Sejarah Singkat Bani Alawiyin (Habaib) di Indonesia
A.
PENDAHULUAN
Pada zaman kekhalifahan Bani Abbas (750-1258 M)
berkembanglah ilmu pengetahuan tentang Islam yang bercabang-cabang
disamping kenyataan itu penghidupan lapisan atas menyimpang dari ajaran
agama Islam. Dibentuknya dynasti Bani Abbas yang turun-temurun
mewariskan kekhalifahan. Istilah “muslim bila kaif” telah menjadi lazim.
Hidupnya keturunan Sayidatina Fatmah Al-Zahra dicurigai, tiada bebas
dan senantiasa terancam, ini oleh karena pengaruhnya anak cucu dari
Al-Hasan dan Al-Huseyn r.a. atas rakyat sangat besar dan diseganinya.
Keinginan kebanyakan orang Muslim adalah seorang keturunan Nabi yang
seharusnya memegang kekhalifahan. Banyak yang dipenjarakan dan
dibunuhnya oleh karenanya banyak pula yang pindah dan menjalankan diri
dan pusat Bani Abbas di Bahdad, AHMAD BIN ISA r.a. Dalam keadaan
sebagai diuraikan di atas, yang pasti akan dikutuk Allah s.w.t. dan
dengan hendak memelihara keturunannya dari kesesatan, mengulangilah
AHMAD BIN ISA BIN MUHAMMAD BIN ALI BIN JA’FAR BIN MUHAMMAD BIN ALI BIN
AL-HUSEYN r.a. duanya sayidina Ibrahim a.s. yang tersurat dalam
Al-Qur’an surat 14 ayat 37 dan dipilihnya Hadramaut yang bertetanaman,
untuk menetap dan berhijrahlah beliau dari Basrah ke Hadramaut, dimana
beliau wafat di Hasisah pada tahun 345 H. ALWI BIN
UBAIDILLAH….ALAWIYINKeturunan dari AHMAD BIN ISA tadi yang menetap di
Hadramaut dinamakan ALAWIYIN ini dari nama cucunya AL-WI BIN UBAIDILLAH
BIN AHMAD BIN ISA yang dimakamkan di Sumul. Keturunan sayidina Al-Hasan
dan Al-Huseyn r.a. disebut juga ALAWIYIN dari sayidina Ali bin Abi-Talib
k.w, Keluarga Al-Anqawi, Al-Musa-Alkazimi, Al-Qadiri dan Al-Qudsi yang
terdapat sedikit di Indonesia adalah Alawiyin, tapi bukan dari Alwi bin
Ubaidillah. MUHAMMAD AL-FAQIH AL-MUQADDAM Luput dari serbuan Hulaku,
saudara maharaja Cina, yang mentamatkan kekhalifahan Bani Abbas (1257
M), yang memang telah dikhawatirkan oleh AHMAD BIN ISA akan kutukan
Allah s.w.t, maka di Hadramaut Alawiyin menghadapi kenyataan berlakunya
undang-undang kesukuan yang bertentangan dengan ajaran Islam, dan
kenyataan bahwa penduduk Hadramaut adalah Abadhiyun yang sangat membenci
sayidina Ali bin Abi-Talib r.a. Ini ternyata pula hingga kini dari
istilah-istilah dalam loghat orang Hadramaut. Dalam menjalankan “tugas
suci”, ialah pusaka yang diwariskannya, banyak dari pada suku Alawiyin
tiada segan mendiami di lembah yang tandus. Tugas suci itu terdiri dari
mengadakan tabligh-tabligh, perpustakaan-perpustakaan,
pesantren-pesantren (rubat) dan masjid-masjid. Alawiyin yang semuala
bermazhab “Ahli-Bait” mulai memperoleh sukses dalam menghadapi Abadhiyun
itu setelah Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam BIN ALI BIN MUHAMMAD BIN ALI
BIN ALWI BIN MUHAMMAD BIN ALWI BIN UBAIDILLAH melaksanakan suatu
kompromis dengan memilih mazhab Muhammad bin Idris Al-Syafi-I
Al-Quraisyi, ialah yang kemudian disebut mazhab Sayfi-I, Muhammad
Al-Faqih Al-Muqaddam ini wafat di Tarim pada tahun 653 H. TUGAS SUCI
(ISLAMISASI) Alawiyin dalam menyebarkan agama Islam menyeberang ke
Afrika Timur, India, Malaysia, Thailand (Siam), Indonesia Tiongkok
(Cina), Filipina, dsb.
B. ALAWIYIN DI INDONESIA SEBELUM DIJAJAH BELANDA
Sebelumnya orang Barat datang, maka berkembanglah agama Islam dengan baik sekali dan terbentuklah kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Runtuhnya Kerajaan Islam di semenanjung Iberia dalam abad ke VI M. dengan jatuhnya Al-Andalus (1492 M), mengakibatkan pengerjaan bangsa Spanyol terhadap Muslimin, pengejaran mana diberkati Paus Roma. Jika kehendak orang Spanyol menyeranikan, maka kehendak orang Portugis ialah berniaga dengan orang Muslim di Indonesia, dan oleh karena ini orang Portugis ialah memperoleh sukses. Sebab peperangan di Europa antara Spanyol sepihak dengan masing-masing Belanda dan Inggris, maka kedua bangsa ini turut juga datang ke Indonesia ditentang oleh kaum Muslimin di tanah air kita.
C. ALAWAYIN DI INDONESIA DI MASA JAJAHAN BELANDA
Dengan pelbagai tipu muslihat dan fitnah akhirnya Belanda disokong oleh
negara-negara Barat lain, dapat menguasai Indonesia dan ekonomi Belanda
mulai berkembang pesat sesudahnya dapat dipergunakan kapal uap. Alawiyin
dari pada awalnya jajahan Belanda mulai merasakan rupa-rupa kesulitan,
oleh karena Belanda melihat bahwa Alawiyin-lah yang dalam segala
lapangan menjadi pelopornya, baik di medan perang maupun dalam bidang
pengangkutan barang-barang lewat lautan atau bidang kebudayaan (agama).
Dilarangnya Alawiyin menetap di pedalaman pulau Jawa, dilarangnya
berkeluarga dengan anggota istana (yang memang keturunan Alawiyin),
hingga yang tiada mampu pindah ke perkampungan tertentu di bandar-bandar
di tepi laut, atau karena sebab lain, mengambil nama keluarga Jawa agar
dianggapnya orang Jawa asli, pribumi. Oleh karenanya pindahanya
Alawiyin dari pedalaman ke bandar-bandar di pinggir laut, maka pula
pusat ke-Islaman pindah ke utara seperti Semarang, Surabaya, Jakarta,
dst. Yang tidak dapat berpindah dari pedalaman menetap di
perkampungan-perkampungan yang disebut “kaum” Suku-suku Alawiyin yang
telah anak-beranak dan tiada mampu pindah ke kota-kota besar dan
mengambil nama ningrat Jawa, ialah banyak dari pada Al-Basyiban,
Al-Baabud, Al-Binyahya, Al-Aydrus, Al-Fad’aq dan lain-lain lagi. Dalam
keadaan yang demikian itu, Belanda baru mulai berusaha menyeranikan Jawa
Tengah, dimana Islam tiada dapat berkembang oleh karena
peperangan-peperangan melawan Belanda dan berhasilnya aneka fitnah yang
Belanda ciptakan antara penguasa-penguasa pribumi sendiri. Anak Muslim
tiada boleh bersekolah, sedangkan anak Kristen dapat pendidikan dan
pelajaran modern. Kemudian di-izinkan bersekolah Belanda anak-anak orang
yang berpangkat pada pemerintah jajahan, dan diharuskan mereka tinggal
(yakni in de kost) pada pejabat Belanda. Katanya agar, dapat lancar
berbicara bahasa Belanda dan mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberi
dalam bahasa itu; sebetulnya untuk menjadikan kanak-kanak itu berfikir
dan hidup secara orang Belanda, dan untuk mengasingkan mereka dari
bangsawan sendiri, dari adat-istiadat dan agamanya. Anak rakyat biasa,
awam, mengaji, baik pada madrasah-madrasah Alawiyin atau
pesantren-pesantren. Hubungan Alawiyin dengan para kiyahi erat sekali.
Untuk melumpuhkan berkembangnya agama islam di antara anak-anak rakyat
jelata, Belanda mengadakan sekolah-sekolah Hollands Inlandse School
(H.I.S) dengan syarat bahwa murid tiada boleh bersaring dan
berkopya-pici, harus mengenakan celana pendek sampai atas lutut, pakaian
mana bukan kebiasaan orang yang mendirikan salat. Jangan sampai
kanak-kanak dapat membaca Al-Qur’an dan kitab-kitab agama Islam yang
tertulis dengan huruf Arab, Belnda mengajar dengan sungguh menulis
dengan huruf lain, dan mengadakan buku-buku yang menarik, dalam huruf
ini, untuk maksud mana dibentuknya Balai Perpustakaan. Banyak buku-buku
yang dikarang oleh pendeta dan padri indolog dan orientalis, mengandung
racun bagi anak murid yang pengetahuannya tentang Islam dan tarikhnya
masih sangat Dangkal. Alawiyin menolak tawaran Belanda untuk membangun
Hollands-Arabise School (H.A.S, dan menolak pula subsidi dari
pemerintah jajahan bagi madrasah-madrasahnya, karena curiga dan takut
dri tipu muslihat dan pengaruh Belanda yang berniat merusak agama Islam.
Alawiyin tiada dibolehkan menidirkan cabang-cabang mandrasah di
kota-kota besar dengan nama yang sama, oleh karena itu nama-nama
madrasah yang sama skala pendidikannya, berlainan namanya. Para guru
dari negara Islam didatangkan untuk mengajar di madrasah-madrasah, dan
kanak-kanak yang berbakat dikirim lanjutkan pelajarannya ke Hadramaut,
Hejaz, Istanbul, Kairo dan lain-lain. Disamping perguruan, Alawiyin
aktif juga di lapangan politik hingga beberapa orang ditangkap dan
dipenjarakan. Melawan Belanda antara mana di Aceh, dan sesudah Aceh
ditaklukannya, Muslimin hendak mengadakan pemberontakan disana dengan
mengibarkan bendera Khalifah Muslimin. Alawiyin hendak menerbitkan
pemberontakan di Singapura di kalangan tertentu Muslimin India yang
Inggeris hendak berangkatkan untuk berperang di iraq (Perang Dunia I).
Perlu juga diketahui bahwa Alawiyin senantiasa berhubungan dengan
Muslimin di luar negeri, orang-orang yang terkemuka dan berpengaruh,
teristimewa dengan Padisyah, Khalifatul Muslimin, di Istanbul, yang atas
aduan Alawiyin pernah mengirim utusan rahasia untuk menyelidiki
keadaan-keadaan Muslimin di Indonesia.
Pendudukan militer Jepang menindas dan mematikan segala kegiatan Alawiyin, terutama dalam bidang politik, peguruan tabligh, pemeliharaan orang miskin dan anak yatim. Perpustakaan yang tidak dapat dinilai harganya di-angkat Jepang, entah kemana. Semua kibat ada capnya dari Al-Rabitah Al-alawiyah yang berpengurus-besar hingga kini di Jalan Mas Mansyur (dahulu jalan Karet) No. 17 Jakarta Pusat (II/24). e. ALAWIYIN DI INDONESIA SETELAH MERDEKA Pemuda Alawiyin turut giat melawan Inggeris dan Belanda (Nica), bergerilya di pegunungan. SEMUA PEMUDA ALAWIYIN ADALAH WARGANEGARA INDONESIA dan masuk berbagai partai Islam. Dalam lapangan ekonomi mereka sangat lemah hingga kini belum dapat merebut kembali kedudukannya seperti sebelumnya pecah perang dunia ke-dua dengan lain kata, jika Alawiyin sebelumnya Perang Dunia ke II dapat membentuk badan-badan sosial seperti gedung-gedung madrasah, rumah yatim piatu, masjid-masjid dan membayar guru-guru yang cakap, maka sekarang ini dengan susah payah mereka membiayai pemeliharaannya dan tidak dapat lagi memberi tenaga guru-guru sepandai dan seacakap yang dahulu, meskipun kesempatan kiniadalah lebih baik dari dan pertolongan pemerintah ala qadarnya. Kegiatan yang tersebar sampai di pelosok-pelosok kepualauan Indonesia. Alawiyin yang lebih dikenal dengan sebutan sayid, habib, ayib dan sebagainya tetap dicinta dimana-mana dan memegang peranan rohani yang tidak dapat dibuat-buat sebagaimana juga di negara islam lain. Kebiasaan dan tradisi Alawiyin di-ikuti dalam Perayaan maulid Nabi, haul, nikah, upacara-upacara kematian dan sebagainya. Suku-suku Alawiyin di Indonesia yang berjumlah kurang lebih 50.000 orang; ada banyak yang besar, antara mana Al-Saggaf, Al-Attas, Al-Syihab, Al-Habasyi, Al-Aydrus, Al-Kaf, Al-Jufri, Al-Haddad dan semua keturunan asal-usul ini dicatat dan dipelihara pada Al-Maktab Al-Da-imi yaitu kantor tetap untuk statistik dan pemeliharaan nasab sadatul-alawiyin yang berpusat di gedung “Darul Aitam”
2012@abdkadiralhamid
D. ALAWIYIN DI INDONESIA DI MASA
PENDUDUKAN MILITER JEPANG
Pendudukan militer Jepang menindas dan mematikan segala kegiatan Alawiyin, terutama dalam bidang politik, peguruan tabligh, pemeliharaan orang miskin dan anak yatim. Perpustakaan yang tidak dapat dinilai harganya di-angkat Jepang, entah kemana. Semua kibat ada capnya dari Al-Rabitah Al-alawiyah yang berpengurus-besar hingga kini di Jalan Mas Mansyur (dahulu jalan Karet) No. 17 Jakarta Pusat (II/24). e. ALAWIYIN DI INDONESIA SETELAH MERDEKA Pemuda Alawiyin turut giat melawan Inggeris dan Belanda (Nica), bergerilya di pegunungan. SEMUA PEMUDA ALAWIYIN ADALAH WARGANEGARA INDONESIA dan masuk berbagai partai Islam. Dalam lapangan ekonomi mereka sangat lemah hingga kini belum dapat merebut kembali kedudukannya seperti sebelumnya pecah perang dunia ke-dua dengan lain kata, jika Alawiyin sebelumnya Perang Dunia ke II dapat membentuk badan-badan sosial seperti gedung-gedung madrasah, rumah yatim piatu, masjid-masjid dan membayar guru-guru yang cakap, maka sekarang ini dengan susah payah mereka membiayai pemeliharaannya dan tidak dapat lagi memberi tenaga guru-guru sepandai dan seacakap yang dahulu, meskipun kesempatan kiniadalah lebih baik dari dan pertolongan pemerintah ala qadarnya. Kegiatan yang tersebar sampai di pelosok-pelosok kepualauan Indonesia. Alawiyin yang lebih dikenal dengan sebutan sayid, habib, ayib dan sebagainya tetap dicinta dimana-mana dan memegang peranan rohani yang tidak dapat dibuat-buat sebagaimana juga di negara islam lain. Kebiasaan dan tradisi Alawiyin di-ikuti dalam Perayaan maulid Nabi, haul, nikah, upacara-upacara kematian dan sebagainya. Suku-suku Alawiyin di Indonesia yang berjumlah kurang lebih 50.000 orang; ada banyak yang besar, antara mana Al-Saggaf, Al-Attas, Al-Syihab, Al-Habasyi, Al-Aydrus, Al-Kaf, Al-Jufri, Al-Haddad dan semua keturunan asal-usul ini dicatat dan dipelihara pada Al-Maktab Al-Da-imi yaitu kantor tetap untuk statistik dan pemeliharaan nasab sadatul-alawiyin yang berpusat di gedung “Darul Aitam”
2012@abdkadiralhamid
0 Response to "Sejarah Singkat Bani Alawiyin ( Habaib ) di Indonesia "
Posting Komentar
Silahkan komentar yg positip