Masih ada keperluanku yang terlupakan. Cepatlah kemari.”
Ba Misbah
segera keluar dengan perasaan senang dan bahagia, seakan-akan baru pertama kali
syarifah itu mengetuk pintu rumahnya. “Selamat datang sayyidatiy, penyejuk
hatiku. Segala puji bagi Allah yang telah mengistimewakanku dengan
bolak-baliknya engkau ke rumahku. Mintalah apa yang kau butuhkan. Aku adalah
abdi dan pelayanmu. Dan memenuhi semua kebutuhanmu adalah puncak cita-citaku.”
“Masih ada kebutuhan yang terlupakan olehku.”
“Apa itu? Semua
yang engkau butuhkan akan kusediakan. Jika tidak ada di sini, aku akan menjual
diriku untuk membeli barang yang kau butuhkan.”
“Aku butuh daging untuk
hari raya besok. Besok hari raya, tapi kami tidak memiliki sesuatu pun.”
“Demi Allah, di rumah pelayanmu ini tidak ada sesuatu pun kecuali satu
kepala kambing untuk hari raya anak-anaknya”, kata Ba Misbah sambil memegang
janggutnya, “Akan tetapi tidaklah benar jika anak-anak orang yang kopiahnya bau
ini menikmati hari raya, sementara anak cucu Rasulullah SAW tidak berhari raya.
Ambillah kepala kambing ini, dan berhari rayalah dengan anak-anakmu.”
Habib Abdullah membawa kepala kambing itu dan kembali meletakkannya di
belakang rumah Ba Misbah. Habib Abdullah terheran-heran menyaksikan akhlak Ba
Misbah. Beliau berkata dalam hatinya, “Hanya seorang arifbillah saja yang
akhlaknya seperti ini. Laki-laki ini sedikit pun tidak melihat basyariah
seseorang.”
Habib Abdullah diam di sana beberapa saat. Setelah merasa
yakin bahwa Ba Misbah telah tidur pulas, ia segera kembali ke rumah Ba Misbah
untuk yang ke lima kalinya. Beliau ingin melihat sedikit saja perubahan dari
sikap Ba Misbah, walaupun hanya sekedar perubahan raut wajah. Beliau kembali
mengetuk pintu rumah Ba Misbah.
“Siapa itu ?”
“Hababahmu,
syarifah yang tadi datang ke sini. Aku teringat satu lagi kebutuhanku.”
“Selamat datang wahai cucu Rasulullah. Kenikmatan apa gerangan yang
diberikan Allah kepadaku di malam ini? Segala puji syukur bagi-Nya” Ia segera
keluar dengan perasaan senang dan bahagia seakan-akan baru pertama kali syarifah
tersebut datang ke rumahnya. “Selamat datang Ya sayyidatiy, dan penyejuk hatiku.
Mintalah semua yang kau butuhkan. Aku adalah abdi dan pelayanmu. Aku patuh
kepadamu.”
“Aku butuh kayu.”
“Marhaba.”Ia memanggil pembantunya,
meminta kayu. “Wahai hababahku, wahai pelipur hatiku, inilah kayu yang kau
butuhkan. Setiap kali kau ingat suatu kebutuhan, kembalilah ke sini. Sebab,
melayanimu merupakan salah satu pendekatan diri yang paling baik kepada Allah.”
Habib Abdullah membawa kayu itu, lalu meletakkannya di tempat yang sama.
Beliau kagum menyaksikan kebaikan akhlak Ba Misbah dan kelapangan hatinya. Tak
sehelai rambut pun bergerak, tak sedikit pun raut wajah berubah. Beliau duduk
sejenak hingga benar-benar yakin bahwa Ba Misbah telah pulas dalam tidurnya.
Beliau kembali mengetuk pintu rumahnya untuk yang ke enam kali. Dalam hati,
beliau berkata, “Mungkin kali ini raut wajahnya akan berubah, atau ia akan mulai
menghina dan berkata kasar.”
Ba Misbah segera bangun dan bertanya,
“Siapa yang mengetuk pintu?”
“Hababahmu, syarifah yang tadi ke sini.
Masih ada satu kebutuhanku yang baru kuingat sekarang.”
“Marhaba…
Wahai hababahku, tuanku dan penyejuk hatiku.”Ba Misbah keluar dengan perasaan
lebih senang dan bahagia dari sebelumnya. Sekan-akan baru pertama kalinya
syarifah itu mengetuk pintu rumahnya. “Alhamdulillaah, kenikmatan agung apa yang
sedang diberikan Allah kepadaku ini. Aku tidak berhak menerima kenikmatan ini.
Mintalah apa yang kau butuhkan. Wahai sayyidatiy, setiap kali kau ingat sesuatu,
datanglah ke sini. Aku adalah abdi dan pelayanmu. Aku akan patuh kepadamu.”
“Aku butuh seseorang untuk membawakan semua yang kau berikan kepadaku.
Lihatlah, semua yang kau berikan kuletakkan di belakang rumahmu. Aku tidak kuat
membawanya ke rumahku.”
“Beres ! Kami akan mengantarkan barang-barang
itu ke mana pun engkau suka” Ia kemudian membangunkan isteri, anak dan
pembantunya. Mereka semua kemudian diperintahkannya membawa barang-barang
syarifah tadi. “Ya sayyidatiy, jalanlah lebih dahulu, agar kami dapat
mengikutimu” kata Ba Misbah.
Habib Abdullah berjalan di depan mereka.
Ketika sampai di Nuwaidiroh, Habib Abdullah berhenti dan berkata, “Wah…, aku
datang bukan dari rumahku, dan aku tidak kenal jalan ini, kecuali kalau aku
memulai lagi dari rumah kalian. Mari kita kembali.”
“Marhaba….”
Mereka semua kembali ke rumah Ba Misbah. Setelah sampai di sana, Habib
Abdullah berkata, “Sekarang aku ingat jalan menuju rumahku. Inilah jalannya.
“Jalanlah di muka…, agar kami dapat mengikutimu” Beliau berjalan di depan, dan
mereka semua mengikutinya. Sesampainya di Nuwaidiroh, beliau berhenti. “Aku
kehilangan arah lagi. Apakah gerangan yang terjadi ? Aku tidak dapat mengingat
jalan menuju rumahku, kecuali jika kita mulai lagi dari rumah kalian. Mari kita
balik ke sana.”
Mereka pun dengan senang hati kembali ke rumah Ba
Misbah. Habib Abdullah telah menguji Ba Misbah sampai pada puncaknya. Beliau
ingin melihat lelaki itu marah, namun sedikit pun sikapnya tidak berubah hingga
Habib Abdullah sendiri merasa kelelahan. Fajar mulai menyingsing, Habib Abdullah
berkata kepada mereka, “Sekarang telah masuk waktu fajar. Bukalah pintu rumah
kalian, aku ingin menunaikan salat Subuh di rumah kalian.”
“Selamat
datang. Salatmu di rumah ini adalah nikmat terbesar bagi kami. Setiap kali kau
meminta sesuatu kepada pembantumu ini, ia akan menyediakannya untukmu. Meskipun kau minta semua yang ada di rumahnya, ia akan memberikannya kepadamu. Dan engkau sesungguhnya telah bermurah hati kepada kami, karena telah mengistimewakan aku untuk memenuhi kebutuhanmu.”
Ba Misbah lalu membuka pintu rumahnya.
Setelah memasuki rumah, Habib Abdullah membuka cadar yang menutupi wajahnya dan berkata kepada Ba Misbah, “Sungguh beruntung kamu…, sungguh beruntung…,
kuucapkan selamat atas akhlakmu yang luhur ini. Demi Allah, kau seorang dermawan
sejati, lebih murah hati dariku. Aku bukanlah seorang wanita. Aku adalah
Abdullah bin Syeikh Alaydrus. Tidak ada seorang manusia pun akan mampu
berperilaku dengan akhlak yang luhur ini.”
Air mata Habib Abdullah
menetes di pipi, ia berkata, “Selamat… selamat… selamat… Maafkanlah aku.
Semoga Allah menambah apa yang telah Ia berikan kepadamu, dan menjadikan budi
pekerti kita seperti budi pekertimu…”. Setelah berpamitan, Habib Abdullah lalu
pergi sambil memuji dan mendoakannya.
subhanallah...
Ba Misbah
segera keluar dengan perasaan senang dan bahagia, seakan-akan baru pertama kali
syarifah itu mengetuk pintu rumahnya. “Selamat datang sayyidatiy, penyejuk
hatiku. Segala puji bagi Allah yang telah mengistimewakanku dengan
bolak-baliknya engkau ke rumahku. Mintalah apa yang kau butuhkan. Aku adalah
abdi dan pelayanmu. Dan memenuhi semua kebutuhanmu adalah puncak cita-citaku.”
“Masih ada kebutuhan yang terlupakan olehku.”
“Apa itu? Semua
yang engkau butuhkan akan kusediakan. Jika tidak ada di sini, aku akan menjual
diriku untuk membeli barang yang kau butuhkan.”
“Aku butuh daging untuk
hari raya besok. Besok hari raya, tapi kami tidak memiliki sesuatu pun.”
“Demi Allah, di rumah pelayanmu ini tidak ada sesuatu pun kecuali satu
kepala kambing untuk hari raya anak-anaknya”, kata Ba Misbah sambil memegang
janggutnya, “Akan tetapi tidaklah benar jika anak-anak orang yang kopiahnya bau
ini menikmati hari raya, sementara anak cucu Rasulullah SAW tidak berhari raya.
Ambillah kepala kambing ini, dan berhari rayalah dengan anak-anakmu.”
Habib Abdullah membawa kepala kambing itu dan kembali meletakkannya di
belakang rumah Ba Misbah. Habib Abdullah terheran-heran menyaksikan akhlak Ba
Misbah. Beliau berkata dalam hatinya, “Hanya seorang arifbillah saja yang
akhlaknya seperti ini. Laki-laki ini sedikit pun tidak melihat basyariah
seseorang.”
Habib Abdullah diam di sana beberapa saat. Setelah merasa
yakin bahwa Ba Misbah telah tidur pulas, ia segera kembali ke rumah Ba Misbah
untuk yang ke lima kalinya. Beliau ingin melihat sedikit saja perubahan dari
sikap Ba Misbah, walaupun hanya sekedar perubahan raut wajah. Beliau kembali
mengetuk pintu rumah Ba Misbah.
“Siapa itu ?”
“Hababahmu,
syarifah yang tadi datang ke sini. Aku teringat satu lagi kebutuhanku.”
“Selamat datang wahai cucu Rasulullah. Kenikmatan apa gerangan yang
diberikan Allah kepadaku di malam ini? Segala puji syukur bagi-Nya” Ia segera
keluar dengan perasaan senang dan bahagia seakan-akan baru pertama kali syarifah
tersebut datang ke rumahnya. “Selamat datang Ya sayyidatiy, dan penyejuk hatiku.
Mintalah semua yang kau butuhkan. Aku adalah abdi dan pelayanmu. Aku patuh
kepadamu.”
“Aku butuh kayu.”
“Marhaba.”Ia memanggil pembantunya,
meminta kayu. “Wahai hababahku, wahai pelipur hatiku, inilah kayu yang kau
butuhkan. Setiap kali kau ingat suatu kebutuhan, kembalilah ke sini. Sebab,
melayanimu merupakan salah satu pendekatan diri yang paling baik kepada Allah.”
Habib Abdullah membawa kayu itu, lalu meletakkannya di tempat yang sama.
Beliau kagum menyaksikan kebaikan akhlak Ba Misbah dan kelapangan hatinya. Tak
sehelai rambut pun bergerak, tak sedikit pun raut wajah berubah. Beliau duduk
sejenak hingga benar-benar yakin bahwa Ba Misbah telah pulas dalam tidurnya.
Beliau kembali mengetuk pintu rumahnya untuk yang ke enam kali. Dalam hati,
beliau berkata, “Mungkin kali ini raut wajahnya akan berubah, atau ia akan mulai
menghina dan berkata kasar.”
Ba Misbah segera bangun dan bertanya,
“Siapa yang mengetuk pintu?”
“Hababahmu, syarifah yang tadi ke sini.
Masih ada satu kebutuhanku yang baru kuingat sekarang.”
“Marhaba…
Wahai hababahku, tuanku dan penyejuk hatiku.”Ba Misbah keluar dengan perasaan
lebih senang dan bahagia dari sebelumnya. Sekan-akan baru pertama kalinya
syarifah itu mengetuk pintu rumahnya. “Alhamdulillaah, kenikmatan agung apa yang
sedang diberikan Allah kepadaku ini. Aku tidak berhak menerima kenikmatan ini.
Mintalah apa yang kau butuhkan. Wahai sayyidatiy, setiap kali kau ingat sesuatu,
datanglah ke sini. Aku adalah abdi dan pelayanmu. Aku akan patuh kepadamu.”
“Aku butuh seseorang untuk membawakan semua yang kau berikan kepadaku.
Lihatlah, semua yang kau berikan kuletakkan di belakang rumahmu. Aku tidak kuat
membawanya ke rumahku.”
“Beres ! Kami akan mengantarkan barang-barang
itu ke mana pun engkau suka” Ia kemudian membangunkan isteri, anak dan
pembantunya. Mereka semua kemudian diperintahkannya membawa barang-barang
syarifah tadi. “Ya sayyidatiy, jalanlah lebih dahulu, agar kami dapat
mengikutimu” kata Ba Misbah.
Habib Abdullah berjalan di depan mereka.
Ketika sampai di Nuwaidiroh, Habib Abdullah berhenti dan berkata, “Wah…, aku
datang bukan dari rumahku, dan aku tidak kenal jalan ini, kecuali kalau aku
memulai lagi dari rumah kalian. Mari kita kembali.”
“Marhaba….”
Mereka semua kembali ke rumah Ba Misbah. Setelah sampai di sana, Habib
Abdullah berkata, “Sekarang aku ingat jalan menuju rumahku. Inilah jalannya.
“Jalanlah di muka…, agar kami dapat mengikutimu” Beliau berjalan di depan, dan
mereka semua mengikutinya. Sesampainya di Nuwaidiroh, beliau berhenti. “Aku
kehilangan arah lagi. Apakah gerangan yang terjadi ? Aku tidak dapat mengingat
jalan menuju rumahku, kecuali jika kita mulai lagi dari rumah kalian. Mari kita
balik ke sana.”
Mereka pun dengan senang hati kembali ke rumah Ba
Misbah. Habib Abdullah telah menguji Ba Misbah sampai pada puncaknya. Beliau
ingin melihat lelaki itu marah, namun sedikit pun sikapnya tidak berubah hingga
Habib Abdullah sendiri merasa kelelahan. Fajar mulai menyingsing, Habib Abdullah
berkata kepada mereka, “Sekarang telah masuk waktu fajar. Bukalah pintu rumah
kalian, aku ingin menunaikan salat Subuh di rumah kalian.”
“Selamat
datang. Salatmu di rumah ini adalah nikmat terbesar bagi kami. Setiap kali kau
meminta sesuatu kepada pembantumu ini, ia akan menyediakannya untukmu. Meskipun kau minta semua yang ada di rumahnya, ia akan memberikannya kepadamu. Dan engkau sesungguhnya telah bermurah hati kepada kami, karena telah mengistimewakan aku untuk memenuhi kebutuhanmu.”
Ba Misbah lalu membuka pintu rumahnya.
Setelah memasuki rumah, Habib Abdullah membuka cadar yang menutupi wajahnya dan berkata kepada Ba Misbah, “Sungguh beruntung kamu…, sungguh beruntung…,
kuucapkan selamat atas akhlakmu yang luhur ini. Demi Allah, kau seorang dermawan
sejati, lebih murah hati dariku. Aku bukanlah seorang wanita. Aku adalah
Abdullah bin Syeikh Alaydrus. Tidak ada seorang manusia pun akan mampu
berperilaku dengan akhlak yang luhur ini.”
Air mata Habib Abdullah
menetes di pipi, ia berkata, “Selamat… selamat… selamat… Maafkanlah aku.
Semoga Allah menambah apa yang telah Ia berikan kepadamu, dan menjadikan budi
pekerti kita seperti budi pekertimu…”. Setelah berpamitan, Habib Abdullah lalu
pergi sambil memuji dan mendoakannya.
subhanallah...
0 Response to "Kedermawanan Baa Misbah Yg Begitu Mencintai Dzurriyah Rasulullah"
Posting Komentar
Silahkan komentar yg positip