Awal Perkembangan Tarekat Alawiyyah
Tonggak perkembangan Tarekat Alawiyyah dimulai pada masa Muhammad bin
Ali, atau yang akrab dikenal dengan panggilan Al-Faqih al-Muqaddam
(seorang ahli agama yang terpandang) pada abad ke-6 dan ke-7 H. Pada
masanya, kota Hadhramaut kemudian lebih dikenal dan mengalami puncak
kemasyhurannya. Muhammad bin Ali adalah seorang ulama besar yang
memiliki kelebihan pengetahuan bidang agama secara terperinci, di
antaranya soal fiqih dan tasawuf. Di samping itu, konon ia pun memiliki
pengalaman spiritual tinggi hingga ke Maqam al-Quthbiyyah (puncak maqam
kaum sufi) maupun khirqah shufiyyah (aliran kesufian).
Maqam Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali Ba'alawi |
Mengenai keadaan spiritual Muhammad bin Ali ini, al-Khatib pernah
menggambarkan sebagai berikut: (“Pada suatu hari, Al-Faqih al-Muqaddam
tenggelam dalam lautan Asma, Sifat dan Dzat Yang Suci”). Pada hikayat
ke-24, para syekh meriwayatkan bahwa syekh syuyukh kita, Al-Faqih
al-Muqaddam, pada akhirnya hidupnya tidak makan dan tidak minum. Semua
yang ada di hadapannya sirr dan yang ada hanya Allah. Dalam keadaan
fana’ seperti ini datang Khidir dan lainnya mengatakan kepadanya:
“Segala sesuatu yang mempunyai nafs (roh) akan merasakan mati .” Dia
mengatakan, “Aku tidak mempunyai nafs.” Dikatakan lagi, “Semua yang
berada di atasnya (dunia) akan musnah.” Dia menjawab, “Aku tidak berada
di atasnya.” Dia mengatakan lagi, “Segala sesuatu akan hancur kecuali
wajah-Nya (Dia).” Dia menjawab, “Aku bagian dari cahaya wajah-Nya.”
Setelah keadaan fana’nya berlangsung lama, lalu para putranya memintanya
untuk makan walaupun sesuap. Menjelang akhir hayatnya, mereka
memaksakan untuk memasukkan makanan ke dalam perutnya. Dan setelah
makanan tersebut masuk mereka mendengar suara (hatif). “Kalian telah
bosan kepadanya, sedang kami menerimanya. Seandainya kalian biarkan dia
tidak makan, maka dia akan tetap bersama kalian.”
Setelah wafatnya Muhammad bin Ali, perjalanan Tarekat Alawiyyah lalu
dikembangkan oleh para syeikh. Di antaranya ada empat syekh yang cukup
terkenal, yaitu Syekh Abd al-Rahman al-Saqqaf (739H), Syekh Umar
al-Muhdhar bin Abd al-Rahman al-Saqqaf (833 H), Syekh Abdullah
al-‘Aidarus bin Abu Bakar bin Abd al-Rahman al-Saqqaf (880 H), dan Syekh
Abu Bakar al-Sakran (821 H).
Selama masa para syekh ini, dalam sejarah Ba Alawi, di kemudian hari
ternyata telah banyak mewarnai terhadap perkembangan tarekat itu
sendiri. Dan secara umum, hal ini bisa dilihat dari ciri-ciri melalui
para tokoh mahupun berbagai ajarannya dari masa para imam hingga masa
syekh di Hadhramaut.
Pertama, adanya suatu tradisi pemikiran yang
berlangsung dengan tetap mempertahankan beberapa ajaran para salaf
mereka dari kalangan tokoh Alawi, seperti Al-Quthbaniyyah, dan sebutan
Imam Ali sebagai Al-Washiy, atau keterikatan jalur sejarah Alawi dan Ba
Alawi. Termasuk masalah wasiat dari Rasulullah untuk Imam Ali sebagai
pengganti Nabi Muhammad SAW.
Kedua, adanya sikap elastik terhadap pemikiran yang
berkembang yang mempermudah kelompok ini untuk membaur dengan
masyarakatnya, serta mendapatkan status sosial yang terhormat hingga
mudah mempengaruhi warna pemikiran masyarakat.
Ketiga, berkembangnya tradisi para sufi kalangan
khawwash (elite), seperti al-jam’u, al-farq, al-fana’ bahkan al-wahdah,
sebagaimana yang dialami oleh Muhammad bin Ali (Al-Faqih al-Muqaddam)
dan Syekh Abd al-Rahman al-Saqqaf.
Keempat, dalam Tarekat Alawiyyah, berkembang suatu
usaha pembaharuan dalam mengembalikan tradisi tarekat sebagai Thariqah
(suatu madzhab kesufian yang dilakukan oleh seorang tokoh sufi) hingga
mampu menghilangkan ramuan yang kaku dalam tradisi tokoh para sufi.
Kelima, bila pada para tokoh sufi, seperti Hasan
al-Bashri dengan zuhd-nya, Rabi’ah al-Adawiyah dengan mahabbah dan
al-isyq al-Ilahi-nya, Abu Yazid al-Busthami dengan fana’-nya, al-Hallaj
dengan wahdah al-wujud-nya, maka para tokoh Tarekat Alawiyyah, selain
memiliki kelebihan-kelebihan itu, juga dikenal dengan al-khumul dan
al-faqru-nya. Al-khumul berarti membebaskan seseorang dari sikap riya’
dan ‘ujub, yang juga merupakan bahagian dari zuhud. Adapun al-faqru
adalah suatu sikap yang secara lurusnya penempatan diri seseorang
sebagai hamba di hadapan Khaliq (Allah) sebagai zat yang Ghani (Maha
Kaya) dan makhluk sebagai hamba-hamba yang fuqara, yang selalu dahagakan
nikmat-Nya. Secara datarnya, sikap tersebut dipahami dalam pengertian
keseluruhan bahwa rahmat Tuhan akan diberikan bila seseorang mempunyai
simpati terhadap kaum fakir miskin.
Penghayatan ajaran tauhid seperti ini menjadikan kehidupan mereka
tidak boleh dilepaskan dari kaum kelas bawah maupun kaum tertindas
(mustadl’afin). Syeikh Abd al-Rahman al-Saqqaf misalnya, selama itu
dikenal dengan kaum fuqaranya, sedangkan isteri Muhammad bin Ali
terkenal dengan dengan ummul fuqaranya.
abdkadiralhamid@2012
abdkadiralhamid@2012
0 Response to "Awal Perkembangan Tarekat Alawiyyah"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip