Habib Abubakar bin Hasan Assegaf
Mundur, tapi Dakwah Jalan Terus |
|
|
|
Keputusan
yang diambilnya mengingatkan orang pada sosok Buya Hamka, yang pada
tahun 1981 menyatakan mundur dari jabatan ketua MUI Pusat. Bedanya,
selain kasus yang melatarbelakanginya, juga lingkupnya, sebagai ketua
Komisi Fatwa MUI Kabupaten Pasuruan. ”Mundurnya saya dari MUI bukan
karena keputus-asaan, sebab dalam dakwah kita tidak boleh putus asa,”
ujarnya tegas.
Ia kecewa. Perjuangannya untuk
meloloskan raperda anti miras gagal. Tak lama kemudian, ia menyatakan
mundur dari jabatan ketua Komisi Fatwa MUI Kabupaten Pasuruan, sebagai
rasa tanggung jawab morilnya, seraya mengaku akan terus
memperjuangkannya lewat jalan lain. Na¬mun ia tetap mengharap,
rekan-rekan¬nya, sesama pengurus MUI yang masih duduk di sana, terus
memperjuangkan hing¬ga raperda anti miras itu disahkan menjadi perda di
kota Pasuruan.
Raperda anti miras adalah salah satu dari sejumlah rancangan peraturan dae¬rah yang diusulkan umat Islam di Pasuru¬an, di samping tentang prostitusi dan ke¬tertiban Ramadhan. Wajar saja, selama ini orang mengenal Pasuruan sebagai kota santri. Yang tidak wajar justru melihat pemandangan yang tak sedap: di kota santri minuman keras dijual secara bebas.
Umat Islam kota Pasuruan, khusus¬nya kalangan masyarakat santri, berha¬rap, budaya santri tidak hanya di dalam pe¬santren, akan tetapi juga menjadi ka¬rak¬ter masyarakat Pasuruan. Menuju Pa¬suruan yang beradab dan beretika, itulah aspirasi masyarakat santri Pa¬suruan.
Pilihan sejak Dulu
Meski masih terbilang muda, dunia dak¬wah telah menjadi dunianya sejak dulu. Dari sebelum era reformasi, wakil rais syuriyah PCNU Kabupaten Pasuruan dan anggota Dewan Eksekutif wilayah Jawa Timur Majelis Muwashalah Baina al-‘Ulama al-Muslimin ini telah aktif terjun berdakwah.
Tahun 1996-1997, misalnya, ia ber¬sama Habib Taufiq bin Abdul Qadir Assegaf dan ulama-ulama muda yang ada di Pasuruan sempat mendirikan DPI (Dakwah Pemuda Islam). Materi utama di DPI adalah pembacaan Maulid dan ceramah agama, yang saat itu banyak diisi duet dirinya dan Habib Taufiq bin Abdul Qadir Assegaf.
Pengajian yang diselengarakan oleh DPI itu dihadiri ribuan pemuda muslimin dari berbagai pelosok Pasuruan dan se¬kitarnya. Kegiatan majelis ta’lim yang di¬selenggarakan oleh DPI sifatnya berpin¬dah-pindah dari satu masjid ke masjid yang lain di sekitar Kota dan Kabupaten Pasuruan.
Begitu antusias masyarakat dan umat terhadap Dakwah Pemuda Islam, sehing¬ga wadah pemuda ini dijadikan organisasi keagamaan yang sifatnya lokal se-kota Pasuruan. Namun gerak DPI ini kemudi¬an dibayang-bayangi oleh kekuatan Orde Baru yang saat itu masih kuat menan¬cap¬kan kekuasaan di berbagai lini, termasuk terhadap keberadaan organisasi sosial dan kemasyarakatan. “Akhirnya DPI di¬bubarkan, dikhawatirkan ada kerawanan. Pola-pola dakwah dengan pengerahan massa saat itu memang cukup rawan,” katanya.
Lebih lanjut Habib Abubakar meng¬isahkan, pada waktu itu banyak isu yang ku-rang mengenakkan, sehingga ia ber¬inisiatif dengan teman-temannya yang lain, DPI dibubarkan pada tahun 1999. Selepas DPI membubarkan diri, ia dan kawan-kawannya mulai membuat alter¬natif lain dalam berdakwah, dengan me¬nerbitkan majalah, media cetak, radio Suara Nabawiy.
Lima tahun yang lalu, ia mengampu se¬bagai pemimpin umum dan sekaligus pemimpin redaksi Majalah Cahaya Nabawiy, sebuah majalah Islam yang cu¬kup terkenal di kalangan habaib dan mu¬hibbin di Jawa Timur dan sekitarnya.
Ketika aktivitas dakwahnya semakin padat, pada awal tahun 2007 ia memu¬tus¬kan berhenti dari Cahaya Nabawiy dan lebih berkonsentrasi untuk memenuhi per¬mintaan ceramah yang datang dari ber¬bagai penjuru Pasuruan dan kabu¬pa¬ten-kabupaten di Jawa Timur pada khu¬susnya.
“Sekarang saya keluar dari Cahaya Nabawiy, dan teman-teman yang lain yang melanjutkan gerakan dakwah.”
Dunia dakwah memang telah menjadi pilihan hidupnya, beberapa majelis ta’lim dan masjid yang dahulu pernah ia tangani kini satu per satu mulai ia pasrahkan ke¬pada para generasi muda lulusan Tarim, Hadhramaut, yang baru datang dan me¬rintis dakwah di Pasuruan. “Jadi bisa di¬bilang, sekarang saya sudah tidak punya pengajian rutin. Tapi lebih sering penga¬jian yang sifatnya seremonial, seperti ha¬jatan, ataupun peringatan hari besar Islam.”-
Sweeping Minuman Keras
Nyatanya, peredaran miras di berba¬gai tempat memang kian tak terbendung. Di sejumlah minimarket kini dengan mu¬dah ditemui berbagai miras. Untuk itu, men¬jelang masuknya Ramadhan tahun lalu ia dan sejumlah ulama bersama apa¬rat kepolisian kota Pasuruan, Jawa Ti¬mur, melakukan razia di sejumlah super¬market yang menjual minuman keras.
Mungkin, baru pertama kali dalam sejarahnya MUI mengadakan sweeping. Ya, itu memang hanya terjadi di Pasuru¬an. Namun demikian, para ulama yang melakukan sweeping tidak menyita miras yang dipajang supermarket-supermarket yang didatanginya. “Yang kami lakukan saat itu hanya gerakan moral. Di samping ini terkait perda miras yang tengah di¬revisi, sekaligus juga menjelang datang¬nya Ramadhan,” kata Habib Abu Bakar.
Di sejumlah supermarket para ulama minta izin dan minta bertemu dengan pengelolanya, dan kemudian memeriksa miras yang dipajang di rak-rak super¬market. “Karena ini gerakan moral, kami hanya meminta agar para pengelola tidak menjual minuman keras,” katanya lagi.
Saat itu, kisah Habib Abubakar, para pengelola yang ditemuinya menyang¬gupi¬¬nya, tapi meminta agar ada surat ter¬tulis untuk dijadikan dasar melapor ke atasannya. “Hari ini juga akan langsung kami tarik. Tapi sebagai pertanggung¬jawaban dan laporan kepada atasan, kami meminta adanya surat tertulis,” be¬gitu ujar salah seorang pengelola super-market sebagaimana diceritakan Habib Hasan.
Disebutkan, dari hasil investigasinya, dari sebanyak 20 supermarket yang di¬survei, terdapat 18 supermarket yang menujual minuman beralkohol.
”Keinginan kita pada waktu itu, pe¬larangan miras di wilayah kota Pasuruan tanpa ada embel-embel kadar alkohol ter¬tentu seperti pada undang-undang di ting¬kat nasional. Kalau masih ada kadar al¬kohol tertentu, untuk apa ada perda? Se¬bab di level nasional pun ada undang-undangnya yang kurang lebih menyata¬kan, kalau ada kepala daerah yang me-larang toko untuk menjual miras, itu wajib ditaati. Nah, ketentuan itu kan semestinya bisa kita gunakan untuk kita terapkan secara total.
Miras, berapa pun kadar alkoholnya, bagi kami adalah khamr. Karena itu, kami imbau agar supermarket tak lagi ber¬jual¬an. Apalagi, sekarang ini menjelang Ra¬madhan,” kata Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf, yang termasuk gencar menggagas sweeping minuman keras saat masih menjabat ketua Komisi Fatwa MUI Kota Pasuruan.
Adapun raperda terkait Ramadhan dan prostitusi, menurut Habib Hasan, res¬pons dari pemerintah sudah ada, meski masih ada yang mengganjal, seperti ba¬gaimana kita menyikapi warung-warung ma¬kan yang masih buka di siang hari tapi hanya ditutup dengan kain, untuk menya¬takan bahwa warung itu sedang tidak buka. Ternyata, di situ orang pada makan dan minum.
Sedangkan yang terkait prostitusi, Habib Hasan mengatakan bahwa yang ia harapkan bukan sekadar pemberan¬tasan, tapi juga pembinaan berkesinam¬bungan, agar para pelaku prostitusi tidak berhenti sesaat ketika ada razia.-
Kewajiban Moril
Saat ditanya sebab gagalnya raperda anti miras itu menjadi perda kota Pasuru¬an, ia sendiri tak melihat ada alasan yang tepat. ”Katanya, ada penolakan di tingkat provinsi. Ini yang membuat sampai se¬karang tak membawa hasil. Padahal, kalau untuk hadir acara haul atau Maulid, insya Allah jajaran pejabat dan anggota Dewan-nya semua ada,” kata Habib Abubakar lagi dengan nada prihatin.
Sebelum pengunduran dirinya, ia me¬mang menyatakan, jika pemerintah tidak juga dapat merealisasikan perda itu, ”Saya akan mengundurkan diri. Karena itulah akhirnya saya secara resmi meng¬undurkan diri dari kepengurusan MUI kota Pasuruan. Namun bukan berarti setelah saya mundur saya berhenti dari per¬juang¬an ini, saya akan terus memperjuang¬kan¬nya, tapi dari luar saja. Ini kewajiban moril yang harus kita lakukan, di dalam MUI maupun di luar MUI.”
Selain itu, tentang mundurnya dari kepengurusan di MUI, ia juga menje¬las¬kan, mundurnya dari MUI bukan karena keputus-asaan. Dalam dakwah tidak boleh putus asa. Jadi ini semacam terapi. Semua ini bagian dari upayanya untuk melakukan penekanan terhadap peme¬rintah agar mengeluarkan perda yang me¬larang peredaran minuman keras di wilayahnya. Buktinya, setelah ia mundur, se¬jumlah pihak tampak berusaha meres¬pons tuntutannya itu, meski tetap hasilnya tak maksimal.
Itu yang pertama. Yang kedua, ia me¬nilai, ada yang tak tepat dengan struktur dalam kepengurusan MUI, yakni ketua de¬wan pembina MUI harus kepala dae¬rah. Jadi, ”Kalau para ulama yang duduk di MUI berseberangan dengan kepala dae¬rah, kan repot?” ujar Habib Abubakar lagi seraya mengutip sebuah hadits, “Baik¬nya suatu umat tergantung baiknya umaranya, dan baiknya umara tergan¬tung baiknya ulamanya. Rusaknya suatu umat tergantung rusaknya umaranya, dan rusaknya umara tergantung rusaknya ulamanya.”
Di lain sisi, kita juga merasa prihatin, umat Islam untuk menjalankan syari’at¬nya tidak cukup dengan undang-undang dari Allah SWT, tapi harus dibantu de¬ngan terbitnya perda. Padahal, alangkah indahnya kalau umat Islam ini, tanpa ha¬rus ada perda, melaksanakan syari’at ajar¬an agamanya.
Predikat saja tak Cukup
Raperda anti miras adalah salah satu dari sejumlah rancangan peraturan dae¬rah yang diusulkan umat Islam di Pasuru¬an, di samping tentang prostitusi dan ke¬tertiban Ramadhan. Wajar saja, selama ini orang mengenal Pasuruan sebagai kota santri. Yang tidak wajar justru melihat pemandangan yang tak sedap: di kota santri minuman keras dijual secara bebas.
Umat Islam kota Pasuruan, khusus¬nya kalangan masyarakat santri, berha¬rap, budaya santri tidak hanya di dalam pe¬santren, akan tetapi juga menjadi ka¬rak¬ter masyarakat Pasuruan. Menuju Pa¬suruan yang beradab dan beretika, itulah aspirasi masyarakat santri Pa¬suruan.
Pilihan sejak Dulu
Meski masih terbilang muda, dunia dak¬wah telah menjadi dunianya sejak dulu. Dari sebelum era reformasi, wakil rais syuriyah PCNU Kabupaten Pasuruan dan anggota Dewan Eksekutif wilayah Jawa Timur Majelis Muwashalah Baina al-‘Ulama al-Muslimin ini telah aktif terjun berdakwah.
Tahun 1996-1997, misalnya, ia ber¬sama Habib Taufiq bin Abdul Qadir Assegaf dan ulama-ulama muda yang ada di Pasuruan sempat mendirikan DPI (Dakwah Pemuda Islam). Materi utama di DPI adalah pembacaan Maulid dan ceramah agama, yang saat itu banyak diisi duet dirinya dan Habib Taufiq bin Abdul Qadir Assegaf.
Pengajian yang diselengarakan oleh DPI itu dihadiri ribuan pemuda muslimin dari berbagai pelosok Pasuruan dan se¬kitarnya. Kegiatan majelis ta’lim yang di¬selenggarakan oleh DPI sifatnya berpin¬dah-pindah dari satu masjid ke masjid yang lain di sekitar Kota dan Kabupaten Pasuruan.
Begitu antusias masyarakat dan umat terhadap Dakwah Pemuda Islam, sehing¬ga wadah pemuda ini dijadikan organisasi keagamaan yang sifatnya lokal se-kota Pasuruan. Namun gerak DPI ini kemudi¬an dibayang-bayangi oleh kekuatan Orde Baru yang saat itu masih kuat menan¬cap¬kan kekuasaan di berbagai lini, termasuk terhadap keberadaan organisasi sosial dan kemasyarakatan. “Akhirnya DPI di¬bubarkan, dikhawatirkan ada kerawanan. Pola-pola dakwah dengan pengerahan massa saat itu memang cukup rawan,” katanya.
Lebih lanjut Habib Abubakar meng¬isahkan, pada waktu itu banyak isu yang ku-rang mengenakkan, sehingga ia ber¬inisiatif dengan teman-temannya yang lain, DPI dibubarkan pada tahun 1999. Selepas DPI membubarkan diri, ia dan kawan-kawannya mulai membuat alter¬natif lain dalam berdakwah, dengan me¬nerbitkan majalah, media cetak, radio Suara Nabawiy.
Lima tahun yang lalu, ia mengampu se¬bagai pemimpin umum dan sekaligus pemimpin redaksi Majalah Cahaya Nabawiy, sebuah majalah Islam yang cu¬kup terkenal di kalangan habaib dan mu¬hibbin di Jawa Timur dan sekitarnya.
Ketika aktivitas dakwahnya semakin padat, pada awal tahun 2007 ia memu¬tus¬kan berhenti dari Cahaya Nabawiy dan lebih berkonsentrasi untuk memenuhi per¬mintaan ceramah yang datang dari ber¬bagai penjuru Pasuruan dan kabu¬pa¬ten-kabupaten di Jawa Timur pada khu¬susnya.
“Sekarang saya keluar dari Cahaya Nabawiy, dan teman-teman yang lain yang melanjutkan gerakan dakwah.”
Dunia dakwah memang telah menjadi pilihan hidupnya, beberapa majelis ta’lim dan masjid yang dahulu pernah ia tangani kini satu per satu mulai ia pasrahkan ke¬pada para generasi muda lulusan Tarim, Hadhramaut, yang baru datang dan me¬rintis dakwah di Pasuruan. “Jadi bisa di¬bilang, sekarang saya sudah tidak punya pengajian rutin. Tapi lebih sering penga¬jian yang sifatnya seremonial, seperti ha¬jatan, ataupun peringatan hari besar Islam.”-
Sweeping Minuman Keras
Nyatanya, peredaran miras di berba¬gai tempat memang kian tak terbendung. Di sejumlah minimarket kini dengan mu¬dah ditemui berbagai miras. Untuk itu, men¬jelang masuknya Ramadhan tahun lalu ia dan sejumlah ulama bersama apa¬rat kepolisian kota Pasuruan, Jawa Ti¬mur, melakukan razia di sejumlah super¬market yang menjual minuman keras.
Mungkin, baru pertama kali dalam sejarahnya MUI mengadakan sweeping. Ya, itu memang hanya terjadi di Pasuru¬an. Namun demikian, para ulama yang melakukan sweeping tidak menyita miras yang dipajang supermarket-supermarket yang didatanginya. “Yang kami lakukan saat itu hanya gerakan moral. Di samping ini terkait perda miras yang tengah di¬revisi, sekaligus juga menjelang datang¬nya Ramadhan,” kata Habib Abu Bakar.
Di sejumlah supermarket para ulama minta izin dan minta bertemu dengan pengelolanya, dan kemudian memeriksa miras yang dipajang di rak-rak super¬market. “Karena ini gerakan moral, kami hanya meminta agar para pengelola tidak menjual minuman keras,” katanya lagi.
Saat itu, kisah Habib Abubakar, para pengelola yang ditemuinya menyang¬gupi¬¬nya, tapi meminta agar ada surat ter¬tulis untuk dijadikan dasar melapor ke atasannya. “Hari ini juga akan langsung kami tarik. Tapi sebagai pertanggung¬jawaban dan laporan kepada atasan, kami meminta adanya surat tertulis,” be¬gitu ujar salah seorang pengelola super-market sebagaimana diceritakan Habib Hasan.
Disebutkan, dari hasil investigasinya, dari sebanyak 20 supermarket yang di¬survei, terdapat 18 supermarket yang menujual minuman beralkohol.
”Keinginan kita pada waktu itu, pe¬larangan miras di wilayah kota Pasuruan tanpa ada embel-embel kadar alkohol ter¬tentu seperti pada undang-undang di ting¬kat nasional. Kalau masih ada kadar al¬kohol tertentu, untuk apa ada perda? Se¬bab di level nasional pun ada undang-undangnya yang kurang lebih menyata¬kan, kalau ada kepala daerah yang me-larang toko untuk menjual miras, itu wajib ditaati. Nah, ketentuan itu kan semestinya bisa kita gunakan untuk kita terapkan secara total.
Miras, berapa pun kadar alkoholnya, bagi kami adalah khamr. Karena itu, kami imbau agar supermarket tak lagi ber¬jual¬an. Apalagi, sekarang ini menjelang Ra¬madhan,” kata Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf, yang termasuk gencar menggagas sweeping minuman keras saat masih menjabat ketua Komisi Fatwa MUI Kota Pasuruan.
Adapun raperda terkait Ramadhan dan prostitusi, menurut Habib Hasan, res¬pons dari pemerintah sudah ada, meski masih ada yang mengganjal, seperti ba¬gaimana kita menyikapi warung-warung ma¬kan yang masih buka di siang hari tapi hanya ditutup dengan kain, untuk menya¬takan bahwa warung itu sedang tidak buka. Ternyata, di situ orang pada makan dan minum.
Sedangkan yang terkait prostitusi, Habib Hasan mengatakan bahwa yang ia harapkan bukan sekadar pemberan¬tasan, tapi juga pembinaan berkesinam¬bungan, agar para pelaku prostitusi tidak berhenti sesaat ketika ada razia.-
Kewajiban Moril
Saat ditanya sebab gagalnya raperda anti miras itu menjadi perda kota Pasuru¬an, ia sendiri tak melihat ada alasan yang tepat. ”Katanya, ada penolakan di tingkat provinsi. Ini yang membuat sampai se¬karang tak membawa hasil. Padahal, kalau untuk hadir acara haul atau Maulid, insya Allah jajaran pejabat dan anggota Dewan-nya semua ada,” kata Habib Abubakar lagi dengan nada prihatin.
Sebelum pengunduran dirinya, ia me¬mang menyatakan, jika pemerintah tidak juga dapat merealisasikan perda itu, ”Saya akan mengundurkan diri. Karena itulah akhirnya saya secara resmi meng¬undurkan diri dari kepengurusan MUI kota Pasuruan. Namun bukan berarti setelah saya mundur saya berhenti dari per¬juang¬an ini, saya akan terus memperjuang¬kan¬nya, tapi dari luar saja. Ini kewajiban moril yang harus kita lakukan, di dalam MUI maupun di luar MUI.”
Selain itu, tentang mundurnya dari kepengurusan di MUI, ia juga menje¬las¬kan, mundurnya dari MUI bukan karena keputus-asaan. Dalam dakwah tidak boleh putus asa. Jadi ini semacam terapi. Semua ini bagian dari upayanya untuk melakukan penekanan terhadap peme¬rintah agar mengeluarkan perda yang me¬larang peredaran minuman keras di wilayahnya. Buktinya, setelah ia mundur, se¬jumlah pihak tampak berusaha meres¬pons tuntutannya itu, meski tetap hasilnya tak maksimal.
Itu yang pertama. Yang kedua, ia me¬nilai, ada yang tak tepat dengan struktur dalam kepengurusan MUI, yakni ketua de¬wan pembina MUI harus kepala dae¬rah. Jadi, ”Kalau para ulama yang duduk di MUI berseberangan dengan kepala dae¬rah, kan repot?” ujar Habib Abubakar lagi seraya mengutip sebuah hadits, “Baik¬nya suatu umat tergantung baiknya umaranya, dan baiknya umara tergan¬tung baiknya ulamanya. Rusaknya suatu umat tergantung rusaknya umaranya, dan rusaknya umara tergantung rusaknya ulamanya.”
Di lain sisi, kita juga merasa prihatin, umat Islam untuk menjalankan syari’at¬nya tidak cukup dengan undang-undang dari Allah SWT, tapi harus dibantu de¬ngan terbitnya perda. Padahal, alangkah indahnya kalau umat Islam ini, tanpa ha¬rus ada perda, melaksanakan syari’at ajar¬an agamanya.
Predikat saja tak Cukup
Predikat sebagai ”Kota Santri” ter¬nyata
belum menjamin kota Pasuruan be¬bas dari maksiat. Bahkan di salah satu
daerah di kabupaten ini terdapat kam¬pung lokalisasi Tretes yang cukup
terke¬nal. Keprihatinan pun menggelayuti pikir¬an para ulama di sana,
tak terkecuali Ha¬bib Abubakar, saat melihat banyaknya wa¬rung yang
masih bebas buka di siang hari. Mereka prihatin, norma-norma aga¬ma di
kota ini cenderung sudah diabai¬kan. Menurut mereka, kondisi ini harus
segera diperbaiki.Memang, dengan predikat Kota San¬tri, diharapkan
budaya Islami pun meng¬akar kuat dalam keseharian masyarakat Pasuruan.
Norma dan etika agama ha¬rusnya diperhatikan dan dihormati de¬ngan baik
di kota yang memiliki ratusan pesantren ini. Hampir di tiap
kecamatan¬nya berdiri beberapa pesantren. Selain memberikan predikat
Kota Santri kepada beberapa kota lainnya di Pulau Jawa, orang juga tak
ragu untuk mentahbis kota ini dengan predikat yang sama.Namun, dalam
penilaian Habib Abu¬bakar, ia masih belum lega dengan se¬kadar perdikat
tersebut. Maksiat harus sekuatnya ditekan, sebagai upaya untuk
menyelamatkan umat, di dunia dan di akhirat.
Dikatakan olehnya, ”Banyaknya
tem¬pat-tempat maksiat dan diabaikannya norma di kota ini sesungguhnya
bukan ka¬rena kurangnya ulama yang menyam¬paikan dakwah. Akan tetapi,
sampai saat ini belum ada peraturan daerah untuk me¬nertibkan
tempat-tempat maksiat. Pada¬hal ketertiban norma dan etika itu telah
menjadi aspirasi para ulama sejak lama.”Kondisi inilah yang menurutnya perlu segera diubah dengan diterapkan pera¬turan daerah. Maka, sebelum Ramadhan tahun lalu, ia pun mengusulkan raperda miras, prostitusi, dan ketertiban Rama¬dlan kepada pemerintah kota.
Sayangnya, hingga Ramadhan tahun lalu memasuki paruh akhir, usulan ra¬perda itu belum juga direspons pemerin¬tah. Padahal raperda tersebut merupakan aspirasi para ulama di Pasuruan. Ia mengaku kecewa dengan sikap cueknya pemerintah kota. Ia tidak habis pikir, ke¬napa, untuk membuat perda yang urus¬annya membangun moralitas umat, pe-merintah masih mengabaikannya. Apa¬lagi, sekali lagi, Pasuruan dikenal orang sebagai Kota Santri. Inilah yang mem¬buat¬nya merasa kecewa dan mengundur¬kan diri dari MUI.
Habib Abubakar pun memilih untuk berjuang dari luar. Tapi, ”Dakwah tak bo¬leh berhenti,” katanya mengakhiri pembi¬caraan dengan alKisah.
abdkadiralhamid@2012
0 Response to "Habib Abubakar bin Hasan Assegaf"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip