PEMBAHASAN TENTANG AYAT "MAWADDAH
Yang kami maksud dengan 'ayat Mawaddah' ialah firman Allah
s.w.t. dalam S. Ay-Syura: 23, yaitu yang berbunyi sebagai berikut:
"Katakanlah – hai Muhammad: 'Aku tidak minta upah apa pun atas hal itu' – yakni da'wah Risalah – kecuali supaya kalian bercintakasih dalam kekeluargaan".
Ayat suci tersebut dengan tegas memberi pengertian kepada
kita kaum Muslimin, bahwa cintakasih kepada para anggota keluarga, atau
kerabat, atau ahlulbait Rasulullah s.a.w. merupakan suatu soal yang diminta
oleh junjungan kita Nabi Besar Muhammad s.a.w. Sesuatu yang diminta oleh
Rasulullah s.a.w. hukumnya adalah wajib, kerana yang diminta oleh beliau
bererti diminta oleh Allah s.w.t. Kewajipan itu menjadi lebih kuat lagi
kedudukan hukumnya kerana telah menjadi ketetapan firman Allah s.w.t. di dalam
Al-Qur'an.
Para Imam ahli tafsir banyak yang membicarakan ayat
tersebut, terutama mengenai pengertian tentang kata 'keluarga' yang dalam nash
aslinya (Al-Qur'an) digunakan kata 'al-qurba' yang dapat pula diertikan
'kerabat'.
Imam As-Sayuthiy di dalam kitabnya, 'Ad-Durr Al-Mantsur',
dan para Imam ahli tafsir lainnya banyak yang dalam menafsirkan kata 'al-Qurba'
itu menggunakan Hadits Ibnu 'Abbas r.a. sebagai dasar. Ibnu 'Abbas r.a.
meriwayatkan, ada beberapa orang sahabat Nabi bertanya kepada Rasulullah
s.a.w.: "Ya Rasulullah, siapa-siapakah kerabat anda yang wajib kami
bercintakasih?" Beliau menjawap: "'Ali, Fatimah dan kedua orang
puteranya".
Sehubungan dengan itu Ibnu 'Abbas mengatakan, bahwa beberapa
orang dari kaum Anshar mengeluarkan ucapan-ucapan tertentu yang menyatakan
kebanggaan atas jasa-jasa yang telah mereka sumbangkan dalam perjuangan membela
Rasulullah s.a.w. Sebagai reaksi terhadap pernyataan mereka itu 'Abbas bin
Abdul Mutthalib menjawap: "Kami lebih afdhal daripada kalian". Peristiwa
itu didengar oleh Rasulullah s.a.w., kemudian pada suatu hari beliau dalam
pertemuan dengan kaum Anshar berkata:
"Hai kaum Anshar, bukankah kalian pada mulanya
hina-dina kemudian dengan aku Allah memuliakan kalian?... Mereka menyahut:
Benar, ya Rasulullah!... Beliau berkata lagi: Mengapa kalian tidak menjawapku?
Mereka bertanya: Apakah yang hendak kami katakan, ya Rasulullah? Beliau s.a.w.
kemudian berkata: Bukankah kalian mengatakan – kepadaku – "Bukankah anda
dikeluarkan oleh kaum anda – dari Makkah – kemudian anda kami lindungi?
Bukankah mereka mendustakan anda kemudian membenarkan anda dan mempercayai
anda? Bukankah mereka tidak mau menolong anda kemudian anda kami bela?"...
Di saat Rasulullah s.a.w. masih berbicara ada di antara kaum
Anshar yang menukas: "Harta kekayaan kami dan semua yang ada pada kami
sekuruhnya kami serahkan kepada Allah dan Rasul-Nya". Sebagai jawapan atas
pertanyaan mereka itulah turun ayat "al-mawaddah". Demikianlah Ibnu
'Abbas r.a.
Thawus mengatakan, ketika Ibnu 'Abbas r.a. ditanya mengenai
soal itu ia menjawap: "Yang dimaksud 'al-qurba' (kerabat) dalam ayat
tersebut ialah 'aal' (keluarga, ahlulbait) Muhammad s.a.w.
Al-Muqriziy menafsirkan ayat 'al-Mawaddah' itu sebagai
berikut: "Aku tidak minta upah apa pun kepada kalian atas agama yang
kubawakan kepada kalian itu selain agar kalian berkasih-sayang terhadap
kerabatku".
Abul-Aliyah mengatakan, bahwa Sa'id bin Jubair menafsirkan
kata 'qurba' dalam ayat tersebut dengan 'kerabat Rasulullah s.a.w.'
Abu Ishaq mengatakan, ketika ia menanyakan makna 'al-qurba'
dalam ayat itu kepada Amr bin Syu'aib ia (Amr) menjawap, bahwa yang dimaksud
adalah 'kerabat Rasulullah s.a.w.'
Suatu hal yang penting kita ketahui ialah bahwa minta upah
atau imbalan atas wahyu yang diterima dari Allah s.w.t. sama sekali tidak pada
tempatnya, sebab menurut kisah para Nabi di dalam Al-Qur'an, tak ada seorang
Nabi pun yang minta upah atau imbalan. Apalagi Nabi kita Muhammad s.a.w.
sebagai sayyidul-Anbiya wal-Mursalin, lebih tidak layak kalau dikatakan bahwa
beliau itu minta upah atau imbalan atas Risalah yang disampaikan kepada
ummatnya. Untuk mencegah kemungkinan adanya pengertian yang tidak benar itu
Allah s.w.t. telah berfirman kepada Rasul-Nya dalam S. Shaad: 86 sebagai
berikut:
"Katakanlah – hai Muhammad: Aku tidak minta upah apa
pun kepada kalian atas hal itu – yakni da'wah Risalah – dan aku bukanlah
termasuk orang yang mengada-ada".
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa tabligh, atau
menyampaikan Risalah adalah wajib, kerana hal itu diperintahkan Allah s.w.t.
dalam firman-Nya, S. Al-Ma'idah: 67:
"...sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu oleh
Tuhanmu"...
Kerana itu jelas sekali bahwa ayat 'al-Mawaddah' tidak dapat
ditafsirkan seolah-oleh Rasulullah s.a.w. minta upah atau imbalan atas da'wah
Risalahnya. Yang diminta oleh Rasulullah s.a.w. ialah supaya ummatnya
melaksanakan prinsip mawaddah (cintakasih) yang telah menjadi kewajipan
agamanya. Banyak ayat-ayat Al-Qur'anul-Karim yang mewajibkan kaum Muslimin
supaya bercintakasih dan berkasihsayang di antara sesama mereka. Tidak sedikit
pula Hadits-hadits Rasulullah s.a.w. yang menekankan soal cintakasih dan
setiakawan di antara sesama kaum Muslimin. Jadi, kalau di antara sesama kaum
Muslimin saja Allah dan Rasul-Nya mewajibkan keharusan saling berkasihsayang
dan bercintakasih, apalagi di antara kaum Muslimin awam dan kaum Muslimin yang
berasal dari ahlulbait atau keluarga Rasulullah s.a.w. Demikian itulah pendapat
Al-Khathib dan Al-Khazin.
As-Sadiy mengetengahkan riwayat berasal dari Abu Dailam yang
mengatakan, ketika 'Ali Zainal Abidin r.a. (ketika itu masih remaja) di bawa ke
Damaskus sebagai tawanan dari Karbala, ada seorang yang melihatnya berkata:
Alhamdulillah yang telah membunuh kalian (yakni: keluarga kalian, yaitu Imam
Al-Husein r.a. dan kaum kerabatnya), dengan demikian akan berakhirlah abad
fitnah". 'Ali Zainal Abidin r.a. menjawap dengan pertanyaan: "Apakah
engkau sudah membaca Al-Qur'an?" Orang yang jahil itu menjawap: "Ya,
tentu!" 'Ali Zainal Abidin bertanya lagi: "Apakah engkau sudah
membaca Aal Haa Miim"? Orang itu menjawap: "Aku membaca Al-Qur'an,
tetapi tidak pernah membaca Aal Haa Miim". 'Ali Zainal Abidin r.a.
berkata: "Kalau begitu engkau tidak pernah membaca ayat yang berbunyi:
"Katakanlah – hai Muhammad: 'Aku tidak minta upah apa pun kepada kalian
atas hal itu (yakni da'wah Risalah) kecuali supaya kalian bercintakasih dalam
kekeluargaan!" Orang jahil itu bertanya: "Apakah kalian termasuk
mereka (keluarga Rasulullah)?" 'Ali Zainal Abidin menjawap:
"Ya!"
Kami kira orang jahil yang gembira atas terbunuhnya
Al-Husein r.a. beserta kaum kerabatnya di Karbala itu bukan orang beriman.
Seumpama ia orang beriman, ia adalah orang yang telah dikuasai oleh kekuasaan
syaitan. Sebab, tidak mungkin dari mulut seorang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya akan keluar ucapan yang tidak pantas itu. Bagaimana bisa jadi, kalau
dalam hati seseorang terdapat iman yang lurus ia akan bersyukur atas
terbunuhnya keluarga Rasulullah s.a.w.? Bahkan ia merasa senang mendengar
berita tentang percincangan terhadap Al-Husein r.a.! Barangkali permusuhan yang
dahulu dilancarkan oleh Abu Jahl terhadap Allah dan Rasul-Nya belum sehebat
permusuhan orang yang jahil itu. Kami yakin, bahwa dalam zaman kita dewasa ini tidak
ada orang yang demikian sesat seperti si Jahil itu dalam melampiaskan
kebenciannya terhadap keluarga Rasulullah s.a.w. Andaikata ada orang seperti
itu, ia tentu akan berubah perangainya bila mendengar Hadits-hadits shahih
mengenai fadha'il dan keutamaan para ahlulbait Rasulullah s.a.w., yang
diriwayatkan oleh kaum Salaf yang saleh dan para ulama Islam dari zaman ke
zaman. Bahkan lebih cepat lagi perangainya akan berubah bila ia mengerti bahwa
fadha'il ahlulbait Rasulullah s.a.w. justru termaktub dalam firman Allah s.w.t.
dan dinyatakan sendiri oleh Rasulullah s.a.w. Hanya orang-orang yang berniat
hendak memadamkan sinar Islam sajalah yang dengan berbagai cara membuat
berita-berita dan riwayat-riwayat bohong untuk menjatuhkan nama baik ahlulbait
Rasulullah s.a.w. Mereka itu termasuk orang-orang yang dimaksudkan oleh Allah
s.w.t. dalam firmannya:
"Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan
mulut (ucapan-ucapan) mereka, namun Allah tidak menghendaki lain kecuali
menyempurnakan cahaya (agama)-Nya, walaupun orang-orang kafir tidak
menyukai". (S. At-Taubah: 32).
Sehubungan dengan tafsir ayat 'al-Mawaddah' itu Zamakhsyariy
di dalam kitabnya, 'Al-Kasysyaf' mengetengahkan sebuah Hadits panjang yang
kemudian dikutip oleh Fakhrur-Razy di dalam 'Al-Kabir'. Hadits tersebut ialah
bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan mencintai
keluarga Rasulullah s.a.w. ia mati syahid. Sungguhlah bahwa orang yang
meninggal dunia dalam keadaan mencintai keluarga Muhammad ia memperolah ampunan
atas dosa-dosanya. Sungguhlah bahwa siapa yang meninggal dunia dalam keadaan
mencintai keluarga Muhammad ia mati dalam keadaan telah diterima taubatnya.
Sungguhlah bahwa barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan mencintai keluarga
Muhammad ia mati sebagai orang beriman yang sempurna imannya. Sungguhlah bahwa
barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan mencintai keluarga Muhammad ia diberi
khabar gembira oleh malaikat maut akan masuk syurga, kemudian diberitahu pula
oleh dua malaikat, Munkar dan Nakir. Sungguhlah barangsiapa meninggal dunia
dalam mencintai keluarga Muhammad ia akan diarak masuk syurga seperti pengantin
perempuan di arak menuju rumah suaminya. Sungguhlah bahwa barangsiapa meninggal
dunia dalam keadaan mencintai keluarga Muhammad, di dalam kuburnya ia akan
dibukakan dua pintu menuju syurga. Sungguhlah bahwa barangsiapa meninggal dunia
dalam keadaan mencintai keluarga Muhammad ia mati dalam lingkungan sunnah awal
jama'ah. Sungguhlah bahwa barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan membenci
keluarga Muhammad, pada hari kiamat kelak ia akan dibangkitkan dalam keadaan
tertulis pada keningnya 'Orang yang putus asa mengharapkan rahmat Allah'.
Sungguhlah bahwa barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan membenci keluarga
Muhammad ia mati kafir. Sungguhlah bahwa barangsiapa meninggal dunia dalam
keadaan membenci keluarga Muhammad ia tidak akan mencium bau syurga".
Fakhru-Raziy mengatakan, keluarga (aal) Muhammad s.a.w.
ialah mereka yang urusannya tergantung kepada beliau, dan setiap orang yang
urusannya bergantung kepada beliau adalah orang yang paling sempurna. Mereka
itu aal (keluarga) Muhammad s.a.w. Sudah pasti, bahawa Fatimah, 'Ali, Al-Hasan
dan Al-Husein radhiyallahu 'anhum mereka itu merupakan orang-orang yang paling
bergantung kepada Rasulullah s.a.w. Itulah yang kita ketahui dari Hadits-hadits
mutawatir, kerananya mereka itulah yang disebut aal Muhammad s.a.w.
Lebih jauh Fakhrur-Raziy mengatakan, orang berbeza pendapat
mengenai pengertian atau makna kata 'aal'. Ada yang berkata, bahwa yang dimaksud
'aal' adalah kaum kerabat. Ada pula yang mengatakan, bahwa yang dimaksud 'aal'
adalah ummat Muhammad s.a.w. Kalau kata 'aal' hendak diertikan 'kerabat' maka
empat orang tersebut di atas adalah kerabat yang paling dekat, yaitu keluarga.
Kalau kata 'aal' hendak diertikan 'ummat yang menerima da'wah beliau s.a.w.'
maka empat orang itu pun jelas termasuk orang-orang yang menerima da'wah beliau
s.a.w. Jadi, dengan apa saja kata 'aal' itu hendak diertikan, empat orang itu
(yakni Fatimah, 'Ali, Al-Hasan dan Al-Husein radhitallahu 'anhum) adalah 'aal'
atau 'keluarga' Rasulullah s.a.w. Tidak ada perselisihan pendapat mengenai
kedudukan mereka itu sebagai 'aal' Muhammad s.a.w. Yang menjadi titik
perselisihan pendapat ialah, apakah orang lain (selain empat orang itu)
termasuk dalam pengertian 'aal' ataukah tidak.
Mengenai soal itu – demikian Fakhrur_Raziy mengatakan –
Zamakhsyariy dalam kitabnya, Al-Kasysyaf telah meriwayatkan, bahwa ketika ayat
'Al-Mawaddah' itu turun Rasulullah s.a.w. ditanya: "Ya Rasulullah, siapa-siapakah
kerabat anda yang wajib kami cintakasihi?" Beliau menjawap: "'Ali,
Fatimah dan dua orang puteranya". Dengan demikian teranglah, bahwa empat
orang itu adalah kerabat dan keluarga Rasulullah s.a.w. Mereka itulah yang
berhak memperoleh kemuliaan khusus lebih besar. Mengenai itu dapat dikemukakan
tiga buah dalil sebagai berikut:
1. Firman Allah s.w.t. dalam S. Asy-Syura: 23 (ayat
'Al-Mawaddah).
2. Tidak dapat disangkal lagi bahwa Rasulullah s.a.w. sangat
mencintai Fatimah r.a., dan beliau telah menegaskan; "Fatimah adalah
bagian dari aku, apa yang menggangunya mengganguku". Demikian pula
mengenai Imam 'Ali, Al-Husein radhiyallahu 'anhum. Rasulullah s.a.w. pun sangat
mencintai mereka. Banyak sekali Hadits-hadits mutawatir yang memberitakan hal
itu. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. terhadap ahlulbaitnya wajib
diikuti oleh segenap kaum Muslimin, kerana Allah s.w.t. telah berfirman:
"...Dan ikutilah dia (Rasul) agar kalian mendapat
hidayat". (A'raf: 158).
"...Maka hati-hatilah mereka yang menyalahi
perintahnya..." (S. An-Nur: 63).
"Katakanlah hai Muhammad: Jika kalian benar-benar
mencintai Allah maka ikutilah aku, Allah pasti mencintai kalian". (S.
Ali-Imran: 31).
"Sesungguhnya pada diri Rasulullah terdapat
suritauladan yang baik bagi kalian". (S. Al-Ahzab: 21).
3. Mendoakan 'aal' Muhammad s.a.w. mempunyai nilai yang
besar, kerana itu doa shalawat ditetapkan sebagai penutup doa tasyahhud di
dalam shalat; yaitu ucapan: Allahumma shali 'alla Muhammad wa 'aala aal
Muhammad. Selain keluarga Rasulullah s.a.w. tidak ada yang memperoleh
penghormatan dan kemuliaan setinggi itu, dan kenyataan tersebut merupakan dalil
bahwa mencintai aal Muhammad s.a.w. adalah wajib.
Demikianlah keterangan yang diberikan oleh Fakhrur-Raziy
mengenai makna kata 'al-Qurba' di dalam ayat 'Al-Muwaddah'.
Ada sementara pendapat yang mengatakan, bahwa yang di maksud
dengan 'al-qurba' dalam ayat 'Al-Muwaddah'... ialah anak-anak Abdul Mutthalib.
Orang yang berpendapat seperti itu antara lain Al-Qasthalaniy, yang mengatakan
bahwa yang dimaksud 'Al-qurba' atau kerabat ialah keturunan Abdul Mutthalib.
Ibnu Hajar di dalam 'As-Shawa'iqul-Muhriqah' mengatakan,
bahwa yang dimaksud dengan 'al-qurba' ialah orang-orang beriman dari keturunan
Hasyim (Bani Hasyim) dan Bani Abdul Mutthalib. Pendapat itu dibenarkan oleh
As-Shiban di dalam 'Is'afur-Raghibin' dan menambahnya dengan 'al-'itrah'
(keturunan Rasulullah s.a.w.). Ia mengatakan, bahwa empat peristilahan tersebut
(yakni: 'aal', 'ahlulbait', 'dzawil-qurba' dan 'itrah') mempunyai satu makna.
Hal itu ditegaskan oleh As-Shiban di dalam kitab 'Al-Mawahib'.
Imam Al-Muqriziy berpendapat, bahwa ayat 'Al-Mawaddah'
mempunyai sifat umum berlaku bagi semua orang beriman. Ia mengatakan, bahwa
semua orang Arab adalah kaumnya Rasulullah s.a.w. dan beliau sendiri adalah
dari mereka. Kerana itu orang lain yang bukan Arab diminta supaya bersikap baik
dan menyukai orang Arab. Banyak Hadits yang mengisyaratkan hal itu.
Al-Muqiriziy lebih jauh mengatakan di antara semua orang Arab, yang paling
dekat hubungan kekerabatannya dengan Rasulullah s.a.w. adalah orang-orang
Qureisy, kerana itu setiap orang Arab harus menghormati dan mencintai orang
Qureisy. Tentang keafdhalan orang Qureisy dibanding dengan orang-orang lainnya,
banyak diketengahkan dalam Hadits-hadits Nabi s.a.w. Bani Hasyim adalah kabilah
(rahth) Rasulullah s.a.w. dan keluarganya, kerana itu setiap orang Qureisy
harus menghormati dan mencintai orang Bani Hasyim. 'Ali bin Abi Thalib,
Fatimah, Al-Hasan, Al-Husein radhiyallahu 'anhum dan anak cucu keturunan mereka
adalah orang-orang yang paling dekat hubungan kekeluargaannya dengan Rasulullah
s.a.w., kerana itu setiap orang Bani Hasyim harus menghormati dan mencintai
mereka. Demikian kata Al-Muqriziy.
Mengenai Hadits-hadits yang berkenaan dengan fadha'il
(keutamaan) Qureisy, antara lain seperti di bawah ini:
Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Semua orang mengikuti Qureisy dalam kebajikan maupun
dalam keburukan". ('Asy-Syaraful-Muabbad Li Aal Muhammad': 162).
"Barangsiapa hendak meremehkan Qureisy ia akan di
remehkan (dihina) Allah". ('Asy-Syaraful-Muabbad Li Aali Muhammad': 162).
"Allah memberikan kelebihan kepada Qureisy dengan tujuh
perkara yang tidak pernah diberikan kepada siapa pun sebelum dan sesudah
mereka:
(1) Allah memberi kelebihan kepada Qureisy dengan (melahirkan aku) dari mereka.
(2) Kenabian ada di tengah mereka.
(3) Hijabah (kewajipan mengurus Ka'bah) ada pada mereka.
(4) Siqayah (kewajipan menjamin air minum bagi semua jama'ah haji) juga pada mereka.
(5) Allah menyelamatkan mereka dari serbuan 'pasukan gajah' (bala tentera Abrahah dari Yaman). (6) Mereka menyembah Allah 10 tahun lebih dari sebelum orang lain.
(7) Tidak ada orang atau kabilah mana pun selain mereka yang disebut dalam satu surah dalam Al-Qur'an (Li iilaafi Qureisyin)." ('Asy-syaraful Muabbad': 162-163).
(1) Allah memberi kelebihan kepada Qureisy dengan (melahirkan aku) dari mereka.
(2) Kenabian ada di tengah mereka.
(3) Hijabah (kewajipan mengurus Ka'bah) ada pada mereka.
(4) Siqayah (kewajipan menjamin air minum bagi semua jama'ah haji) juga pada mereka.
(5) Allah menyelamatkan mereka dari serbuan 'pasukan gajah' (bala tentera Abrahah dari Yaman). (6) Mereka menyembah Allah 10 tahun lebih dari sebelum orang lain.
(7) Tidak ada orang atau kabilah mana pun selain mereka yang disebut dalam satu surah dalam Al-Qur'an (Li iilaafi Qureisyin)." ('Asy-syaraful Muabbad': 162-163).
"Semua orang mengikuti Qureisy. Yang Muslim mengikuti
Muslim-nya Qureisy dan yang kafir mengikuti kafir-nya Qureisy. Sesungguhnya
semua orang menurut asal fitrahnya; orang-orang yang baik di masa jahiliyah
dapat menjadi orang-orang yang baik di dalam Islam jika mereka telah
sedar". ('Asy-Sayaraful Muhabbad': 163).
"Hai manusia, janganlah kalian mencerca Qureisy agar
kalian tidak binasa. Janganlah kalian meninggalkan Qureisy agar kalian tidak
sesat. Janganlah kalian mengajar mereka, tetapi belajarlah dari mereka kerana
mereka itu lebih mengerti daripada kalian. Seumpama mereka (dahulu) tidak
sombong, tentu kedudukan mereka dalam pandangan Allah sudah ku umumkan".
('Asy-syaraful': 163).
"Cintailah orang Qureisy, kerana siapa yang mencintai
mereka ia akan dicintai Allah". ('Asy-syaraful Muabbad': 164).
"Cinta kepada orang Qureisy adalah iman dan benci
kepada mereka adalah kufur". ('Asy-syaraful Muabbad': 164).
"Dahulukan orang Qureisy dan janganlah kalian
mendahului mereka. Seumpama (dahulu) orang Qureisy tidak sombong tentu
kedudukan mereka dalam pandangan Allah sudah kuberitahukan".
('Asy-syaraful Muabbad': 164).
"Qureisy adalah kebaikan bagi semua orang, orang tidak
akan baik kecuali dengan mereka, ibarat makanan yang tidak akan baik kecuali
dengan garam. Qureisy adalah khalis-hatullah (manusia bersih yang diciptakan
Allah). Barangsiapa yang melancarkan perang terhadap mereka ia akan dicabut
nikmatnya, dan barangsiapa yang hendak berbuat jahat terhadap mereka ia akan
dihinakan Allah di dunia dan diakhirat". ('Asy-syaraful Muabbad':
164-165).
"Janganlah kalian memaki Qureisy, kerana orang alim
(yang akan muncul) dari Qureisy kelak akan memenuhi semua penjuru bumi dengan
ilmu". ('Asy-syaraful Muabbad': 165).
Mengenai Hadits yang terakhir itu Imam Ahmad bin Hanbal dan
lain-lain mengatakan, bahwa orang alim yang dari Qureisy itu ialah Imam
Syafi'iy r.a. sebab tidak ada seorang alim yang ilmunya terpelihara di semua
pelosok dunia selain Imam Syafi'iy.
Putera Imam Ahmad bin Hanbal yang bernama Shalih
menceritakan sikap yang diperlihatkan ayahnya kepada Imam Syafi'iy, sebagai
berikut: Pada suatu hari Imam Syafi'iy datang menjenguk ayahku (yakni Imam
Ahmad). Ayahku berdiri menyambut kedatangannya, merangkul dan mencium
keningnya. Imam Syafi'iy dipersilakan duduk oleh ayahku di tempat duduknya,
kemudian mereka bercakap-cakap. Ketika Imam Syafi'iy hendak pulang dan sudah
naik ke atas kenderaannya (keldai, kuda atau unta) ayahku mengantarkannya
dengan berjalan kaki di sampingnya. Ketika Yahya bin Mu'in mendengar berita
tentang kejadian itu, ia bertanya kepada ayahku: "Subhanallah, kenapa anda
berbuat seperti itu"? Ayahku menjawap: "Seumpama ketika itu aku
berjalan di sampingnya dan anda juga turut berjalan di samping yang lain, tentu
anda akan memperoleh manfaat. Barangsiapa yang ingin memperoleh ilmu Fiqh
sebanyak-banyaknya hendaknya ia mencium ekor kuda yang ditunggangi Imam Syafi'iy
r.a."!
At-Thabariy dalam tafsirnya mengenai ayat 'Al-Mawaddah'
mengatakan, bahwa ayat tersebut bermakna: "Hai orang Qureisy, aku tidak
minta upah apa pun kepada kalian. Yang kuminta hanyalah supaya kalian berkasih
sayang dengan kerabatku dan memelihara silaturrahimi yang ada antara aku dan
kalian".
Ibnu 'Abbas r.a., Ibnu Ishaq dan Qatadah, ketiga-tiganya
mengatakan: Rasulullah s.a.w. mempunyai hubungan kekerabatan dan keturunan
dengan setiap anak suku kabilah Qureisy. Ayat tersebut mengandungi erti permintaan
agar orang-orang Qureisy jangan mengganggu beliau s.a.w.
Berdasarkan Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Abbas r.a.,
Ibnu Hatim dalam menafsirkan kalimat "...dan barangsiapa berbuat
kebaikan..." (lanjutan ayat Al-Mawaddah) mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan 'kebaikan' (hasanah) ialah 'cintakasih kepada aal Muhammad s.a.w.'
Sebagaimana diketahui, Ibnu 'Abbas r.a. meriwayatkan, bahawa
Rasulullah s.a.w. telah berkata:
"Cintalah Allah atas nikmat yang dilimpahkan-Nya kepada
kalian, cintailah aku berdasarkan kecintaan kepada Allah, dan cintailah
ahlulbait berdasarkan kecintaan kepadaku".
Ibnu Mas'ud r.a. meriwayatkan, bahawa Rasulullah s.a.w.
telah berkata:
"Mencintai ahlulbait Muhammad satu hari lebih baik dari
ibadah satu tahun".
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan, bahwa Rasulullah s.a.w.
telah menegaskan:
"Yang terbaik di antara kalian ialah orang yang terbaik
sikapnya terhadap ahlulbait sepeninggalku".
Thabraniy dan lain-lain mengetengahkan beberapa Hadits Nabi
s.a.w. tentang kecintaan kepada ahlulbaitnya, antara lain:
"Seorang hamba Allah tidak akan sempurna imannya
sebelum kecintaannya kepadaku melebihi kecintaannya kepada dirinya sendiri;
sebelum kecintaannya kepada keturunanku melebihi kecintaanya kepada
keturunannya sendiri; sebelum kecintaannya kepada keluargaku melebihi
kecintaannya kepada keluarganya sendiri; dan sebelum kecintaannya kepadaku
dzatku melebihi kecintaannya kepada dzatnya sendiri".
"ahlulbait dan para pencintanya di kalangan ummatku
akan bersama-sama masuk syurga seperti dua jari telunjuk ini".
"Hendaklah kalian tetap memelihara kasihsayang dengan
kami, ahlulbait, kerana orang yang bertemu dengan Allah (pada hari kiamat
kelak) dalam keadaan mencintai kami ia akan masuk syurga dengan syafaat kami.
Demi Allah yang nyawaku berada di tangan-Nya, amal seorang hamba Allah tidak
akan bermanfaat baginya kecuali dengan mengenal hak-hak kami".
Ad-Dailamiy mengetengahkan sebuah riwayat Hadits,
bahawasanya Rasulullah s.a.w. telah bersabda:
"Barangsiapa yang hendak bertawassul (berwasilah) dan
ingin memperoleh syafaat dariku pada hari kiamat kelak, hendaknya ia menjaga
hubungan silaturrahimi dengan ahlulbait dan berbuat yang menggembirakan
mereka".
Imam 'Ali bin Abi Thalib r.a. mengatakan, bahwa Rasulullah
s.a.w. memberitahukan kepadaku:
"Bahwa orang-orang yang pertama akan masuk syurga ialah
aku, Fatimah, Al-Hasan dan Al-Husein. Aku bertanya: Bagaimanakah para pencinta
kami, ya Rasulullah? Beliau menjawap: Di belakang kalian".
Imam Ahmad bin Hanbal r.a. mengetengahkan sebuah Hadits,
bahawa pada suatu hari Rasulullah s.a.w. memegang tangan Al-Hasan dan Al-Husein
seraya berkata:
"Barangsiapa yang mencintaiku dan mencintai kedua anak
ini dan ayahbunda mereka, ia akan berada di dalam derajatku pada hari
kiamat".
Yang dimaksud 'di dalam derajatku', bukan bererti sederajat
dengan beliau s.a.w., melainkan bersama-sama beliau dalam musyahadah
(menyaksikan Dzat Ilahi).
"Barangsiapa berbuat baik kepada salah seorang dari
keturunan Abdul Mutthalib dan ia belum memperoleh imbalannya di dunia, maka
imbalannya menjadi tanggunganku pada hari kiamat kelak, bila ia bertemu
denganku". (Hadits marfu diketengahkan oleh Thabrani).
"Empat golongan yang akan memperoleh syafaat dariku
pada hari kiamat. Mereka itu adalah:
1. Orang yang menghormati keturunanku.
2. Orang yang memenuhi kebutuhan mereka.
3. Orang yang berusaha membantu urusan mereka pada saat
mereka memerlukannya.
4. Orang yang mencintai mereka dengan hati dan
lidahnya".
Ibnun-Najjar di dalam kitab 'Tarikh'-nya tentang Al-Hasan
bin 'Ali r.a. mengetengahkan sebuah Hadits, bahwasanya Rasulullah s.a.w.
berkata:
(Segala sesuatu mempunyai asas. Asas Islam ialah kecintaan
kepada para sahabat Rasulullah dan kecintaan kepada ahlulbaitnya).
Thabraniy mengetengahkan sebuah Hadits berasal dari Ibnu
'Abbas r.a. yang mengatakan, bahwa Rasulullah s.a.w. pernah berkata:
"Dua kaki seorang hamba Allah tidak akan dapat bergerak
pada hari kiamat sebelum ia ditanya tentang empat perkara: Untuk apa umurnya
dihabiskan; untuk apa tubuhnya (jasadnya) dirusakkan (yakni: dipergunakan
hingga mati); untuk apa hartanya diinfakkan dan dari mana diperoleh; dan
ditanya tentang kecintaannya kepada ahlulbait".
Ad-Dailamiy mengetengahkan Hadits berasal dari Imam 'Ali bin
Abi Thalib r.a., bahwasanya Rasulullah s.a.w. berkata:
"Di antara kalian yang paling mantap berjalan di atas
shirath ialah yang paling besar kecintaannya kepada ahlulbaitku dan para
sahabatku".
Dalam Shahih Bukhariy dan Muslim terdapat sebuah riwayat
Hadits sebagai berikut:
Al-'Abbas, paman Nabi, mengadu kepada Rasulullah s.a.w.
tentang adanya kelompok orang Qureisy yang sedang bercakap-cakap, tetapi
setelah mereka melihat Al-'Abbas datang, mereka memperlihatkan muka kecut dan
menghentikan percakapannya. Mendengar pengaduan itu Rasulullah s.a.w. tampak
gusar, wajahnya merah padam dan keningnya berkeringat. Beliau kemudian berkata:
"Kenapa sampai ada orang-orang yang sedang
bercakap-cakap, tetapi bila mereka melihat seorang dari ahlulbaitku datang lalu
menghentikan percakapannya. Demi Allah, iman belum masuk ke dalam hati
seseorang sebelum ia mencintai mereka (para ahlulbaitku) kerana mereka itu
adalah kerabatku".
Menurut riwayat lain, ketika itu Rasulullah s.a.w. berkata:
"Demi Allah yang nyawaku berada di tangan-Nya, iman
belum masuk ke dalam hati seseorang sebelum ia mencintai kalian (ahlulbait)
demi kerana Allah dan Rasul-Nya".
Thabraniy di dalam kitab 'Al-Ausath' mengetengahkan Hadits,
bahwa Abdullah bin Umar Ibnul-Khatthab r.a. mengatakan:
"Kalimat terakhir yang diucapkan Rasulullah s.a.w.
ialah: Gantikanlah aku (teruskanlah kepemimpinanku) di kalangan
ahlulbaitku".
Imam 'Ali r.a. meriwayatkan, bahwa Rasulullah s.a.w. telah
berkata:
"Didiklah anak-anak kalian mengenai tiga perkara:
Mencintai Nabi kalian, mencintai ahlulbaitnya dan membaca Al-Qur'an".
Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Allah mempunyai tiga hurumat (hal-hal yang wajib
dihormati dan tidak boleh dilanggar). Barangsiapa yang menjaga baik-baik tiga
hurumat itu Allah akan menjaga urusan agamanya dan keduniaannya; dan
barangsiapa yang tidak mengindahkannya, Allah tidak akan mengindahkan sesuatu
baginya. Para sahabat bertanya: Apakah tiga hurumat itu, ya Rasulullah? Beliau
menjawap: Hurumatul-Islam, hurumatku dan hurumat kerabatku".
Semua pemimpin dan para ulama kaum Salaf dan Khalaf
(generasi sezaman dengan Rasulullah s.a.w. dan generasi-generasi berikutnya)
memupuk kecintaannya masing-masing kepada ahlulbait Rasulullah s.a.w., terutama
Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. yang pernah berkata:
"Kerabat Rasulullah s.a.w. lebih kucintai daripada
kerabatku sendiri".
Al-Bukhariy mengetengahkan ucapan Abu Bakar r.a. di dalam
'Shahih'-nya:
"Jagalah – wasiyat – Muhammad mengenai
ahlulbaitnya".
Ibnu Allan mengatakan, bahwa Imam Nawawiy – Penulis kitab
'Riyadhus-Shalihin' – mengertikan kata 'jagalah' tersebut di atas dengan:
'peliharalah, hormatilah dan muliakanlah'.
Al-Mala dalam kitab 'Sirah'-nya mengetengahkan sebuah
Hadits, bahawasanya Rasulullah s.a.w. berpesan:
"Wasiatkanlah kebajikan bagi Ahlulbaitku. Pada hari
kiamat kelak aku akan menggugat kalian mengenai ahlulbaitku. Barangsiapa yang
menghadapi gugutanku, ia akan digugat oleh Allah, dan barangsiapa yang digugat
oleh Allah ia akan dimasukkan ke dalam neraka".
Sebuah Hadits shahih yang diketengahkan oleh banyak
Ahlul-Sunnah (para ulama Hadits) memberitakan kejadian sebagai berikut: Ketika
anak perempuan Abu Lahab meninggalkan orang tuanya dan hijrah ke Madinah, ada
beberapa orang dari kaum Muslimin yang berkata kepadanya: Hijrahmu ke Madinah
tidak ada gunanya samasekali, kerana orang tuamu adalah umpan neraka! Ketika
anak perempuan Abu Lahab melaporkan kejadian itu kepada Rasulullah s.a.w.,
beliau amat gusar, kemudian berkata:
"Kenapa sampai ada orang-orang yang menggangguku
melalui nasab dan kaum kerabatku?! Sungguhlah, barangsiapa yang mengganggu
nasabku dan kaum kerabatku bererti ia menggangguku, dan barangsiapa yang
menggangguku bererti ia mengganggu Allah".
Thabraniy dan Al-Hakim mengetengahkan Hadits berasal dari
Ibnu 'Abbas r.a., bahwasanya Rasulullah s.a.w. telah berkata:
"Hai Bani Abdul Mutthalib, kalian kudoakan kepada Allah
mengenai tiga hal: Semoga Allah memantapkan kedudukan kalian; semoga Allah
melimpahkan ilmu kepada orang yang sesat di antara kalian. Seumpama ada orang
yang naik turun antara Rukn dan Maqam (dua buah tempat sekitar Ka'bah) kemudian
ia shalat dan puasa, tetapi jika ia meninggal dunia dalam keadaan membenci
ahlulbait Muhammad, ia masuk neraka".
Dalam kitab 'Al-Ausath' Thabraniy mengetengahkan Hadits
berasal dari Jabir bin Abdullah, yang mengatakan bahwa ia mendengar Rasulullah
s.a.w. berkhutbah, antara lain beliau berkata:
(Hai manusia, barangsiapa menbenci kami, Ahlulbait, pada
hari kiamat ia akan digiring sebagai orang Yahudi).
Abu Sa'id Al-Khudriy meriwayatkan, bahawasanya Rasulullah
s.a.w. berkata:
(Orang yang membenci kami, ahlulbait, Allah akan
memasukkannya ke dalam neraka).
Thabrani meriwayatkan sebuah Hadits berasal dari Imam 'Ali
bin Abi Thalib r.a. berkata kepada Mu'awiyah bin Abi Sufyan:
"Hati-hatilah jika engkau membenci kami, kerana
Rasulullah s.a.w. telah berkata: Orang yang membenci kami dan dengki terhadap
kami pada hari kiamat akan dihalau dari syurga dengan cambuk dari neraka".
Imam Ahmad bin Hanbal r.a. mengetengahkan sebuah Hadits
marfu, bahwa Rasulullah s.a.w. berkata:
"Barangsiapa membenci ahlulbait dia adalah
munafik"
Rasulullah s.a.w. juga telah berkata:
"Syurga diharamkan bagi orang yang berlaku dzalim
terhadap ahlulbaitku dan menggangguku lewat keturunanku".
Demikian banyaknya Hadits-hadits Rasulullah s.a.w. yang
diriwayatkan oleh para sahabatnya, yang kesemuanya memberi pengertian kepada
kaum Muslimin, bahwa mencintai beliau s.a.w. dan ahlulbaitnya merupakan bagian
dari agama Islam, yang wajib ditunaikan oleh setiap Muslim yang mendambakan
keridhoan Allah s.w.t., kerana keridhoan Allah dan keridhoan Allah dan
keridhoan Rasul-Nya merupakan kesatuan yang tak terpisahkan.
Mereka itulah ahlulbait Rasulullah s.a.w. yang wajib kita
kenal dan kita akui keutamaan martabat serta kelebihan-kelebihan yang telah
dilimpahkan Allah sebagai anugerah istimewa kerana hubungan kekeluargaan mereka
dengan Rasulullah s.a.w.
Mereka keluarga suci dan mulia
Barangsiapa dengan ikhlas mencintainya
Ia memperoleh pegangan yang sentosa
Untuk bekal kehidupan di akhiratnya
Yang keluhuran perilakunya terkenal di dunia
Kebajikannya menjadi buah bibir dan cerita
Dan keagungannya diingat orang sepanjang masa
Hormat kepada mereka adalah kewajipan agama
Kecintaan kepada mereka wujud hidayat yang nyata
Mentaati mereka adalah curahan cinta
Dan kecintaan kepada mereka adalah takwa
Setelah dibai'at sebagai penerus kekhalifahan ayahandanya,
Imam Al-Hasan r.a. dalam khutbahnya antara lain menegaskan kedudukan ahlulbait
Rasulullah s.a.w., sebagai berikut:
"Kami adalah keluarga terdekat Rasulullah s.a.w., kami
ahlulbait beliau yang baik, kami adalah salah satu dari dua tsaqal (tsaqalain)
yang diwasiatkan datuk kami s.a.w. kepada ummatnya, kami tsaqal kedua setelah
Kitabullah yang di dalamnya terdapat penjelasan terperinci mengenai segala
sesuatu dan yang tidak mengandung kebatilan samasekali, baik secara samar-samar
atau pun secara terang, suatu Kitab suci yang diturunkan oleh Allah Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Terpuji, Kitab Suci yang tafsir dan ta'wilnya ada pada
kami. Kerana itu hendaknya kalian taat kepada kami, kerana ketaatan kalian
kepada kami telah diwajibkan selama kami tetap taat kepada Allah Azza wa Jalla
dan kepada Rasul-Nya. Allah s.w.t. telah berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah
Rasul-Nya dan ulil-amri dari kalian". (S. An-Nisa': 59).
Selanjutnya Imam Al-Hasan r.a. berkata: "Kami adalah
pimpinan kaum Muslimin dan hujah Ilahi di alam semesta. Kami adalah maula kaum
Muslimin dan kami jaminan keamanan bagi penghuni bumi sebagaimana
bintang-bintang menjadi jaminan keamanan bagi penghuni langit..."
"Hai ummat manusia, barangsiapa telah mengenalku, tentu
ia telah benar-benar mengenalku, dan barangsiapa yang belum mengenalku maka
kenalilah bahwa aku adalah Al-Hasan bin 'Ali, aku putera Nabi, putera manusia
yang diutus Allah sebagai pembawa berita gembira dan peringatan, putera seorang
Nabi dan Rasul yang mengajak ummat manusia bersembahsujud kepada Allah. Aku
adalah putera pelita yang memancarkan cahaya terang-benderang, aku seorang dari
ahlulbaitnya yang oleh Allah s.w.t. telah dibersihkan dari segala noda dan
kotoran serta telah disucikan sesuci-sucinya. Aku seorang dari ahlulbait
Rasulullah s.a.w. yang Allah mewajibkan setiap Muslim supaya berkasihsayang
kepadanya. Allah Tabaraka Wa Ta'ala telah berfirman kepada Rasul-Nya s.a.w.:
"Katakanlah: Aku tidak minta upah apa pun kepada kalian
atas da'wah Risalah selain supaya kalian berkasihsayang dalam kekeluargaan, dan
barangsiapa berbuat kebaikan kepadanya akan Kami tambahkan kebaikan". (S.
Asy-Syura: 23).
Kerana itu hendaklah kalian berbuat baik dengan berkasih
sayang kepada kami, ahlulbait Rasulullah s.a.w. Imam 'Ali bin Abi Thalib r.a.
dalam penjelasannya mengenai ciri-ciri khusus para pengikut dan pencinta
ahlulbait Rasulullah s.a.w. mengatakan sebagai berikut:
"Para pengikut dan pencinta kami, ahlulbait Rasulullah
s.a.w., adalah orang-orang yang mengenal Allah dan melaksanakan
perintah-perintah-Nya. Mereka itu orang-orang yang memiliki keutamaan dan
selalu berbicara benar, makanan dan pakaian mereka sederhana, berjalan dengan
tawadhu (rendah hati) mencari keridhoan Allah dengan taat kepada-Nya dan tunduk
kepada-Nya dengan khusyu beribadah. Mereka memejamkan mata dari semua yang
diharamkan Allah dan gemar mendengarkan serta menuntut ilmu untuk mengenal Tuhannya.
Dalam menghadapi cubaan dan kesenangan, jiwa mereka menunduk dan ridho menerima
takdir Ilahi. Kalau bukan kerana umur yang telah disuratkan Allah s.w.t. bagi
mereka, sekejap mata pun roh mereka tidak akan tetap di dalam jasad mereka,
kerana mereka itu sangat merindukan pertemuan dengan Allah, amat mendambakan
limpahan pahala-Nya dan selalu takut akan hukuman-Nya yang amat pedih. Dalam
jiwa mereka hanya Al-Khaliq sajalah Yang Maha Besar, selain itu adalah serba
kecil dalam pandangan mereka. Mereka membayangkan syurga seperti orang yang
pernah menyaksikannya sambil duduk bersandar di pelaminan. Gambaran mereka
mengenai neraka seperti orang yang pernah menyaksikan sambil merasakan adzabnya
dengan sabar beberapa hari lamanya kemudian akan tiba saatnya bagi mereka untuk
menikmati kebahagiaan yang lama. Mereka dirayu keduniaan, tetapi mereka tidak
menginginya. Keduniaan mengejar-ngejar mereka, tetapi mereka sanggup membuat
keduniaan tidak berdaya menguasai mereka. Di malam hari kaki mereka tegak
berdiri (shalat), membaca bagian-bagian dari Al-Qur'an, mendidik diri mereka
sendiri dengan contoh-contoh dan teladan yang terdapat di dalamnya, dan dengan
Al-Qur'an yang dibacanya itu mereka mengubati penyakit yang ada di dalam jiwa
mereka. Ada kalanya juga mereka duduk bersimpuh, menekuk lutut dan ujung
jari-jari kaki bersembah sujud kepada Allah. Dengan air mata bercucuran pada
kedua pipinya mereka mengagungkan Allah Yang Maha Besar lagi Maha Kuasa, mohon
kepada-Nya supaya dilepaskan dari keduniaan yang membelenggu mereka. Itulah
yang mereka lakukan di malam hari.
"Di siang hari mereka adalah para ahli hikmah yang
patuh kepada Allah, para ulama yang takwa dan takut kepada Tuhannya. Mereka
tampak seperti anak panah yang belum disepuh (lemah lunglai) sehingga engkau menduga
mereka itu orang-orang sakit atau orang-orang yang kebingungan, padahal mereka
tidak demikian. Mereka itu tercekam jiwanya merasakan kebesaran Allah dan
kehebatan kekuasaan-Nya; hati mereka tidak pernah terlepas dari Tuhannya dan
fikiran mereka pun tak pernah lengah. Apabila mereka telah terlepas dari
cekaman batinnya, mereka segera mengabdikan diri kepada Allah dengan berbuat
kebajikan sebanyak-banyaknya. Mereka tidak puas dengan sedikit berbakti kepada
Allah dan tidak meminta balasan sebanyak-banyaknya. Mereka adalah orang-orang
yang selalu menyedari kekurangan pada dirinya dan senantiasa ingin berbuat
kebajikan sebanyak-banyaknya. Engkau dapat menyaksikan pada diri mereka
masing-masing terdapat kesedaran beragama yang kuat, terdapat kemantapan tekad
dalam sikapnya yang lembut, memiliki iman dan keyakinan yang mantap, selalu
haus ingin menambah ilmu, memahami fiqh sedalam-dalamnya, menuntut ilmu dengan
tabah dan sabar, luwes dalam usaha mencapai tujuan. Mereka tidak membutuhkan
sesuatu, tetapi hidup mempunyai tujuan. Mereka memperindah diri dengan hidup
kekurangan, dan berkasihsayang dengan hati yang sabar. Mereka khusyu dalam
beribadah, bermurah hati kepada orang yang kesusahan, memenuhi hak orang lain,
tidak serakah dalam mencari penghidupan, menghendaki yang serba halal, giat
memberikan petunjuk dan nasihat, ketat menjaga tuntutan selera, tidak tergiur
oleh sesuatu yang tidak diketahuinya, selalu memperhitungkan apa yang hendak
diperbuatnya, tidak tergesa-gesa melakukan sesuatu, dan sekalipun ia berbuat
baik namun tetap merasa takut. Di pagi hari mereka sibuk berdzikir dan di
petang hari mereka terus menerus bersyukur. Di malam hari mereka berhati-hati
agar tidak lupa beribadah, dan di pagi hari riang gembira atas rahmat Allah
yang diperolehnya. Mereka selalu menginginkan sesuatu yang kekal (kehidupan
akhirat) dan hidup zuhud meninggalkan hal-hal yang tidak berguna. Mereka
menerapkan ilmunya dalam amal perbuatan dan menyatukannya dengan kesabaran.
Mereka rajin dan giat serta tak kenal malas, tidak bercita-cita muluk dan dari
Allah mereka mengharap kebajikan. Mereka asyik menanti ajal dengan hati
senantiasa bersyukur kepada Tuhan, rela dengan apa yang ada pada dirinya,
sanggup menahan amarah, pantang mengganggu tetangga, mudah urusannya, menonjol
kesabarannya dan banyak dzikirnya. Mereka tidak berbuat kebaikan kerana riya
(untuk mendapat pujian orang) dan tidak meninggalkan kebajikan kerana malu.
Mereka itulah para pengikut dan pencinta kami, ahlulbait Rasulullah
s.a.w." (Mahmud Syarqawiy: 'As-Sayyidatu Zainab': 36).
Itulah sifat-sifat mulia, luhur dan sempurna yang semestinya
menghiasi diri setiap Muslim agar dapat menjadi pencinta sejati ahlulbait
Rasulullah s.a.w. Sebab, jika orang benar-benar mencintai Rasulullah s.a.w. dan
ahlulbaitnya maka tidak bisa lain ia tentu mengikuti jejak mereka dan
bersuriteladan pada keluhuran akhlak dan perangai mereka. Itulah hikmah yang
terkandung di dalam perintah Allah dan Rasul-Nya supaya setiap Muslim
senantiasa mengucapkan shalawat dan salam bagi Rasulullah s.a.w. beserta
ahlulbaitnya. Mengucapkan shalawat adalah mudah, tetapi mewujudkan ucapan
shalawat dalam kehidupan nyata memang menuntut kesedaran iman yang
setinggi-tingginya.
Bagian Keenam
NASH-NASH HADITS "AL-KISA"
Sebagaimana telah kita ketahui dari uraian pada bahagian
permulaan buku ini, Hadits 'Al-Kisa' mengandung dua pengertian pokok yang amat
besar dan penting. Yaitu: (1) Pembuktian atau dalil tentang kesucian ahlulbait
Rasulullah s.a.w.; dan (2) bahwa yang dimaksud 'ahlulbait' ialah Imam 'Ali
r.a., Siti Fatimah r.a. dan kedua orang puteranya, Al-Hasan dan Al-Husein
radhiyallahu 'anhuma.
Nash-nash Hadits tersebut diriwayatkan oleh berbagai sumber
dan oleh banyak rawi (orang yang menyampaikan riwayat) dengan teks yang agak
berlain-lainan, tetapi mempunyai makna yang sama. Di bawah ini kami kutipkan
beberapa nash dari Hadits 'Al-Kisa':
"Aisyah r.a. berkata: Pada suatu pagi Rasulullah s.a.w.
dengan mengenakan jubah terbuat dari bulu berwarna hitam keluar (dari hijr),
kemudian datanglah Al-Hasan, lalu ia dimasukkan ke dalam jubah seraya berucap:
"Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan kotoran (rijsa) dari kalian,
ahlulbait dan hendak mensucikan kalian sesuci-sucinya".
(Dari Hadits Zakariya, dari Mush'ab bin Syaibah dan dari
Shafiyyah binti Syaibah. Lihat Tafsir At-Thabariy 22/5).
"Ummu Salamah r.a. berkata: Pada suatu hari Rasulullah
s.a.w. berada di tempat kediamanku bersama 'Ali, Fatimah, Al-Hasan dan
Al-Husein. Untuk mereka kubuatkan khazirah (makanan terbuat dari tepung dan
daging). Setelah makan mereka tidur, kemudian oleh Rasulullah s.a.w. mereka
diselimuti dengan kisa, atau kain sutera, seraya berucap: 'Ya Allah, mereka
ahlulbaitku, hilangkanlah kotoran dari mereka dan sucikanlah mereka
sesuci-sucinya". (Dari Hadits Zaid, dari Syahr bin Hausyab. Lihat Tafsir At-Thabariy:
22/6).
"Abu Ammar berkata: Aku duduk di rumah Watsilah bin
Al-Asqa bersama beberapa orang lain yang sedang membicarakan soal 'Ali r.a. dan
mengecamnya. Ketika mereka berdiri (hendak meninggalkan tempat) Watsilah
berkata: Duduklah, kalian hendak kuberitahu tentang orang yang kalian kecam
itu. Di saat aku sedang berada di kediaman Rasulullah s.a.w. datanglah 'Ali,
Fatimah, Hasan dan Husein. Beliau kemudian melemparkan kisanya kepada mereka
seraya berucap: Ya Allah, mereka ahlulbait. Ya Allah, hilangkanlah kotoran dari
mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya. Aku bertanya: 'Ya Rasulullah,
bagaimanakah diriku? Beliau menjawap: Dan engkau...! Watsilah selanjutnya
berkata: Demi Allah, bagiku peristiwa itu merupakan kejadian yang sangat
meyakinkan". (Dari Hadits Abu Nu'aim Al-Fadhl bin Dakkain yang mengatakan
menerima Hadits itu dari Abdus-Salam bin Harb, dari Kaltsum Al-Muharibiy,
berasal dari Abu Ammar. Lihat Tafsir At-Thabariy: 22/6).
"Ummu Salamah r.a. berkata: Ketika turun ayat
'Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan kotoran dari kalian, ahlulbait, dan
hendak mensucikan kalian sesuci-sucinya'. Rasulullah s.a.w. memanggil 'Ali,
Fatimah, Hasan dan Husein, kemudian beliau menyelimuti mereka dengan kisa
buatan Khaibar seraya berucap: 'Ya Allah, mereka ahlulbaitku. Ya Allah,
hilangkan kotoran dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya. Ummu
Salamah bertanya: 'Tidakkah aku termasuk mereka'? Rasulullah s.a.w. menjawap:
'Engkau berada di dalam kebajikan"?
(Dari Hadits Waki', dari Abdulhamid bin Bahram, dari Syahr
bin Hausyab, dari Fudhail bin Marzuq, dari Athiyyah, dari Abu Sa'id Al-Khudriy,
berasal dari Ummu Salamah r.a. Lihat tafsir At-Thabariy: 22/7).
"Ummu Salamah r.a. berkata; Fatimah datang kepada
Rasulullah s.a.w. membawa sebuah kuali tembikar berisi ashidah (sejenis makanan
terbuat dari tepung) yang baru dimasaknya. Kuali yang dialasi dengan baki itu
kemudian diletakkan di hadapan beliau s.a.w. Beliau bertanya: 'Manakah kedua
anakmu?' Fatimah menjawap: 'Di rumah'. Beliau berkata lagi: 'Panggilah mereka'.
Fatimah lalu menemui 'Ali dan berkata: 'Datanglah menghadap Nabi s.a.w. bersama
dua putera anda'. Ummu Salamah berkata lebih lanjut: 'Ketika Rasulullah s.a.w.
melihat mereka datang, beliau mengambil kisa dari tempat tidur, kemudian
dibentang, dan mereka diminta duduk di atasnya. Beliau lalu mengambil empat
ujung kain kisa digabung menjadi satu dengan tangan kiri beliau di atas kepala
mereka. Kemudian beliau mengangkat tangan kanannya sambil berdoa: 'Ya Allah,
mereka adalah ahlulbait, hilangkanlah kotoran dari mereka dan sucikan mereka
sesuci-sucinya".
(Hadits dari Zarbayi, dari Muhammad bin Sirin, dari Abu
Hurairah r.a. dan berasal dari Ummu Salamah r.a. Lihat tafsir At-Thabariy:
22/7).
"Ummu Salamah r.a. mengatakan, bahwa ayat 'Sesungguhnya
Allah hendak menghilangkan kotoran dari kalian, ahlulbait, dan hendak
mensucikan kalian sesuci-sucinya' turun ketika Rasulullah s.a.w. sedang berada
di rumahnya. Ummu Salamah r.a. berkata: 'Ketika itu aku duduk di dekat pintu
rumah. Kepada Rasulullah s.a.w. aku bertanya: 'Ya Rasulullah, apakah diriku
termasuk ahlulbait'? Beliau menjawap: 'Engkau memperoleh kebajikan, engkau
termasuk para isteri Nabi'. Ketika itu Rasulullah s.a.w., 'Ali, Fatimah,
Al-Hasan dan Al-Husein berada di rumahku".
(Dari Hadits Ibnu Marzuq, dari Athiyyah, dari Abu Sa'id
berasal dari isteri Nabi, Ummu Salamah r.a. Lihat tafsir At-Thabariy: 22/7).
"Abdullah bin Wahab bin Zam'ah mengatakan: Ummu Salamah
r.a. memberitahu kepadaku, bahwa pada suatu hari Rasulullah s.a.w. mengumpulkan
Fatimah, Al-Hasan dan Al-Husein r.a., kemudian ketiga-tiganya dimasukkan ke
dalam jubahnya, lalu beliau berdoa mohon kepada Allah s.w.t.: 'Merekalah
ahlulbaitku...' Ummu Salamah berkata: 'Ya Rasulullah, masukkanlah aku bersama
mereka', Rasulullah s.a.w. menjawap: 'Engkau termasuk keluargaku". (Dari
Hadits Hasyim bin Utbah bin Abi Waqqash, berasal dari Abullah bin Wahab bin
Zam'ah Lihat tafsir At-Thabraniy: 22/7 dan Tuhfatul-Ahwadziy: 9/66).
"Umar bin Abi Salamah – anak tiri Rasulullah s.a.w. –
mengatakan, bahwa ayat 'Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan kotoran dari
kalian, ahlulbait, dan hendak mensucikan kalian sesuci-sucinya turun kepada
Rasulullah s.a.w. di rumah Ummu Salamah. Kemudian Rasulullah s.a.w. memanggil
Hasan, Husein dan Fatimah, lalu ketiga-tiganya diminta duduk di depan beliau.
Beliau memanggil 'Ali lalu diminta duduk di belakang beliau. Kemudian beliau
bersama mereka menyelimuti diri dengan kisa seraya berucap: 'Ya Allah, mereka
ahlulbaitku, maka hilangkanlah kotoran dari mereka dan sucikanlah mereka
sesuci-sucinya'. Ummu Salamah berkata: 'Apakah aku bersama mereka'? Rasulullah
s.a.w. menjawap: 'Engkau berada di tempatmu dan engkau memperoleh kebajikan'.
(Dari Hadits Muhammad bin Sulaiman Al-Ashbahaniy, dari Yahya bin Ubaid
Al-Makky, dari Atha bin Abi Rabbah, berasal dari Umar bin Abi Salamah. Lihat
Tafsir At-Thabariy: 22/7 dan Tuhfatul-Ahwadziy: 9/66).
"Sa'ad mengatakan: Ketika wahyu tersebut turun (yakni
S. Al-Ahzab: 33) Rasulullah s.a.w. memanggil 'Ali, dua orang puteranya dan
Fatimah. Mereka lalu dimasukkan ke dalam jubah beliau s.a.w. seraya berucap:
'Ya Allah, Rabbi, mereka adalah keluargaku, ahlulbaitku". (Dari Hadits
Bukair bin Asma, dari Amir bin Sa'ad, berasal dari Sa'ad. Lihat Tafsir
At-Thabariy: 22/8).
"Hakim bin Sa'ad berkata: 'Ali bin Abi Thalib r.a.
memberitahu Ummu suatu peristiwa yang terjadi ketika ia berada di rumah Ummu
Salamah r.a. Ummu Salamah r.a. mengatakan: 'Di rumahku turun ayat 'Sesungguhnya
Allah hendak menghilangkan kotoran dari kalian, ahlulbait, dan hendak
mensucikan kalian sesuci-sucinya'. Ummu Salamah r.a. menceritakan: 'Ketika itu
Rasulullah s.a.w. datang ke rumahku, kemudian beliau berkata: 'Jangan memberi
izin masuk kepada siapa pun'! beberapa saat kemudian datanglah Fatimah r.a. Aku
tak dapat mencegahnya bertemu dengan ayahandanya. Kemudian datang Al-Hasan, aku
pun tak dapat menghalanginya bertemu dengan bundanya dan datuknya. Lalu datang
lagi Al-Husein r.a., aku tak dapat menghalanginya juga. Mereka semuanya
termasuk 'Ali bin Abi Thalib r.a. berkumpul di sekitar Rasulullah s.a.w. duduk
di atas permaidani. Rasulullah s.a.w. lalu menyelimuti mereka dengan kain kisa
seraya berucap: 'Ya Allah, mereka ahlulbaitku, hilangkanlah kotoran dari mereka
dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya'. Pada saat itulah turun ayat tersebut di
atas. Aku bertanya: 'Ya Rasulullah, dan aku...? Demi Allah, beliau tidak
menjawap: 'Ya'. Engkau memperoleh kebajikan". (Dari Hadits Abdullah bin
Abdulquddus, dari Al-A'masy, dari Hakim bin Sa'ad, berasal dari 'Ali bin Abi
Thalib r.a. Lihat Tafsir At-Thabariy: 22/8).
Bagian ketujuh
KISAH TENTANG TAFSIR AYAT 32 S. FATHIR
Dalam kitab 'Uyunul-Akhbar' terdapat sebuah kisah tentang
tafsir ayat 32 S. Fathir yang berbunyi sebagai berikut:
"Kemudian Kitab itu 'Al-Qur'an' Kami wariskan kepada
orang-orang dari hamba Kami yang telah Kami pilih".
Pada suatu hari Imam 'Ali Ar-Ridha r.a. (seorang pemimpin
terkemuka keturunan ahlulbait Rasulullah s.a.w.) menghadiri pertemuan yang
diselenggarakan oleh Khalifah Al-Ma'mun di Marwa. Dalam pertemuan tersebut
hadir pula sejumlah ulama dari Iraq dan Khurasan. Mereka diminta oleh Khalifah
Al-Ma'mun supaya menafsirkan ayat 32 S. Fathir tersebut di atas. Atas
permintaan Khalifah Al-Ma'mun para ulama dari kedua daerah itu menerangkan,
bahwa yang dimaksud kalimat 'orang-orang dari hamba Kami yang telah Kami
sucikan' ialah ummat Islam seluruhnya. Imam Ar-Ridha tidak sependapat dengan
para ulama yang hadir, kemudian menguraikan tafsir ayat suci tersebut seperti
di bawah ini:
"Yang dimaksud dengan kalimat tersebut...",
demikian kata Imam Ar-Ridha, '...ialah 'Al-Itrah At-Thahirah' ('Keturunan suci
Rasulullah s.a.w.'). Sebab, kalau yang dimaksud kalimat tersebut 'seluruh ummat
Islam' tentu semuanya akan menjadi penghuni syurga, padahal Allah telah
berfirman lebih lanjut dalam ayat tersebut:
"Di antara mereka itu ada yang berlaku dzalim terhadap
dirinya sendiri, ada yang sedang-sedang saja (muqtashid) dan ada pula yang
lebih mendahului berbuat kebajikan seizin Allah. Yang demikian itu adalah
kurnia yang amat besar".
Dalam ayat berikutnya Allah berfirman:
"Bagi mereka disediakan 'syurga Adn', mereka akan
memasukinya dan di dalamnya mereka akan dihiasi dengan gelang-gelang
emas..."
Jadi, yang mewarisi Kitab suci ialah Al-'Itrah At-Thahirah
'keluarga suci keturunan Rasulullah s.a.w.', bukan orang-orang selain mereka.
Merekalah yang dimaksud oleh ayat:
"Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan kotoran dari
kalian, ahlulbait, dan hendak mensucikan kalian sesuci-sucinya", dan
mereka itu jugalah yang dimaksud oleh Rasulullah s.a.w. dengan sabdanya:
"Kutinggalkan kepada kalian dua bekal: Kitabullah dan
itrahku, ahlulbaitku. Kedua-duanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku
di haudh (syurga). Maka perhatikanlah bagaimana kalian akan meneruskan
kepemimpinanku mengenai dua hal itu".
Lebih jauh Imam Ar-Ridha menjelaskan:
"Mereka diharamkan menerima shadaqah (atau zakat),
padahal orang-orang selain mereka tidak diharamkan. Kalian tentu telah
mengetahui bahwa baik hak waris maupun kesucian berada di tangan orang-orang
pilihan yang hidup di atas hidayat Ilahi, bukan di tangan orang-orang lainnya.
Allah s.w.t. juga telah berfirman:
"...Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim,
kemudian kepada keturunan dua orang Nabi itu kami berikan kenabian dan Kitab
suci. Namun di antara mereka itu ada yang mengikuti hidayat dan banyak pula
yang fasik". – S. Al-Hadid: 26.
Jadi jelaslah, bahawa warisan atas kenabian dan Kitab suci,
diberikan Allah kepada orang-orang yang memperoleh hidayat, bukan kepada
orang-orang fasik. Selain itu Allah juga telah menganugerahkan kelebihan dan
keutamaan kepada keluarga suci jauh lebih banyak daripada yang dianugerahkan
kepada orang lain. Allah berfirman:
"...Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan
keluarga Imran melebihi semua ummat dalam zamannya masing-masing, yaitu suatu
keturunan yang sebagiannya berasal dari sebagian yang lain. Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui" – S. Aali Imran: 34.
"Apakah mereka itu dengki kepada orang-orang itu kerana
kurnia yang telah diberikan Allah kepadanya? Sungguhlah bahwa Kami telah
memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim dan kepadanya telah Kami
berikan kerajaan yang besar" (yakni kenabian turun temurun). (S. An-Nisa:
54)
Kemudian kepada seluruh kaum beriman Allah s.w.t. berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah
Rasul dan Ulil Amri dari kalian". – S. An-Nisa: 59.
Yakni orang-orang yang hidup dikurniai hikmah kenabian dan
Kitab suci, yaitu orang-orang yang menjadi sasaran kedengkian dan irihati
mereka yang tidak beriman.
Mengenai keturunan suci mereka (Al-Itrah At-Thahirah), Allah
s.w.t. telah menjelaskan pengertiannya melalui firman-Nya:
"Dan berilah peringatan kepada kaum kerabatmu (hai
Muhammad) yang terdekat". – S. Asy-Syu'ara: 214.
"Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan kotoran dari
kalian, ahlulbait, dan hendak mensucikan kalian sesuci-sucinya". – S.
Al-Ahzab: 33.
"Barangsiapa yang membantahmu 'hai Muhammad' tentang
kisah Isa setelah datang pengetahuan 'yang meyakinkan kepadmu', maka katakanlah
kepada mereka: 'Marilah kita panggil (kumpulkan) anak-anak kami dan anak-anak
kalian, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kalian, diri-diri kami dan
diri-diri kalian; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah mohon supaya
menimpakan laknat-Nya kepada orang-orang yang berdusta". (S. Aali Imran:
61).
Kemudian Rasulullah s.a.w. menampilkan 'Ali, Fatimah,
Al-Hasan dam Al-Husein radhiyallahu 'anhum. Dengan demikian Rasulullah s.a.w.
mengertikan kalimat 'diri-diri kami' dengan 'Ali r.a. Hal itu dipertegas lagi
oleh sabda beliau ketika itu:
"Hendaknya Bani Wali'ah kaum Nasrani dan Najran mahu
berhenti; jika tidak, maka akan kuutus kepada mereka seorang yang seperti
diriku".
Yang dimaksud dengan 'seorang seperti diriku' ialah 'Ali bin
Abi Thalib r.a. Itulah keistimewaan khusus yang tidak ada pada orang lain mana
pun juga.
1. Perintah Rasulullah s.a.w. kepada para penghuni rumah
dalam lingkungan masjid nabawiy supaya berpindah tempat tinggal, kecuali
keluarga suci (Imam 'Ali r.a. dan keluarganya), sehingga banyak orang bertanya,
termasuk 'Abbas paman Nabi: 'Ya Rasulullah, kenapa anda membiarkan 'Ali tinggal
di tempat itu, sedangkan kami anda keluarkan'? Beliau menjawap: 'Aku tidak
membiarkan dia dan mengeluarkan kalian, tetapi Allah-lah yang membiarkan dia
dan mengeluarkan kalian'
Mengenai hal itu terdapat keterangan yang jelas, yaitu
pertanyaan Rasulullah s.a.w. kepada 'Ali bin Abi Thalib r.a.:
"Kedudukanmu di sisiku sama dengan kedudukan Harun di
sisi Musa, tetapi tidak ada Nabi lagi sesudahku'.
Firman Allah s.w.t. kepada Musa a.s. sejalan dengan
pertanyaan Rasulullah s.a.w. kepada 'Ali r.a., yaitu firman-Nya:
"Dan telah Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya:
'Hendaklah kalian berdua mengambil beberapa rumah di Mesir untuk tempat tinggal
kaummu, dan jadikanlah rumah-rumah kalian itu tempat beribadah". (S.
Yunus: 87).
Dalam ayat-ayat tersebut di atas tampak jelas kedudukan
Harun di sisi Musa dan kedudukan 'Ali bin Abi Thalib r.a. di sisi Muhammad
Rasulullah s.a.w. Bersamaan dengan itu beliau s.a.w. sendiri telah menegaskan:
"Masjid ini – yakni yang boleh bertempat tinggal di
lingkungan masjid nabawiy – tidak halal kecuali bagi Muhammad dan
ahlulbaitnya".
2. Allah telah berfirman:
"Dan berikanlah kepada kaum kerabat hak mereka".
(S. Al-Isra: 26).
Ayat tersebut merupakan kekhususan bagi ahlulbait Rasulullah
s.a.w. Ketika ayat tersebut turun, Rasulullah s.a.w. berkata kepada puterinya,
Fatimah r.a.:
"Itulah sebidang tanah di Fadak, yang tidak tergarap
baik dengan menggunakan tenaga unta ataupun kuda. Tanah itu khusus bagiku,
bukan untuk kaum Muslimin. Atas perintah Allah tahah itu kuberikan kepadamu,
maka ambillah untukmu dan anak-anakmu".
Allah telah berfirman:
"Katakanlah (hai Muhammad); 'Aku tidak minta upah apa
pun kepada kalian atas (da'wah Risalah) itu selain agar kalian berkasihsayang
dalam kekeluargaan". (S. Asy-Syura: 23).
Ayat tersebut juga khusus bagi ahlulbait Rasulullah s.a.w.,
bukan bagi orang lain. Berkasihsayang dengan ahlulbait beliau s.a.w. adalah
kewajipan yang ditetapkan Allah s.w.t. bagi segenap kaum Mu'minin. Setiap orang
beriman yang berkasihsayang dengan ahlulbait Rasulullah s.a.w. dengan setulus
hati ia akan dimasukkan ke dalam syurga. Mengenai itu Allah telah berfirman:
"Dan mereka yang beriman serta berbuat kebajikan akan
berada di dalam taman-taman syurga. Di sisi Tuhan mereka akan memperoleh apa
yang mereka ingini. Yang demikian itu adalah kurnia amat besar. Dengan kurnia
itulah Allah menggembirakan para hamba-Nya yang beriman dan berbuat kebajikan.
Katakanlah (hai Muhammad) 'Aku tidak minta upah apa pun kepada kalian atas
(da'wah Risalah yang kusampaikan) itu selain agar kalian berkasihsayang di
dalam kekeluargaan". (S. Asy-Syura: 22-23).
Ayat tersebut memberi penafsiran yang jelas, akan tetapi
banyak orang yang tidak memenuhi permintaan beliau itu.
Abulhasan meriwayatkan sebuah Hadits yang didengar dari para
orangtuanya dan berasal dari Amirul Mu'minin Imam 'Ali bin Abi Thalib r.a.;
bahwasanya pada suatu hari sejumlah Muhajirin dan kaum Anshar bersepakat datang
menghadap Rasulullah s.a.w. Dalam pertemuan dengan beliau itu mereka berkata:
'Ya Rasulullah, anda tentu memerlukan harta dan barang-barang untuk nafkah
penghidupan anda sendiri dan untuk menjamu para utusan dari berbagai daerah
yang datang menghadap anda. Ambillah harta dan kekayaan kami dan pergunakanlah
menurut kamahuan anda atau simpanlah jika anda hendak menyimpannya'. Pada saat
itu turunlah malaikat Jibril, lalu berkata kepada Rasulullah s.a.w.: 'Hai
Muhammad, katakanlah: Aku tidak minta upah apa pun kepada kalian atas (da'wah
Risalah yang kusampaikan) itu selain agar kalian berkasihsayang dalam
kekeluargaan'. Beberapa orang munafik yang ada di dalam rombongan mereka itu
berkata di antara mereka sendiri: 'Yang membuat Rasulullah tidak mahu menerima
tawaran kami itu ialah kerana ia hendak mendesak kami supaya mencintai kaum
kerabatnya setelah ia wafat. Itu adalah kebohongan yang sengaja dibuat-buat
dalam pertemuan. Itu suatu kedustaan yang besar sekali'! Atas celotehan kaum
munafik itu turunlah wahyu Ilahi:
"Bahkan mereka mengatakan: 'Dia (Muhammad) telah
mengada-adakan kedustaan terhadap Allah!' Jika Allah menghendaki nescaya Dia
mengunci-mati hatimu. Allah (berkuasa) menghapuskan yang batil dan membenarkan
yang haq dengan kalimat-kalimat-Nya (Al-Qur'an). Sungguhlah, bahawa Allah Maha
Mengetahui segala yang tersembunyi di dalam dada (hati)". (S. Asy-Syura:
24).
Setelah menerima wahyu tersebut Rasulullah s.a.w. mengutus
seorang sahabat untuk menanyakan: Apakah benar ada orang yang berkata seperti
itu?
Di antara rombongan yang pernah datang menghadap Rasulullah
s.a.w. itu menjawap: Ada beberapa orang di antara kami yang berkata sekasar
itu, dan kami sendiri sangat tidak menyukainya.
Utusan Rasulullah s.a.w. itu kemudian membacakan ayat
tersebut di atas kepada mereka. Mereka menangis, kemudian turunlah firman Allah
kepada Rasul-Nya:
"...Dialah Allah yang berkenan menerima taubat dari
hamba-hamba-Nya, memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kalian
perbuat". (S. Asy-Syura: 25).
Demikian pula mengenai ketaatan, Allah telah berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah
Rasul dan ulil-amri dari kalian". (S. An-Nisa: 58).
"Sesungguhnya penolong kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya
dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat
seraya tunduk kepada Allah". (S. Al-Ma'idah: 55).
Jelaslah, bahwa ketaatan kepada ahlulbait Rasulullah s.a.w.
sekaitan dengan ketaatan kepada beliau s.a.w. dan kepada Allah; dan
kepemimpinan mereka pun sekaitan dengan kepemimpinan beliau s.a.w. dan dengan
kepemimpinan Allah s.w.t. Demikian pula hak mereka untuk menerima bagian (4% =
Khumusul-khumus) dari ghanimah dan jarahan perang sekaitan dengan hak beliau
s.a.w. untuk menerima bagian itu. Di luar itu Allah s.w.t. mengharamkan
Rasulullah dan para ahlulbaitnya menerima shadaqah atau zakat. Mengenai hal itu
Allah telah berfirman:
"Sesungguhnyalah, bahwa shadaqah (atau zakat) hanyalah
untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, orang-orang yang bekerja mengurus
shadaqah (zakat), kaum muallaf (yang masih perlu dimantapkan (hatinya), untuk
(memerdekakan) budak, untuk menolong orang-orang yang kehabisan bekal dalam
perjalanan jauh. (Semuanya itu) merupakan ketetapan yang diwajibkan
Allah". (S. At-Taubah: 60).
3. Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa dalam Al-Qur'anul-Karim
Allah s.w.t. telah berfirman:
"Dan perintahkanlah keluargamu supaya menegakkan shalat
dan hendaknya engkau bersabar dalam mengerjakannya". (S. Tha Haa: 132).
Sebagai pelaksanaan perintah Allah itu Rasulullah s.a.w.
sejak turunnya ayat tersebut, tiap hari selama sembilan bulan selalu singgah ke
pintu rumah 'Ali dan Fatimah radhiyallahu 'anhuma pada saat-saat beliau hendak
menunaikan shalat fardhu di masjid beliau lima kali sehari. Dari pintu rumah
puterinya itu beliau selalu mengingatkan: 'As-Shalatu, yarhamukumullah!'
('Shalat ...semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada kalian'). Bila mendengar
itu Abul-Hasan (Imam 'Ali r.a.) selalu berucap: 'Al-hamdu lillah yang
mengkhususkan kemuliaan besar kepada kami"!
Demikianlah uraian Imam Ar-Ridha r.a. dalam menjelaskan
dalil-dalil dan hujjah-hujjah mengenai makna ayat 32 S. Fathir, yang berbunyi:
"Kemudian Kitab itu (Al-Qur'an) Kami wariskan kepada
orang-orang dari hamba Kami yang telah kami pilih".
Dalam mengakhiri pertemuannya dengan para ulama itu Khalifah
Al-Ma'mun berkata kepada Imam 'Ali Ar-Ridha r.a.: 'Semoga Allah membalas
kalian, ahlulbait, dengan kebajikan sebesar-besarnya dari ummat ini!'
0 Response to "PEMBAHASAN TENTANG AYAT "MAWADDAH"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip