Jejak Rekam Kaum Sayid di Nusantara Masa Kolonial Abad XIX: Kiprah Sayid Usman bin Yahya dalam Meredesain Islam sebagai Ruang Publik
(Disampaikan dalam Seminar Rabithah Alawiyah, di Jakarta 09 Juni 2012)
Oleh: Prof. Dr. M. Dien Madjid M.A.[2]
Pendahuluan
Islam merupakan salah satu agama besar
di dunia. Lahirnya Islam di Mekkah pada abad ke tujuh Masehi, dibidani
oleh keadaan sosial yang keras di tengah masyarakat yang masih percaya
dengan paganisme. Di katakan keras, adalah karena saat itu, politik
golongan begitu mendominasi, sehingga semakin memperkeruh ruang ide
masyarakat Arab yang secara geografis jauh pula dari pusat-pusat
peradaban (Romawi dan Persia).
Pelan namun pasti, kondisi umat Islam
mulai merambat ke paggung peradaban dunia. Bait demi bait mulai disulam
menjadi suatu jalan bebas hambatan untuk mengangkat martabat Islam di
mata dunia. Yahudi dan Kristen kakak kandung Islam, berkembang di
pusat-pusat peradaban yakni di Jerussalem dan di Roma. Dilain pihak,
Islam lahir di tengah padang sahara tandus Arab, di mana tanaman-tanaman
menghijau amat langka dan boleh dikatakan jauh dari modernitas.
Lapat-lapat, ketika tampuk kepemimpinan umat Islam berada di genggaman
Umar bin Khattab, Islam mulai dikenal sebagai kekuatan baru (New Power)
yang manantang kemaharajaan Romawi dan Persia. Bak jamur di musim
hujan, Islam mulai memasuki marak lekuk-lekuk senarai peradaban dunia.
Berpulangnya Nabi SAW pada tanggal 13
Rabiul Awal tahun 1 H bertepatan dengan tahun 632 M, tak lantas
membuat umat yang ditinggalkannya manja dan takut. Momen itu justru
dijadikan titik balik untuk mengkampanyekan Islam di pergaulan manusia
global. Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali) tampil
sebagai pembawa panji Islam. Sejarah mencatat, pada masa kekuasaan Umar
(634-644), Persia mampu ditundukkan. Ini menjadi bukti historis, Islam
adalah calon pemimpin dunia yang tidak saja mempunyai sifat-sifat
profetik (kesalehan) namun juga semangat untuk menaklukan keangkuhan
zaman. Lamat-lamat, Islam tak hanya jaya di kampung halamannya dan
kampung sebelahnya saja, yakni Romawi dan Persia, tetapi juga mulai
meruyak berdiaspora ke seluruh penjuru dunia, menembus batas-batas
geografi, sukuisme, ras bahkan komunitas sosial yang berbeda. Dibuai dan
dibelai oleh desah-desah angin laut, pada abad ke-7 M, agama Muhammad
ini mulai berkenalan dengan negeri di bawah angin, salah satunya adalah
gugusan pulau yang disebut Nusantara.
Salah satu tempat yang menjadi sentrum
dakwah orang Arab adalah di Batavia (dahulu bernama Jayakarta- kini
Jakarta). Berdasarkan catatan dalam Regeering Almenak bahwa
jumlah orang Arab di Nusantara sampai tahun 1879 berjumlah 14791 jiwa.
Khusus di Jakarta berjumlah 866, lebih kecil jumlahnya jika dibanding
tahun 1871 berjumlah 1039 jiwa[3].
Belum dikaji secara mendalam, mengapa terjadi penurunan cacah penduduk
(orang Arab) tersebut. Di tempat ini, awalnya mereka berdagang[4],
lantas mulai mengembangkan sayap aktivitasnya ke bidang keagamaan. Tak
ayal, kesempatan politik terbuka yang diterapkan oleh pemerintah
Hindia-Belanda, mereka manfaatkan untuk menganyam bentangan-bentangan
kain ajaran Islam di wilayah rural Batavia. Lambat laun, penduduk lokal
tertarik untuk mendalami ajaran dari para pendatang Arab itu. Banyak di
antara mereka yang merupakan orang Arab hadrami, atau orang
Arab yang bermukim di Hadramaut, Yaman. Sebagian lagi di antara mereka
mempunyai nasab keturunan sampai ke Rasulullah SAW (Sayid), hanya saja
lajur-lajur klan yang membedakannya. Di antara sekian banyak ulama hadrami
kenamaan di Nusantara, Sayid Usman bin Yahya mempunyai peran sentral,
yakni selain aktivitas dakwahnya, kesempatan diangkat menjadi mufti
Betawi (Batavia) oleh pemerintah Hindia Belanda, dimanfaatkan betul
untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan umat Islam. Tak pelak,
kedudukannya sebagai Mufti, kerap diplintir sedemikian rupa sehingga
timbul anggapan bahwa Sayid Usman pro-Belanda. Nah, makalah ini ditulis
untuk mengadakan tinjauan lebih lanjut mengenai aktivitas orang Arab,
khususnya keturunan Sayid yang pada kesempatan ini mengambil prototype dari bentangan hidup Sayid Usman bin Yahya.
A. Sinergi Dagang-Dakwah: wajah Islamisasi Indonesia
Nusantara sejak beberapa abad sebelum
Masehi telah dikenal oleh bangsa-bangsa besar di dunia. Hal pertama yang
terngiang di pikiran umat-umat dari berbagai puak bangsa zaman dahulu,
adalah karena kekayaan alamnya yang begitu melimpah ruah. Perbendaharaan
ragam hayati yang terdiri dari heterogenitas botani, berbagai macam
spesies margasatwa serta bermacam-macam bahan galian dari perut bumi
menjadi faktor penarik kedatangan berbagai manusia dari berbagai negeri
untuk menyaksikan bahkan mengadakan kontak dagang dan menyambung kawat
diplomatik dengan negeri kepulauan ini.
Vlekke mengatakan, kendati pada awal
abad Masehi orang Indonesia belum mengetahui pola ragam kehidupan
manusia lain di mancanegara, telah banyak para saudagar asing yang
berlayar dari pantai timur India hingga menyentuh wilayah teritorial
Indonesia, serta antara kepulauan Indonesia ke wilayah yang sekarang ini
dikenal sebagai Vietnam. Lebih lanjut, demikian Vlekke, dalam sebuah
kitab suci Budha berjudul Jataka yang ditulis sebelum abad 300
SM berisi laporan dalam tawarikh Kaisar Wang Mang di Cina yang
mengisahkan sang kaisar Dinasti Han itu mengutus duta ke suatu negeri
yang disebut “Huang-Tche”, yang diidentifikasi sebagai Aceh atau
setidaknya sebuah daerah di Sumatera. Duta Cina itu mengemban misi untuk
mendapatkan seekor badak untuk melengkapi Taman Margasatwa Kekaisaran.
Benar saja, Badak merupakan hewan endemik Sumatera. Selain itu, kawat
diplomatik Dinasti Han-Sumatera dapat ditelisik lebih lanjut melalui
berbagai kronik tinggalan arkeologis yang berasal dari Sumatera bagian
selatan, Jawa bagian barat dan Kalimantan bagian timur.
Selain itu, terdapat historiograf barat
pertama yang menyebut wilayah kepulauan Indonesia (Nusantara) yakni
bernama Ptolomeus (dari Alexandria, 160 M). Ia memperoleh informasi
mengenai Indonesia itu melalui seorang pelaut bernama Alexander, yang
telah mengembara di negeri-negeri sebelah timur Malaya. Ptolomeus
membedakan antara sebutan “Negeri Emas” dan “Negeri Perak” yang keduanya
disebut-sebut terletak di Asia bagian tenggara. Di dekat negeri ini ada
“Semenanjung Emas” dan di dekatnya lagi, lima pulau Barousai, tiga
pulau Sabadeibai, tempat para kanibal berdiam, dan pulau Iabadiu, yang
bermakna “pulau Padi”. Di pulau itu terdapat kota bernama “Kota Perak”
(Aceh?). Vlekke beranggapan Semenanjung Emas sebagai Semenanjung Malaya
dan pulau-pulau yang menjadi bagian dari kepulauan Indonesia.[5]
Asumsi Vlekke didukung oleh pendapat
Anthony Reid yang meyakini sematan “emas” berasal dari latar belakang
kedudukan emas itu sendiri yang menjadi identitas kekayaan dan sebagai
tanda status raja dan bagi Budha. Perak umumnya digunakan oleh bangsa
Asia Tenggara Daratan yang mendiami wilayah Burma, Kamboja, Siam dan
wilayah sekitarnya, sedangkan emas digunakan oleh bangsa Semenanjung
Melayu dan kepulauan-kepulauan di sekitarnya, termasuk Nusantara.[6]
Sejak lama, Nusantara dikenal dengan rempah-rempah yang seakan menjadi land mark
yang menjadi primadona sekaligus buruan utama bagi para saudagar dan
pemborong besar dari luar negeri. Tak ayal, terhitung sejak abad ke 15,
perairan Asia Tenggara mulai disesaki oleh kapal-kapal dagang asing yang
berasal dari Gujarat, Arab, Persia, Eropa dan bangsa-bangsa lain yang
saling berlomba untuk mendapatkan rempah-rempah langsung dari sumbernya.
Di antara bangsa-bangsa tersebut yang menorehkan tinta emas dalam
proses islamisi di Nusantara adalah bangsa Arab.
Saya berpendapat bahwa posisi Indonesia
dalam bentangan peta dunia, disokong pula oleh sejarawan lainnya,
menempati posisi yang “molek” baik ditinjau dari aspek ekonomis maupun
aspek sosiologis yang juga dihubungkan dengan iklim tropis yang teduh
dan sejuk. Kepulauan Indonesia terletak pada garis khatulistiwa yang
berada dalam ruang gerak angin pasat; di sebelah selatan berhembus
pasat tenggara dan di sebelah utara garis equator pasat timur laut yang
bertiup sepanjang tahun. Kedua angin itu saling bersua di lokus yang
disebut international front yang merupakan titik daerah angin mati.
Tak pelak, keadaan ini menerbitkan dua
faktor yang menyebutkan bahwa angin Indonesia mempunyai laggam yang khas
cenderung unik ketimbang hembusan angin laut di belahan dunia lainnya.
Pertama, peredaran bumi mengitari matahari yang menyebabkan “daerah angin mati” itu kerap berhijrah dari Lintang Mangkara (Trofic of Cancer) ke Lintang Jadayat (Trofic of Capricorn). Maka, pasat tenggara ketika melintasi garis khatulistiwa akan berubah menjadi angin barat laut.
Kedua, Indonesia terletak di
antara dua kontinen (benua), Asia dan Australia yang memiliki ornamen
iklim yang khas sehingga dapat mempengaruhi arus angin. Akibatnya,
terjadilah angin musim yang kerap berubah arah dan tujuannya. Kejadian
ini telah akrab dalam kehidupan para pelaut Nusantara.[7]
Uka Tjandrasasmita menyebutkan,
kedatangan orang Islam pertama dapat ditelisik dari sumber sejarah yang
hingga kini masih marak dijadikan rujukan utama para sejarawan, yakni
berita Cina yang berasal dari Dinasti T’ang. Kronik tersebut mengisahkan
tentang orang-orang Ta-shih yang mengurungkan niatnya untuk menyerbu
kerajaan Ho-ling yang diperintah oleh Ratu Sima sekitar tahun 674 M.
Berdasarkan penafsiran beberapa ahli, dinyatakan bahwa orang-orang
Ta-shih atau Tazi itu merupakan orang-orang Arab yang lokasinya
diperkirakan berada di pesisir barat Sumatera. Bersandarkan pada bukti
tersebut Uka meyakini kontak pertama Islam dengan penduduk Nusantara
terjadi pada abad ke-7.[8]
Terbitnya syiar Islam awal berbarengan dengan meredupnya pengaruh Sriwijaya di Sumatera pada sekitar abad tersebut.[9]
Bak mendulang emas di air keruh, situasi ini dimanfaatkan betul oleh
para pedagang Muslim untuk membangun perkampungan pedagang yang kala itu
didirikan untuk kemudahan akses jual-beli dengan penduduk lokal. Pelan
namun pasti, mereka mulai membentuk struktur pemerintahan yakni dengan
mentahbiskan Merah Silu, kepala suku Gampong Samudera menjadi Sultan
Malik as-Saleh,[10] Sultan pertama Kerajaan Samudera.[11] Kerajaan ini dikemudian hari menjadi Samudera Pasai.[12]
Boleh dikatakan, Aceh merupakan pintu gerbang awal berseminya Islam di
Nusantara yang kemudian mulai menyebar ke pulau-pulau Nusantara lainnya.
Kendati demikian, Berkenaan dengan
masuknya Islam ke Nusantara, belum ada kesepakatan yang bulat di
kalangan para ahli. Lebih lanjut, kenyataan ini menimbulkan “pasar
persepsi” yang diramaikan dengan berbagai teori yang menjadi perdebatan
panjang bahkan cenderung tak berujung. Perdebatan kusir tersebut- dan
masih memungkinkan munculnya penemuan baru- terutama terfokus pada tiga
masalah pokok, yaitu; a. tempat asal kedatangan Islam di Nusantara, b.
para pembawanya dan c. waktu kedatangannya.
Menyangkut ketiga masalah pokok tersebut, setidaknya ada tiga teori besar yang dapat dikemukakan.[13]
1) Islam datang langsung dari Arab,
tepatnya dari Hadramaut. Teori ini pertama kali dikedepankan oleh
Crawfurd (1820), Keyzer (1859), Nieman (1861), de Hollander (1861), dan
Veth (1878). Sebagai identifikasi sekaligus untuk mempermudah
pengelompokannya teori ini selajutnya disebut “teori Arab”.
2) Disebutkan pula dalam buku-buku
sejarah, Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh orang India, atau disebut
“teori India”. Teori ini menyatakan bahwa Islam di Nusantara datang
dari India. Untuk pertama kalinya, teori ini dikemukakan oleh Pijnappel,
seorang ahli Melayu dari Universitas Leiden, Belanda, pada tahun 1872.
Azyumardi Azra menulis:
“Berdasarkan terjemahan Perancis
tentang catatan perjalanan Suleiman, Marco Polo, dan Ibn Battuta, ia
menyimpulkan bahwa orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i dari Gujarat
dan Malabar di India yang membawa Islam ke Asia Tenggara.”
Tetapi sesungguhnya ulasan panjang-lebar juga dikemukakan oleh C. Snouck Hurgronje dalam Bukunya Islam Oost Nederland Indie.
1) Yang terkahir adalah “teori
Benggal”. Teori terakhir ini menjelaskan bahwa Islam di Nusantara datang
dari Benggal atau Bangladesh sekarang. Teori ini dikembangkan oleh
Fatimi. Fatimi sependapat dengan Tome Pires yang menyatakan bahwa banyak
dari orang-orang yang menempati posisi penting (sebagai golongan elite)
di Pasai merupakan orang Benggali atau keturunan mereka. Lebih lanjut,
ia menjelaskan bahwa Islam muncul pertama kali di Semenanjung Malaya
adalah dibawa oleh orang-orang dari pantai timur, bukan dari barat
Malaka pada abad ke-11 M, melalui Kanton, Pharang (Vietnam), Leran dan
Trengganu.
Meskipun terdapat tiga teori yang
diharapkan dapat menjelaskan proses Islamisasi di Nusantara seperti yang
tertulis di atas, tetapi tak menutup kemungkinan munculnya “ruang
debat” baru atas keragaman teori tersebut. Berbagai kritik dan
perdebatan dan silang sengkarut-jika tidak dapat disebut saling
sengketa- terjadi di kalangan para ahli. “Teori Arab” umpamanya mendapat
pembelaan yang gigih dari Syed Muhammad Naquib al-Attas. Ia menentang
keras “teori India”. Ia beralibi bahwa, aspek-aspek internal-lah (atau
karakteristik internal Islam) yang harus menjadi perhatian penting dan
sentral dalam melihat proses kedatangan Islam di Nusantara, jangan hanya
menitikberatkan pada unsur-unsur luar atau aspek eksternalnya an sich.
Lebih lanjut, al-Attas menjelaskan bahwa penulis-penulis yang
diidentifikasi sebagai orang India serta kitab-kitab yang dinyatakan
berasal dari India oleh sarjana Barat khususnya, sebenarnya adalah orang
Arab yang berasal dari Arab atau Timur Tengah atau Persia.[14]
Dalam seminar bertema “Masuk dan
berkembangnya Islam di Indonesia” yang diadakan di Medan pada tanggal
17-20 Maret 1969 dan Seminar di Aceh pada tanggal 10-16 Juli 1978 dan
25-30 September 1980, disimpulkan bahwa Islam masuk ke Nusantara
langsung dari Arabia, bukan dari India. Waktu kedatangan Islam pada abad
ke-7 M, bukan pada abad ke 12-13 M.[15]
Hasil seminar ini memperkuat “Teori Arab” yang dikemukakan al-Attas
sekaligus sebagai bentuk persetujuan para sejarawan Indonesia terhadap
pandangan al-Attas.
“Teori India” sebagaimana dikemukakan
oleh Pijnappel yang mengutarakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari
orang-orang Arab yang bermadzhab Syafi’i yang bermigrasi ke Gujarat dan
Malabar, yang masuk dalam kawasan India. Pijnappel memandang bahwa Islam
di Nusantara disebarkan oleh orang-orang Arab. Pendapatnya ini
didasarkan pada seringnya penyebutan nama dua wilayah India dalam
sejarah Nusantara klasik sehingga dalam komentarnya lebih lanjut, ia
mengemukakan bahwa meskipun Islam di Nusantara dianggap sebagai “buah
tangan” yang dibawa oleh orang-orang Arab, tetapi hal ini tidak langsung
dibawa serta dari Arab, melainkan dari India, terutama dari pesisir
barat, yakni Gujarat dan Malabar. Teori ini sekaligus membantah teori
Fatimi yang menyatakan bahwa Islam di Nusantara “diimpor” dari pesisir
timur India yaitu dari Bengal dan tidak pula dari Coromandel atau tidak
juga dari India bagian utara.[16]
Selanjutnya, Stutterheim berpendapat
bahwa waktu penyebaran Islam di Nusantara terjadi pada abad ke-13. Ia
mengemukakan kesimpulan ini setelah mengamati bentuk nisan dan relief
batu nisan Sultan pertama kerajaan Samudera (Pasai), al-Malik al-Saleh
(w. 1297).[17]
Sayangnya Stutterheim tidak memperhatikan proses pengislaman di Gujarat
sendiri. Gujarat baru diislamkan satu tahun kemudian, yaitu pada tahun
1298 M, sebagaimana yang dikemukakan Marison. Seandainya Stutterheim
menyebutnya sebagai proses lebih lanjut dari Islamisasi Nusantara, boleh
jadi Gujarat ikut andil memberikan pengaruhnya di Nusantara mengingat
daerah itu (Gujarat) lebih dekat secara geografis ke wilayah Timur
Tengah. Pada saat yang bersamaan, penyebaran masyarakat Islam kala itu
terbentur pada ketakutan akan tentara Mongol yang giat melebarkan
ekspansinya dan tak menutup kemungkinan dapat merampas daerah mereka.
Oleh karena itulah, pilihan mencari daerah baru, menjadi gagasan yang
tepat guna menghindari bangsa Mongol tersebut.
Terlepas dari kerapuhan dan kekurangan
yang terdapat pada teorinya, pendapat Stutterheim mendapat dukungan dari
Moquette, sarjana asal Belanda. Moquette juga berpendapat bahwa Islam
di Nusantara berasal dari Gujarat. Moquette, laiknya Stutterheim,
mengacu pada hasil penelitian pada bentuk batu nisan. Ia (Moquette)
beralasan bahwa bentuk batu nisan, khusunya di Pasai, mirip dengan batu
nisan pada makam Maulana Malik Ibrahim (w. 822 H/1419 M) di Gresik, Jawa
Timur. Bentuk kedua batu nisan itu, Aceh dan Gresik, mirip pula dengan
batu nisan yang ada di Cambay (Gujarat). Ia berkeyakinan bahwa batu
nisan itu diimpor dari India, sebagaimana masuknya agama Islam. Pun
demikian, Islam pastilah berasal dari tempat yang sama, yaitu India,
tepatnya Gujarat. Hal ini didasarkan pada kesamaan bentuk nisan-nisan
makam itu sebagai hasil penelitiannya.[18] Teori yang dikemukakan Stutterheim dan Moquette ini di kemudian hari dikenal sebagai “teori batu nisan”.
Teori “batu nisan” dari Stutterheim dan
Moquette yang menyatakan Islam di Nusantara berasal dari India ditentang
keras oleh Fatimi. Menurutnya, penggunaan metode menghubungkan batu
nisan Pasai dengan batu nisan dari Gujarat yang diasosiasikan dengan
tempat asal kedatangan Islam, merupakakan sebuah kekeliruan dan perlu
ditinjau ulang. Setelah melakukan penelitian, Fatimi menyatakan, bentuk
dan gaya batu nisan Malik al-Saleh berbeda dengan batu nisan yang ada di
Gujarat. Ia mengungkapkan, bentuk dan gaya batu nisan itu mesti
didatangkan dari Benggal, bukan dari Gujarat. Keterangan ini menjadi
alasan baginya untuk mengukuhkan “teori Benggal” yang digagasnya, yang
menyatakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Benggal. Tetapi
terdapat kelemahan elementer pada teori Fatimi, yaitu bahwa ia tidak
memperhatikan perbedaan mazhab fikih yang dianut Muslim Nusantara
(Syafi’i) dengan kebanyakan kaum muslimin yang ada di Benggal yang
cenderung menggunakan mazhab Hanafi.[19] Perbedaan mazhab fikih ini cukup kuat dijadikan senjata untuk meruntuhkan teori yang dibangun Fatimi.
Jauh sebelum dikenalnya kompas sebagai
penunjuk arah, orang-orang Nusantara telah mengenal “silk route” di
daratan Asia, juga berani mengarungi lautan lepas hanya dengan
mengandalkan petunjuk bintang di langit berlayar sampai ke Madagaskar.
Dan sejak itu pula para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan,
karena tertarik dengan hasil rempah-rempah yang terdapat di Nusantara.
Para pedagang yang datang ke Nusantara ini selain orang India dan Cina,
juga orang Arab. Umumnya orang Arab ini datang dari Hadramaut melalui
dua jalur. Jalur pertama melalui Persi dan Gujarat dan kedua langsung
dari Arab ke Nusantara ini. Kedatangan mereka selain bertujuan berdagang
tetapi juga sekaligus menyebarkan ajaran agama Islam.
Sejauh menyangkut kehadiran orang-orang
Islam Timur Tengah, yang kebanyakan adalah dari Arab dan Persia, di
Nusantara, Azyumardi Azra mengemukakan demikian:
Kehadiran Muslim Timur Tengah
–kebanyakan Arab dan Persia—di Nusantara pada masa-masa awal ini pertama
kali dilaporkan oleh agamawan dan pengembara terkenal Cina, I-Tsing
ketika pada tahun 671, ia dengan menumpag kapal Arab dan Persia dari
Kanton berlabuh ke pelabuhan muara sungai Bhoga (atau Sribhoga, atau
Sribuza, sekarang Musi). Sribuza, sebagaimana diketahui, telah
diidentifikasi banya sarjana modern sebagai Palembang, ibukota kerajaan
Budha Sriwijaya.[20]
Setelah melihat daerah asal kedatangan
Islam di Nusantara, persoalan selanjutya adalah fenomena dialektika
penerimaan Islam di Nusantara atau apa yang disebut sebagai conversion to Islam. Sebagaimana
teori kedatangan Islam, tentang konversi masyarakat Nusantara terhadap
Islam, pun dapat dijelaskan melalui tiga teori. Teori-teori tersebut
diharapkan dapat membantu memahami persoalan ini, umumnya pada kasus
relasi Islam-penduduk lokal di Asia Tenggara, di mana Nusantara termasuk
dalam kawasan regional itu. Menurut Ira M. Lapidus, ketiga teori itu
ialah[21]:
Pertama, teori yang menekankan
peran para pedagang yang telah melembagakan diri mereka di beberapa
wilayah Indonesia, menikah dengan beberapa keluarga penguasa lokal dan
yang telah menyumbangkan peran diplomatik serta pergaulan internasional
terhadap perusahaan perdagangan para penguasa pesisir.
Kedua, teori yang lebih
menekankan pada makna Islam bagi masyarakat umum daripada kegiatan elite
pemerintah. Islam telah menyumbangkan sebuah landasan ideologi bagi
kebijakan individual, bagi solidaritas kaum tani dan komunitas pedagang,
dan lagi integritas kelompok parokhial yang lebih kecil menjadi
masyarakat yang lebih besar.
Di dalam kerangka teori ini, dapat
dijelaskan pula bahwa kehadiran kaum kolonialis justru yang merangsang
terjadinya proses Islamisasi yang intens dan efektif lebih lanjut di
Nusantara. Masyarakat Nusantara, bukan hanya secara geografis dipisahkan
oleh pulau-pulau, tetapi juga mempunyai perbedaan kultur dan pranata
sosial yang distingstif. Modalitas tersebut mampu berkomunikasi dengan
Islam sebagai satu-satunya wadah yang dapat diandalkan menjadi pemersatu
dan memberikan warna tersendiri guna menciptakan sebuah identitas yang
unik. Dalam rangka menghadapi gerakan kolonialisme yang dalam hal ini
diwakili oleh para penjajah kafir, Islam memberikan suatu injeksi yang
memodernisir dan merevolusi tata bangun identitas dan integritas
masyarakat lintas-segmen, baik yang berasal dari kalangan petani,
pedagang serta berbagai kelompok profesi lainnya semata-mata untuk
membulatkan “semangat juang”, terlebih dengan ajaran “jihad” dalam
konteks “hubbul wathan” dan “hizbul wathan” yang semakin memperteguh
umat muslim untuk bersatu padu menjungkalkan kolonialisme yang pelan
namun pasti telah menyandra kebebasan dan kedaulatan masyarakat lokal.
Dalam konteks demikian, Islam kaitannya dengan masyarakat pribumi,
menjadi semacam “mekanisme pertahanan diri” (defence mechanism)
dalam menghadapi penjajahan dan penindasan kaum kolonialis yakni dapat
dipersepsikan sebagai kristalisasi ide dan gerakan sebagai simbolisme
perlawanan.[22]
Ketiga, teori yang menjelaskan
peran para juru dakwah (da’i) atau kaum sufi, atau juga yang disebut
oleh sebagian orientalis sebagai kaum misionari, baik dari Gujarat,
Benggal dan Arabia. Kedatangan para sufi (darwis) bukan hanya sebagai
para guru tetapi sekaligus juga sebagai pedagang dan politisi yang
memasuki lingkungan istana para penguasa, perkampungan golongan pedagang
dan memasuki daerah-daerah rural seperti perkampungan-perkampungan di
daerah pedalaman.
Di luar soal kepastian sejarah mengenai
“kapan, di mana dan oleh siapa” proses Islamisasi terjadi di Nusantara,
termasuk “bagaimana proses peralihan keyakinan (konversi) masyarakat
Nusantara ke Islam”, masalah selanjutnya yang perlu disinggung di sini
adalah tentang fase perkembangan Islam di Nusantara. Berdasarkan
beberapa temuan sebagaimana dikemukakan di atas, perkembangan Islam di
Nusantara telah mengalami tiga fase; Fase Pertama, periode abad
1 sampai ke-4 H (7-10 M) adalah saat mereka yang beragama Islam singgah
di kepulauan Nusantara. Meskipun tidak ada bukti yang sahih, tetapi
bukan tidak mungkin jika dalam periode ini telah mulai terbentuk
komunitas-komunitas Muslim, khususnya di daerah pesisir. Kemungkinan ini
diperkuat oleh bukti yang dikedepankan di akhir periode ini, yang
segera memasuki fase kedua.
Pada fase kedua ini, walaupun
pada periode abad ke-7 sampai 10 M, Jawa tidak disebut-sebut sebagai
tempat persinggahan pedagang Muslim, namun di Leran (Gresik) terdapat
sebuah batu nisan dari seorang yang bernama Fatimah binti Maimun yang
wafat pada tahun 475 H atau 1082 M. Selain itu terdapat pula makam
Troloyo yang berasal dari abad ke-13 M. Sejak ditemukannya makam Fatimah
binti Maimun di Leran, perkembangan Islam di kepulauan Nusantara
memasuki fase kedua, yaitu periode abad ke-11 M sampai akhir abad ke-13
M. Pada periode ini kita telah mempunyai cukup bukti tentang telah
berkembangnya komunitas Muslim di Nusantara. Fase ketiga adalah perkembangan Islam di Nusantara ditandai dengan berdirinya kerajaan Pasai pada abad ke-13 M.
Berkenaan dengan hubungan Nusantara
dengan Timur Tengah sejak kehadiran Islam setidaknya dimulai pada abad
ke-8 M sampai dengan abad ke-15 M, telah mengalami dua fase. Fase
pertama, yaitu hubungan Nusantara dengan Timur Tengah pada abad ke-8
sampai 15 M., pada umumnya, hubungan keduanya hanya berkenaan dengan
perdagangan. Hadirnya banyak kaum Muslim di Nusantara, terutama dari
Arab dan Persia, memperlihatkan bahwa inisiatif pada hubungan yang
terajut pada periode fase pertama ini lebih diprakarsai oleh mereka
(orang Arab dan Persia) tinimbang masyarakat Muslim Nusantara. Pada abad
ke-13 M sampai abad ke-15 M, hubungan kedua wilayah ini memasuki fase
kedua, yaitu bahwa hubungan keduanya mulai menyinggung pada aspek-aspek
yang lebih luas. Jika pada fase pertama, aspek ekonomi (perdagangan)
merupakan ciri umum yang mewarnai keduanya, maka pada fase kedua ini,
Muslim Arab dan Persia, baik para pedagang ataupun pengembara sufi yang
berperan sebagai juru dakwah (da’i) Islam mulai meningkatkan
penyebaran Islam di berbagai wilayah Nusantara. Hubungan keagamaan dan
kultural di antara kedua wilayah ini terjalin lebih erat dan intensif
pada fase kedua ini.[23]
Islam mulai memasuki relung batin
kehidupan masyarakat Jawa sejak abad ke-11. Sumber yang kerap dikutip
oleh para historiograf adalah ditemukannya sebuah nisan Islam tertua
yang ditemukan di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur yang berangka tahun
475 H (1082 M). batu nisan ini terpahat nama Fatimah binti Maimun.
Menurut penelitian Agus Sunyoto, Fatimah merupakan anggota kabilah suku
Lor yang berasal dari Persia yang datang ke Jawa pada abad ke-10. Konon,
nama Leran sendiri berkait erat dengan nama “Lor”. Fatimah sendiri,
sejatinya bukan datang langsung dari Persia, melainkan sosok yang lahir
di Leran. [24] Hanya saja, ketika membincang pengaruh penyebaran Islam jika disandarkan pada golongan ini belumlah dapat dikatakan massif.
Dari ketiga bukti arkeologis dan
historis diatas dapat diambil benang merah bahwa kedatangan Islam ke
pulau Jawa dibawa oleh orang-orang dalam kategori teori Arab. Kendati
Persia merupakan puak yang berbeda dengan bangsa Arab, namun dalam
konteks ini terlebih ketika ditinjau secara fisik tentu terdapat
kemiripan dengan orang Arab. Van den Berg dengan tegas menyatakan pula
yang memperkenalkan Islam di Nusantara termasuk di Jawa adalah orang
Arab, bersandar hubungan dagang yang cukup erat antara Arab Selatan
khususnya Maskat dan Teluk Persia dengan Nusantara.[25]
Membincang perkembangan Islam dalam
rentang waktu beberapa sumber sejarah di atas, ditinjau dari segi
efektifitas di ruang publikan masyarakat Jawa, belumlah dapat dikatakan
sukses. Hal ini karena pengaruh dari ajaran Hindu-Budha sendiri yang
masih kuat berakar mulai dari tataran elit sampai akar rumput. Sunyoto
mengungkapkan, selama bentang abad ke 5 sampai ke 15 Masehi pengaruh
Hinduisme dan Budhisme yang berasal dari India menguat di berbagai ruang
lingkup masyarakat di Nusantara: mulai dari tatanan sosial, nilai-nilai
budaya, teknik arsitektur, tata negara, aturan hukum, sistem ekonomi
dan politik bahkan hingga ajaran agama.[26]
Keadaan ini lambat laun mulai mencair ketika Wali Songo memulai gerakan
dakwahnya. Dengan bersenjatakan kesantunan yang penuh kompromi dengan
budaya lokal, Wali Songo berhasil menancapkan pengaruh agama Muhammad di
tanah yang sebelumnya disesaki oleh penyembahan sang Budha dan Dewa
Siwa.
Banjirnya orang Arab di Tanah Air,
membawa goresan warna nan rancak dalam perkembangan dakwah Nusantara.
Jika ditilik lebih lanjut, Wali Songo yang dapat dikategorikan sebagai
penabur benih Islam generasi awal, merupakan keturunan Sayid. Tujuh dari
sembilan Wali Songo, meruapakan keturunan orang-orang Arab yang di
dalam tubuhnya mengalir deras darah penghulu kaum Muslim sepanjang
zaman, Nabi Muhammad Saw. Namun, gelaran habib dan sayid yang sejak
medio kolonial ramai disematkan pada keturunan Nabi SAW tersebut,
belumlah ada di masa itu. Para pendakwah Arab lebih senang menggunakan
nama-nama lokal yang akrab di telinga masyarakat awam yang saat itu
masih menganut ajaran Hindu-Budha. Sebagai contoh Raden Paku yang
merupakan putra Syekh Maulana Ishak yang dikemudian hari dikenal sebagai
Sunan Giri,[27] menggunakan nama Prabu Satmata, sebutan yang terasa lebih ramah ditelinga para penduduk pribumi.
Seiring perjalanan waktu,
kaum Sayid ini kian hari kian membengkak memenuhi konstelasi dakwah
Islam melanjutkan estafet tugas dari para pendahulunya. Di masa
kolonial, terlebih sejak munculnya Belanda sebagai elite yang menguasai
peta kekuatan birokrasi dan administrasi Nusantara, setelah sebelumnya
membenamkan pengaruh para raja-raja lokal, peran para Sayid begitu
mengemuka. Terjadi semacam titik balik alih peran, dari yang sebelumnya
mereka sangat dibenci oleh bangsa Barat,[28]
karena dianggap membakar gelora makar melalui ajaran Islamnya, kini
mulai diperhatikan keberadannya. Dari sekian banyak kota-pelabuhan
(emporium) yang terkenal di Nusantara, Jayakarta yang kemudian berganti
nama menjadi Batavia, merupakan primadona Timur yang harum dibicarakan
orang. Bak seorang gadis rupawan, wajahnya begitu anggun didasari atas
pertimbangan ekonomi yang potensial. Tidak salah kiranya, VOC rela
merogoh kocek lebih dalam untuk menyulap Jayakarta menjadi Batavia[29], ibukota Belanda di Hindia Timur.
Sunda Kalapa, merujuk pada
ulasan Uka Tjandrasasmita yang menyitir laporan perjalanan Tome Pires,
mengungkapkan bahwa Kalapa (Sunda Kalapa) adalah emporium penting
kerajaan Sunda yang merupakan muara terkonsolidasinya barang-barang dari
berbagai daerah pedalaman yang dikirim alat transportasi air melalui
sungai yang bermuara pada teluk Jakarta sekarang. Tak ayal, peranan
Ciliwung dan Cisadane dalam kelancaran arus distribusi barang dagangan
amatlah vital. Ciliwung menjadi jalur air yang menghubungkan Bogor
dengan pusat kerajaan Sunda yang lancar dialirkan kembali ke Kalapa.
Sedangkan Cisadane, menghubungkan daerah pedalaman Bogor lalu transit ke
pelabuhan Tangerang dan dilanjutkan pula ke Kalapa. Pun juga peran
Citarum yang mengangkut komoditas dagang dari daerah yang dilaluinnya
lalu diteruskan hingga ke Kalapa. Kondisi geografis Jakarta yang
dilewati oleh sungai-sungai besar, seperti Cisadane, Ciliwung dan Kali
Bekasi, serta adanya cekungan teluk di bibir pantai menjadi faktor
potensial bagi perkembangan dan pemukiman masyarakatnya. Dan hal ini
terjadi berkesinambungan hingga masa kini.[30]
Jejak rekam perjalanan
Batavia tersebut, kiranya cukup untuk bahan pertimbangan para Sayid di
negeri asalnya-termasuk dari Hadramaut- untuk ikut serta dalam arus
besar dakwah Arab-Nusantara.[31] Mereka yang berasal dari Hadramaut, lazim disebut Arab hadrami.
Jika mengkhususkan waktu untuk berlama-lama membuka korpus-korpus
sejarah, maka akan ditemukan nama besar Nuruddin Ar-Raniri, penghulu
ulama sekaligus mufti kerajaan Aceh abad-17, yang menurut Azyumardi Azra
mempunyai darah Arab hadrami.[32]
Kendati telah banyak di antara mereka yang melukis hidup di Nusantara,
umumnya masih dalam hitungan per-individu. Komunitas orang Arab hadrami[33] sendiri,
merujuk pada catatan van den Berg, mulai datang secara massal ke
Nusantara pada awal abad ke-18. Pelabuhan pertama yang mereka singgahi
adalah Aceh. Dari sini mereka mulai pindah ke wilayah lainnya. Palembang
dan Pontianak menjadi dua kota yang disukai oleh orang Arab hadram masa
itu. Seiring perjalanan waktu, mereka pun mulai berdiaspora tak hanya
terpaku pada dua kota ini. mereka mulai menetap di Jawa pada tahun 1870.
B. Kaum Sayid di Batavia
Sebelum menelaah lebih
mendalam sepak terjang kaum Sayid, alangkah lebih baik jika terlebih
dahulu, membaca rentangan profil komunitas Arab hadrami di
Batavia. Rute keberangkatan mereka ke Nusantara dimulai dari pelabuhan
al-Mokalla atau asy-Syihir menuju Bombay. Dari sini mereka melanjutkan
ke Ceylon (Srilanka) lalu ke Aceh diteruskan ke Singapura. Seluruh
perjalanan ditempuh menggunakan kapal layar dalam waktu berbilang bulan.
Agaknya, rute serupa tak berlaku bagi mereka yang beruang. Kelompok ini
lebih memilih berangkat dari Aden langsung ke Singapura menggunakan
kapal uap dari perusahaan pelayaran Eropa.
Van den Berg meyakini, tahun
1844, menjadi tonggak awal diakuinya eksistensi komunitas Arab oleh
pemerintah Belanda, sehingga perlu mendapat perhatian khusus yang
mengharuskan adanya kepala koloni. Sebelumnya, mereka tergabung dalam
koloni-kolonikecil yang bertempat tinggal di lingkungan penduduk
pribumi, terutama di wilayah yang dikenal dengan sebutan Pekojan[34].
Pekojan merupakan tempat
tinggal atau pemukiman Muslim dari negeri-negeri Arab. Sebelumnya,
Pekojan identik dengan orang Koja atau Kojah, yakni orang Muslim
India-Benggal yang bermukim di kota-kota pelabuhan. Sama seperti orang
Arab, kedatangan mereka ke negeri-negeri di bawah angin, termasuk
Nusantara, adalah untuk berdagang.[35]
Lambat laun, kemurnian Pekojan luntur seiring dengan bergabungnya
komunitas Arab yang tinggal seatap dengan mereka. Selain orang Arab, di
Pekojan juga kerap ditemukan beberapa rumah orang Cina walaupun dalam
skala yang lebih kecil.
Rumah-rumah di Pekojan
terbuat laiknya rumah bergaya Eropa yang terdapat di kawasan Batavia Tua
(Kota Tua sekarang). Dari sekian jumlah rumah, demikian van den Berg,
hanya beberapa yang menambahkan sedikit ruang untuk balkon tertutup
sebagai ciri khas kebangsaan pemiliknya. Kendati bangunannya berlanggam
Eropa, hal yang berseberangan justru terlihat dari lingkungannya. Kala
itu, wilayah Pekojan dikenal sebagai daerah kumuh. Agaknya, hal ini
tidak begitu menjadi hal yang dianggap tidak penting bagi orang Arab.
Selain rumah, bangunan lain
yang ditemukan di pemukiman Pekojan, adalah masjid luas yang menjadi
titik pusat ibadah Muslim, di mana seorang imam Arab merangkap jabatan
sebagai kepala sekolah. Dalam bahasa Melayu, masjid dikenal dengan
sebutan langgar. Selain langgar, terdapat pula tempat ibadah yang lebih kecil, disebut dengan nama zawiyah.
Sebagian orang Arab itu
memilih tinggal di kawasan pinggiran Batavia, tepatnya di Krukut dan
Tanah Abang. Namun tak sedikit dari mereka yang memilih tinggal membaur
dengan penduduk pribumi. Di semua daerah itu, mereka mendiami rumah yang
bergaya sama dengan rumah pribumi pada umumnya. Yang membedakan, hanya
status kemakmurannya saja, bagi mereka yang kaya tinggal di rumah
bergaya villa Eropa. Bagi pemuda Arab hadrami yang belum mampu
membeli rumah, dan tidak mendapat tempat singgah di rumah keluarganya,
biasanya mereka memberi rumah dengan cara patungan dengan teman
sejawatnya yang lain. Namun, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,
mereka menggunakan biaya masing-masing.[36]
Di Batavia abad-19,
kebanyakan orang Arab berasal dari seluruh wilayah di Hadramaut, namun
hanya sebagian kecil yang merupakan keturunan Sayid. Awalnya, Batavia
hanya digunakan sebagai tempat tinggal sementara bagi para Arab hadrami dari Singapura yang berkeinginan untuk melanjutkan perjalanan ke kota-kota lain. Namun lapat-lapat, komunitas Arab hadrami Batavia menjelma menjadi komunitas terbesar, tinimbang komunitas hadrami di kota lainnya.[37]
Untuk mengatasi praledakan imigran asal Hadramaut ini, jauh-jauh hari
Pemerintah Belanda mulai memberlakukan pembatasan. Hal ini seperti yang
diberitakan Snouck Hurgonje sebagai berikut:
… Seandainya undang-undang kita
tidak membatasi kebebasan gerak orang Hadramaut itu, imigran mereka ke
Hindia pastilah lebih banyak daripada sekarang.[38]
Van Den Berg sebagai salah
satu orientalis Belanda yang gemar meneliti hal ihwal tentang kaum Sayid
di Nusantara, begitu mendetail memaparkan pernak-pernik hidup mereka.
Ia tidak hanya mengisahkan tentang sejarah dalam artian formal terkait
kapan, siapa, apa, dimana, mengapa dan bagaimana an sich,
tetapi lebih dalam, ia juga menyelami denyut nadi kehidupan sehari-hari
kaum Arab di Batavia. Baginya hal ini merupakan suatu kesempatan emas
yang menjadi “kerja sampingan” semenjak ia menduduki kursi sebagai
penasehat Pemerintah Hindia-Belanda dalam bidang agama di Batavia. Salah
satu prestasinya, ia begitu dalam melakukan observasi tentang sifat
orang Arab di masa itu.
Menurutnya, jarang dijumpai
orang Arab, entah dia kaya ataupun miskin, yang gemar membelanjakan
seluruh pendapatannya. Menabung merupakan tradisi yang dipupuk oleh
generasi ke generasi dan cenderung tenggelam dalam kehidupan yang serba
bersahaja. Yang mengharukan, ketika salah satu di antara mereka ditunjuk
sebagai kepala koloni, tak lantas dipandang sebagai suatu prestise yang
membanggakan. Mereka sangat amat menyayangi keluarganya. Jikalau ada
kelebihan harta, mereka akan menyumbangkannya ke balai-balai sosial,
seperti masjid, sekolah maupun yayasan. Bahkan, ada pula tradisi memberi
uang kepada seorang cendikiawan yang mereka hormati dan juga bagi
golongan lanjut usia. Orang Arab tak malu mengasuh orang tuanya kendati
sudah renta. Sesuatu mutiara kehidupan yang tidak ditemukan dalam
kehidupan OKB (Orang Kaya Baru) Eropa yang kerap menelantarkan orang
tuanya di tanah airnya dalam keadaan papa. Bahkan, ada pula yang tidak
mau mengakui orang tuanya yang berkehidupan miskin.[39]
Kedatangan para pembawa
panji-panji Islam dari perbukitan keras Hadramaut turun ke lembah-lembah
teduh Nusantara membawa sejuta kisah yang terhampar dalam tumpukan
kisah-kisah klasik. Mereka tak hanya “mengislamkan” tetapi juga
membentuk suatu ide kemasyarakatan dari masa ke masa. Lewat zawiyah
mereka merangkai nada-nada Ilahi, lantas dialirkannya ke sungai
peradaban, meliuk-liuk melewati gang-gang kecil pemukiman masyarakat
Betawi lalu mengendap dan membentuk kembali jalin-jemalin Islam di
lokasi yang disinggahinya. Dari sekian banyak bintang-bintang Sayid yang
menebarkan benih-benih pencerahan di Indonesia, terdapat seorang
bintang segala bintang, suatu muara besar dari aliran-aliran besar
syair-syair dakwah para habaib sampai di masa sekarang, beliau adalah
al-Mukarram Sayid Usman bin Yahya, mufti Betawi yang juga harimaunya
para Sayid.
D. Mengenal Sayid Usman bin Yahya
Sayid Usman bin Aqil Yahya al-Alawi dikenal sebagai mufti Betawi dan diangkat oleh Belanda sebagai Honorair adviseur (Penasehat Kehormatan) untuk urusan Arab[40], dan juga sahabat Snouck Hurgronje.[41]
Beliau dilahirkan di Batavia, tepatnya di daerah Pekojan, pada tanggal
17 Rabiul Awal 1238 H/1822 M. ayahnya bernama Abdullah bin Aqil bin Umar
bin Yahya, dilahirkan di Mekkah dari keturunan Hadramaut. Ibunya adalah
Aminah, putri dari Syekh Abdurrahman al-Misri.[42]
Ketika usianya menginjak
tiga tahun, ayah Sayid Usman bertolak kembali ke Mekkah, sehingga ia pun
diasuh oleh kakeknya, Syekh Abdurrahman al-Misri. Sayid Usman
memperoleh pendidikan tidak dalam lembaga pendidikan formal, melainkan
secara pribadi ia belajar dari kakeknya berbagai macam studi agama,
bahasa Arab, dasar-dasar ilmu falak-spesialisasi kakeknya- dan adab
sopan santun. Ketika berumur 18 tahun, sang kakek meninggal, lantas
Sayid Usman memutuskan untuk mengembara ke Mekkah. Di kota itu, selain
menunaikan ibadah haji, ia juga mengagendakan kepergiannya itu untuk
melepas rindu dengan ayahnya dan kerabatanya.[43]
Selain itu, di kota itu Sayid Usman mulai menempa diri dengan mendulang
berbagai khazanah keilmuan selama tujuh tahun. Kebanyakan dari ayahnya
dan Sayid Ahmad Dahlan seorang mufti Syafi’i kondang dan dikenal pula
sebagai sejarawan Mekkah.
Setelah itu, Sayid Usman melanjutkan langkah kelananya ke Hadramaut. Di sini, ia kembali me-recaharge
pengetahuan agamanya dengan berguru ke sejumlah pendekar ilmu di kota
itu, seperti Habib Abdullah bin Husain bin Thahir, Habib Abdullah bin
Umar bin Yahya, Habib Hasan bin Shalih al-Bahar, Habib ‘Alawi bin Segaf
al-Jufrie. Di kota ilmu itu, ia menghabiskan hari-harinya dengan
menelaah berbagai korpus klasik. Atas permintaan salah seorang gurunya,
ia menikah dengan seorang syarifah. Ketika beberapa gurunya
telah meninggal, ia memutuskan untuk melanjutkan tapak kembaranya
kembali ke Mekkah lalu kemudian ke Madinah.
Seperti banyak ulama
terkenal lainnya, Sayid Usman mengkhususkan sebagian dari umurnya untuk
“tapa jalan” dengan merogoh dan menambang perbendaharaan keilmuan di
belahan dunia yang berbeda. Dari Madinah ia pergi ke Dimyat,
Mesir-kampung halaman ibunya-untuk bertemu dengan keluarganya. Dia
bermukim di Mesir selama delapan bulan, sekaligus memanen pelbagai
disiplin ilmu dari ulama ternama di kota itu. Tak lama kemudian,
kakinya kembali berayun membuka daerah-daerah lain yang belum ia
kunjungi seperti ke Tunis, Maroko, Aljazair yang disinggahinya
masing-masing selama lima dan tujuh bulan. Ia sempat mengunjungi
beberapa kota seperti Marakesh dan Fez tempat ia menyemai ilmu-ilmu
eksoterik (zahir) dan esoterik (batin). Selain itu, ia
juga rajin menyambung kawat persaudaraan dengan jejaring ulama di sana,
salah satunya dengan Mufti Tunis. Setelah merasa cukup, Sayid Usman
berlayar ke Istanbul, Turki yang ditinggalinya selama tiga bulan. Di
ibukota dunia Islam itu, ia bertemu dengan mufti dan Syaikh al-Islam,
dan menerima sebuah surat dari Pasya Madinah kemudian ia pergi ke
Palestina, Suriah, dan Hadramaut. Ia kembali ke Batavia melalui
Singapura pada 1279 H/1862 M.[44] Selanjutnya ia mulai membentangkan kristal-kristal keilmuannya yang digunakan untuk memoles kembali kehidupan umat Islam.
Selain menyibukkan diri
dalam perkara-perkara keislaman, Sayid Usman juga merupakan pendakwah
yang ulung. Setidaknya Sayid Usman tidak hanya melakukan dakwah bil lisan tetapi juga bil kitab.
Dakwah jenis pertamanya, banyak dilakukan di Masjid Al-Islam di depan
Rumah Sakit PELNI, tepatnya di belakang POM bensin Petamburan sekarang.
Namun, ketika shalat Jumat, biasanya ia melaksanakannya di Pekojan.
Selain itu, setiap hari Rabu, ia juga membuka pengajian di rumahnya tak
jauh dari masjid tempatnya mengajar itu.[45]
Bak perjalanan arus air dari muara mengalir ke sungai, murid-murid
Sayid Usman banyak pula yang meneruskan estafet keilmuannya. Di antara
mereka yang terkenal adalah Habib Ali al-Habsyi Kwitang, Habib Umar
Purwakarta dan Habib Falakiyyah Bogor. Banyak pula muridnya yang berasal
dari luar Surabaya ada pula yang dari Banjarmasin.
Sayid Usman juga dikenal
sebagai penulis yang prolifik-profetik. Prolifik merupakan suatu
ungkapan khas bagi mereka yang giat menelurkan berbagai buah karya
berbentuk tulisan. Sedangkan profetik, adalah merujuk pada “jalan sunyi”
kenabian. Dengan kata lain, Sayid Usman tidak saja mengangungkan nasab,
melainkan juga teladan Nabi SAW yang diutus ke muka bumi sebagai
pembawa kabar baik (al-Bashir) dan buruk (an-Nadzir).
Sebagai seorang penulis yang sangat lihai menggetarkan jagad keilmuan
Nusantara, Sayid Usman mempunyai dua peran yang prestisius. Pertama,
kedudukannya sebagai mufti, yang diraihnya degan rekomendasi keluasan
ilmu agama yang dimilikinya. Kedua, sebagai guru agama, yang menaburkan
ilmunya baik dengan jalur lisan maupun tulisan kepada umat Muslim
Nusantara. Sematan mufti, memungkikan gerak pemikirannya untuk
mengembara di padang luas ilmu untuk mendapatkan berlembar-lembar
jawaban atas permasalahan yang menggelisahkan ruang publik.[46]
Bagi Sayid Usman, berjuang tak hanya
melalui tindakan atawa orasi keagamaan belaka, yang terpenting adalah
bagaimana mengabadikan keluasan ilmunya dalam deret demi deret kata bagi
generasi masa depan. Selama masa hidupnya beliau telah menulis 144
judul tulisan-terbagi dalam kitab yang tipis-tipis halamannya- dari
pelbagai disiplin ilmu. Kitab tulisan Sayid Usman hingga kini masih
menjamur dipelajari di sela-sela alam modernitas, salah satunya yang
terkenal berjudul Sifat Dua Puluh.
Biasanya, jika ada suatu
polemik keagamaan atau sebuah pertanyaan keagamaan yang sedang mengemuka
di zamannya, Sayid Usman kerap menjawabnya melalui penanya.[47]
Tak ayal, banyak di antara karyanya yang bersifat tematis atau dengan
kata lain menulis sebagai solusi atas masalah itu sendiri. Contohnya,
ketika umat Muslim Nusantara membutuhkan panduan berhaji yang praktis
dan mudah dipahami, Sayid Usman menulis sebuah kitab tuntunan berhaji
dalam bahasa Melayu berjudul Kitab Manasik Haji dan Umrah yang
terbit perdana tahun 1875 dan mangalami cetak ulang di Mekkah 1310/1892.
Boleh dikatakan, kitab ini merupakan “santan” yang diperas dari
kitab-kitab babon yang membahas tentang haji seperti dari Kitab Syarh Fadhailul Muluk karya sayid Yusuf al-Baththah, Kitab Idhah karya Imam Nawawi dan Kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam Ghazali.[48]
Dalam masalah haji lainnya, Sayid Usman juga tercatat namanya dalam
historisitas haji Nusantara sebagai ulama yang mencetuskan karcis
pulang-pergi berhaji. Sayid Usman menyatakan;
“een man dus, die wel hard voor het
geloof zijner vanderen heeft, noemde dit denkbeld der retourbiljet uit
nemend “Patoet Sekali”.[49]
(jadi ia seorang laki-laki yang
memang bersikap penuh dedikasi kepada agamanya, menganggap dan menamakan
retourbiljet itu “Patoet Sekali”)
Selain itu, jangkauan dakwah
dan keilmuan Sayid Usman tak hanya berkutat di Batavia saja, tetapi
juga dibutuhkan untuk memecahkan kebuntuan problematika di daerah
lainnya. Contohnya saat terjadi pertentangan ide ketika polemik salat
Jumat di Masjid Lawang Kidul Palembang, yang oleh Sayid Usman dipandang
“menyalahi” hukum fiqih Syafi’i oleh karena terlebih dahulu sudah ada
masjid yang dijadikan lokasi salat jumat yakni Masjid Agung Palembang.
Masalah ini juga dijawabnya melalui sebuah tulisan berjudul Khulasah al-Qaul al-Sadid fil Man ihdats Ta’addud al-Jum’at fi al-Masjid al-Jadid. Saat polemik itu terjadi, Sayid Usman memberikan berbagai pertimbangan kepada kantor Algemeene Secretarie di Bogor sehubungan dengan masalah ini. Dalam suratnya itu antara lain dikelaskan;
… menurut mazhab Syafi’i … bahwa di
dalam satu jama’ah hanya boleh diadakan salat Jumat di satu tempat saja.
Bilamana peraturan ini dilanggar, maka kedua salat Jumat yang diadakan
itu menjadi tidak sah. Maka, pengadaan salat Jumat kedua di samping yang
sudah ada, dalam hal seperti itu bukan dianggap sebagai pelanggaran
yang berat di pihak mereka yang ikut serta di dalamnya, melainkan juga
menghalangi para jamaah lainnya dalam melaksanakan ibadah mereka …
hendaknya dipahami sebagai satu jamaah, … dalam kitab-kitab fiqih …
diuraikan beberapa lebar seharusnya sebuah lapangan, agar dapat membagi
menjadi dua jamaah … tidak dapat disangsikan bahwa jamaah masjid baru di
Palembang (masjid Lawang Kidul) merupakan satu jamaah dengan kampung masjid yang lama.[50]
Selanjutnya, kitab yang beraroma problem-oriented lainnya adalah Kitab al-Qawanin asy-syar’iyyah li ahl al-majlis al-hukmiyyah wa al-ifta’iyyah yang berarti “Ini kitab segala aturan hukum syara bagi ahli majlis syara dan majlis fatwa syara yaitu yang disebut rad agama,
terbit pada 1881 M. Kitab ini berisi pedoman dan tuntunan praktis bagi
para hakim dan penghulu di daerah ketika menjalakan perannya di tengah
masyarakat. Mereka tergabung dalam suatu dewan agama yang disebut Dewan
Ulama. Konon, menurut penuturan Snouck, kitab ini termasuk dalam
kategori best-seller, karena ketika terbit pertama kalinya,
kitab ini habis terjual. Untuk memenuhi pangsa pasar yang semakin
membludak, kitab ini dikemudian hari diperbaiki dan dicetak ulang dalam
jumlah besar.
Latar belakang lahirnya
kitab ini, adalah karena banyaknya rekues akan pertolongan dari para
penghulu, para anggota dewan ulama di Jawa yang banyak mengalami
kesulitan dalam memutuskan sesuatu perkara sesuai dengan asas keadilan
berbasiskan hukum keagamaan. Problem bahasa juga diperhataikan oleh
Sayid Usman, supaya mudah untuk dimengeri para pembacanya. Untuk itu,
Kitab Qawanin sengaja didesain menggunakan bahasa Melayu dan
ditata sedemikian praktisnya untuk memanjakan para dewan ulama dalam
optimalisasi pengambilan keputusan hukum.[51]
Konon, beliau menerbitkan
butiran-butiran ide progresifnya melalui mesin lithografi kecil-di zaman
itu dikenal dengan nama mesin batu- miliknya.[52]
Kemudahan menerbitkan kitab-kitabnya juga berkaitan erat dengan
kedekatannya dengan Belanda. Selain itu, tak banyak orang mengetahui,
Sayid Usman juga merupakan seorang geografer (ahli ilmu bumi). Hal ini
diakui oleh Snouck Hurgronje dalam tulisannya yang mengatakan:
Sayid Usman ibn Yahya al-Alawi yang
menjadi terkenal di beberapa kalangan Barat karena penerbitan peta
buminya, yang memuat sebuah peta besar dari tanah airnya, Hadramaut.
Maksud utama penerbitan itu ialah memperluas pengertian yang lebih baik
tentang keanehan , adat istiadat dan pekerjaan penduduk Arab Selatan,
yang telah mengirimkan kelebihan penduduknya ke negeri-negeri Islam
lainnya sejak berabad-abad lampau.[53]
Salah satu kitab yang banyak mengulas tentang beragam pernak-pernik problematika agama, adalah kitab Adabul Insan
yang ditulis menggunakan aksara Melayu-Jawi, pada pasal 27, yang
merupakan pasal terakhir tentang saudagar kikir nan tamak yang karena
kekikirannya menyebabkan ia jatuh miskin tak terperikan keadaannya.
Sayid Usman berwasiat:
Maka, Ingatlah, wahai sekalian
saudara, janganlah takabur membesarkan diri atas dha’if miskin. Maka
tiada diketahui akan hal ihwal manusia di belakang kalinya.[54]
Kini, nyatalah, betapa Sayid Usman mendedikasikan dirinya sebagai Cultural Broker
yang menjembatani problematika umat dengan selancar ide-ide
keagamaannya yang senantiasa tajam, segar tapi juga bernas. Hal inilah
esensi dari dakwa sesungguhnya, yakni sebagai komitmen menghadirkan
suatu pembaruan yang beresensikan ajaran Islam dengan mengganti hal-hal
yang lawas dengan yang baru lagi baik, dan senantiasa menjaga warisan
ulama terdahulu (al-muhafadzah ala qadimi ash-shalih wa al-akhdzu bi al-jadiid al-ashlah).
Boleh dikatakan, abad 19
merupakan masa berbunganya pengajaran Islam di tanah Nusantara. Tidak
hanya kalangan Sayid, para pendakwah pribumi juga mulai bertaburan dan
berkecambah menghiasi persada bilik-bilik Islam di Nusantara, tak
terkecuali di Betawi. Pada akhir abad 19, hubungan kawat akademik Timur
Tengah-Betawi sedang “menyemesta”. Kaum Sayid di tanah rantau Batavia
bahu membahu dengan pendakwah lokal untuk membangun suatu ruang lingkup
keislaman yang lebih tertata dan merata. Di era ini Betawi disesakkan
dengan nama-nama besar seperti Guru Halid di Gondangdia, Guru Mughni
Kuningan, Guru Manshur Jembatan Lima, Guru Marzuki Jatinegara, Guru
Mahmud Menteng dan Guru Madjid Pekojan. Mereka adalah alumni-alumni
majlis taklim yang sebelumnya telah laris berdiri di tanah Betawi. Galur
keilmuan mereka bersambung langsung degan Haramain, pelabuhan ilmu yang
sempat diakrabinya pasca menempa ilmu di Betawi.[55]
Kelihaian strategi dakwah
para Sayid, menjadi tengara mudahnya Islam bersua dan berpadu dengan
denyut hidup masyarakat praJakarta. Malahan, kehadiran mereka
dianalogikan sebagai butiran salju yang menyegarkan dan memberikan
sentuhan estetik di ranah dakwah Nusantara. Pendek kata, dakwah mereka
berhasil diterima dan dipeluk oleh masyarakat pribumi. Mereka tak segan
bertukar pikiran dan bersahabat dengan ulama Betawi. Tak ayal, kekhasan
inilah yang menjadikan mutiara-mutiara keilmuan yang mereka siarkan tak
lantas kaku dan berjarak, melainkan begitu merasuk dan mengendap di alam
bawah sadar murid-muridnya, oleh karena berhasil “menaklukan” dan
“menggauli” belantara peradaban Nusantara, khususnya Betawi, yang sama
sekali berbeda dengan bentara tradisi Hadramaut.[56]
Meskipun dikenal sebagai
seorang alim yang berilmu tinggi, Sayid Usman juga tersohor karena
kontroversinya. Kontroversi-kontroversinya inilah yang menyebabkan
dirinya begitu dihargai oleh Belanda sebagai suatu sikap akomodatif.
Salah satu kontroversi yang menarik, adalah penolakannya dengan paham
tarekat di Nusantara yang saat itu sedang menggeliat. Menurutnya,
Nusantara agaknya belum siap untuk bertarekat. Merujuk pada buah
karyanya an-Nasihah al-Aniqah li al-Mutalabbisin bi al-Thariqah (Nasihat yang Elok kepada Orang-Orang yang Masuk Tarekat)
hal ini dikarenakan seorang yang hendak bertarekat hendaknya menguasai
tiga cabang ilmu Islam yakni ilmu tauhid, fiqih dan ilmu sifat hati
(tasawuf) secara holistik.
Kenyataan yang terhampar di
bumi Nusantara adalah sebaliknya. Persyaratan tersebut, demikian Sayid
Usman, sangatlah berat dipenuhi oleh Muslim di Arab, apalagi Muslim Jawa
yang masih bergelimang dalam ajaran-ajaran “menyimpang” dari korpus
utama hukum Islam yakni al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. Sayid
Usman menyebut golongan ini sebagai ghurur atau kesalahan dalam
memahami ajaran Islam. Akibatnya, bergabungnya mereka dalam
persaudaraan tarekat dipandangnya tidak absah dan cenderung berdosa.
Tak ayal, Sayid Usman mendapat kecaman dari para ulama pendukung tarekat
di Nusantara, yang menuduhnya sebagai upaya silat lidah untuk meraih
simpati pemerintah Belanda.
Fatwanya itu didukung
sepenuhnya oleh Snouck Hurgronje, yang mengatakan tarekat merupakan
biang keladi dari pemberontakan melawan pemerintah. Para syekh tarekat
hanyalah oknum yang kerap meyakinkan para pengikutnya untuk mengikuti
semua perintahnya. Tak jarang, para murid tarekat disuguhi oleh
propaganda-propaganda untuk melawan pemerintah. Kasus yang sama pernah
terjadi ketika pemerintah Perancis disibukkan oleh perlawanan para
pengikut tarekat Sanusi. Lebih jelasnya, Snouck mengatakan:
… Para syekh sudah tergila-gila uang
dan kekuasaan, lebih suka menerima hadiah-hadiah yang mahal dari para
murid mereka, dan juga organisasi yang besar (tarekat) dan patuh pada
perintah, yang dapat dipergunakan sebagai alat agar para penguasa dalam
pemerintahan. Oleh karena itu, mereka mengangkat sebagai para wakil
mereka di berbagai kota atau negeri, orang-orang yang dianggapnya tepat
untuk membantu menjaga kepentingan mereka; para wakil (khalifah) pada
gilirannya menerima sebagai anggota organisasi, orang-orang yang karena
kebodohan atau suka menderma karena sifat lainnya, dapat dijadikan alat
untuk mengisi kocek guru-guru gaib mereka serta mempertinggi kedudukan
mereka di dunia.[57]
Secara pribadi, Snouck pernah menanyakan mengapa Sayid Usman menyanggah orang-orang yang rajin mengucapkan kalimah thayyibah
dan zikir kepada Allah (kaum tarekat). Dengan meyakinkan Sayid Usman
menjawab bahwa sebenarnya ia bukannya menolak kegiatan tersebut. Tetapi
yang ia hujani kritik tajam adalah janganlah mempelajari tata cara
berzikir dari syekh yang tidak benar.[58]
Kemelut konflik ini membawa Sayid Usman dalam perang urat syaraf dengan
Syekh Ismail Minangkabau yang dipandang mengadakan “paksaan” bagi
penduduk untuk memasuki tarekat Naqshabandiyah yang dipimpinnya.[59] Sejalan dengan ulasan ini, Azra menambahkan pandangan perilaku sufi saat itu dari Sayid Usman merujuk pada Buku Kecil halaman 6-8 adalah;
… He alleges that many sufi shaykh
are nowdays more concerned with wealth and social status than with
genuine piety. They do not realy commit themselves to Islam but to
worldly sastus and enjoyment. They are “false” sufi shaykhs who exploits their followers for their own interest, claiming to be or regarded by certain people as able to do “keramat” things. Because of their ignorance many Muslims believe and pay respect to such false teachers.[60]
( … habib Usman menyatakan bahwa
banyak dari syekh sufi di masa itu yang lebih mementingkan kekayaan
pribadi dan status sosial tinimbang kesalehan yang murni. Mereka adalah
sufi palsu yang mengekploitasi muridnya demi kepentingannya sendiri dan
mengklaim diri arau dianggap oleh orang tertentu mampu melakukan
berbagai hal “keramat”. Karena keacuhan mereka sendiri banyak orang yang
percaya dan menghormati para guru menyimpang itu).
Selanjutnya, ada pula
berbagai pandangan kontroversi dari Habib Usman lainnya, salah satunya
adalah larangan berjihad. Secara eksplisit, Sayid Usman menyebut jihad
yang dilakukan di Banten pada tahun 1888 merupakan kesalahpahaman (ghurur) atas ajaran Islam yang sebenarnya; makna sesungguhnya dari jihad telah disalahartikan oleh mereka yang disebutnya orang-orang yang jahil
pada bab jihad. Akibatnya, fanatisme berjihad mereka dilegitimasikan
sepihak menjadi perang suci. Aksi-aksi “kepahlawanan” mereka, menurut
Sayid Usman, bukanlah jihad, melainkan hanya gangguan dan kekisruhan
dalam suasana yang damai. Penjelasan ini termaktub dalam buah tangan
Sayid Usman berjudul Minhaj al-Istiqamah fi al-Din bi al-Salamah, terbit pada tahun 1307 H/1889-1890 M.[61]
Selain concern
dalam bidang keagamaan, Sayid Usman juga merupakan ulama yang atraktif
dalam kancah perpolitikan kaum pribumi, kendati dalam skala yang kecil.
Hal ini terlihat jelas dalam upayanya mendukung perjuangan Syarikat
Islam (SI), yang merupakan suatu wadah gerakan protonasionalis Islam
pertama di Indonesia yang berdiri pada tahun 1911. Kendati berada dalam
barisan pemerintah kolonial, tak lantas membuat tumpul ide pergerakan
Sayid Usman. SI, yang kala itu menjadi kekuatan oposisi dari Belanda,
dibelanya dengan gigih. Sayid Usman menulis sedikitnya dua karya yang
secara khusus ditujukan sebagai pledoi SI: Sinar Isterlam pada Menyatakan Kebenaran Syarekat Islam (16 hh), dan Selampai tersulam pada menyatakan Kebajikan Syarekat Islam (8 hh.). Organisasi ini dipandang Sayid Usman sebagai wahana umat Muslim untuk saling membantu (ta’awun) juga sebagai sarana untuk mempererat silaturahim.[62]
Dua pandangan inilah
(anti-tarekat dan anti-jihad) yang kerap dijadikan bumerang untuk
menuduh Sayid Usman sebagai antek-antek Belanda. Beberapa penulis
sejarah hidup Sayid Usman, yakni seperti Snouck Hurgronje, L.W.C. van
den Berg, Karel A. Steenbrink dan Azyumardi Azra, belum dapat
mengungkapkan secara gamblang, sebenarnya apa motif fatwa-fatwa yang
menurut kaum pejuang tanah air dipandang sebagai “salah-kaprah” ini.
Terutama pandangan Azyumardi Azra yang mengungkapkan bahwa harus
dilakukan penelitian yang benar-benar “lengkap” terkait sepak terjang
Sayid Usman.[63]
Atas “kesadaran
partisipatoris” Sayid Usman terhadap kelangsungan upaya menyatukan
pemikiran umat Islam dalam memahami nilai-nilai keislaman yang
berkembang di tengah-tengah kolonialisme Belanda di Nusantara. Maka
Belanda begitu mengagungkan sosok ulama Arab Betawi ini. Snouck sangat
memuji sikap dan pendirian Sayid Usman yang begitu tangguh berfatwa
disertai gelaran-gelaran rujukan klasik nan otoritatif dalam
mempertahankan fatwa-fatwanya. Kendati menduduki posisi yang tinggi di
jajaran birokrat Belanda, Snouck kerap menjadikan Sayid Usman sebagai
rujukan ketika akan menelurkan suatu kebijakan. Dalam percakapanya,
Snouck menggunakan bahasa Arab sebagai bentuk penghormatang kepada Sayid
Usman. Dalam suatu kesempatan Snouck mengungkapkan:
… Usman memiliki keberanian
berdasarkan keyakinannya, dan tidak akan menghentikan perjuangan. …
Justru karena itu ulama kita dari Hadramaut ini juga berhak atas terima
kasih dan simpati dari mereka, yang bersikap jujur terhadap Hindia
Belanda, dan terutama dari pemerintah sendiri. … bahwa orang Arab
seperti Usman bin Yahya adalah lebih berharga daripada sejumlah bupati
yang “ berpandangan bebas”[64]
Berikut juga merupakan
kekaguman Snouck atas kejembaran hati Sayid Usman “menerima” penjajahan
dalam upaya untuk “memberadabkan” masyarakat pribumi, yakni sebagai
berikut:
Pengetahuannya tentang dunia telah
membuatnya dapat menerima adanya penjajahan bangsa-bangsa bukan Islam
atas negeri seperti Jawa sebagai suatu “keharusan”; juga dalam hal ini
dia, sebagaimana terlebih dulu sudah kita perhatikan, berpendirian tetap
menurut teori.[65]
Kesimpulan
Perjalanan hidup Sayid Usman bin Yahya
kerap diselubungi oleh berbagai kontroversi. Buah pemikirannya yang
menganggap ahli tarekat sebagai sekumpulan orang yang salah dalam
beragama dan ketidaksetujuannya dengan konsep jihad melawan pemerintah
Hindia-Belanda adalah dua diantara berbagai hal yang mendiskreditkan
Sayid Usman yang ditengarai sebagai mata-mata, maupun orang yang
berpihak kepada Belanda.
Namun, hal yang perlu diperhatikan
adalah perlu diadakan penelitian yang lebih intens dan kontinyu untuk
mebongkar jejak hidup Mufti Betawi ini. Para ahli sejarah pun “dibuat
pusing” oleh kisahnya yang serba abu-abu itu. terlepas dari berbagai
kontroversi yang meliputinya, Sayid Usman merupakan sosok pendakwah
Islam yang sangat berpengaruh di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Buah pikirannya yang dicetak dari mesin litrografi sederhana miliknya,
kerap dijadikan rujukan oleh para kaum Sayid belakangan juga para
masyarakat umum. Boleh dikatakan, Sayid Usman merupakan salah satu
pelopor dakwah yang sukses menanamkan benih-benih keislaman di tanah
Betawi dan Nusantara.
Daftar Pustaka
Sumber Primer
al-Alawy, Usman bin Abdullah bin Yahya bin Aqil, Khulasah al-Qaul al-Sadid fil Man’I Ahadits Ta’addud al-Jum’at fi al-Masjid al-Jadid (Betawi, 1316 H).
Arsip Nasional RI, Agenda 18139/1895,
saran Snouck Hurgronje ditujukan kepada Gubernur Jendral di Bogor,
tertanggal Betawi 20 Oktober 1893;
______________, Besluit Gubernur Jenderal I Juni 1891 no.6.
______________, Surat dari Direktur Onderwijs Eeredients Nijverheid (Pendidikan Agama dan Kerajinan )Kepada Gubernur Jenderal 19 Juli 1890 no. 6955.
Hurgronje, C. Snouck, Verspreide
Geschriften van C. Snouck Hurgronje, (Bonn dan Leipzig: Kurt Schroeder,
1924), diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Kumpulan
Karangan Snouck Hurgronje (Jakarta: INIS, 1993), jilid VII.
_________________, Verspreide
Geschriften van C. Snouck Hurgronje, (Bonn dan Leipzig: Kurt Schroeder,
1924), diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Kumpulan
Karangan Snouck Hurgronje (Jakarta: INIS, 1993), jilid IX.
Regeering Almenak tahun 1851 – 1879
Staadblad Nomor 48
Sulendraningrat, P. S., Babad Tanah Sunda dan Babad Cirebon ( Cirebon, 1984).
Sumber Sekunder
al-Attas, Naquib, Preliminory Statement of General Teory of the Islamization of the Malay-Indinesia Archipelago (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1969).
______________, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1990).
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama (Jakarta: Kencana, 2007).
______________, Islam Nusantara (Bandung, Mizan, 2002).
______________ (Ed), Perspektif Islam di Asia Tenggara (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia).
Hakim, Sudarnoto Abdul (Ed), Islam dam Konstruksi Ilmu Peradaban dan Humaniora (Tangerang: UIN Jakarta Press, 2003).
Hasymi, A., Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Bandung: Ma’arif, 1993).
Huda, Noor, Islam Nusantara, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007).
Lapidus, Ira M, History of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge University Press, 1988).
____________, Sejarah Sosial Umat Islam, Jilid I (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000).
Legge, J.D, Indonesia (Englewood Cliffs, NY:Prentice Hall, 1965).
Madjid, M. Dien, Berhaji di Masa Kolonial (Jakarta: CV Sejahtera, 2008).
_____________, “Menelusuri Sejarah
Melalui Arsip: Kontroversi Shalat Jumat di Masjid Lawang Kidul
Palembang”, dalam Sudarnoto Abdul Hakim (ed), Islam dam Konstruksi Ilmu Peradaban dan Humaniora (Tangerang: UIN Jakarta Press, 2003)
_____________, Peran Ulama Betawi: Studi Transmisi Keilmuan Islam Abad XX di Jakarta (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011).
______________, Mesjid di mata Kolonial, ( Laporan Penelitian Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2001 )
_________________, “Jaringan Perdagangan
Masa Kerajaan Islam Indonesia (Suatu Kajian Sosial Ekonomi)”, dalam
Sudarnoto Abdul Hakim (ed), Islam dam Konstruksi Ilmu Peradaban dan Humaniora (Tangerang: UIN Jakarta Press, 2003)
Mauladdawilah, Tiga serangkai Ulama Tanah Betawi ( Malang: Pustaka Basma, 2009).
Reid , Anthony, Asia Tenggara Kurun Niaga Jilid I (Jakarya: Yayasan Obor Indonesia, 2011).
Steenbrink, Karel A., Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1984).
Sunyoto, Agus, Walisongo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan (Tangerang: Transpustaka, 2011).
Tjandrasasmirta, Uka, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: KPG, 2009).
_________________, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim Di Indonesia (Kudus: Penerbit Menara Kudus, 2000).
Van den Berg, L.W.C., Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara (Jakarta: INIS, 1989).
_________________, Orang Arab di Nusantara (Depok, Komunitas Bambu, 2010).
Vlekke, Bernard H. M., Nusantara (Jakarta: KPG, 2008).
Wolters,O.W, Kemaharajaan Maritim Sriwijaya di Perniagaan Dunia Abad III-Abad VII (Depok: Komunitas Bambu, 2011).
Zainuddin, H. M, Tarich Atjeh Jilid I ( Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961).
Terbitan Berkala
Alkisah No.5/15-28 September 2003.
Alkisah No. 24/20 November- 3 Desember 2006.
Drewes, “New Light of Coming of Islam to Indonesia”, BKI (Bijdragen tot de Taal, Land-en Volkenkunde), 124, (1968)
Azyumardi Azra, “Hadrami Scholars in The Malay-Indonesian Diaspora: A Preliminary Study of Sayyid Uthman, Studia Islamika Vol. 2, No. 2, 1992
[1]
Makalah disampaikan dalam acara seminar tentang “Islam di Betawi Abad
19-20, Jaring Ulama dan peranannya” dilaksanakan pada tanggal 9 Juni
2012, diselenggarakan oleh Rabithah Alawiyah, bertempat di gedung
Rabithah Alawiyah Lantai IV, Jakarta Selatan
[2] Guru Besar Sejarah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
[3] Lihat Regeering Almenak tahun 1871 dan 1879
[4] Dalam Staadblad nomor 48,
bahwa orang Arab diperkenankan untuk berdagang dan berlayar ke
pelabuhan-pelabuhan di Nusantara, seperti ke Semarang, Surabaya, Riau,
Bintan, Palembang, Bengkulu, Banjarmasin, Pontianak, Makasar, Kupang dan
lain-lain.
[5] Bernard H. M. Vlekke, Nusantara (Jakarta: KPG, 2008) h. 18-19.
[6] Anthony Reid, Asia Tenggara Kurun Niaga Jilid I (Jakarya: Yayasan Obor Indonesia, 2011) h. 110-112.
[7] M. Dien Madjid, “Jaringan Perdagangan Masa Kerajaan Islam Indonesia (Suatu Kajian Sosial Ekonomi)”, Islam dam Konstruksi Ilmu Peradaban dan Humaniora (Tangerang: UIN Jakarta Press, 2003) h. 210.
[8] Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim Di Indonesia (Kudus: Penerbit Menara Kudus, 2000) h. 15.
[9]
Menurut O.W. Wolters, Sriwijaya berkontribusi penting eksistensi
perdagangan Asia pada abad pertengahan, selama lebih dari 500 tahun.
Pendapat ini dapat dijadikan pijakan betapa Sriwijaya menjadi penjaga
gawang kelancaran alur perdagangan di Asia Tenggara. O.W. Wolters, Kemaharajaan Maritim Sriwijaya di Perniagaan Dunia Abad III-Abad VII (Depok: Komunitas Bambu, 2011) h. 1.
[10] Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan …, h. 19.
[11]
Ada riwayat menarik mengenai revolusi nama Samudera. Orang Portugis
menyebut “Samudera” dengan “Sumatera”, maka dikemudian hari, menjadi
nama seluruh pulau tersebut, Pulau Sumatera, HM Zainuddin, Tarich Atjeh Jilid I ( Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961) h. 116.
[12]
Lambat laun, setelah menemukan pijakannya, kerajaan ini tumbuh menjadi
kerajaan yang kuat setelah mengukuhkan posisinya di tengah masyarakat. Thus,
kerajaan ini juga menjadi katalisator penyebaran Islam ke daerah-daerah
sekirtarnya seperti Aceh, Malaka dan Pidie. Boleh dikatakan pondasi
penguatan Islam di Aceh mulai diinisiasi oleh kerajaan ini. Di kemudian
hari, tepatnya di abad ke-13 kerajaan ini menjelma menjadi pusat
perdagangan internasional dengan lada sebagai komoditas unggulannya.
Noor Huda, Islam Nusantara, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007) h. 64.
[13] Azyumardi Azra, (Ed), Perspektif Islam di Asia Tenggara (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia) h. xii-xiii.
[14] Naquib al-Attas, Preliminory Statement of General Teory of the Islamization of the Malay-Indinesia Archipelago (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1969), h. 25, dan Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1990) h. 29-54.
[15] A. Hasymi, Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Bandung: Ma’arif, 1993) h. 5-19.
[16] Drewes, “New Light of Coming of Islam to Indonesia”, BKI , deel 124, (1968), h. 444-445.
[17] A. Hasymi, Op Cit, h. 25.
[18] Ibid. h. 25.
[19]
Azyumardi Azra menyebutkan, para pendukung teori batu nisan seperti
Kern, Windstedt, Bougnet, Vlekke, Gonde, Shrike dan Hall. (Ed),
Azyumardi Azra, Perspektif Islam …, h. xii-xiii.
[20] Ibid, h. 38.
[21] Ira M. Lapidus, History of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge University Press, 1988) h. 469, dan lihat pula Ira M. lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Jilid I (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000) h. 720-721.
[22] J.D. Legge, Indonesia (Englewood Cliffs, NY:Prentice Hall, 1965) h. 52.
[23] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama (Jakarta: Kencana, 2007), h. 57.
[24] Agus Sunyoto, Walisongo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan (Tangerang: Transpustaka, 2011) h. 37-40.
[25] L.W. C. van den Berg, Orang Arab di Nusantara (Depok, Komunitas Bambu, 2010) h. 95.
[26] Agus Sunyoto, Walisongo…, h. 23.
[27] Berikut silsilah Sunan Giri yang merujuk pada ulasan Sulendraningrat dari Babad Cirebon dan Babad Tanah Sunda, yaitu;
Sunan Giri bin Maulana Ishak bin Ali Musada bin Ibrahim Jaenal Akbar bin Jamaluddin al Husein bin Al Amir Ahmad Syekh Jalaludin bin Abdullah Khan Nudin (Amir) bin Abdul Malik bin Alwi Amir Faqih bin Muhammad bin Ali al Gazan bin Alwi bin Muhammad bin Ubaidillah bin Ahmad al Muhajir bin Isa al Basri (al Bakir) bin Muhammad bin Kasim al Kamil (al Uraid) bin Jafar Sadiq bin Muhammad al Bakir bin Jaenal Abidin bin Husain Assabti bin Ali bin Abi Thalib menikah dengan Siti Fatimah binti Nabi Muhammad SAW, lebih lanjut lihat P. S. Sulendraningrat, Babad Tanah Sunda dan Babad Cirebon ( Cirebon, 1984) .h. 99.
Sunan Giri bin Maulana Ishak bin Ali Musada bin Ibrahim Jaenal Akbar bin Jamaluddin al Husein bin Al Amir Ahmad Syekh Jalaludin bin Abdullah Khan Nudin (Amir) bin Abdul Malik bin Alwi Amir Faqih bin Muhammad bin Ali al Gazan bin Alwi bin Muhammad bin Ubaidillah bin Ahmad al Muhajir bin Isa al Basri (al Bakir) bin Muhammad bin Kasim al Kamil (al Uraid) bin Jafar Sadiq bin Muhammad al Bakir bin Jaenal Abidin bin Husain Assabti bin Ali bin Abi Thalib menikah dengan Siti Fatimah binti Nabi Muhammad SAW, lebih lanjut lihat P. S. Sulendraningrat, Babad Tanah Sunda dan Babad Cirebon ( Cirebon, 1984) .h. 99.
[28] Karel A. Steenbrink menyebut golongan sebagai agen yang mendorong pemberontakan. Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1984) h. 128.
[29]
Sunda Kalapa merupakan nama yang dikenal pada saat Kerajaan
Sunda-Pajajaran berkuasa yakni pada awal abad ke-16. Selajutnya,
berganti nama menjadi Jayakarta terhitung sejak kota itu dikuasai oleh
Fadhilah Khan atau Faletehan setelah mengusir bandar tersebut dari
cengkeraman bangsa Portugis pimpinan Francisco de Sa pada tanggal 21
Agustus 1522. Kedatangan Jan Pieterszoon Coen yang menyerang dan
manaklukan kota ini pada tanggal 30 Mei 1619, ikut pula membawa pengaruh
dengan mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia. Lebih lanjut baca Uka
Tjandrasasmita, “Sejarah Jakarta ditinjau dari Perspektif Arkeologi”, Arkeologi Islam Nusantara (Jakarta: KPG, 2011) h. 150-153.
[30] Uka Tjandrasasmirta, “Masyarakat Jakarta sebelum Batavia”, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: KPG, 2009) .h. 134 dan 139.
[31]
Golongan Sayid di Hadramaut adalalah wakil dari golongan agamawan dan
para ahli hukum. Sebagian dari mereka dianggap sufi keramat atau juga
dianggap wali (saint). Beberapa dari para mereka
dianggap mempunyai kekuatan batin yang tinggi sehingga membuatnya
memiliki keutamaan mata hati yang awas (al-Kasyf). Satu di antara mereka yang dikenal al-Kasyf, adalah Sayid Muhsin bin Salim bin Syaikh Abu Bakar dari Inat (Shahibul Inat)
yang doanya langsung diijabah oleh Tuhan. Golongan tidak berindustri
dan tidak pula berdagang, namun mereka mempunyai reputasi yang
diagungkan di tengah masyarakat Hadramaut sampai sekarang. Lebih lanjut
baca L.W.C. van den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara (Jakarta: INIS, 1989) h. 61-62.
[32]Ayah ar-Raniri seorang imigran asal Hadramaut di Ranir, India, sedangkan ibunya adalah seorang Melayu. Azyumardi Azra, Islam Nusantara (Bandung, Mizan, 2002) h. 135.
[33] Istilah Arab hadrami merujuk
pada komunitas Arab yang berasal dari Hadramaut, Yaman. Van Den Berg
mengungkapkan, yang dikatakan Hadramaut, adalah daerah yang terbentang
dari Aden sampai tanjung Ras al-Hadd. Sedangkan orang Arab Modern
biasanya menyebut Hadramaut terletak di wilayah kecil Arab bagian
selatan. Ibid, h. 7.
[34] Orang arab saat itu digolongkan oleh belanda dalam kelompok Vreemde Oosterlingen
[35] Pedagang Benggala menjajakan barang dagangan berupa beras, gandum, minyak , mentega, gula, lak, lambaya (semacam kain), pakaian sutra, sapu tangan (orromal), kain kasar dan halus dan budak. Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan…, h.147.
[36] L.W.C. van den Berg, Hadramaut dan koloni Arab …, h. 80.
[37] Ibid, h. 71-73.
[38] C. Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje vol. IX( Jakarta: INIS, 1993) h. 100.
[39] Ibid, h. 81-81.
[40] Sesekali juga mengurusi masalah pribumi dan Islam. Azyumardi Azra, Islam Nusantara … h. 142.
[41]
C.Snouck Hurgronje, yang berada di Indonesia mulai tahun 1889 hingga
1906, bekerja sebagai staf ahli pemerintah Belanda bidang agama dan
politik Islam. Dalam menjalankan tugasnya. Hurgronje dibantu oleh
instansi terkait yang menyokong ide-idenya yang dikenal dengan Het Kantoor voor Islamistische en Arabische Zaken, yang merupakan sayap dari advisieur (Badan Penasehat). Salah satu tugas yang dijalankan oleh adviseur, sesuai dengan instruksi pemerintah tahun 1931, adalah memprioritaskan perhatian naik haji ke Mekkah, lihat Noor Huda, Islam Nusantara (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007) h. 101-102.
[42] Azra menyebutnya bukan dengan Syekh, melainkan dengan sebutan Sayid. Merujuk pada gelar (laqab)-nya,
ia bukanlah berasal dari Hadramaut, melainkan dari Mesir. Syekh
Abdurrahman pertama kali datang ke Palembang dan Padang untuk berdagang.
Selanjtnya, ia hijrah ke Batavia tepatnya di daerah Petamburan. Di
tempat ini, ia membeli sebidang tanah, yang lantas dibangun masjid
diatasnya. Di Petamburan, Syekh Abdurrahman mengundurkan diri dari dunia
niaga, dan mendedikasikan sisa hidupnya untuk memintal pengajaran Islam
kepada penduduk setempat. Ia merupakan sosok yang ahli dalam bidang
astronomi (ilmu falak) dan astrologi. Kelebihanya itu pernah
dipresentasikan ketika mengoreksi arah kiblat beberapa masjid di
Palembang. Keberadaannya begitu dihormati oleh pemerintah Batavia. Ia
menghembuskan nafas dan di makamkan di halaman masjid yang ia bangun. Ibid. h.142-143
[43] Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek…, h. 135.
[44] Azyumardi Azra, Islam Nusantara … h. 143-144
[45]
Di masa kolonial, pada umumnya ulama Betawi mengadakan pengajaran agama
Islam dan membina mayarakat di masjid-masjid. Tradisi ini terus
menjalar ketika orang-orang Arab hadrami membentangkan geliat
dakwahnya. Kendati belakangan tempat pengajarannya beralih nama menjadi
majelis taklim, namun pada hakikatnya tempatnya tetap saja di masjid
atau rumah sang guru. Majelis taklim merupakan wajah baru dari bentuk
institusi pendidikan di masjid dan rumah guru. M. Dien Madjid, Masjid di Mata Kolonial Belanda, Laporan Penelitian (Jakarta: Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001)
[46] Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje vol. VIII( Jakarta: INIS, 1993) h. 36
[47]
Azyumardi Azra mendukung pendapat ini, ia mengatakan Sayid Usman
mencatat beberapa polemik di dalam tulisannya yang dialirkan untuk
menjawab atau membantah masalah-masalah tertentu yang tidak ia setujui. Ibid h. 149
[48] M. Dien Madjid, Berhaji di Masa Kolonial (Jakarta: CV Sejahtera, 2008) h. 16-17.
[49] Surat dari Direktur Onderwijs Eeredients Nijverheid (Pendidikan Agama dan Kerajinan)Kepada Gubernur Jenderal 19 Juli 1890 no. 6955. Arsip Nasional RI, Besluit Gubernur Jenderal I Juni 1891 no.6. lihat juga Ibid h. 78.
[50]
ANRI: Agenda 18139/1895, saran C. Snouck Hurgronje ditujukan kepada
Gubernur Jendral di Bogor, tertanggal Betawi 20 Oktober 1893; lihat pula
dalam Usman bin Abdullah bin Yahya bin Aqil al-Alawy, Khulasah al-Qaul al-Sadid fil Man Ahadits Ta’addud al-Jum’at fi al-Masjid al-Jadid,
Betawi, 1316 H, h. 1-22.Untuk kisah kontroversi salat jumaat di Masjid
Lawang Kidul itu selengkapnya lihat juga M. Dien Madjid, “Menelusuri
Sejarah Melalui Arsip: Kontroversi Shalat Jumat di Masjid Lawang Kidul
Palembang”, Islam dam Konstruksi Ilmu Peradaban dan Humaniora (Tangerang: UIN Jakarta Press, 2003) h. 105-128.
[51] . Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan … vol. IX( Jakarta: INIS, 1993) h. 36.
[52] “Sayid Usman: Ulama Penentu Arah Kiblat” Alkisah No.5/15-28 September 2003. h. 24.
[53] C. Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan… Vol VII h. 70.
[54] “ Mufti Batavia Abad ke-19”, Alkisah No. 24/20 November- 3 Desember 2006, h. 115-117.
[55] M. Dien Madjid dkk, Peran Ulama Betawi: Studi Transmisi Keilmuan Islam Abad XX di Jakarta, Laporan Penelitian (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011) h. 51.
[56] Ibid, h. 94. Lihat juga Mauladdawilah, Tiga serangkai Ulama Tanah Betawi ( Malang: Pustaka Basma, 2009) h. 60
[57] Lebih lanjut baca C. Snouck Hurgronje, Kumpulan Karanga …Vol. VII h. 63-69.
[58] Ibid, h. 70-76
[59] Ibid, h. 73
[60] Azyumardi Azra, “Hadrami Scholars in The Malay-Indonesian Diaspora: A Preliminary Study of Sayyid Uthman, Studia Islamika Vol. 2, No. 2, 1992. H. 28.
[61] Azyumardi Azra, Islam Nusantara …, h. 149.
[62] Ibid, h. 152.
[63] Ibid, h. 164.
[64] C. Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan… Vol. VII … h. 69
[65] Ibid. h. 70.
0 Response to "Jejak Rekam Kaum Sayid di Nusantara Masa Kolonial Abad XIX: Kiprah Sayid Usman bin Yahya dalam Meredesain Islam sebagai Ruang Publik"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip