//

KAFA'AH DALAM ISLAM & MASALAHNYA

KAFA'AH DALAM ISLAM & MASALAHNYA
Tinjauan Atas Buku M. Hashim Assagaf "Derita Putri-Putri Nabi"
Penulis: Sayyid 'Ali Bin Muhsin Albaar


Tulisan berikut ini adalah sebuah telaah atas tulisan Saudara M. Hasyim Assagaf dalam bukunya yang diberi Judul: "DERITA PUTRI PUTRI NABI" – STUDI HISTORIS KAFA'AH SYARIFAH, PENERBIT PT REMAJA ROSDAKARYA BANDUNG – SEPTEMBER 2000.
Sebenarnya kami tidak mempunyai kepentingan menanggapi buku ini, atau buku siapapun, andaikan saja isinya tidak merupakan sebuah pelecehan terhadap komunitas Habaib secara keseluruhan. Disamping itu ayat-ayat Al-Qur'an serta beberapa Hadits Nabi Saw, yang dipergunakan sebagai hujjah untuk mendukung isi buku tersebut tidak saja merupakan pembodohan terhadap ummat Islam, tetapi lebih dari itu penulisnya sangat berani manafsirkannya sesuai dengan keinginan jalan pikarannya belaka, dimana hal yang demikian itu telah melanggar hukum normatif kaidah syari'at Islam yang mulia. Oleh karena itulah maka tinjauan atas buku ini dirasakan sangat perlu disebabkan oleh beberapa alasan mendesak yang antara lain:

Pertama; Isi buku tersebut sangat mengganggu dan melukai hati kaum Alawiyyin. Terutama sebahagian besar kalangan Syarifah yang baik, bersih dan istiqamah. Mereka merasa sangat berkeberatan dijadikan obyek pembicaraan untuk masalah yang tidak benar diselimuti dusta yang dinisbatkan kepada mereka (syarifah).

Kedua; Berbeda pandangan mengenai kafa'ah dan pembelotan yang terjadi pada sekelompok kecil masyarakat Ba'alawi yakni kaum Sayyid dan Syarifah yang sedikit jumlahnya itu, tidak harus berarti mewakili seluruh anggota keluarga kalangan Ba'alawi.

Ketiga; Bahwa sesungguhnya setiap individu mempunyai hak dan kewajiban amanah yang patut ditunaikan. Sehingga selaku seorang anak ia bebas menentukan pilihan pasangan hidupnya dalam masalah perkahwinan. Sebagai orang tua iapun bebas menentukan kepada siapakah anaknya itu akan dinikahkan dan dikahwinkannya. Sangat tidaklah patut bagi orang yang telah-memperbuat kekeliruan dan kesalahan fatal secara individual dalam masalah kafa'ah ini, kemudian mencari sebuah pembenarannya dengan cara-cara kurang bermoral dan beradab. Lalu menisbatkan kesalahan itu kepada orang-orang yang mulia sebelum mereka.

Keempat; Masalah kafa'ah atau kesetaraan didalam perkahwinan tidak di monopoli oleh kaum Alawiyyin semata. Syarat hukum kafa'ah itu sendiri telah diatur didalam hukum perkahwinan Islam. Bahkan orang-orang Islam yang bukan dari kalangan Ba'alawi pun menggunakan hak kafa'ah itu menurut cara mereka masing-masing. Dan orang-orang yang bukan beragama Islampun didalam soal perkahwinan berpegang teguh kepada prinsip-prinsip kesetaraan (kafa'ah) itu, dengan cara-cara serta alasan-alasan mereka sendiri pula.

Kelima; Menjaga dan melindungi serta memelihara kelangsungan "nasab" – keturunan yang baik, tidaklah serta merta identik dengan sebuah kesombongan dan kecongkakan. Tidak juga merusak syari'at Islam yang mulia, tidak identik pula dengan diskriminasi rasial. Ia bahkan merupakan sebuah kewajiban orang beriman, bukankah urat keturunan itu sangat penting? Mungkinkah hak asasi seseorang itu harus kita batasi?, kemudian kita perjuangkan kepentingan kita dengan mangatas namakan hak asasi?. Alangkah zalimnya tindakan dan perbuatan seperti itu. Apakah orang yang menolak sebuah permintaan, atau ia enggan memenuhi keinginan orang lain harus diartikan pelanggaran atas hak asasi orang tersebut?, lalu dimanakah hak asasi kita sendiri?.

Keenam; Bagi mereka yang menentang hukum kafa'ah dalam perkahwinan, mengabaikan semua hujjah baik itu nash Al-Qur'an maupun hadits-hadits Nabi Muhammad Saw. Sebaliknya mereka menghendaki agar semua orang mengikuti faham dan cara mereka dalam mengimplementasikan ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi Saw. Begitu pula fatwa-fatwa 'Ulama dari berbagai Madzhab dan para 'ulama salaf maupun khalaf baik dari kalangan Ba'alawi atau lainnya yang membenarkan hukum kafa'ah tersebut ditolak oleh mereka. Lebih jauh lagi, mereka menganggap fatwa-fatwa seperti itu sebagai orang yang tidak berilmu, tanpa petunjuk dan kitab yang jelas. Padahal mereka sendiri sebenarnya sadar bahwa mereka bukanlah orang yang patut dan pantas disejajarkan dengan orang-orang yang mereka cela itu, baik dari segi ilmu agama apalagi akhlaqnya.

Ketujuh; Penolakan atas hukum kafa'ah dalam perkahwinan dan membolehkan serta membenarkan syarifah dikahwinkan dengan pria non sayyid, didasarkan kepada beberapa contoh semata. Seperti katanya anak cucu Zaid bin Ali Zainal 'Abidin tidak melarang. Bahwa tokoh Mazhab Zaidi menikahkan puteri mereka dengan pria Muslim non sayyid. Begitu pula ada tiga orang anak Imam Khomeini dinikahkan dengan yang bukan sayyid. Kejadian seperti itu bukanlah sebuah alasan hukum, yang mana mengikuti atau menolaknya bukanlah sebuah kewajiban. Namun demikian alasan yang dikemukakan itu sangatlah diragukan kebenarannya. Mereka mengedepankan nama-nama tokoh terhormat itu agar orang mempercayainya. Mereka dengan berani mengambil resiko dan mengundang bencana besar yang bakal menimpa mereka sendiri atas segala bentuk pemetar balikkan fakta dan kebohongan seperti itu, dengan menisbatkannya kepada orang-orang yang mulia.

Kedelapan; Mereka sama sekali belum atau tidak faham akan adanya pengertian dan makna khusus ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulullah Saw. Ini terlihat dari ayat-ayat Al-Qur'an yang dikemukakan dalam buku tersebut diatas banyak diantaranya sama sekali tidak ada relevansinya dengan masalah yang mereka perbincangkan itu. Hal seperti ini akan kami tunjukan nanti ketika telaah ini sampai pada topik itu.

Kesembilan; Buku Derita Putri-Puri Nabi, sangat jelas sekali yang dimaksudkan oleh penulisnya adalah "Puteri-Puteri Nabi Muhammad Saw". Yaitu anak cucu Rasulullah Saw termasuk Siti Fathimah al-batul binti Rasulullah Saw. Padahal penulis tidak tahu persis Puteri-Puteri Nabi Saw yang manakah yang menderita itu?, ataukah puteri-puteri penulis sendiri dan segelintir syarifah lainnya?. Adakah penulis buku itu menyadari bahwa berapa banyak syarifah yang terlanjur kahwin atau menikah dengan pria bukan sayyid yang sesungguhnya hidup dalam penyesalan?, menderita karena kemauannya sendiri. Begitu pula tahukah penulis buku itu bahwa berapa banyak Sayyid atau Ba'alawi yang saat ini meratap, menangis menyesali dirinya sendiri yang telah melepaskan puterinya (syarifah) yang dinikahkan dan dikahwinkannya sendiri kepada pria yang tidak kufu (kafa'ah?). Apakah tuan M.Hasyim Ass. mengetahui berapa besar penyesalan mereka. Dapatkah anda tunjukan Syarifah manakah yang hidup berbahagia secara hakiki ketika dia bersuamikan seorang lelaki bukan sayyid?
Sekalipun suaminya itu adalah orang yang berada dan mampu secara materi? Apakah anda pernah mengadakan survey dan mendalami masalah ini?.
Tahukah anda pula ada berapa banyak wanita kita (syarifah), yang dikahwini oleh pria bukan sayyid yang kemudian menghina mereka?, memperlakukan mereka sangat buruk dan menjadikan mereka tidak berharga? Itukah yang tuan M. Hasyim Ass. mengartikan sebagai suatu kebahagiaan?. Atau inikah jalan kebahagiaan yang anda tunjukkan bagi anak-anak perempuan anda sendiri dan lainnya? Apakah kerelaan anda itu sudah yang paling benar sehingga anda mengajak orang lain mengikuti jalan anda?. Ataukah anda sendiri adalah orang yang sadar dari keterlanjuranmu sendiri, kemudian ingin mengajak orang lain dari saudara-saudara anda yang awam dan buta ilmu, serta tidak terlalu memahami masalah kafa'ah itu untuk menemani anda?. Memperhatikan kapasitas Saudara M.Hasyim Ass. kami yakin se-yakin-yakinnya bahwa ada tokoh-tokoh lain dibelakangnya, yang hati mereka telah diracuni kebencian kepada kaum Ba'alawi yang sudah berlangsung sejak berabad abad lamanya. Saudara Muhammad H. Ass. dimanfaatkan dan tampil menjadi kenderaan tunggangan mereka. Untuk pembuktian atas konspirasi licik mereka ini, perhatikan saja akhir hidup mereka kelak seperti apa nantinya, kita serahkan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Kesepuluh; Menggunakan batasan bahwa semua manusia itu berasal dari Adam dan Siti Hawa a.s, adalah sebuah hujjah yang sangat lemah lagi tumpul. Bukankah semua orang tahu bahwa Nabi Adam dan Siti Hawa melahirkan anak kembar pasangan pria dan wanita. Pengembangan biakannya melalui perkahwinan silang diantara anak-anaknya ketika itu, yang secara khusus memang dibolehkan. Diantara mereka ada yang baik dan ada pula yang jahat. Contoh soalnya terdapat didalam kisah Qabil yang membunuh adiknya Habil. Dari anak-anak Adam dan Hawa a.s. ada yang kemudian melahirkan orang-orang mulia yakni para Nabi-Nabi. Sementara ada pula anak-anak keturunan Adam dan Hawa a.s. melahirkan generasi keturunan yang jahat. Soalnya sekarang adalah tahukah kita dari anak Adam dan Hawa yang mana kita berasal? Apakah karena kita berasal dari Adam dan Hawa lalu kita semua harus sama secara hitam putih? Siapakah yang memberikan keunggulan keturunan diantara anak cucu Adam dan Hawa? Mengapa garis keturunan para Nabi harus keluar dari dzurriyat Adam yang telah ditentukan Allah yakni Nabi Syth a.s?
Mengapa Allah memuliakan Rasulullah Muhammad Saw melebihi Nabi-Nabi yang lain? Mengapa hanya nama Muhammad Rasulullah yang mendampingi nama Allah pada Dua Kalimat Sahadat Islam padahal ia Nabi yang terakhir?.
Mengapa Nabi harus bersabda bahwa 
"Semua anak Adam benasab kepada orang tua lelaki (ayah mereka), kecuali anak-anak Fathimah. Akulah ayah mereka dan akulah yang menurunkan mereka".
Sabda Nabi Saw tersebut terdapat didalam berbagai kitab antara lain "Mustadrakus-Shalihain", "Ad-Dur Almantsur" tulisan As-Sayuthiy, "Kanzul Ummal", "Sunnah A-Tirmudziy", "Tafsir At-Thabraniy", "Khasha'ish an-Nasa'iy", "Tarikh Baghdad", "Al-Isti'ab", "Ar-Riyadh an-Nadhrah", "Musnad Abi Dawud", "Asad Al-Ghabah dan lain-lain. Penulis Tafsir Al-Manar", Syeikh Muhammad 'Abduh dalam menafsirkan ayat 84 Surah Al-An'am.

Hadits Nabi Saw tersebut diatas sangat gamblang jelas dan tegas. Bahwasanya hanya anak-anak Fathimah dan Imam Ali (Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain) sajalah yang mengambil Nasab kepada beliau. Karena keturunan beliau Saw melalui Sayyidina Ali dan Sayyidatuna Fathimah Azzahra. Sedangkan keturunan selanjutnya mengikuti Nasab ayah mereka masing-masing. Disinilah nanti akan terlihat siapakah yang terpelihara Nasabnya dan siapakah yang teputus Nasabnya. Apabila kemudian ada seorang Syarifah menikah dengan seorang yang bukan Sayyid dan mempunyai anak, maka jelaslah Nasab anaknya itu tersambung kepada ayahnya, dan tidak tersambung kepada Nasab ibunya lagi. Artinya anak-anak sang Syarifah yang kahwin selain Sayyid tadi tidak termasuk lagi kepada aal Muhammad. Perhatikan pembahasan yang akan datang mengenai penetapan Nabi Saw perihal "nasab" ini dalam kothbah di Padang 'Arafah. Dalam hal Nasab Rasulullah ini, janganlah kita buat definisi yang lain kecuali yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Karena sangatlah mustahil ketetapan Nabi Saw itu bertentangan dengan kehendak Allah SWT, ingat itu!!!

Itulah beberapa alasan dari sekian banyak alasan mengapa kami harus bersusah payah selama lebih kurang sepuluh hari menulis telaah atau tinjauan atas buku yang berjudul Derita Puteri-Putri Nabi yang jelas merupakan sebuah pembodohan dan Kontroversial, serta bahkan lebih dari itu. Ia dipandang sebagai sebuah upaya pelecehan terhadap "institusi Habaib yang dimuliakan Allah dan Rasul-Nya". Ketahuilah bahwa tidak ada sebuah kenikmatan dan kemulian pemberian Allah itu mampu dilecehkan oleh sebuah tipu daya, kebohongan, dusta dan pembodohan. Demikian pula sebuah kehinaan yang datang dari Allah tidak akan pernah sanggup manusia menutupi, merubahnya menjadi mulia, sekalipun dengan persekutuan semua orang-orang berilmu sedalam dan setinggi apapun.
Tidakkah lebih baik kita merenungi diri masing-masing seraya bertanya kepada jiwa fitrah dimanakah sesungguhnya kita berada. Apakah setiap perbuatan kita itu termasuk perbuatan orang yang baik lagi mulia, ataukah orang yang zalim lagi bodoh dan hina. Bukankah Allah-pun telah berfirman: "Sesungguhnya manusia itu aniaya (zalim) lagi jahil (bodoh tidak berilmu)" QS.33: 72.
Telaah atau koreksi atas tulisan buku yang dimaksud, bertujuan meluruskan yang bengkok, menyadarkan yang keliru, menasehati yang awam, mengingatkan yang lupa sombong, angkuh lagi jahil. Oleh karenanya telaah ini ditulis seringkas mungkin tanpa meninggalkan kaidah dan norma-norma Agama Islam, disertai hujjah-hujjah dari sumber yang populer. Yakni Al-Qur'an dan Hadits Nabi Saw yang mulia, yang disajikan kepada siapa saja yang menginginkan kebenaran menyingkirkan kezaliman guna meraih kebahagiaan hidup, mencapai kemuliaan mati. Telaah ini bukanlah dari orang pandai dalam Agama, dan bukan pula pahlawan seorang dzurriyat Rasulullah Saw, tetapi hanyalah pandangan pribadi dari seorang hamba Allah yang dhaif dengan sedikit ilmu dari-Nya, serta masih terus dan terus belajar, dan tidak hendak berpolimik, karena tidak memperoleh manfaat apapun.
Tinjauan atas tulisan Saudara M.Hasyim Ass. itu disusun secara berurutan dari halaman pertama hingga halaman terakhir. Dengan memberi ulasan, koreksi dan penjelasan atas bagian-bagian yang dipandang perlu. Adapun tujuan tulisan ini, sebagai sebuah upaya menyadarkan semua pihak yang berkepentingan. Baik dari pihak penulis maupun pembaca buku "Derita Putri Putri Nabi", agar tidak terperosok dan tergilas bencana akibat kelalaian diri sendiri. Terutama tulisan ini lebih ditujukan secara khusus kepada seluruh kalangan dan keluarga Alawiyyin (Ba'alawi).
Untuk itu copy naskah ini akan kami serahkan kepada: ALMAKTAB ADDAIMI – KANTOR PEMELIHARAAN SEJARAH DAN STATISTIK ALAWIYAH – ARRABITHA AL-ALAWIYAH – PENGURUS PUSAT JAKARTA – INDONESIA – JALAN KH.MAS MANSYUR 17, JAKARTA 10240 – INDONESIA, melalui Saudara saya Sayyid Abubakar bin Abdillah Assagaf, untuk apabila di pandang perlu dapat disebar luaskan kepada seluruh keluarga Ba'alwi secara cuma-cuma. Agar dapat diketahui betapa kemuliaan yang menyertai ithrah Rasulullah Saw. Sehingga dengan demikian setiap orang yang merasa mempunyai hubungan "N a s a b" dengan beliau Saw akan terpanggil jiwa dan hatinya secara qudrati untuk bangkit menjaga dan memeliharanya. Tindakan seperti ini adalah bahagian dari realisai rasa syukur kepada Allah SWT, dari orang-orang beriman dengan sebenar-benarnya keimanan kepada-Nya.

PEMBUKAAN
Tulisan ini disajikan dengan berpedoman kepada beberapa ayat-ayat suci Al-Qur'an berserta Tafsirnya dan Hadits-hadits Nabi Saw yang mulia.
Allah berfirman; Artinya: 
"Janganlah engkau turut apa-apa yang tidak ada pengetahuan engkau tentang keadaannya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, masing-masing akan diperiksa (diminta pertanggung jawabannya)". (QS. 17: 36)
Dalam Kitab tafsir, dijelaskan pengertian ayat ini Sebagai berikut; Berkata al- Aufi tentang maksud ayat ini: "Janganlah engkau menuduh seseorang tentang sesuatu yang engkau tidak punya pengetahuan dalam hal itu". Sedang Qatadah berkata "Janganlah engkau berkata; "Aku telah melihat, padahal engkau tidak melihat, aku telah mendengar, padahal engkau tidak mendengar, aku mengetahui padahal engkau tidak mengetahui". Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggung jawabanmu tentang itu semuanya".

Firman Allah; Artinya: "Demi bintang bila ia terbenam. Tiadalah sesat temanmu (Muhammad) dan tidak pula salah (keliru). Dan tiadalah ia berbicara menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya". (QS. 53: 1-4)

Tafsirnya; Berkata As-Sya'abi dan beberapa 'ulama lain bahwasanya dengan segala yang dikehendaki-Nya di antara makhluk-makhluk-Nya seperti dalam surat ini, dengan bintang dan dengan bukit "At-Thuur" dalam surat terdahulu, sedang makhluk-Nya ialah manusia tidak boleh bersumpah melainkan dengan nama Allah.
Allah berfirman demi bintang ketika terbenam, tidaklah kawanmu Muhammad, hai kaum Quraisy, seorang yang sesat yang bertindak tanpa pengetahuan dan tujuan, dan bukanlah pula ia seorang yang dengan sengaja berpaling dari jalan yang hak dan benar kepada jalan yang lain, dan bukanlah sekali-kali dibawa dengan hawa nafsunya apa yang diucapkannya dan dibacakan kepadamu.
Itu adalah Al-Qur'an, kalam Allah yang diwahyukan kepadanya dengan perantaraan Malaikat Jibril untuk disampaikan kepadamu secara tuntas, tidak dikurangi ataupun dilebihkan, sesuai dengan amanat yang diterima dari Tuhan-Nya.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwasanya Abdullah bin Amr berkata; "Aku biasa mencatat (menulis) segala yang ku dengar dari Rasulullah untuk kuhafalkan, maka aku ditegur oleh beberapa pemuka Quraisy dengan berkata; "Mengapa engkau mencatat (menulis) segala yang engkau dengar dari Rasulullah, padahal ia adalah seorang manusia juga yang kadangkala dapat berbicara atau mengucapkan sesuatu disaat ia dalam keadaan marah". Teguran orang Quraisy itu segera kusampaikan kepada Rasulullah Saw. Maka bersabdalah beliau kepadaku. Artinya: 
"Catatlah (tulislah) seperti biasa, demi Tuhan yang nyawaku berada di tangan-Nya, tidak keluar dari padaku melainkan yang hak (benar).
Firman Allah; Artinya: Kami anugerahkan kepadanya (Ibrahim), Ishaq dan Ya'qub. Keduanya itu Kami beri petunjuk, dan Kami telah menunjuki Nuh sebelum itu dan diantara keturunannya Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikian Kami balasi orang-orang yang berbuat kebaikan. * Dan kami tunjuki juga Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas. Semuanya itu orang-orang yang shaleh.* Dan begitu juga Isma'il, Ilyasa' Yunus dan Luth. Semuanya itu Kami utamakan derajatnya melebihi orang-orang (semua ummat) dimasanya.* Dan (begitupun) diantara bapak-bapak mereka dan anak cucu mereka dan saudara-saudara mereka, dan Kami pilih mereka itu, dan Kami tunjuki ke jalan yang lurus. (QS. 6: 84 – 87)
Tafsirnya; Allah menyebutkan, bahwa Allah memberi putera kepada Ibrahim ketika ia sangat tua usianya, dan telah putus harpan untuk mendapatkan putra dari istrinya yang bernama Sarah, tiba-tiba datang kepadanya beberapa Malaikat yang akan pergi kepada kaum Luth, lalu kedua Malaikat itu memberitakan kepadanya akan mendapat putera yang bernama Ishaq. Sehingga Sarah merasa sangat ajaib dan berkata: Aduhai aku akan beranak padahal aku sudah tua, dan suamiku pun tua. Ini sungguh suatu yang ajaib. Para Malaikat bertanya; "Adakah anda ajaib dari kehendak Allah, Rahmat Allah dan berkat-Nya selalu turun atasmu dari keluarga yang baik".
Sungguh Allah Maha Terpuji dan Maha Mulia. Bahkan diberi kabar bahwa puteranya itu akan menjadi Nabi dan beranak yang bernama Ya'kub. Sehingga keluarga itu akan merasakan bahagia dengan putera dan cucu yang akan datang.
Demikian kekuasaan Allah disaat manusia tidak dapat menjangkau dengan kekuatan otak serta akal pikirannya akan sesuatu hal. Tiba-tiba Allah memberitahu yang akan terjadi semata-mata dengan kekuasan Allah, sebab akal manusia sudah tidak dapat meraba lagi atau menjangkau sesuatu yang tidak lazim dan tidak umum terjadi.
Dan ini sebagai balasan Allah terhadap Ibrahim karena ia telah sanggup meninggalkan kaumnya semata-mata karena ibadat kepada Allah, maka Allah memberi ganti padanya turunan yang shalihin. Sebagai yang tersebut dalam surat Maryam: "Fa lamma tazalabahum wamaa ya'buduna min dunillahi wahabna lahu Ishaqa wa ya'quba wakulan ja'alna nabiyaa. (Ketika ia Ibrahim meninggalkan kaumnya dan semua yang mereka sembah selain Allah. Maka Kami berikan kepadanya putera Ishaq dan cucu bernama Ya'qub, dan masing-masing kami jadikan Nabi utusan Allah.
Dan sebelum mereka kami telah beri hidayah kepada Nabi Nuh a.s. dan dari turunan Ya'qub, Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun, demikianlah Kami membalas orang yang berbuat baik.

Dan Zakariya, Yahya, Isa dan Ilyasa kesemuanya termasuk orang shaleh. Dan masing-masing dari Nuh dan Ibrahim mempunyai kelebihan-kelebihan yang khusus ketika Allah telah menenggelamkan kaumnya kecuali yang beriman yang ikut kepadanya diatas bahtera. Maka semua manusia yang ada ini dari keturunan Nabi Nuh a.s. Sedang Nabi Ibrahim, maka tiada Nabi yang diutus sesudahnya melainkan dari turunannya. Sebagaimana tersebut dalan surat Alhadid ayat 26 – walqad arsalnaa Nuuhan wa Ibraahima waja'alna fi dzurriyatihiman nubuwaata wal kitaaba. ("Sungguh Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim, dan Kami jadikan dari keturunan keduanya kenabian dan kitab") Wamin Dzurriyatihi: Dan turunannya dalam kalimat ini, termasuk juga kemenakan, sebagaimana Nabi Luth putera Haran bin Aazar. Juga termasuk turunan dari puteri-puterinya.

Alhajjaj memanggil Yahya bin Ya'mur dan bertanya padanya: Saya mendengar anda menyatakan bahwa Alhasan dan Alhusain termasuk turunan Nabi Saw. Apakah itu anda dapatkan dalam kitab Allah, sebab saya telah membaca dari awal hingga akhir tidak ada keterangannya?
Jawab Yahya: Tidakkah anda membaca surat Al-An'am: Wamin dzurriyatihi Daawuuda wa Sulaimaana hingga wa Yahya wa Isa?
Jawab Alhajjaj: Benar. Tidakkah Isa termasuk turunan Ibrahim meskipun ia tidak berbapak? Jawab Alhajjaj: Benar anda.
Sebab inilah jika orang berwasiat atau mewakafkan untuk dzurriyah (turunan) termasuk juga cucu dari anak perempuan. Adapun jika ia memberi pada putera-puteranya atau mewakafkan untuk mereka, maka khusus untuk turunan anak laki-laki. Juga mereka berdalil dengan sebuah syair yang berbunyi:
"Baanu naa banuu abnaa inaa, wa wabanaa finaa banuu hunna abaa'urrijaa lil ajaa nibi. – Putera-putera kami ialah putera-putera dari putera kandung kami. Dan puteri-puteri kami, anak mereka adalah putera orang lain".

Ada pendapat yang menyatakan bahwa putera dari puteri itu masuk dalam turunan cucu, berdalil pada hadits Bukhari bahwa Rasulullah Saw. Bersabda kepada Alhasan: 
Inna ibni hadza sayyidun, wa la'alla Allah an yush liha bihi baina fiataini adhimataini minal muslimin. – (Sesungguhnya anakku (cucuku) ini seorang yang mulia, semoga Allah akan mendamaikan dengannya di antara kedua golongan yang besar dari kaum muslimin). Nabi Saw menyebut Alhasan Ibni (puteraku) menunjukan putera dari anak perempuan masuk dalam turunan. (Sumber kitab Tafsir Ibnu Katsier)
Maksudnya, ini merupakan sebuah kekhususan, artinya cucu Nabi Saw dari anak perempuan hanyalah putera-puteri dari Fathimah saja. Generasi berikutnya bernasab kepada ayah mereka masing-masing. Sehingga apabila seorang anak berayahkan dari aal Muhammad, maka ia termasuk aal Muhammad. Sebaliknya apabila seorang anak yang berayahkan bukan dari aal Muhammad maka jelaslah ia bernasab kepada ayahnya itu sekalipun ibunya adalah seorang syarifah.
Begitulah adanya, sehingga kondisi seperti inilah yang dimaksudkan sebagai pemutusan hubungan dzurriyat dengan Nabi Saw.

Hadits Nabi Saw yang diriwayatkan oleh ; Al-Dailami, Al-Thabarani, Abu Syaikh, Ibnu Hibban dan Al- Baihaqi, bahwa Nabi Saw bersabda: 'Tidaklah beriman seseorang hamba sehingga aku lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, dan keturunanku lebih dicintai daripada keturunannya sendiri, dan keluargaku lebih dicintai daripada keluarganya sendiri, dan zatku lebih dicintai dari zatnya sendiri".
Karena itulah Abubakar Al-Shiddiq berkata: "Menjalin hubungan kepada sanak keluarga Rasulullah lebih aku sukai, daripada menjalin hubungan dengan sanak keluargaku".

Diwayatkan oleh Ahmad marfu':
"Barang siapa membikin marah ahlul bait ia adalah seorang munafiq".
Dari Abu Sa'id bahwa Nabi Saw bersabda: "Tidaklah seseorang membikin marah kami ahlul bait, melainkan orang itu akan dimasukkan Allah ke dalam neraka". Hadits diatas diriwayatkan oleh Al-Hakim dan disahihkannya sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim.
Dari Abu Sa'id, bahwa Nabi Saw bersabda: "Allah sangat murka terhadap orang yang menyakiti aku dalam urusan keturunanku". (HR Al-Dailami).

Diriwayatkan dari Abu Syaikh dari Ali karamallahu wajhahu, ia berkata; "Suatu ketika Rasulullah keluar dalam keadaan marah menuju ke mimbar, kemudian setelah menyampaikan puji-pujian kepada Allah, beliau berkata: 
"Betapa teganya orang yang menyakiti aku dalam urusan ahlul bait-ku. Demi Zat yang nyawaku berada didalam genggaman-Nya, tidaklah beriman seseorang hamba hingga ia mencintai aku, dan tidaklah ia mencintai aku hingga ia mencintai keturunan-ku".
Dari Imam Ali k.w. Rasulullah Saw bersabda: 
"Ya Allah karuniakanlah kepada orang yang membenci aku dan keluargaku harta dan anak yang banyak". (HR Al-Dailami).
Ibnu Hajar mengomentari hadits ini sebagai berikut: "Dengan banyak harta, maka mereka akan bertambah lama dihisab, dan dengan banyak anak, maka akan bertambah banyak pula setan-setan mereka. Hal ini tidak sama bagi orang yang tidak membenci beliau dan keluarganya, sekalipun do'anya sama. Karena harta dan anak itu dapat menjadi nikmat yang menyampaikan kepada berbagai kebutuhan, berbeda dengan orang-orang yang membenci beliau dan keluarganya tersebut".

Dari Imam Ali k.w. yang berkata kepada Mu'awiyah: "Janganlah sekali-kali anda membenci kami, karena Rasulullah telah bersabda; 
'Tidaklah seseorang yang membenci atau merasa iri kepada kami, melainkan orang itu akan diusir dari Al-Haudh (telaga Nabi Saw) pada Hari Kiamat dengan cambuk dari api". 
(Diriwayatkan oleh Al-Thabarani dalam Al-Ausath-nya). Hadits-hadits 5 – 11 diatas bersumber dari Muhammad Ali Shabban dalam buku "TELADAN SUCI KELUARGA NABI" – Akhlaq dan Keajaiban-Keajaibannya – Alih bahasa: Sayyid Idrus H Alkaf.- Diberi kata pengantar oleh; jalaluddin Rakhmat.– Penerbit; Al-Bayan.

Hadits yang dikemukakan oleh Ibnul Qayyim ialah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam 'Shahih"-nya berasal dari 'Urwah bin Zubair yang mendengar sendiri Siti 'Aisyah r.a. berkata, bahwasanya pada suatu hari Rasulullah Saw menyuruhnya membawa se-ekor kambing tidak bertanduk dan berwarna ke-hitam-hitaman guna disembelih. Setelah kambing itu dibaringkan, sebelum disembelih Rasulullah Saw berdo'a :
"Bismillah ya Allah, terimalah dari Muhammad, dari aal Muhammad dan dari ummat Muhammad kemudian kambing itu disembelih. Imam Muslim meriwayatkan hadits itu selengkapnya dan menerangkan urutan maknanya yang berlainan, yaitu bahwa "ummat Muhammad" mempunyai arti umum, sedang "keluarga" adalah menunjukkan kekhususan.
Orang-orang yang menafsirkan kata "aal" bermakna "keluarga Muhammad Saw". yang diharamkan menerima Shadaqah", mengatakan bahwa penafsiran yang berdasarkan ucapan Rasulullah Saw, lebih utama daripada penafsiran yang berdasarkan pendapat orang lain. Demikianlah dalil-dalil yang dikemukakan oleh Ibnul Qayyim mengenai penafsiran-penafsiran orang yang mengandung faham pertama.
Pada dasarnya semua keturunan ahlul bait Rasulullah saw, diharamkan menerima shadaqah atau zakat. Yang dimaksud keturunan ahlul bait, khususnya ialah mereka yang berasal dari keturunan Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu 'anhuma, bukan keturunan dari dua orang saudara perempuan mereka, kendatipun semuanya adalah putera-puteri Fathimah binti Muhammad Rasulullah Saw. Ketentuan tersebut berdasarkan pada sebuah hadits shahih berasal dari Jabir r.a. diketengahkan oleh Al-Hakim didalam "al-Mustadrak" dan oleh Abu Ya'laa dalam "Musnad"-nya; Bahwasanya Siti Fathimah r.a. meriwayatkan, ayahandanya saw, berkata: 
"Semua anak Adam yang dilahirkan oleh seorang ibu termasuk di dalam sutu 'ushbah – yakni kelompok dari satu keturunan – kecuali dua orang putera Fathimah. Akulah wali dan 'ushbah mereka berdua".

Yang dimaksud "dua orang putera Fathimah "dalam Hadits tersebut ialah Al-Hasan dan Al-Husain Radhiyallhu 'anhuma. Dengan memperhatikan lafadz Hadits tersebut kita dapat mengetahui dengan jelas bagaimana Rasulullah Saw. mengkhususkan pengelompokan Al-Hasan dan Al-Husain r.a. sebagai keturunan beliau Saw. sedang dua orang saudara perempuan mereka (Zainab r.a. dan Ummu Kultsum r.a, dua orang puteri Siti Fathimah juga) dikecualikan dari pengelompokkan nasab tersebut diatas. Karena anak-anak dari kedua orang puteri Siti Fathimah r.a. itu bernasab kepada ayahnya masing-masing yaitu Abdullah bin Ja'far dan Umar bin Khattab demikian seterusnya.

Itulah sebabnya kaum Salaf dan kaum Khalaf memandang anak laki-laki seorang Syarifah (wanita keturunan ahlul bait Rasulullah Saw.) tidak dapat disebut syarif (atau sayyid), jika ayahnya bukan seorang syarif (sayyid). Kalau pengkhususan tersebut diatas berlaku umum bagi semua anak yang dilahirkan anak cucu perempuan Rasulullah Saw. tentu anak lelaki seorang syarifah adalah syarif yang diharamkan menerima shadaqah, walaupun ayahnya bukan seorang syarif.
Karena itu Rasulullah Saw. menetapkan kekhususan tersebut hanya berlaku bagi dua orang putera Siti Fathimah r.a., tidak berlaku bagi puteri-puteri Rasulullah Saw. selain Siti Fathimah r.a. Karena kakak perempuan Siti Fathimah r.a., yaitu Zainab binti Muhammad Saw. tidak melahirkan putera lelaki, tetapi hanya melahirkan anak perempuan yaitu Amamah binti Abul-'Ash bin Ar-Rabi', dengan seorang pria bukan kalangan ahlul bait Rasulullah Saw. Ketentuan itu diambil Rasulullah Saw. semasa hidupnya.

Hal itu menunjukkan bahwa anak-anak Amamah tidak bernasab kepada Nabi Saw. karena Amamah adalah anak perempuan dari puteri beliau, Zainab r.a. yang menjadi istri seorang pria bukan dari ahlul bait Rasulullah Saw. Seandainya Zainab r.a. melahirkan seorang anak lelaki dari suami seorang ahlul bait tentu bagi anak lelakinya itu berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu 'anhuma, yaitu bernasab kepada Rasulullah Saw. Demikian itulah sebuah kenyataan yang patut diterima karena datangnya dari Rasulullah Saw. yang mulia. Masih sangat banyak lagi berita-berita mutawatir dari berbagai sumber yang menjelaskan perihal kedudukan ahlul bait Rasulullah Saw. dan kaitannya dengan masalah "Kufu" atau "Kafa'ah".

Ibnu Sa'ad meriwayatkan sebuah Hadits bahwa Nabi Saw. bersabda; 
"Berbuat baiklah kepada ahlu bait-ku, karena kelak aku akan memperkarakan kalian tentang mereka. Barang siapa yang aku perkarakan, maka Allah pun akan memperkarakannya, dan barang siapa yang diperkarakan Allah, maka orang itu dimasukkan kedalam neraka".

2012@abdkadiralhamid

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "KAFA'AH DALAM ISLAM & MASALAHNYA"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip