Sekilas makna ushul fikih
A. Definisi Usul fikih
Pembicaraan tentang definisi usul fikih ini mencakup: arti usul fikih, contoh-contoh, kesimpulan arti, dan bagian-bagian yang termuat dalam definisi.
A.1 Arti Usul Fikih
Secara bahasa, usul fikih itu tersusun dari dua kata yaitu usul dan fikih. Kata usul berarti dasar atau bisa dimaknai berikut:
الاَصل هو ما يـبـنى عليه غيره
“Sesuatu yang di atasnya terbentuk perkara lain”.
Misalnya ushulusy-syajar (dasar pepohonan), berarti bagian bawah pepohonan (akar) yang ditumpangi oleh ranting dan dedaunan, usulud-dar (dasar perumahan), artinya bagian bawah rumah (pondasi) yang di atasnya tersusun tembok, atap rumah, dll.
Secara ringkasnya, kata usul itu bertentangan (antonimnya) kata furu’ yang berarti cabang atau diartikan sebagai berikut:
الفرع هو ما يـبـنى على غيره
“Sesuatu yang tersusun pada perkara lain”.
Contohnya adalah furuusy-syajaroh (cabang-cabang pepohonan), ini berarti semua bagian dari pepohonan yang terurai di atas akar.
Sedangkan kata fikih secara bahasa bermakna pemahaman, sedangkan secara istilah adalah:
الفقه هو العلم بالأحكام الشرعية المكتسبة من ادلتها التفصيلية
“Ilmu (pengetahuan) tentang hukum-hukum yang didapat dari ijtihad (penggalian dari dalil-dalil yang bersifat tafsili atau terperinci)”.[1]
Yang dimaksud dengan dalil tafsili adalah:
الأدلة التفصيلية هي الأدلة الجزئية الخاصة بكل مسألة فقهية
“Dalil tafsili adalah dalil yang bersifat juziyyah (menjadi bagian dalil lain) dan khusus (tertentu) pada permasalahan fikih”.[2]
Misalnya ilmu tentang wajibnya niat ketika berwudhu, ini diambil dari dalil (hadis) yang secara khusus menunjukkan wajibnya berniat, haramnya memakan bangkai diambilkan dari dalil (ayat al-Quran) yang khusus membicarakan bangkai, sucinya kulit bangkai hewan yang halal dimakan setelah disamak dengan menggunakan dalil (hadis) yang khusus membicarakan hal ini, dll.
Peringatan!!!
Ulama mutaqoddimin menggunakan istilah fikih khusus untuk hasil ijtihad (dalil dzonni), namun ulama mutaakhkhirin menggunakannya secara umum, baik dzonni maupun qoth’i (hasil ijtihad maupun bukan), yang penting pembicaraan tentang amal-amal yang ada dalilnya.[3]
Adapun usul fikih secara istilah adalah:
مجموع طرق الفقه الإجمالية وكيفية الاستفادة منها وحال المستفيد
او هو العلم بالقواعد التي يتوصل بها الى استـنـباط الاحكام الشرعية
“Semua metode (dalil-dalil fikih) yang masih mujmal dan cara penggalian dalilnya serta sifat-sifat orang yang menggali dalil tersebut atau ilmu (berupa kaidah-kaidah) yang digunakan sebagai perantara istinbat (mengetahui hukum-hukum syarak)”.[4]
Jadi, di dalam usul fikih itu terdapat kaidah-kaidah umum yang terdiri dari dalil dan hukum yang bersifat mujmal (umum), berbeda dengan fikih, dalil dan hukum di dalam fikih itu bersifat tafsili (tertentu dan khusus).[5]
Definisi dalil dan hukum yang ijmali dan tafsili:
الدليل الاجمالي او الكلي هو النوع العام من الادلة التي تندرج فيه عدة جزئيات
والدليل التفصيلي او الجزئي هو النص الذي ورد على صيغة خاصة
“Dalil ijmali atau kulli adalah dalil bersifat umum yang di bawahnya terdapat beberapa dalil, sedangkan dalil tafsili atau juz’i adalah nas yang ada dengan bentuk tertentu”.[6]
الحكم الكلي او الاجمالي هو النوع العام من الأحكام التي تندرج فيه عدة جزئيات
والحكم الجزئي او التفصيلي هو الحكم الخاص بشئ معين
“Hukum kulli atau ijmali adalah hukum bersifat umum yang mencakup beberapa hukum, sedangkan hukum juz’i adalah hukum yang terkhusus pada sesuatu yang tertentu”.[7]
A.2 Contoh-Contoh Pembicaraan Usul Fikih
Pembicaraan dalam usul fikih adalah tentang seputar kaidah-kaidah, seperti:
الأمر يدل على الوجوب
“Perintah menunjukkan hukum wajib”.
Kata ‘amar’ adalah dalil yang bersifat umum, karena di dalamnya tercakup: perintah dengan fiil amar (misalnya: افعل), perintah dengan isim fiil amar (misalnya: صْهْْْْْ), maupun perintah dengan menggunakan masdar yang dikehendaki amar (misalnya: فـرهان مقبوضة اي ارهنوا). Begitu pula dengan kata ‘wajib’, kewajiban di situ juga masih umum, karena dalam kata ‘wajib’ tercakup pula: kewajiban salat, kewajiban zakat, kewajiban puasa, dll.
Berbeda dengan contoh berikut:
صلوا قبل المغرب لمن شاء
“Salatlah sebelum maghrib bagi yang mau“.
Dalil di atas sudah terkhusus (tertentu) dengan sighot (kata) ‘shollu’ yang berarti ‘salatlah’, dan hukum yang dikandungnya (kesunahan salat) pun bersifat khusus kepada salat sunah qobliyah maghrib.
Contoh lain, semisal kaidah (rumus):
النهي يدل على الحرمة
“Larangan menunjukkan keharaman“.
Kata ‘nahyu’ adalah dalil yang bersifat umum, terbukti bisa memasukkan larangan dengan fiil nahi yang bermauzunkan:لا تعلم، لا تضرب، لا ترم , dll. Hukumnya juga masih ijmal (belum terkait sesuatu).
Berbeda dengan contoh berikut:
ولا تأكلوا مما لم يذكر اسم الله عليه
“Dan janganlah memakan sesuatu yang (disembelih dengan) tidak disebutkan nama Allah swt. padanya”.
Dalil di atas sudah terkhusus (tertentu) dengan sighot (kata) ‘la ta’kulu’ yang berarti ‘jangan memakan’, dan hukum yang dikandungnya (keharaman mema- kan) pun bersifat khusus kepada hewan sembelihan tanpa sebutan nama Allah.
Jadi, dalam usul fikih yang dibicarakan adalah dalil dan hukum yang masih ijmal (belum terkait sesuatu), karena akan dijadikan rumus (kaidah) yang diterapkan pada beberapa furu’ (cabang hukum) yang selanjutnya membuahkan fikih (hukum-hukum tertentu).
A.3 Kesimpulan Definisi Usul Fikih
Kesimpulan:
Usul fikih adalah: kaidah-kaidah yang tersusun dari dalil dan hukum yang bersifat ijmal (belum terkait sesuatu).
Fikih adalah: pengertian tentang hukum tertentu (tafsil) yang diambil dari dalil yang tertentu (tafsil) pula.
B. Bagian-Bagian yang Termuat Dalam Definisi Usul Fikih
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa di dalam usul fikih terdapat unsur-unsur yang membentuknya, yaitu: dalil-dalil fikih, hukum-hukum ijmal (yang belum terkait dengan satu cabang fikih), thuruqul istinbath (rumus /kaidah pengambilan hukum)[8], dan sifat-sifat penggali hukum.[9]
Berikut akan saya paparkan mengenai penjelasan dan maksud dari dalil-dalil fikih serta hukum-hukum ijmal. Adapun thuruqul istinbath dan sifat-sifat penggali hukum, masuk dalam bab-bab setelahnya.
B.1 Dalil-dalil fikih
Yang digunakan untuk penggalian hukum itu ada dua macam, yaitu muttafaq alaih dan mukhtalaf fih. Arti dari muttafaq alaih adalah keberadaan dalil tersebut diakui oleh semua madzhab dijadikan sebagai hujjah (dalil) bagi mereka, sehingga disepakati bahwa dalil tersebut sah untuk dianggap dalil hukum. Sedangkan mukhtalaf fih ini masih diperselisihkan kesahihannya, sehingga ada sebagian ulama yang menggunakan dalil-dalil ini, dan ada yang tidak menerimanya.
Dalil yang disepakati atau muttafaq alaih itu ada empat, yaitu al-Quran, hadis, ijmak dan qiyas (yang akan saya bahas dalam sub-sub berikutnya). Sedangkan dalil yang masih kontroversial (mukhtalaf fih) itu ada tujuh macam, yaitu: urf (kebiasaan), madzhab sohabi (pendapat sahabat), istishabul asli (dalil asal), saddud dzarai’ (menutup kerusakan), istihsan (pengecualian hukum), maslahat mursalah (maslahat yang tidak ada nasnya), syar’u man qoblana (syariat umat sebelum kita). Untuk lebih jelasnya mengenai keterangan tentang semua dalil-dalil tersebut dapat dilihat dalam kitab saya, “Iqodzus Sahi Fi Talhisi Usulil Fikhi“.
Talun, 07 April 2011 M.
M. A. Zuhurul Fuqohak
[1] Iyyad bin Nami as-Silmi. t.t. Usul Fikih al-Ladzi La Yasau li al-Fakihi Jahluh. t.pn.: t.tp. Maktabah: Syamilah isdar 3,5. hlm. 08.
[2] Ibid. hlm. 09.
[3] Ibid. hlm. 09.
[4] Abdul Wahab Khalaf. 2004. Usul Fikih. Indonesia: Haromain. hlm. 12.
[5] Muhamad al-Hasan as-Siqinthi. t.t. Syarkh Waroqot Fi Usul al-Fikih. t.tp.: t.pn. hlm: 07.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Soleh bin Abdul Azis. t.t. Syarah Waraqot. t.tp.: t.pn. Maktabah: Syamilah isdar 3,5. hlm.04.
[9] Iyyad bin Nami As-Silmi. Ibid. hlm. 11....
B. 2 Hukum-Hukum
Dalam membicarakan hukum, terpaut tiga perkara yaitu definisi, contoh-contoh, klasifikasi hukum, dan indikasi penentuannya. Berikut akan saya kupas satu persatu insyaallah.
B.2.a Definisi Hukum
Hukum secara bahasa adalah menyegah sesuatu, sedangkan menurut istilah ahli usul fikih adalah: [1]
خطاب الله المتعلق بأفعال المكلفين بالاقتضاء او التخيير او الوضع
“Firman Allah swt. yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik dengan tuntutan, pilihan, atau peletakan (keterangan)”.[2]
Yang dimaksud dengan firman Allah swt. adalah firman yang langsung dari Allah swt. baik lafadz dan maknanya (yaitu al-Quran), maknanya saja (yaitu: hadis), atau secara tidak langsung (yaitu: ijmak, qiyas, maupun dalil-dalil yang mukhtalaf fih).[3]
Adapun maksud iqtidhok (tuntutan) adalah permintaan dari syarak untuk menjalankan sesuatu atau meninggalkannya, apabila tuntutan untuk melaksanakannya itu bersifat jazim (menekan dengan pasti), maka disebut dengan ijab (mewajibkan), sedangkan apabila tuntutan itu tidak jazim (tidak ada penekanan dengan pasti), maka disebut nadb (menyunahkan), dan apabila tuntutan itu berupa meninggalkan sesuatu dengan jazim, disebut tahrim (mengharamkan), namun bila tuntutan meninggalkan itu tidak jazim disebut karohah (memakruhkan) secara mutlak oleh ulama mutakaddimin (yang hidup sebelum kurun empat hijriah).[4] Hukum takhyir (ada pilihan antara boleh mengerjakan dan tidak) adalah hukum ibahah (pembolehan untuk mengerjakan sesuatu dan tidak).
Sedangkan hukum wadh’i adalah firman yang menjelaskan tentang keberadaan sesuatu itu sebagai syarat, mani’ (penyegah kesahihan amal), atau sabab dari amal (pekerjaan) seseorang. Untuk lebih jelasnya akan saya uraikan dalam klasifikasi hukum nanti, insyaallah.
B.2.b Contoh-Contoh Hukum
a) Hukum tentang pengharaman, firman Allah swt.:
لا تقتلوا الصيد وانتم حرم واتقوا الله لعلكم تفلحون
“Jangan membunuh buruan (sedangkan) kalian dalam keadaan ihrom”.
Firman di atas berhubungan dengan pelarangan pekerjaan mukallaf yaitu membunuh hewan buruan. Firman ini disebut hukum tahrim (pengharaman membunuh buruan).
b) Hukum tentang kewajiban berniat, firman Allah swt.:
انما الأعمال بالنيات وانما لكل امرء ما نوى
“Semua amal tergantung pada niatnya”.
Firman di atas berhubungan dengan mewajibkan niat kepada mukallaf ketika menjalankan amal-amal. Firman ini disebut hukum ijab (mewajibkan mereka untuk berniat ketika beramal).
Perhatian:
Penyebutan dalil tafsili (quran atau hadis yang menerangkan hukum tertentu) dalam usul fikih (sekalipun qoth’i) hanyalah untuk menyontoh- kan kaidah dan hukum yang umum saja, tidak menjadi obyek pembahasan.[5]
[1] Ada perbedaan istilah antara ahli usul dan ulama fikih, kalau menurut ahli usul hukum adalah firman Allah swt. namun, ulama fikih cenderung memaknai fikih dengan asar (bekas) dan konsekuensi (muta’alliq) dari firman tersebut. Misalnya, tuntutan yang sangat pasti disebut ijab oleh ulama usul, sedangkan ulama fikih menyebutnya wajib. Sehingga istilah yang muncul dari ulama usul adalah ijab, tahrim, ibahah, nadbu, dan karohah, sedangkan istilah ulama fikih adalah wajib, harom, mubah, mandub, dan makruh. Ahmad bin Abdullatif. t.t. An-Nafahat Ala Syarkhi al-Waroqot. Indonesia: Haromain. hlm. 16. Muhamad al-Hasan as-Siqinthi. t.t. Syarh al-Waroqot. t.tp.: t.pn. Maktabah: Syamilah isdar 3,5. hlm. 08.
[2] Iyyad bin Nami as-Silmi. Ibid. hlm. 17.
[3] Abdullah bin Yusuf al-Jadik. t.t. Taisir Usul al-Fikih. t.tp.: t.pn. Maktabah: Syamilah isdar 3,5. hlm. 08.
[4] Adapun menurut ulama mutaakhkhirin (yang hidup setelah kurun empat hijriah), maka diperinci lagi; bila memang ada dalil (quran atau hadis) tertentu mengenai kemakruhan hal itu, maka disebut karohah, sedang apabila tidak ada dalil tertentu, maka disebut dengan khilaful aula. Ahmad bin Abdullatif. Ibid. hlm. 16.
[5] Ahmad bin Abdullatif. Ibid. hlm. 33.
Dalam membicarakan hukum, terpaut tiga perkara yaitu definisi, contoh-contoh, klasifikasi hukum, dan indikasi penentuannya. Berikut akan saya kupas satu persatu insyaallah.
B.2.a Definisi Hukum
Hukum secara bahasa adalah menyegah sesuatu, sedangkan menurut istilah ahli usul fikih adalah: [1]
خطاب الله المتعلق بأفعال المكلفين بالاقتضاء او التخيير او الوضع
“Firman Allah swt. yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik dengan tuntutan, pilihan, atau peletakan (keterangan)”.[2]
Yang dimaksud dengan firman Allah swt. adalah firman yang langsung dari Allah swt. baik lafadz dan maknanya (yaitu al-Quran), maknanya saja (yaitu: hadis), atau secara tidak langsung (yaitu: ijmak, qiyas, maupun dalil-dalil yang mukhtalaf fih).[3]
Adapun maksud iqtidhok (tuntutan) adalah permintaan dari syarak untuk menjalankan sesuatu atau meninggalkannya, apabila tuntutan untuk melaksanakannya itu bersifat jazim (menekan dengan pasti), maka disebut dengan ijab (mewajibkan), sedangkan apabila tuntutan itu tidak jazim (tidak ada penekanan dengan pasti), maka disebut nadb (menyunahkan), dan apabila tuntutan itu berupa meninggalkan sesuatu dengan jazim, disebut tahrim (mengharamkan), namun bila tuntutan meninggalkan itu tidak jazim disebut karohah (memakruhkan) secara mutlak oleh ulama mutakaddimin (yang hidup sebelum kurun empat hijriah).[4] Hukum takhyir (ada pilihan antara boleh mengerjakan dan tidak) adalah hukum ibahah (pembolehan untuk mengerjakan sesuatu dan tidak).
Sedangkan hukum wadh’i adalah firman yang menjelaskan tentang keberadaan sesuatu itu sebagai syarat, mani’ (penyegah kesahihan amal), atau sabab dari amal (pekerjaan) seseorang. Untuk lebih jelasnya akan saya uraikan dalam klasifikasi hukum nanti, insyaallah.
B.2.b Contoh-Contoh Hukum
a) Hukum tentang pengharaman, firman Allah swt.:
لا تقتلوا الصيد وانتم حرم واتقوا الله لعلكم تفلحون
“Jangan membunuh buruan (sedangkan) kalian dalam keadaan ihrom”.
Firman di atas berhubungan dengan pelarangan pekerjaan mukallaf yaitu membunuh hewan buruan. Firman ini disebut hukum tahrim (pengharaman membunuh buruan).
b) Hukum tentang kewajiban berniat, firman Allah swt.:
انما الأعمال بالنيات وانما لكل امرء ما نوى
“Semua amal tergantung pada niatnya”.
Firman di atas berhubungan dengan mewajibkan niat kepada mukallaf ketika menjalankan amal-amal. Firman ini disebut hukum ijab (mewajibkan mereka untuk berniat ketika beramal).
Perhatian:
Penyebutan dalil tafsili (quran atau hadis yang menerangkan hukum tertentu) dalam usul fikih (sekalipun qoth’i) hanyalah untuk menyontoh- kan kaidah dan hukum yang umum saja, tidak menjadi obyek pembahasan.[5]
[1] Ada perbedaan istilah antara ahli usul dan ulama fikih, kalau menurut ahli usul hukum adalah firman Allah swt. namun, ulama fikih cenderung memaknai fikih dengan asar (bekas) dan konsekuensi (muta’alliq) dari firman tersebut. Misalnya, tuntutan yang sangat pasti disebut ijab oleh ulama usul, sedangkan ulama fikih menyebutnya wajib. Sehingga istilah yang muncul dari ulama usul adalah ijab, tahrim, ibahah, nadbu, dan karohah, sedangkan istilah ulama fikih adalah wajib, harom, mubah, mandub, dan makruh. Ahmad bin Abdullatif. t.t. An-Nafahat Ala Syarkhi al-Waroqot. Indonesia: Haromain. hlm. 16. Muhamad al-Hasan as-Siqinthi. t.t. Syarh al-Waroqot. t.tp.: t.pn. Maktabah: Syamilah isdar 3,5. hlm. 08.
[2] Iyyad bin Nami as-Silmi. Ibid. hlm. 17.
[3] Abdullah bin Yusuf al-Jadik. t.t. Taisir Usul al-Fikih. t.tp.: t.pn. Maktabah: Syamilah isdar 3,5. hlm. 08.
[4] Adapun menurut ulama mutaakhkhirin (yang hidup setelah kurun empat hijriah), maka diperinci lagi; bila memang ada dalil (quran atau hadis) tertentu mengenai kemakruhan hal itu, maka disebut karohah, sedang apabila tidak ada dalil tertentu, maka disebut dengan khilaful aula. Ahmad bin Abdullatif. Ibid. hlm. 16.
[5] Ahmad bin Abdullatif. Ibid. hlm. 33.
B.2.c Klasifikasi Hukum
Berdasarkan dari definisi di atas, hukum menurut ahli usul (hukum syarak) terbagi menjadi dua, yaitu hukum taklifi (pembebanan) dan hukum wadh’i (peletakan/keterangan tentang sesuatu). Perhatikan bagan singkat berikut:
a) Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah:
ما اقتضى طلبَ فعلٍ من المكلفِ، أو طلبَ كفٍّ، أوخيِّرَ فيه بين الفعلِ والتَّرك
“Firman Allah swt. yang menuntut orang mukallaf untuk mengerjakan (sesuatu), atau meninggalkan (sesuatu), atau membolehkan mereka untuk mengerjakan dan meninggalkan (sesuatu tersebut)”.[1]
Hukum taklifi ini mencakup lima hukum, yaitu: ijab, nadbu, tahrim, karohah, dan ibahah.
Peringatan:
Perlu dibedakan antara hukum ijab dan wajib, ijab adalah istilah ahli usul yang berari firman yang menunjukkan kewajiban, sedangkan wajib adalah istilah ahli fikih yang berarti perbuatan yang harus dilaksanakan. Namun ada kesamaan di antara kedua hukum tersebut, yaitu dalam pengambilan dalil-dalilnya, begitu juga dengan hukum-hukum lainnya.[2]
Oleh karena itu, ada perbedaan dalam membagi hukum di antara dua istilah, menurut ahli usul fikih hukum taklifi ada lima, yaitu ijab, nadb, karohah, tahrim, dan ibahah. Sedangkan pembagian hukum menurut ahli fikih adalah wajib, sunah, makruh, haram, dan mubah. Hanafi menambahi dua hukum lagi, yaitu fardhu dan makruh tahrim.[3]
[1] Abdullah bin Yusuf al-Jadik. t.t. Taisiru Usul al-Fikih. t.tp.: t.pn. Maktabah: Syamilah isdar 3,5. hlm. 08.
[2] Ahmad bin Abdullatif. Ibid.
[3] Iyyad bin Nami as-Silmi. t.t. Usul Fikih al-Ladzi La Yasau li al-Fakihi Jahluh. t.pn.: t.tp. Maktabah: Syamilah isdar 3,5. hlm. 20.
2013@abdkadiralhamid
Berdasarkan dari definisi di atas, hukum menurut ahli usul (hukum syarak) terbagi menjadi dua, yaitu hukum taklifi (pembebanan) dan hukum wadh’i (peletakan/keterangan tentang sesuatu). Perhatikan bagan singkat berikut:
a) Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah:
ما اقتضى طلبَ فعلٍ من المكلفِ، أو طلبَ كفٍّ، أوخيِّرَ فيه بين الفعلِ والتَّرك
“Firman Allah swt. yang menuntut orang mukallaf untuk mengerjakan (sesuatu), atau meninggalkan (sesuatu), atau membolehkan mereka untuk mengerjakan dan meninggalkan (sesuatu tersebut)”.[1]
Hukum taklifi ini mencakup lima hukum, yaitu: ijab, nadbu, tahrim, karohah, dan ibahah.
Peringatan:
Perlu dibedakan antara hukum ijab dan wajib, ijab adalah istilah ahli usul yang berari firman yang menunjukkan kewajiban, sedangkan wajib adalah istilah ahli fikih yang berarti perbuatan yang harus dilaksanakan. Namun ada kesamaan di antara kedua hukum tersebut, yaitu dalam pengambilan dalil-dalilnya, begitu juga dengan hukum-hukum lainnya.[2]
Oleh karena itu, ada perbedaan dalam membagi hukum di antara dua istilah, menurut ahli usul fikih hukum taklifi ada lima, yaitu ijab, nadb, karohah, tahrim, dan ibahah. Sedangkan pembagian hukum menurut ahli fikih adalah wajib, sunah, makruh, haram, dan mubah. Hanafi menambahi dua hukum lagi, yaitu fardhu dan makruh tahrim.[3]
[1] Abdullah bin Yusuf al-Jadik. t.t. Taisiru Usul al-Fikih. t.tp.: t.pn. Maktabah: Syamilah isdar 3,5. hlm. 08.
[2] Ahmad bin Abdullatif. Ibid.
[3] Iyyad bin Nami as-Silmi. t.t. Usul Fikih al-Ladzi La Yasau li al-Fakihi Jahluh. t.pn.: t.tp. Maktabah: Syamilah isdar 3,5. hlm. 20.
2013@abdkadiralhamid
0 Response to "Sekilas makna ushul fikih"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip