafa'ah Syarifah terjaga?
4. Apakah ada jaminan bahwa nasab tersebut tidak bercampur budaya tempatan?. Karena bisa saja ada yang menisbahkan nasab nya ke pihak ibu.
5. Apa ada jaminan bahwa nasab yang tak tercatat selama 500 tahun itu adalah anak dari perkawinan yang sah alias bukan math'unun nasab?. Sebab seorang Munsib tak mungkin mencatat math'unun nasab
6. Apakah pakar nasab seperti Sayyid Ali bin Ja'far Assegaf dan generasi setelahnya adalah orang bodoh sehingga tak mau mengitsbat dan mengiktiraf catatan nasab tersebut jika memang benar?..
Namun jangan salah sangka dulu, tidak semua catatan kerajaan tertolak jika catatan tersebut memenuhi kriteria standar ilmu nasab, maka sudah pasti akan di iktiraf. Contohnya catatan kerajaan Kubu, Siak dan kesultanan Alqadri Pontianak dan lain-lain.
Nasehat Pemalsu Nasab :
"Wahai saudaraku sadarlah................Apakah kamu belum merasa bersyukur menjadi umat Rasulullah, umat terbaik disepanjang zaman, umat dari penghulu para Nabi & Rasul, yang syafa'atnya pasti diterima oleh Allah azza wa jalla.......Jangan kamu hinakan dirimu dengan memalsukan nasab yang bukan hakmu...!!! Jika kamu ragu dengan nasab yg selama ini kamu sandang, bertanyalah dengan orang yang ahli dibidangnya (ahli nasab), dan jangan membenarkan dirimu dengan menyandang "Gelar Dzurriah" yang belum tentu milikmu."
Semoga kalian bukan termasuk orang-orang yang tidak mendapat Syafa'atnya Kelak, dimana orang2 yg mendapatkan syafa'at akan mendapatkan kemuliaan dan kebahagiaan, sebagaimana diceritakan dalam Hadist :
Akhirnya mereka mendatangi Muhammad
SAW, dan berkata, “Wahai Muhammad, engkau adalah utusan Allah dan penutup para
nabi. Allah telah mengampuni dosamu yang lalu maupun yang akan datang.
Syafa’atilah kami kepada Rabb-mu, tidakkah kau lihat apa yang kami alami?”
Lalu Nabi Muhammad SAW pergi menuju
bawah ‘Arsy. Di sana beliau bersujud kepada Rabb, kemudian Allah membukakan
kepadanya dari puji-pujian-Nya, dan indahnya pujian atas-Nya, sesuatu yang
tidak pernah dibukakan kepada seorangpun sebelum Nabi Muhammad. Kemudian Allah
SWT berkata kepada Muhammad, “Wahai Muhammad, angkat kepalamu, mintalah, niscaya
kau diberi, dan berilah syafa’at niscaya akan dikabulkan!”
Maka Muhammad SAW mengangkat
kepalanya dan berkata, “Ummatku wahai Rabb-ku, ummatku wahai Rabb-ku, ummatku
wahai Rabb-ku!”
Lalu disampaikan dari Allah
kepadanya, “Wahai Muhammad, masukkan ke surga di antara umatmu yang tanpa hisab
dari pintu sebelah kanan dari sekian pintu surga, dan mereka adalah ikut
memiliki hak bersama dengan manusia yang lain pada selain pintu tersebut dari
pintu-pintu surga.”
HARAMNYA MENGAKU-NGAKU SEBAGAI
KETURUNAN AHLUL BAIT
Semulia-mulia nasab adalah nasab Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam. Dan semulia-mulia penisbatan adalah kepada beliau shallallahu’alaihi wa sallam dan kepada Ahli Bait, jika penisbatan itu benar.
Dan telah banyak di kalangan arab maupun non arab
penisbatan kepada nasab ini.
Maka barangsiapa yang termasuk ahlul bait dan dia adalah orang yang beriman, maka Allah telah menggabungkan antara kemuliaan iman dan nasab. Barangsiapa mengaku-ngaku termasuk dari nasab yang mulia ini, sedangkan ia bukan darinya, maka dia telah berbuat suatu yang diharamkan, dan dia telah mengaku-ngaku memiliki sesuatu yang bukan miliknya.
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Orang yang mengaku-ngaku dengan sesuatu yang tidak dia miliki maka dia seperti pemakai dua pakaian kebohongan.” (HR. Muslim dalam Shahihnya, no. 2129 dari Hadits Aisyah radliyallahu’anha)
Disebutkan dalam hadits-hadits shahih tentang keharaman
seseorang menisbatkan dirinya kepada selain nasabnya. Diantara hadits Abu Dzar radliyallahu’anhu,
bahwasanya ia mendengar Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Tidaklah seseorang menisbatkan kepada selain ayahnya sedang dia mengetahui melainkan dia telah kufur kepada Allah. Dan barangsiapa yang mengaku-ngaku sebagai suatu kaum dan dia tidak ada hubungan nasab dengan mereka, maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di neraka”. (HR. al-Bukhori, No. 3508 dan Muslim, No. 112)
Dan dalam Shahih al-Bukhori, No. 3509 dari hadits Watsilah
bin al-Asqa’zia berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda:
“Sesungguhnya sebesar-besar kedustaan adalah penisbatan diri seseorang kepada selain ayahnya atau mengaku bermimpi sesuatu yang tidak dia lihat, atau dia berkata atas nama Rasulullah apa yang tidak beliau katakan”.
Memalsukan keturunan seorang anak (nasabnya) kepada yang bukan ayahnya atau keingkaran seseorang terhadap anaknya menurut syariat Islam "haram" hukumnya. Dengan kata lain: "Mengkaitkan garis keturunan kepada yang bukan bapaknya atau mengkaitkan dirinya dengan suatu suku (kaum) yang bukan kaumnya dalam hukum Islam dilarang.
Dalam kenyataan, kita temukan seorang yang berani melakukan hal demikian hanya karena desakan material, sehingga ia menetapkan garis keturunan palsu di dalam surat-surat rasminya. Yang lain mengerjakan hal itu karena kedengkian terhadap bapaknya sendiri yang telah menelantarkannya tatkala ia masih di bawah umur atau karena si ayah meninggalkannya tatkala masih kanak-kanak. Semua ini haram hukumnya karena akan memicu kerusakan-kerusakan yang lebih besar dalam berbagai aspek kehidupan. Misalnya, tentang muhrim, pernikahan, warisan dan lain-lain. Beberapa aspek di atas dapat kacau dan menjadi rusak oleh sebab adanya pemalsuan keturunan tersebut.
Dari Imam Ali, bahawasanya Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa mengaku nasab selain ayahnya dan membanggakan dirinya kepada selain walinya (garis keturunannya) maka baginya laknat dari Allah, Malaikat dan sekalian manusia, Allah SWT tidak akan menerima adanya penggantian atau pertukaran nasab secara sembarang dan serampangan darinya". (Muttafaqun Alaih).
Hadis marfu' dari Sa'ad dari Abu Baar r.a. Nabi SAW bersabda:
"Barangsiapa mengaku keturunan (menggandingkan nama ayahnya) kepada yang bukan ayahnya, sementara dia sendiri mengetahuinya, maka syurga haram baginya".
(H.R. Bukhori dan Muslim)
Dalam hal keturunan, Islam melarang memalsukannya. Begitu pula keberadaan nasab keturunan, Islam membelahnya, menetapkan keberadaannya bahkan harus diakui, dipelihara dan dipertahankan.
Menurut syariat segala sesuatu yang mengandung unsur mempermainkan atau pemalsuan dalam masalah keturunan hukumnya haram. Begitu pula si isteri bila memasukkan anaknya dari garis keturunan (benih) orang lain kepada garis keturunan suaminya yang sebenarnya bukan dari suaminya, baginya ancaman yang sangat keras (berdosa besar). Sebagaimana disebutkan di dalam suatu riwayat dari Abu Hurairah r.a. bahwa tatkala turun ayat yang berkenaan dengan kasus saling melaknat (tuduhan dengan melaknat) ia mendengar bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"Siapapun wanita yang memasukkan keturunan orang yang bukan golongan suatu kaum ke dalamnya, dia tidak akan mendapat sesuatu pun dari Allah SWT, dan Allah SWT tidak akan memasukkannya ke syurga-Nya. Dan siapapun pria yang mengingkari anaknya, padahal dia mengetahuinya, maka Allah SWT akan membentangkan hijab darinya dan membuka aibnya ke mata kepala (dipersaksikan kepada) orang-orang yang terdahulu maupun yang terakhir".
(H.R. Abu Daud dan Ad-Darimi).
Dalil-dalil Ancaman pemalsu Nasab
1. Dalam sebuah hadits marfu’ dari Sa’d bin Abi Bakrah
radhiallahu ‘anhu disebutkan,
مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيْهِ
وَهُوَ يَعْلَمُ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ.
“Barangsiapa mengaku (bernasab) kepada selain ayahnya
sedang dia mengetahui, maka haram baginya surga.”( Hadits riwayat Al-Bukhari,
lihat Fathul Bari, 8/45.)
2. Ancaman Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bagi orang-orang yang seperti itu,
روي عن سعد رضي الله عنه، قال :سمعت
النبي صلى الله عليه وسلم يقول: من ادعى
إلى غير أبيه وهو يعلم أنه غير أبيه فالجنة عليه حرام. رواه البخاري ومسلم
Diriwayatkan dari sa’d rodhiyallohu
‘anh, dia berkata: aku mendengar Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam
bersabda: Barang siapa mengaku-ngaku kepada selain bapaknya , dan dia
mengetahuinya bahwa orang tersebut bukan bapaknya, maka surga harom baginya.
HR. Bukhori & Muslim
3. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, bahwasanya ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, saat turun ayat mula’anah (Mula’anah; yakni saling melaknat antara suami dengan isteri karena tuduhan zina.),
أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَدْخَلَتْ عَلَى
قَوْمٍ مَنْ لَيْسَ مِنْهُمْ فَلَيْسَتْ مِنَ اللهِ فِيْ شَيْءٍ وَلَنْ
يُدْخِلَهَا اللهُ جَنَّتَهُ، وَأَيُّمَا رَجُلٍ جَحَدَ وَلَدَهُ وَهُوَ يَنْظُرُ
إِلَيْهِ اِحْتَجَبَ اللهُ مِنْهُ وَفَضَحَهُ عَلَى رُؤُوْسِ اْلأَوَّلِيْنَ
وَاْلآخِرِيْنَ.
“Perempuan manapun yang menggolongkan (seorang anak) kepada
suatu kaum, padahal dia bukan dari golongan mereka, maka Allah berlepas diri
daripadanya dan tidak akan memasukkannya ke dalam Surga. Dan siapa dari
laki-laki yang mengingkari anaknya padahal ia melihatnya (sebagai anaknya yang
sah) maka Allah akan menutup diri daripadanya dan akan mempermalukannya di
hadapan para pemimpin orang-orang terdahulu dan orang-orang terkemudian.”
(Hadits riwayat Abu Daud, 2/695, lihat Misykatul Mashabih, 3316.)
4. Pengakuan seseorang bahwa dirinya termasuk keturunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa ada bukti yang jelas merupakan salah satu dosa besar. Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahulah dalam Fadhlu Ahli al-Bait hlm. 82-83 mengatakan,
أشرفُ الأنساب نسَبُ نبيِّنا محمد صلى الله عليه وسلم، وأشرف انتسابٍ ما كان إليه صلى الله عليه وسلم وإلى أهل بيتِه إذا كان الانتسابُ صحيحاً، وقد كثُرَ في العرب والعجم الانتماءُ إلى هذا النَّسب، فمَن كان من أهل هذا البيت وهو مؤمنٌ، فقد جمَع الله له بين شرف الإيمان وشرف النَّسب، ومَن ادَّعى هذا النَّسبَ الشريف وهو ليس من أهله فقد ارتكب أمراً محرَّماً، وهو متشبِّعٌ بِما لَم يُعط،
وقد قال النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: ((المتشبِّعُ بِما لَم يُعْطَ كلابس ثوبَي زور))، رواه مسلمٌ في صحيحه (2129) من حديث عائشة رضي الله عنها.
وقد جاء في الأحاديث الصحيحة تحريمُ انتساب المرء إلى غير نسبِه، ومِمَّا ورد في ذلك حديثُ أبي ذر رضي الله عنه أنَّه سَمع النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يقول: ((ليس مِن رجلٍ ادَّعى لغير أبيه وهو يَعلَمه إلاَّ كفر بالله، ومَن ادَّعى قوماً ليس له فيهم نسبٌ فليتبوَّأ مقعَدَه من النار))، رواه البخاريُّ (3508)، ومسلم (112)، واللفظ للبخاري.
“Nasab termulia adalah nasab Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan penisbatan termulia adalah penisbatan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kepada ahli bait beliau, jika penisbatan tersebut benar adanya. Telah banyak terjadi di negeri Arab dan selainnya, penisbatan kepada nasab yang mulia ini. Barangsiapa yang memang termasuk ahli bait dan dia mukmin, maka sungguh Allah telah mengumpulkan baginya antara kemuliaan iman dan kemuliaan nasab. Namun, barangsiapa yang mengklaim nasab yang mulia ini sedangkan dirinya bukanlah bagian darinya, maka sungguh dia telah melakukan tindakan yang haram dan termasuk orang yang berperilaku dusta terhadap sesuatu yang tidak dimiliki.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang (berpura-pura) berpenampilan dengan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya bagaikan orang yang memakai dua pakaian palsu (kedustaan)”
4. Pengakuan seseorang bahwa dirinya termasuk keturunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa ada bukti yang jelas merupakan salah satu dosa besar. Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahulah dalam Fadhlu Ahli al-Bait hlm. 82-83 mengatakan,
أشرفُ الأنساب نسَبُ نبيِّنا محمد صلى الله عليه وسلم، وأشرف انتسابٍ ما كان إليه صلى الله عليه وسلم وإلى أهل بيتِه إذا كان الانتسابُ صحيحاً، وقد كثُرَ في العرب والعجم الانتماءُ إلى هذا النَّسب، فمَن كان من أهل هذا البيت وهو مؤمنٌ، فقد جمَع الله له بين شرف الإيمان وشرف النَّسب، ومَن ادَّعى هذا النَّسبَ الشريف وهو ليس من أهله فقد ارتكب أمراً محرَّماً، وهو متشبِّعٌ بِما لَم يُعط،
وقد قال النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: ((المتشبِّعُ بِما لَم يُعْطَ كلابس ثوبَي زور))، رواه مسلمٌ في صحيحه (2129) من حديث عائشة رضي الله عنها.
وقد جاء في الأحاديث الصحيحة تحريمُ انتساب المرء إلى غير نسبِه، ومِمَّا ورد في ذلك حديثُ أبي ذر رضي الله عنه أنَّه سَمع النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يقول: ((ليس مِن رجلٍ ادَّعى لغير أبيه وهو يَعلَمه إلاَّ كفر بالله، ومَن ادَّعى قوماً ليس له فيهم نسبٌ فليتبوَّأ مقعَدَه من النار))، رواه البخاريُّ (3508)، ومسلم (112)، واللفظ للبخاري.
“Nasab termulia adalah nasab Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan penisbatan termulia adalah penisbatan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kepada ahli bait beliau, jika penisbatan tersebut benar adanya. Telah banyak terjadi di negeri Arab dan selainnya, penisbatan kepada nasab yang mulia ini. Barangsiapa yang memang termasuk ahli bait dan dia mukmin, maka sungguh Allah telah mengumpulkan baginya antara kemuliaan iman dan kemuliaan nasab. Namun, barangsiapa yang mengklaim nasab yang mulia ini sedangkan dirinya bukanlah bagian darinya, maka sungguh dia telah melakukan tindakan yang haram dan termasuk orang yang berperilaku dusta terhadap sesuatu yang tidak dimiliki.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang (berpura-pura) berpenampilan dengan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya bagaikan orang yang memakai dua pakaian palsu (kedustaan)”
Abdkadir Alhamid
Jikalau iya... Berarti keturunan imam Ubaidillah Adalah Majhulun nasab,,, sebab tidak ada catatan Imam Ahmad Al Muhajir mempunyai anak bernama Ubaidillah dalam catatan Nasab periode Awal
ReplyDeleteAlafu itu Faktanya dan sudah banyak di bahas
ReplyDeleteJadi kesimpulannya apakah ANTUM Habib??? 🤣🤣... Jika Imam Ahmad Al Muhajir tidak mempunyai anak bernama Ubaidillah dalam catatan Nasab periode Awal,,, masih kurang cukup kah antum jadi umat Rasulullah??... tambah wawasan antum Bro 🤣... jangan jadi pemuja NASAB
ReplyDelete