TENTANG BID’AH
(dari Kitab Al-Mafahim Sayyid Al-Maliki Al-Hassani)
SEPUTAR BID’AH
Diantara umat islam yang mengaku ulama atau pakar ajaran Islam, ada orang yang menisbatkan dirinya kepada sunnah ulama salaf yang saleh. Mereka mengaku sebagai pengikut ulama salaf juga mengaku Ahlu Sunnah wal Jama`ah. Dengan gagah berani dan penuh kebanggaan, mereka mengajak umat islam untuk mengikuti jejak langkah atau sunnah para ulama salaf yang saleh dengan cara-cara primitif, penuh kebodohan, fanatisme buta, dengan pemahaman yang dangkal dan dengan dada (pengertian ) yang sempit.
Bahkan, mereka juga berani memerangi setiap sesuatu yang baru dan mengingkari setiap penemuan baru yang baik dan berfaedah hanya karena dinilai (oleh pemahaman mereka yang sempit) sebagai bid’ah. Dalam pemahaman mereka, tidak ada sesuatu yang bid’ah kecuali pasti menyesatkan. Mereka tidak mau melihat adanya realitas yang menuntut adanya perbedaan antara bid’ah hasanah (yang baik) dan bid’ah dlolalah (yang sesat). Padahal ruh Islam menghendaki adanya pembedaan antara berbagai bid’ah yang ada. Semestinya umat Islam mengakui bahwa bid’ah itu ada yang baik dan ada yang sesat atau menyesatkan. Yang demikian itulah yang menjadi tuntutan akal yang cerdas dan pemahaman atau pandangan yang cemerlang.
Itulah yang di – tahkiq atau diakui kebenarannya setelah dilakukan penelitian oleh para ulama ushul (fiqh) dari kalangan ularna salaf yang saleh, seperti Imam Al-’Izz bin Abdussalam, Imam Nawawi, Iman Suyuthi, Imamn Jalaluddin AI-Mahally, dan Ibnu Hajar — Rahimahulloh Ta’ala
Hadits-hadits Nabi Muhammad Saw – untuk menghindari kesalah-pahaman – perlu ditafsiri sebagiannya dengan sebagian hadits yang lain, dan diperjelas kesempurnaan arahnya dengan hadits-hadits lainnya. Umat Islam perlu memahami sabda Nabi Muhammad Saw itu dengan pemahaman yang cermat dan komprehensif, sempurna dan menyeluruh. Jangan sekali-kali memahaminya secara parsial atau sepotong-sepotong. Ia juga mesti dipahami dengan ruh Islam dan sesuai dengan pendapat para ulama salaf saleh.
Oleh karena itu, kita menemukan banyak hadits yang untuk memahaminya secara benar diperlukan kecermelangan akal, disertai hati yang sensitif yang pemaknaan dan pemahamannya didasarkan pada “lautan syariat Islam” sambil memperhatikan kondisi dan situasi umat Islam dan berbagai kebutuhannya. Situasi dan kondisi umat memang harus diselaras-kan dengan batasan-batasan kaidah Islam dan teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw, tidak boleh keluar dari itu.
Diantara contoh hadits yang perlu dipahami secara benar dan komprehensif, proposional dan sempurna adalah sabda Nabi Muhammad Saw berikut :
Setiap bi’ah adalah dlolalah “menyesatkan”.
Untuk memahami hadits seperti itu, kita mesti mengatakan bahwa yang dimaksud dengan bid’ah dalam hadits tersebut adalah bid’ah sayyi’ah. Yaitu bid’ah yang salah dan menyesatkan. Bid’ah yang dimaksud dengan sabda Nabi Muhammad Saw tersebut adalah suatu peribadahan yang tidak didasarkan pada ajaran pokok agama Islam.
Pendekatan yang seperti itu pula yang harus digunakan untuk memahami berbagai hadits, seperti hadits berikut (Yg artinya - Wallohu wa Rasuluhu a’lam):
Tidak ada shalat – yang sempurna- bagi tetangga masjid kecuali (yang dilakukan) di dalam masjid.
Hadits diatas, mekipun mengandung “pembatasan” (hashr), yaitu menafikan (meniadakan) shalat dari tetangga masjid, tetapi kandungan umum dari berbagai hadits lain mengenai shalat mengisyaratkan bahwa hadits tersebut perlu dipahami dengan suatu kayyid atau pengikat. Maka pengertiannya, “tidak ada shalat (fardu) yang sempurna bagi tetangga masjid, kecuali di masjid.”
Begitu pula berkenaan dengan hadits Rasulullah Saw di bawah ini (Yg artinya - Wallohu wa Rasuluhu a’lam):
Tidak ada shalat dengan (tersedianya) makanan.
Maksudnya, tidak ada shalat yang sempurna jika makanan telah tersedia. Seperti itu pula pendekatan yang harus kita gunakan untuk memahami hadits berikut (Yg artinya - Wallohu wa Rasuluhu a’lam):
“Tidak beriman (dengan keimanan sempurna) salah seorang di antaramu kecuali ia mencintai sesuatu untuk saudaranya seperti ia mencintainya untuk (kepentingan) dirinya”
Begitu juga hadits berikut (Yg artinya - Wallohu wa Rasuluhu a’lam):
”Demi Allah, tidak beriman; Demi Allah, tidak beriman; Demi Allah, tidak beriman – dengan keimanan yang sempuma.” Ada yang bertanya: ”Siapakah – yang tidak sempurna keimananya itu – wahai Rasulullah?”
Beliau bersabda: ”Orang yang tidak menyelamatkan tetangganya dari gangguannya”
“Tidak masuk surga pengadu domba.”
“Tidak masuk surga pemutus tali persaudaraan. Tidak masuk surga orang yang durhaka kepada kedua orangtuanya.”
Menurut para ulama, yang dimaksud tidak masuk surga itu adalah tidak masuk secara baik dan utama, atau tidak masuk surga jika menganggap halal atau boleh melakukan perbuatan munkar seperti itu. Jadi, para ulama – atau pakar – itu tidak memahami hadits menurut lahirnya; mereka memahaminya melalui takwil.
Maka harus seperti itulah memahami hadits tentang bid’ah, Keumuman kandungan berbagai hadits serta kondisi dan sikap para sahabat mengesankan bahwa yang dimaksud dengan bid’ah dalam hadits tersebut hanyalah bid’ah sayyi’ah (bid’ah yang jelas-jelas tidak ada landasan pokok dari ajaran Islam); tidak semua bid’ah.
Cobalah kita perhatikan hadits-hadits berikut ini (Yg artinya - Wallohu wa Rasuluhu a’lam):
Siapa yang menetapkan – atau melakukan – suatu kebiasaan (Sunnah) yang baik, maka ia berhak mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sampai hari kiamat ….
Henduklah kamu sekalian (mengikuti) Sunnahku dan Sunnah para kholifah yang cerdik pandai dan mendapat petunjuk…
Perhatikan juga perkataan Umar bin Khathab r.a. mengenai salat tarawih: ”Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” (Yakni, melakukan salat tarawih dengan berjamaah - penrj). Hanya Allah Yang Lebih Mengetahui yang sebenarnya.”
Perlu Pembedaan antara Bid’ah Syar’iyyah dan Bid’ah Etimologis
Ada sebagian umat Islam – yang mengaku-ngaku sebagai pakar – mengkritik secara pedas adanya pembagian bid’ah kepada bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Mereka mengingkari dengan sangat keras setiap orang yang menerima pembagian bid’ah seperti itu. Bahkan, ada di antara mereka yang menuduh fasik dan sesat terhadap setiap orang yang mempunyai paham demikian.
Menurut mereka, hal itu didasarkan pada sabda Nahi Muhammad Saw: ”Setiap bid’ah adalah sesat”. Secara redaksional, hadits tersebut meng-isyaratkan keumuman makna bid’ah – bukan hanya bid’ah tertentu – dan dengan tegas menyifati bid’ah sebagai perbuatan yang sesat atau menyesatkan. Oleh karena itu, mereka berani mengatakan: ”Apakah dibenarkan atau dapat diterima – setelah sabda Rasulullah Saw – penetap syariat yang menegaskan bahwa seitiap bid’ah itu sesat, (lalu) muncul seorang mujtahid atau faqih, setinggi bagaimana pun tingkatannya, berpendapat: ”Tidak,’Tdak! Tidak setiap bid’ah itu sesat, tetapi, sebagiannya ada yang sesat, sedang sebagian lagi bagus, serta ada juga yang sayyi’ah atau buruk.”.
Dengan pendekatan seperti itu, banyak umat Islam yang tertipu. Mereka bersama-sama berteriak-teriak menyatakan pendapatnya, dan bersama pengingkar lainnya mengingkari pendapat yang lain. Ternyata kebanyakan mereka itu adalah orang-orang yang tidak memahami tujuan-tujuan atau maksud-maksud ajaran Islam [maqashid al-syari’) dan belum merasakan ruhnya.
Selang beberapa saat, mereka terpaksa melakukan, mencari jalan keluar dari berbagai problematika kontradiktif dan bemacam-bemacam kesulitan yang dihadapinya, untuk memahami realitas yang dilaluinya. Mereka berusaha menemukan suatu penemun baru atau inovasi baru dengan membuat suatu perantaraan. Tanpa perantaraan atau washilah itu, mereka tidak dapat makan, tidak dapat minum, tidak kuasa mendapatkan tempat tinggal, tidak dapat berpakaian, tidak dapat bernafas, tidak dapat bersuami atau beristri, bahkan. tidak dapat berinteraksi dengan dirinya sendiri, dengan keluarganya, dengan saudara-saudaranya, tidak pula dengan masyarakat-nya. Perantaraan yang dimaksud adalah memunculkan suatu definisi baru tentang bid’ah, bahwa ”Sesungguhnya bid’ah itu terbagi atas bid’ah diniyyah – berkaitan dengan agama – dan bid’ah dunyawiyyah – berhubungan dengan urusan-urusan duniawi.
Subhanallah! Mahasuci Allah! Orang ”yang suka main-main” ini berani sekali membolehkan dirinya menemukan penemuan baru berupa pembagian semacam itu; atau, paling tidak, menemukan penamaan atau definisi baru mengenai bid’ah. Jika kita menerima hahwa pembagian atau klasifikasi seperti itu sudah ada sejak masa Nabi Muhammad Saw – meskipun klasifikasi bid’ah kepada diniyyah dan dunyawiyyah, secara pasti tidak pernah ada pada masa tasyri’ – dari mana kiasifikasi semacam itu lahir? Dari manakah penamaan baru tersebut timbul’?
Kepada siapa saja yang mengatakan bahwa pembagian bid’ah kepada hasannah dan sayyi’ah itu tidak datang dari syari’ – penetap syariat (Nabi Muhammad Saw), kami tegaskan bahwa pendapat – yang mesti ditolak – yang menegaskan ”pembagian bid’ah kepada bid’ah diniyyah – menjadi hasanah dan sayyi’ah tidak diterima, sedangkan pembagian bid’ah secara dunyawiyyah dapat diterima” merupakan perbuatan bid’ah dan penemuan baru juga.
Nabi Muhammad Saw menegaskan: ”Setiap bid’ah. itu sesat – atau kesesatan,”. Sabda Nabi Muhammad Saw itu begitu mutlak, tanpa syarat apa-apa. Sementar itu, Anda berkata, ”Tidak! Setiap bid’ah itu sesat, secara mutlak; tetapi bid’ah itu terbagi atas dua bagian, yaitu bid’ah diniyyah, yang merupakan kesesatan, dan bid’ah dunyawiyyah, bid’ah dalam urusan duniawi yang dibolehkan.”
Oleh karena itu, kami memandang perlu untuk menjelaskan suatu problema yang sangat penting dalam hubungannya dengan masalah bid’ah ini. Dengan cara ini, semoga segala yang musykil dan sulit itu akan terpecahkan, dan keraguan pun akan sirna, insya Allah.
Berkenaan dengan masalah tersebut, ketahuilah bahwa yang berbicara mengenai bid’ah itu adalah syari’ penetap syariat, yakni Nabi Muhammad Saw, yang bijaksana. Lidahnya adalah lidah syara’. Maka diperlukan pemahaman terhadap pembicaraannya menurut timbangan syara’ yang dibawana. Jika telah Anda ketahui bahwa bid’ah menurut definisi asalnya adalah setiap yang baru dan inovasi yang tidak ada contohnya, jangan Anda lupakan bahwa penambahan – yakni penemuan baru yang tercela – dalam konteks (bid’ah) ini adalah adanya penambahan dalam urusan agama supaya menjadi urusan agama, dan penambahan da1am masalah syariat supaya menjadi suatu bentuk syariat, sehingga menjadi suatu syariat yang diikuti – oleh umat Islam– dan disandarkan pada pemilik syariat (Nabi Muhammad Saw). Yang demikian itulah yang diperingatkan oleh Rasulullah Saw untuk dihindari, melalui sabdanya:
Siapa yang menambah-nambah dalam urusan agama kami ini yang bukan darinya, maka perbuatan itu ditolak.
Jadi, batasan intinya – dalam konteks bid’ah – itu adalah fii amrina hadza, ”dalam urusan agama kami ini”. Atas dasar itu, sebetulnya pembagian bid’ah menjadi bid’a.h hasanah dan bid’ah sayyi’ah itu – dalam pemahaman kami – hanyalah pembagian bid’ah secara etimologis atau lughawiy. Ia sebetulnya hanya sekadar penemuan dan penambahan yang baru (ikhtira’ dan ihdats). Kita tidak ragu bahwa bid’ah dalam pengertian syara’ adalah sesuatu yang menyesatkan dan fitnah yang tercela, ditolak, dan dimurkai. Kalau saja mereka – yang mengingkari pendapat kami – dapat mernahami makna seperti ini, akan jelaslah bagi mereka adanya titik temu pengompromian berbagai pendapat, sedangkan unsur-unsur pertentangan tampak begitu jauh.
Dan untuk lebih mendekatkan berbagai pendapat, saya berpandangan bahwa sesungguhnya orang yang mengingkari adanya pembagian atau klasifikasi bid’ah itu, hanya mengingkari pembagian bid’ah syar’iyyah, dengan alasan mereka membagi bid’ah menjadi bid’a.h diniyyah dan bid’ah dunyawiyyah. Mereka bahkan memandang pembagian tersehut sebagai sesuatu yang terpaksa harus mereka akui dan lakukan.
Sementara itu orang yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah berendapat bahwa pembagian itu hanya berdasarkan pertimbangan bid’ah secara etimologis atau kebahasaan, karena mereka mengatakan: ”Sesungguhnya penambahan – suatu ibadah – dalam agama dan syariat Islam itu merupakan kesesatan dan dosa besar.” Mereka meyakini hal itu. Dengan demikian, perbedaan yang terjadi antar umat Islam berkenaan dengan problematika bid’ah itu hanya dalam wujud syakl atau bentuk. Namun, saudara-saudara kita yang mengingkari pembagian bid’ah kepada hasanah dan sayyi’ah, lalu mengatakan bahwa bid’ah terbagi kepada diniyyah dan dunyawiyyah itu tidak cermat dan tidak teliti dalam mengungkapkan apa yang mereka pahami dan yakini. ketika mereka menetapkan bahwa bid’ah dalam urusan agama itu menyesatkan – dan itu jelas benarnya – lalu mereka berkeyakinan, bahkan menetapkan, bahwa bid’ah dalam urusan duniawi tidak apa-apa, sebetulnya mereka telah melakukan kesalahan dalam menetapkan hukum. Sebab, dengan definisi atau klasifikasi mengenai bid’ah yang mereka kemukakan itu berarti setiap bid’ah – atau hal-hal baru – dalam urusan duniawi itu (pasti) dibolehkan. Tentu saja hal itu sangat membahayakan. Perkataan mereka itu jelas mengandung fitnah dan bencana atau musibah besar.
Oleh karena itu, dalam kondisi seperti ini, diperlukan adanya rincian yang jelas mengenai problematika per-bid’ah-an itu. Hendaklah mereka mengatakan: ”Bahwa bid’ah dunyawiyyah itu ada yang baik dan ada pula yang buruk - sebagai mana kita saksikan secara nyata – yang tidak akan diingkari oleh siapa pun kecuali oleh orang yang sangat buta dan bodoh.”
Penambahan penjelasan semacani itu tampaknya sangat diperlukan. Untuk memenuhi pemahaman seperti itu, agaknya cukuplah mengikuti pendapat orang yang mengatakan: ”Bid’ah itu terhagi kepada hasanah dan sayyi’ah”. Dan, seperti diketahui bersama, pembagian itu hanya dari sisi kebahasaan alau lughawiyah (etimologis) belaka; atau yang menurut mereka yang mengingkarinya diyakini sebagai bid’ah dunyawiyyah. Agaknya, seperti itulah pendapat yang sangat hati-hati dan benar. Pendapat (terakhir) ini menghendaki sikap hati-hati dalam mengapresiasi dan merespons setiap urusan (duniawi) yang baru, juga menyelaraskannya dengan hukum syariat Islam dan kaidah-kaidah agama. Pendapat itu juga mengharuskan umat Islam menyesuaikan dan menimbang setiap hal duniawi yang baru - yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus – dengan syariat Islam. Dengan cara demikian, akan terlihat dengan jelas bagaimana peran hukum Islam berkenaan dengan hal-hal duniawi yang baru tersebut – betapa pun karakteristik bid’ah-nya. Makna dan pemahaman bid’ah yang seperti itu tidak dapat terpenuhi kecuali melalui pembagian atau klasifikasi yang bagus dan dapat dipertanggungjawabkan dari para imam ushul (fiqh). Semoga Allah SWT melimpahkan keridaan-Nya kepada para ulama ushul fiqh yang telah merumuskan dan menuliskan kata-kata yang valid, shahih, yang komprehensif atau sempurna, dan memenuhi tuntutan makna yang benar, tanpa ada kekurangan dan penyimpangan, serta tanpa takwil.
Oleh Alhabib Al-A'rif billah Dr. Muhammad Alawy Al-Malikiy Al-Hasani
Terjemah oleh :Alhabib Muhammad Alkaff
2013@abdkadiralhamid
0 Response to "TENTANG BID’AH - (dari Kitab Al-Mafahim Sayyid Al-Maliki Al-Hassani)"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip