SEJARAH THARIQAH ALAWIYYAH
A. ARTI THARIQAH
Secara bahasa thariqah dapat berarti berjalan, metode, system, cara, perjalanan, aturan hidup, lintasan, garis, pemimpin sebuah suku dan sarana.
Thariqah dalam arti jalan, dapat kita temuakan di dalam beberapa ayat Al-Qur’an, diantaranya adalah wahyu Allah berikut:
وان لو استقاموا علي اطريقة لاسقناهم ماء غدقا
Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak). (QS-Al-Jin,72:16)
وانا منا الصالحون ومنا دون ذلك كنا طرائق قددا
Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang shaleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda. (QS-Al-Jin,72:11)
نحن اعلم بما يقولون اذ يقول امثلهم طريقة ان لبثتم الا يوما
Kami lebih mengetahui apa yang mereka katakan, ketika berkata orang yang paling lurus jalanya di antara mereka: “Kamu tidak berdiam (di dunia) melainkan hanyalah sehari saja”. (QS-Thaha,20:104)
B. SEJARAH THARIQAH ALAWIYYAH
Thariqah Alawiyyah adalah suatu thariqah yang ditempuh oleh para salafus sholeh. Dalam thariqah ini, mereka mengajarkan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah kepada masyarakat, dan sekaligus memberikan suri tauladan dalam pengamalan ilmu dengan keluhuran akhlak dan kesungguhan hati dalam menjalankan syariah Rasullullah SAW. Penjelasan di atas dinukil dari buku Qutil Qulub, karya Abul Qosim Al-Qusyairy, dan dari beberapa kitab lain. Mereka menerangkan dengan terinci, bahwa thariqah As-Saadah Bani Alawi ini diwariskan secara turun temurun oleh leluhur (salaf) mereka : dari kakek kepada kepada ayah, kemudian kepada anak-anak dan cucu-cucunya. Demikian seterusnya mereka menyampaikan thariqah ini kepada anak cucu mereka sampai saat ini. Oleh karenanya, thariqah ini dikenal sebagai thariqah yang langgeng sebab penyampaiannya dilakukan secara ikhlas dan dari hati ke hati. Dari situlah dapat diketahui, bahwasanya thariqah ini berjalan di atas rel Al-Kitab dan As-Sunnah yang diridhoi Allah dan Rasul-Nya.
Thariqah Alawiyyah ini menitik-beratkan pada keseimbangan antara ibadah mahdhah, yaاitu muamalah dengan Khaliq, dengan ibadah ghoiru mahdhah, yakni muamalah dengan sesama manusia yang dikuatkan dengan adanya majlis-majlis ta’lim yang mengajarkan ilmu dan adab serta majlis-majlis dzikir dan adab. Dengan kata lain, thariqah ini mencakup hubungan vertikal (hubungan makhluk dengan Khaliqnya) dan hubungan horizontal (antara sesama manusia).
Selain itu, thariqah ini mengajarkan kepada kita untuk bermujahadah (bersungguh-sungguh) dalam menuntut ilmu guna menegakkan agama Allah (Al-Islam) di muka bumi. Sebagaimana diceritakan, bahwa sebagian dari As-Saadah Bani Alawi pergi ke tempat-tempat yang jauh untuk belajar ilmu dan akhlak dari para ulama, sehingga tidak sedikit dari mereka yang menjadi ulama besar dan panutan umat di zamannya. Banyak pula dari mereka yang mengorbankan jiwa dan raga untuk berdakwah di jalan Allah, mengajarkan ilmu syariat dan bidang ilmu agama lainnya dengan penuh kesabaran, baik di kota maupun di pelosok pedesaan. Berkat berpedoman pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, disertai kesungguhan dan keluhuran akhlak dari para pendiri dan penerusnya, thariqah ini mampu mengatasi tantangan zaman dan tetap eksis sampai saat ini. [Diambil dari Al-'Alam An-Nibros, karya Al-Imam Abdullah bin Alwi Al-Atthas, hal. 1-5, penerbit 'Isa Al-Khalabi Mesir]
Tarekat Alawiyyah juga merupakan salah satu tarekat mu’tabarah dari 41 tarekat yang ada di dunia. Tarekat ini berasal dari Hadhramaut, Yaman Selatan dan tersebar hingga ke berbagai negara, seperti Afrika, India, dan Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Tarekat ini didirikan oleh Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir – lengkapnya Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir – , seorang tokoh sufi terkemuka asal Hadhramat pada abad ke-17 M. Namun dalam perkembangannya kemudian, Tarekat Alawiyyah dikenal juga dengan Tarekat Haddadiyah, yang dinisbatkan kepada Sayyid Abdullah al-Haddad, selaku generasi penerusnya. Sementara nama “Alawiyyah” berasal dari Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir.
Tarekat Alawiyyah, secara umum, adalah tarekat yang dikaitkan dengan kaum Alawiyyin atau lebih dikenal sebagai sa’adah atau kaum sayyid – keturunan Nabi Muhammad SAW – yang merupakan lapisan paling atas dalam strata masyarakat Hadhrami. Karena itu, pada masa-masa awal tarekat ini didirikan, pengikut Tarekat Alawiyyah kebanyakan dari kaum sayyid (kaum Hadhrami), atau kaum Ba Alawi, dan setelah itu diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat muslim lain dari non-Hadhrami.
Tarekat Alawiyyah juga boleh dikatakan memiliki kekhasan tersendiri dalam pengamalan wirid dan dzikir bagi para pengikutnya. Yakni tidak adanya keharusan bagi para murid untuk terlebih dahulu diba’iat atau ditalqin atau mendapatkan khirqah jika ingin mengamalkan tarekat ini. Dengan kata lain ajaran Tarekat Alawiyyah boleh diikuti oleh siapa saja tanpa harus berguru sekalipun kepada mursyidnya. Demikian pula, dalam pengamalan ajaran dzikir dan wiridnya, Tarekat Alawiyyah termasuk cukup ringan, karena tarekat ini hanya menekankan segi-segi amaliah dan akhlak (tasawuf ‘amali, akhlaqi). Sementara dalam tarekat lain, biasanya cenderung melibatkankan riyadlah-riyadlah secara fisik dan kezuhudan ketat.2
C. TENTANG THARIQAH ‘ALAWIYAH
Thariqah ‘Alawiyyah berasal dari kosakata ,yaitu Thariqah dan ‘Alawiyyah. Di sini, Thariqah mempunyai beberapa arti, di antaranya, sirah (sejarah atau perjalanan hidup, biografi) atau mazhab pemikiran atau tradisi , dan ada juga yang menyamakan antara pengertian thariqah dengan suluk . Jadi, dari sini dapat dsiimpulkan bahwa kata thariqah dapat berarti kebiasaan atau tradisi (sunnah) , sejarah kehidupan (sirah), dan suatu organisasi (jama’ah). Oleh karena itu, dari pengertiaan bahasa sebagaimana diatas, penulis memandang ajaran-ajaran Syaikh Al-Haddad yang selama ini sudah memasyarakat bias disebut dengan Thariqah Haddadiyyah. Sedangkan kosakata ‘Alawiyyah berasal dari kata Ba ‘Alawi, yakni suatu marga yang berasal dari Syaikh Muhammad bin ‘Alwi, yang dikenal dengan julukan Ba ‘Alawi, dan dia masih keturunan Nabi Muhammad Saw, dari cucu beliu, Husain r.a. bin Fatimah r.a. Istilah Thariqah ‘Alawiyyah ini, menurut penulis berlaku sejak zaman Muhammad bin ‘Alawi Ba ‘Alawi, atau pada daur yang kedua dalam sejarah kaum ‘Alawiyyah di Hadhramaut.
Dikalangan Ba’Alawi, kata tarekat dipahami sebagai suatu suluk (cara ibadah) yg dilakukan oleh seseorang yang dipandang mempunyai kredibilitas sebagai tokoh. Ketokohan disini terkait dalam masalah-masalah keagamaan dan hubungannya dengan masalah-masalah kemasyarakatan secara luas.
Yang membedakan Thariqah ‘Alawiyyah dengan tarekat ialah perbedaan di antara tokoh-tokoh mereka dalam banyak masalah, diantaranya tentang masalah wirid. Hampir setiap tokoh mempunyai wirid sendiri, dan ini tidak ditemukan dalam tradisi tarekat-tarekat yang ada. Selain itu, tidak ada aturan khusus dalam mengamalkan wirid tersebut. Seandainya ada “syarat” mendapat ijazah dalam mengamalkan suatu wirid, itu hanya merupakan afdhaliyyah (keutamaan), bukan suatu keharusan. Disini tampak secara jelas bahwa Thariqah ‘Alawiyyah bukan tarekat, hanya suatu tradisi dari kalangan Ba ’Alawi dari Hadhramaut, Yaman Selatan.
Hb. Abdullah Al-Haddad menerangkan bahwa Thariqah Ba’Alawi ialah Thariqah-nya para sayyid dari keturunan ‘Ali (Al-’Alawiyyin) dari jalur Imam Husain yang ada di Hadhramaut. Thariqah mereka berdasarkan Al-Qur’an, Al- Sunnah, riwayat-riwayat yang benar, dan ajaran para salaf yang mulia. Para salaf Ba’Alawi mempunyai keunggulan dibandingkan dengan lainnya karena mereka mendapatkan ajaran sesuai dengan urutan nasab mereka, yakni dari anak, ke ayah, kakek, dan begitu seterusnya kepada Nabi Saw.
Syaikh Al-Haddad melihat bahwa dari semua ajaran salaf Ba’Alawi, dapat disimpulkan secara umum bahwa ajaran thariqah mereka ialah menekankan adanya hubungan dengan seorang syaikh (guru pembimbing dalam ibadah), perhatian secara seksama dengan ajarannya, dan membina batin/sirr (dengan ibadah). Selain itu, thariqah ini juga menekankan pentingnya amal, dan untuk itu, dibutuhkan suatu thariqah yang ajarannya mudah dilakukan dan dipahami oleh masyarakat awam (pada umumnya).
Secara terperinci Syaikh Al-Haddad mengatakan bahwa hidup ini adalah safar (sebuah perjalanan menuju Tuhan). Safar adalah suatu cara untuk melakukan perlawanan terhadap hawa nafsu, dan sebagai media pendidikan moral. Seorang Musafir membutuhkan empat hal. Pertama, ilmu yang akan membantu untuk membuat strategi. Kedua, sikap wara’ yang dapat mencegahnya dari perbuatan haram. Ketiga, semangat yang menopangnya. Keempat, moral yang baik yang menjaganya.
Syaikh Ahmad bin Zain Al-Habsyi mengatakan bahwa thariqah mereka menekankan pada ilmu dan amal, wara’ dan khauf (takut), serta ikhlas hanya untuk-Nya. Kelima ajaran ini merupakan bagian penting dalam tahapan awal seseorang menjadikan hatinya bersih dari berbagai macam penyakit hati hingga diterima oleh Tuhannya.3
D. AQIDAH DAN MADZHAB BANI ‘ALAWI
A. AQIDAH
Aqidah merupakan bagian terpenting dalam kehidupan beragama. Di zaman ini kita melihat telah muncul berbagai aqidah yang menyimpang dari ajaran Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa shahbihi wa sallam dan para sahabatnya. Sebagai anak cucu Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa alihi wa shahbihi wa sallam wajar jika kemudian masyarakat menanyakan apakah aqidah Bani ‘Alawi. Karena itulah para ulama senior Bani ‘Alawi selalu menjelaskan aqidah mereka dalam buku maupun nasihat-nasihatnya. Ini mereka lakukan demi melanjutkan niat suci Imam Ahmad bin ‘Isa, pendahulu mereka, yang berhijrah ke Hadhramaut demi menyelamatkan aqidah anak cucunya.
Sejak awal Bani ‘Alawi beraqidah ahlussunnah wal jama’ah, sebagaimana disampaikan oleh tokoh-tokoh mereka dari generasi ke generasi hingga saat ini.
Habib ‘Abdullah bin Abu Bakar Al-Aydarus radhiyallahu ‘anhu (w.865H) dalam bukunya Al-Kibritul Ahmar yang tidak lebih dari 23 halaman menuliskan satu bab khusus tentang aqidah ahlussunnah wal jama’ah. Dalam buku tersebut beliau radhiyallahu ‘anhu menuliskan:
Aqidah Ahlussunnah adalah sebagaimana terdapat dalam syair Syekh ‘Abdullah bin As’ad Al-yafi’i.2Berikut beberapa bait syair Al-yafi’I yang disebutkan oleh Habib ‘Abdullah Bin Al-aydarus radhiyallahu ‘anhu:
Sebaik-baik masa adalah masa sahabat
Urutan yang terbaik di antara mereka
Adalah tepat seperti yang telah mereka tetapkan
Mereka semua bintang-bintang yang membawa petunjuk
Semuanya adil dan baik hati
Kemulian mereka telah dikenal dan tak dapat dipungkiri
Dari mereka semua Ash-Shiddiq-lah yang paling utama
Beliau seorang yang mulia
Sedangkan posisi keempat dalam kemuliaan
Dipegang oleh Haidar (Sayidina ‘Ali)
Yang memiliki keutamaan.4
B. MADZHAB BANI ‘ALAWI
Imam Ahmad bin ‘Isa dan anak cucunya dikenal sebagai orang-orang yang sangat berjasa di dalam penyebaran madzhab Syafi’I di Hadhramaut dan Asia. Dalam ensiklopedia Britannica disebutkan:
Pada pertengahan abab 10 M karena berbagai gangguan yang terjadi di Iraq, maka Ahmad bin ‘Isa Al-Muhajir melakukan perjalanan hijrah dan tiba di Hadhramaut yang pada saat itu dikuasai oleh kaum Ibadhiah. Di sanalah beliau mendirikan perumahan bagi para Sayyid ‘Alwi yang kemudian menjadi orang-orang yang memajukan dan menyebarluaskan madzhab Syafi’I ke India, Indonesia dan Afrika Timur.3
Madzhab Syafi’I tersebar luas di Yaman setelah tahun 340H. Al-Qadhi Ath-Thayyib bin ‘Abdullah bin Ahmad Ba Makhramah dalam bukunya Qalaidun Nahr berpendapat bahwa Imam Ahmad bin Isa telah berhasil menyebarkan madzhab Syafi’I di Hadhramaut sebelum 340H.4 Artinya, hanya dalam kurun waktu kurang lebih dua puluh tahun, Imam Ahmad bin ‘Isa telah berhasil merubah Hadhramaut menjadi pusat penyebaran madzhab Syafi’i. Sebab, beliau tiba di Hadhramaut pada tahun 320H dan wafat pada tahun 345H.
Dalam kitabnya Al-Juz’ul Lathif, Habib Abu Bakar Al-‘Adni bin ‘Abdullah Al-Aydarus menulis:
Guruku, dan Ayahku, muhyiddin, ‘afifuddin, Asy-Syarif Al-Husaini,’Abdullah bin Abu Bakar, yang mendapat julukan Al-Aydarus, radhiyallahu ‘anhuma, jika mengikat perjanjian dengan muridnya serta meminta mereka untuk beristighfar,beliau menyebutkan sejumlah keyakinan dalam aqidah, seperti beriman kepada Allah Subhanahu wa Taa’ala dan mensucikan-Nya, iman kepada para Rasul, kepada semua kitab yang diturunkan Allah, kepada siksa kubur dan pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir serta berbagai hal lainnya yang tersebut dalam aqidah. Setelah itu beliau akan berkata kepada muridnya tersebut:
Madzahab kami dalam furu’ adalah Madzhab Syafi’i, dalam ushul (aqidah) adalah madzhab guru kami Al-Asy’ari dan Thariqah kami Thariqah-nya para sufi.5
E. BIOGRAFI IMAM AHMAD BIN ISA AL-MUHAJIR DAN SYEKH ABDULLAH AL-HADDAD
A. AHMAD BIN ISA AL-MUHAJIR
Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir (selanjutnya Imam Ahmad) adalah keturunan Nabi Muhammad SAW melalui garis Husein bin Sayyidina Ali bin Abi Thalib atau Fathimah Azzahra binti Rasulullah SAW. Ia lahir di Basrah, Irak, pada tahun 260 H. Ayahnya, Isa bin Muhammad, sudah lama dikenal sebagai orang yang memiliki disiplin tinggi dalam beribadah dan berpengetahuan luas. Mula-mula keluarga Isa bin Muhammad tinggal di Madinah, namun karena berbagai pergolakan politik, ia kemudian hijrah ke Basrah dan Hadhramaut. Sejak kecil hingga dewasanya Imam Ahmad sendiri lebih banyak ditempa oleh ayahnya dalam soal spiritual. Sehingga kelak ia terkenal sebagai tokoh sufi. Bahkan oleh kebanyakan para ulama pada masanya, Imam Ahmad dinyatakan sebagai tokoh yang tinggi hal-nya (keadaan ruhaniah seorang sufi selama melakukan proses perjalanan menuju Allah—red).
Selain itu, Imam Ahmad juga dikenal sebagai seorang saudagar kaya di Irak. Tapi semua harta kekayaan yang dimilikinya tak pernah membuat Imam Ahmad berhenti untuk beribadah, berdakwah, dan berbuat amal shaleh. Sebaliknya, semakin ia kaya semakin intens pula aktivitas keruhanian dan sosialnya.
Selama di Basrah, Imam Ahmad sering sekali dihadapkan pada kehidupan yang tak menentu. Misalnya oleh berbagai pertikaian politik dan munculnya badai kedhaliman dan khurafat. Sadar bahwa kehidupan dan gerak dakwahnya tak kondusif di Basrah, pada tahun 317 H Imam Ahmad lalu memutuskan diri untuk berhijrah ke kota Hijaz. Dalam perjalanan hijrahnya ini, Imam Ahmad ditemani oleh istrinya, Syarifah Zainab binti Abdullah bin al-Hasan bin Ali al-Uraidhi, dan putra terkecilnya, Abdullah. Dan setelah itu ia kemudian hijrah ke Hadhramaut dan menetap di sana sampai akhir hayatnya. Tapi dalam sebuah riwayat lain disebutkan, sewaktu Imam Ahmad tinggal di Madinah Al-Munawarrah, ia pernah menghadapi pergolakan politik yang tak kalah hebat dengan yang terjadi di kota Basrah. Pada saat itu, tepatnya tahun 317 H, Mekkah mendapat serangan sengit dari kaum Qaramithah yang mengakibatkan diambilnya Hajar Aswad dari sisi Ka’bah. Sehingga pada tahun 318 H, tatkala Imam Ahmad menunaikan ibadah haji, ia sama sekali tidak mencium Hajar Aswad kecuali hanya mengusap tempatnya saja dengan tangan. Barulah setelah itu, ia pergi menuju Hadhramaut.
B. Syekh Abdullah al-Haddad
Nama lengkapnya Syekh Abdullah bin Alwi al-Haddad atau Syekh Abdullah al-Haddad. Dalam sejarah Tarekat Alawiyyah, nama al-Haddad ini tidak bisa dipisahkan, karena dialah yang banyak memberikan pemikiran baru tentang pengembangan ajaran tarekat ini di masa-masa mendatang. Ia lahir di Tarim, Hadhramaut pada 5 Safar 1044 H. Ayahnya, Sayyid Alwi bin Muhammad al-Haddad, dikenal sebagai seorang yang saleh. Al-Haddad sendiri lahir dan besar di kota Tarim dan lebih banyak diasuh oleh ibunya, Syarifah Salma, seorang ahli ma’rifah dan wilayah (kewalian).
Peranan al-Haddad dalam mempopulerkan Tarekat Alawiyyah ke seluruh penjuru dunia memang tidak kecil, sehingga kelak tarekat ini dikenal juga dengan nama Tarekat Haddadiyyah. Peran al-Haddad itu misalnya, ia di antaranya telah memberikan dasar-dasar pengertian Tarekat Alawiyyah. Ia mengatakan, bahwa Tarekat Alawiyyah adalah Thariqah Ashhab al-Yamin, atau tarekatnya orang-orang yang menghabiskan waktunya untuk ingat dan selalu taat pada Allah dan menjaganya dengan hal-hal baik yang bersifat ukhrawi. Dalam hal suluk, al-Haddad membaginya ke dalam dua bagian.
Pertama, kelompok khashshah (khusus), yaitu bagi mereka yang sudah sampai pada tingkat muhajadah, mengosongkan diri baik lahir maupun batin dari selain Allah di samping membersihkan diri dari segala perangai tak terpuji hingga sekecil-kecilnya dan menghiasi diri dengan perbuatan-perbuatan terpuji. Kedua, kelompok ‘ammah (umum), yakni mereka yang baru memulai perjalanannya dengan mengamalkan serangkaian perintah-perintah as-Sunnah. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa Tarekat Alawiyyah adalah tarekat ‘ammah, atau sebagai jembatan awal menuju tarekat khashshah.
Karena itu, semua ajaran salaf Ba Alawi menekankan adanya hubungan seorang syekh (musryid), perhatian seksama dengan ajarannya, dan membina batin dengan ibadah. Amal shaleh dalam ajaran tarekat ini juga sangat ditekankan, dan untuk itu diperlukan suatu tarekat yang ajarannya mudah dipahami oleh masyarakat awam.
Al-Haddad juga mengajarkan bahwa hidup itu adalah safar (sebuah perjalanan menuju Tuhan). Safar adalah siyahah ruhaniyyah (perjalanan rekreatif yang bersifat ruhani), perjalanan yang dilakukan untuk melawan hawa nafsu dan sebagai media pendidikan moral. Oleh karena itu, di dalam safar ini, para musafir setidaknya membutuhkan empat hal. Pertama, ilmu yang akan membantu untuk membuat strategi, kedua, sikap wara’ yang dapat mencegahnya dari perbuatan haram. Ketiga, semangat yang menopangnya. Keempat, moralitas yang baik yang menjaganya.6
SUMBER :
1. UMAR, IBRAHIM,THARIQAH ALAWIYYAH,2001,Mizan
2. NOVEL BIN MUHAMMAD ALAYDRUS, JALAN NAN LURUS, Taman Ilmu, 2006
3. SAHRIANSYAH, PROFIL TARIKAT DI KALIMANTAN SELATAN, Antasari Press, 2009
4. http://www.sufinews.com/index.php/Thoriqoh/tarekat-alawiyyah/Halaman-2.suf http://www.iqra.net/site/RatibAlHaddadArabic
http://www.alhawi.net/ratib_al.htm
5. http://www.bamah.net/2011/05/thariqah-%E2%80%98alawiyyah
6.http://www.majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=5&func=view&id=24052&catid=10
abdkadiralhamid@2012
0 Response to "SEJARAH THARIQAH ALAWIYYAH"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip