MASALAH MENGAWINI WANITA HAMIL DAN HUKUM ANAK DI LUAR NIKAH
Masalah
Mengawini Wanita Hamil
Setiap manusia menghendaki menikah
dalam keadaan suci,tapi banyak hal yang terjadi di era kebebasan yang
kebablasan di zaman kehancuran sekarang ini. Sehingga tidak jarang bahkan
sangat sering kita saksikan mereka terpaksa kawin dalam keadaan hamil.Bagaimana
Islam memandang pernikahan ini. Oleh karena itu permasalahan ini akan coba kita
bahas dari sumber kitab-kitab para salafus soleh sehingga kita tidak lagi
gamang dan ragu dalam menentukan sikap dan keadaan yang terjadi dalam
pembahasan berikut ini:
Diantara
sebab seorang lelaki mengawini wanita hamil adalah sebagai berikut:
1. Pergaulan bebas yang telah
dilakukan oleh sepasang lelaki dan perempuan yang menyebabkan kehamilan, dan
lelaki dituntut untuk bertanggung jawab atas perbuatannya melakukan hubungan
seks sebelum terjadi akad nikah menurut ajaran Islam.
2. Perkawinan harus dilakukan karena
menutup malu keluarga wanita. Kehamilan di luar nikah adalah sebuah aib dan
sulit untuk ditutup-tutupi. Sehingga harus segera dilakukan perkawinan agar
tertutupi aib tersebut.
Hukum
mengawini wanita hamil
Hukum mengawini wanita hamil karena
diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya adalah haram karena masih dalam
keadaan iddah. Adapun yang dimaksud disini adalah hukum mengawini wanita
hamil karena zina, maka secara umum para ulama menetapkan bahwa wanita
yang hamil karena perbuatan zina tidak boleh dinikahkan, baik dengan laki-laki
yang menghamilinya atau pun dengan laki-laki lain kecuali telah memenuhi dua
syarat :
Pertama; Dia dan si laki-laki telah bertaubat dari perbuatan
zinanya. ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah, Ishaq dan Abu
‘Ubaid.Juga Imam Malik, Syafi’i dan Abu Hanifah mensyaratkan taubat
Pendapat ini diperkuat dengan
pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Fatawa 32/109: “Menikahi
perempuan pezina adalah haram sampai ia bertaubat, apakah yang menikahinya itu
adalah yang menzinahinya atau selainnya. Inilah yang benar tanpa keraguan.”
Allah Swt pun telah menegaskan dalam
firman-Nya:
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إلَّا
زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ
مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Laki-laki yang berzina tidak
menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang
musyrik. Dan perempuan yang berzina
tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik.
Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mu`minin.” (QS. An-Nur: 3)
Dan dalam hadits ‘Amr bin Syu’aib
dari ayahnya dari kakeknya ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, beliau berkata:
أَنَّ مَرْثَدَ بْنَ أَبِيْ مَرْثَدٍ
الْغَنَوِيَّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ يَحْمِلُ الْأَسَارَى بِمَكَّةَ وَكَانَ
بِمَكَّةَ امْرَأَةٌ بَغِيٌّ يُقَالُ لَهَا عَنَاقٌ وَكَانَتْ صَدِيْقَتَهُ.
قَالَ: فَجِئْتُ إِلىَ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ
فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَنْكِحُ عَنَاقًا ؟ قَالَ: فَسَكَتَ عَنِّيْ
فَنَزَلَتْ: ((وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ))
فَدَعَانِيْ فَقَرَأَهَا عَلَيَّ. وَقَالَ: لاَ تَنْكِحْهَا
Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad
Al-Ghonawy membawa tawanan perang dari Makkah dan di Makkah ada seorang
perempuan pelacur disebut dengan (nama) ‘Anaq dan ia adalah teman (Martsad).
(Martsad) berkata: “Maka saya datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wa sallam lalu saya berkata: “Ya Rasulullah, Saya nikahi ‘Anaq?” Martsad
berkata: “Maka beliau diam, maka turunlah (ayat): “Dan perempuan yang berzina
tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik.”
Kemudian beliau memanggilku lalu membacakannya padaku dan beliau berkata:
“Jangan kamu nikahi dia.” (Hadits hasan,
riwayat Abu Daud no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i 6/66 dan dalam Al-Kubra
3/269, Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1745
dan disebutkan oleh Syeikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shohih
Al-Musnad Min Asbabin Nuzul)
Ayat dan hadits ini tegas
menunjukkan haram nikah dengan perempuan pezina. Namun hukum haram
tersebut bila ia belum bertaubat. Adapun kalau ia telah bertaubat maka terhapuslah
hukum haram nikah dengan perempuan pezina tersebut berdasarkan sabda
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam:
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا
ذَنْبَ لَهُ
“Orang yang bertaubat dari dosa
seperti orang yang tidak ada dosa baginya.”
Bila seseorang telah mengetahui,
bahwa pernikahan ini haram dilakukan namun dia memaksakan dan melanggarnya,
maka pernikahannya tidak sah dan bila melakukan hubungan, maka hubungan itu
adalah perzinah-an. Bila terjadi kehamilan, maka si anak tidak dinasabkan
kepada laki-laki itu atau dengan kata lain, anak itu tidak memiliki bapak.
Orang yang menghalalkan pernikahan semacam ini, padahal dia tahu bahwa Allah
Subhanahu wa Ta'ala telah mengharamkannya, maka dia dihukumi sebagai orang
musyrik.
Kedua : Dia harus beristibra. (menunggu kosongnya rahim)
dengan satu kali haidl, bila tidak hamil, dan bila ternyata hamil, maka sampai
melahir-kan kandungannya. Rasulullah bersabda:
“Tidak boleh digauli (budak) yang
sedang hamil, sampai ia melahir-kan dan (tidak boleh digauli) yang tidak hamil,
sampai dia beristibra? dengan satu kali haid.”
Di dalam hadits di atas, Rasulullah
melarang menggauli budak dari tawanan perang yang sedang hamil sampai
melahirkan dan yang tidak hamil ditunggu satu kali haidl, padahal budak itu
sudah menjadi miliknya. Juga sabdanya : Artinya, “Tidak halal bagi orang
yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dia menuangkan air (maninya) pada
semaian orang lain.”
Mungkin sebagian orang bertanya,
bahwa yang dirahim itu adalah anak yang terbentuk dari air mani si laki-laki
yang menzinainya yang hendak menikahinya. Kenapa tidak dibolehkan
menyetubuhinya. Jawabnya adalah apa yang dikatakan oleh Al Imam Muhammad Ibnu
Ibrahim Al Asyaikh, “Tidak boleh menikahi-nya sampai dia taubat dan
selesai dari iddahnya dengan melahirkan kandung-annya, karena perbedaan dua air
(mani), najis dan suci, baik dan buruk dan karena bedanya status menggauli dari
sisi halal dan haram.”
Jawaban tersebut menjadi jelas bahwa
sekalipun laki-laki yang menzinahinya telah bertaubah dan mengawininya, tetapi
laki-laki yang sudah menjadi suaminya itu tidak dibolehkan menyetubuhinya
sampai isteri yang dizinahinya itu melahirkan. Hal ini dikarenakan ada
perbedaan dua air mani yang najis dan suci, baik dan buruk dan dari sisi halal
dan haram.
Syarat wajib iddah ini dipegang oleh
Hasan Al-Bashry, An-Nakha’iy, Rabi’ah bin ‘Abdurrahman, Imam Malik, Ats-Tsaury,
Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih.
Sedangkan Imam Syafi’i dan Abu
Hanifah tidak wajib iddah. Artinya lelaki yang mengawini wanita hamil boleh
menyetubuhinya tidak perlu menunggu sampai melahirkan. Karena iddah hanya
berlaku bagi mereka yang sudah menikah. Sedangkan hamil di luar nikah tidak
disyaratkan secara khusus dalam nash ketentuan memiliki iddah. Namun persamaan
antara Imam Syafi’i dan Abu Hanifah. Menurut Imam Syafi’iy dan juga Abu Hanifah
berpendapat boleh melakukan akad nikah dengannya dan boleh ber-jima’
dengannya, apabila yang menikahinya adalah orang yang menzinahinya itu sendiri.
Tapi kalau yang menikahinya selain orang yang menzinahinya maka boleh melakukan
akad nikah tapi tidak boleh ber-jima’ sampai istibro` (telah
nampak kosongnya rahim dari janin) dengan satu kali haid atau sampai melahirkan
kalau perempuan tersebut dalam keadaan hamil.
Dari kedua perbedaan pendapat di
atas, tampaknya perlu untuk ditarjih (diunggulkan). karena perbedaan pendapat
tersebut bukanlah terletak pada dasar hukum (ushulnya) tapi hanya pada
permasalahan boleh tdknya menggauli di saat hamil,Pendapat yang benar adalah
pendapat yang wajib ‘iddah berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:
1. Hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu
‘anhu, sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
bersabda tentang tawanan perang Authos:
لاَ تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعُ
وَلاَ غَيْرُ حَامِلٍ حَتَّى تَحِيْضَ حَيْضَةً
“Jangan dipergauli perempuan hamil
sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang tidak hamil sampai ia telah haid
satu kali.” (HR. Ahmad 3/62,87, Abu Daud no.
2157, Ad-Darimy 2/224 Al-Hakim 2/212, Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-Thobarany
dalam Al-Ausath no. 1973 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 307
dan di dalam sanadnya ada rowi yang bernama Syarik bin ‘Abdullah An-Nakha’iy
dan ia lemah karena hafalannya yang jelek tapi hadits ini mempunyai dukungan
dari jalan yang lain dari beberapa orang shohabat.
2. Hadits Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu
‘anhu dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, beliau
bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلاَ يَسْقِ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ
“Siapa yang beriman kepada Allah dan
hari akhirat, maka jangan ia menyiramkan airnya ke tanaman orang lain.” (HR. Ahmad 4/108, Abu Daud no. 2158, At-Tirmidzi no. 1131,
Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qoni’ dalam Mu’jam Ash-Shohabah 1/217, Ibnu Sa’ad
dalam Ath-Thobaqot 2/114-115, Ath-Thobarany 5/no.4482 )
3. Hadits Abu Ad-Darda` riwayat
Muslim dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam:
أَنَّهُ أَتَى بِامْرَأَةٍ مُجِحٍّ
عَلَى بَابِ فُسْطَاطٍ فَقَالَ لَعَلَّهُ يُرِيْدُ أَنْ يُلِمَّ بِهَا فَقَالُوْا
نَعَمْ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ
لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَلْعَنَهُ لَعْنًا يَدْخُلُ مَعَهُ قَبْرَهُ كَيْفَ
يُوَرِّثُهُ وَهُوَ لاَ يَحِلُّ لَهُ كَيْفَ يَسْتَخْدِمُهُ وَهُوَ لاَ يَحِلُّ
لَهُ.
Beliau mendatangi seorang perempuan
yang hampir melahirkan di pintu Pusthath. Beliau bersabda: “Barangkali orang
itu ingin menggaulinya?” (Para sahabat) menjawab: “Benar.” Maka Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda: “Sungguh saya telah
berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana
ia mewarisinya sedangkan itu tidak halal baginya dan bagaimana ia
memperbudakkannya sedang ia tidak halal baginya.”
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah:
“Dalam (hadits) ini ada dalil yang sangat jelas akan haramnya menikahi
perempuan hamil, apakah hamilnya itu karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang
budak-pent.), syubhat (yaitu nikah dengan orang yang haram ia
nikahi karena tidak tahu atau karena ada kesamar-samaran-pent.) atau karena
zina.”
Nampaklah dari sini kuatnya pendapat
yang mengatakan wajib ‘iddah dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu
Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syinqithy, Wallahu A’lam.
Dari uraian di atas dapat diambil
pelajaran bahwa manusia harus berpikir seribu sekali untuk berbuat, jangan
sampai perbuatan yang dilakukan adalah pelanggaran terhadap aturan-aturan
Allah, termasuk pelanggaran tersebut itu adalah perzinahan yang mengakibatkan
kehamilan di luar nikah. Padahal ancaman bagi para pelaku zina adalah dirajam
80 – 100 kali dera.
Meskipun ada sebagian ulama yang
menganggap sah pernikahan yang dilangsungkan pada saat hamil di luar nikah,
bukan berarti mereka mengizinkan atau membolehkan perzinahan. Pendapat para
ulama yang membolehkan pernikahan wanita hamil karena zina ini tanpa ada syarat
tertentu didasarkan kepada keterangan-keterangan sebagai berikut:
1.
Abu Bakar As-Shiddiq ra. dan Umar bin Al-Khattab ra. serta para fuqaha umumnya,
menyatakan bahwa seseorang menikahi wanita yang pernah dizinainya adalah boleh.
Dan bahwa seseorang pernah berzina tidaklah mengharamkan dirinya dari menikah
secara syah.
2.
Adanya Hadits Nabawi yang membolehkan hal itu
Dari Aisyah ra. berkata: Rasulullah
SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan
berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda, Awalnya perbuatan kotor dan
akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal.
4. Pendapat Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah menyebutkan bahwa
bila yang menikahi wanita hamil itu adalah laki-laki yang menghamilinya,
hukumnya boleh. Sedangkan kalau yang menikahinya itu bukan laki-laki yang
menghamilinya, maka laki-laki itu tidak boleh menggaulinya hingga melahirkan.
5. Pendapat Imam Malik dan Imam
Ahmad bin Hanbal Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan laki-laki yang
tidak menghamili tidak boleh mengawini wanita yang hamil. Kecuali setelah
wanita hamil itu melahirkan dan telah habis masa ‘iddahnya. Imam Ahmad
menambahkan satu syarat lagi, yaitu wanita tersebut harus sudah tobat dari dosa
zinanya. Jika belum bertobat dari dosa zina, maka dia masih boleh menikah
dengan siapa pun.
6. Pendapat Imam Asy-Syafi’i Adapun
Al-Imam Asy-syafi’i, pendapat beliau adalah bahwa laki-laki yang menghamili
dibolehkan menikahinya.
7. Undang-undang Perkawinan RI Dalam
Kompilasi Hukum Islam dengan instruksi presiden RI no. 1 tahun 1991 tanggal 10
Juni 1991, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan keputusan Menteri Agama RI
no. 154 tahun 1991 telah disebutkan hal-hal berikut:
1.
Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya.
2.
Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat dpat dilangsungkan tanpa
menunggu lebih duhulu kelahiran anaknya.
3.
Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan
perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Ketentuan tersebut di atas,
hendaknya tidak mengakibatkan bertambahnya para wanita yang hamil di luar
nikah. Karena banyak juga ulama selain empat madzhab di atas, yang diharamkan
menikahi wanita hamil di luar nikah sebagaimana telah dibahas di atas.
Lebih lanjut, Sayid Sabiq dalam Fiqh
Sunnah dengan tegas mengatakan bahwa perbuatan zina yang mengakibatkan
kehamilan di luar nikah merupakan tindak pidana, yang akan mengakibatkan
sebagai berikut:
1. Zina dapat menghilangkan nasab
(keturunan) dan dengan sendirinya menyia-nyiakan harta warisan ketika orang
tuanya (tidak sah) meninggal dunia.
2. Zina mengakibatkan tidak ada
saling mewarisi dengan laki-laki itu dan hanya mewarisi dengan ibunya saja.
3. Zina juga menjadi wali bagi anak
perempuan, karena dia lahir akibat hubungan di luar nikah.
Selain itu, para ulama juga berpendapat tentang kebolehan
menikahnya seorang wanita yang berzinah dengan laki-laki
yang bukan menzinahinya dalam beberapa hal :
menikahnya seorang wanita yang berzinah dengan laki-laki
yang bukan menzinahinya dalam beberapa hal :
1. Fuqoha Hanafiyah menyatakan :
Jika wanita yang berzina tidak hamil. Maka aqad nikahnya
dengan lakilaki yang bukan menzinahinya adalah sah.
Demikian juga jika si wanita tersebut sedang hamil, demikian
menurut Abu Hanifah. Akan tetapi ia tidak boleh menggauli
nya selama belum melahirkan. Dengan dalil sebagai berikut :
Jika wanita yang berzina tidak hamil. Maka aqad nikahnya
dengan lakilaki yang bukan menzinahinya adalah sah.
Demikian juga jika si wanita tersebut sedang hamil, demikian
menurut Abu Hanifah. Akan tetapi ia tidak boleh menggauli
nya selama belum melahirkan. Dengan dalil sebagai berikut :
a. Perempuan yang berzina tidak termasuk wanita
yang haram dinikahi. Oleh karena itu hukumnya mubah
(boleh) dan termasuk dalam firmanNya:
yang haram dinikahi. Oleh karena itu hukumnya mubah
(boleh) dan termasuk dalam firmanNya:
Dan kami menghalalkan bagi kalian selain dari itu
(anNisaa: 24).
(anNisaa: 24).
b. Tidak ada keharaman karena disebabkan air
(sperma) hasil zina. Dengan dalil hal tersebut tidak bisa
menjadi sebab penasaban anak tersebut kepada bapaknya.
Oleh karena itu zina tidak bisa menjadi penghalang
pernikahan.Adapun sebab tidak bolehnya lakilaki
tersebut menggauli wanita tersebut sampai ia melahirkan
, adalah sabda Rasulullah SAW : Barang siapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia
menyirami dengan airnya ladang orang lain
(HR Abu Daud dan at Tirmidzy) yang dimaksud adalah
wanita hamil disebabkan orang lain.
(sperma) hasil zina. Dengan dalil hal tersebut tidak bisa
menjadi sebab penasaban anak tersebut kepada bapaknya.
Oleh karena itu zina tidak bisa menjadi penghalang
pernikahan.Adapun sebab tidak bolehnya lakilaki
tersebut menggauli wanita tersebut sampai ia melahirkan
, adalah sabda Rasulullah SAW : Barang siapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia
menyirami dengan airnya ladang orang lain
(HR Abu Daud dan at Tirmidzy) yang dimaksud adalah
wanita hamil disebabkan orang lain.
2. Abu Yusuf dan Zufar berpendapat: tidak bolah melaku
kan aqad nikah terhadap wanita yang hamil karena zina.
Karena kehamilan tersebut menghalanginya untuk menggauli
wanita tersebut dan juga menghalangi aqad dengannya.
Sebagimana halnya kehamilan yang sah, yaitu; sebagaimana
tidak bolehnya melaksanakan aqad nikah dengan wanita yang
hamil bukan karena zina maka dengan wanita yang hamil
karena zina pun tidak sah.
kan aqad nikah terhadap wanita yang hamil karena zina.
Karena kehamilan tersebut menghalanginya untuk menggauli
wanita tersebut dan juga menghalangi aqad dengannya.
Sebagimana halnya kehamilan yang sah, yaitu; sebagaimana
tidak bolehnya melaksanakan aqad nikah dengan wanita yang
hamil bukan karena zina maka dengan wanita yang hamil
karena zina pun tidak sah.
3. Fuqoha Malikiyah menyatakan: tidak boleh melaksana
kan aqad nikah dengan wanita yang berzina sebelum diketa
hui bahwa wanita tersebut tidak sedang hamil (istibraa),
hal tersebut diketahui dengah haid sebanyak tiga kali atau
ditunggui tiga bulan. Karena aqad dengannya sebelum
istibra adalah aqad yang fasid dan harus digugurkan.
Baik sudah nampak tandatanda kehamilan atau belum karena
dua sebab, pertama adalah kehamilannya sebagimana hadits
janganlah ia menyirami dengan airnya ladang orang lain atau
dikhawtirkan dapat tercampurnya nasab jika belum nampak
tanda-tanda kehamilan.
kan aqad nikah dengan wanita yang berzina sebelum diketa
hui bahwa wanita tersebut tidak sedang hamil (istibraa),
hal tersebut diketahui dengah haid sebanyak tiga kali atau
ditunggui tiga bulan. Karena aqad dengannya sebelum
istibra adalah aqad yang fasid dan harus digugurkan.
Baik sudah nampak tandatanda kehamilan atau belum karena
dua sebab, pertama adalah kehamilannya sebagimana hadits
janganlah ia menyirami dengan airnya ladang orang lain atau
dikhawtirkan dapat tercampurnya nasab jika belum nampak
tanda-tanda kehamilan.
4. Fuqoha Syafiiyah: Jika ia berzina dengan seorang wanita
, maka tidak diharamkan menikah dengannya, hal tersebut
berdasar pada firman Allah: Dan kami menghalalkan bagi
kalian selain dari itu (anNisaa: 24) juga sabda Rasulullah
SAW : sesuatu yang haram tidak dapat mengharamkan yang
halal.
, maka tidak diharamkan menikah dengannya, hal tersebut
berdasar pada firman Allah: Dan kami menghalalkan bagi
kalian selain dari itu (anNisaa: 24) juga sabda Rasulullah
SAW : sesuatu yang haram tidak dapat mengharamkan yang
halal.
5. Fuqoha Hanabilah berpendapat jika seorang wanita
berzinah maka tidak boleh bagi lakilaki yang mengetahui hal
tersebut menikahinya, kecuali dengan dua syarat:
berzinah maka tidak boleh bagi lakilaki yang mengetahui hal
tersebut menikahinya, kecuali dengan dua syarat:
a. Selesai masa iddahnya dengan dalil di atas,
janganlah ia menyirami dengan airnya ladang orang lain
dan hadit shohih Wanita yang hamil tidak boleh digauli
sampai ia melahirkan.
janganlah ia menyirami dengan airnya ladang orang lain
dan hadit shohih Wanita yang hamil tidak boleh digauli
sampai ia melahirkan.
b. Wanita tersebut bertaubat dari zinanya berdasar
kan firman Allah SWT: dan hal tersebut diharamkan
bagi orangorang mumin (anNur: 3) dan ayat tersebut
berlaku sebelum ia bertaubat. Jika sudah bertaubat
hilanglah keharaman menikahinya sebab Rasulullah
SAW bersabda: Orang yang bertaubat dari dosanya
seperti orang yang tidak memiliki dosa
kan firman Allah SWT: dan hal tersebut diharamkan
bagi orangorang mumin (anNur: 3) dan ayat tersebut
berlaku sebelum ia bertaubat. Jika sudah bertaubat
hilanglah keharaman menikahinya sebab Rasulullah
SAW bersabda: Orang yang bertaubat dari dosanya
seperti orang yang tidak memiliki dosa
Oleh karena itu, meskipun di Indonesia ada undang-undang yang mengesahkan pernikahan di luar nikah, berpikirlah sebelum melakukan perzinahan dan pikirkanlah dampak yang akan terjadi pada dirinya, anak keturunannya dan hilangnya harga diri keluarga di masyarakat.
Status Anak DI LUAR NIKAH
Anak zina itu menyimpan 3 keburukan” [Hadits Riwayat
Ahmad dan Abu Daud] Sebagian ulama menjelaskan, maksud
nya dia buruk dari aspek asalusul dan unsur pembentukannya,
garis nasab, dan kelahirannya. Penjelasannya, dia merupakan
kombinasi dari sperma dan ovum pezina, satu jenis cairan
yang menjijikkan (karena dari pezina) sementara gen itu
terus menjalar turun temurun, dikhawatirkan keburukan
tersebut akan berpengaruh pada dirinya untuk melakukan
kejahatan. Dalam konteks inilah, Allah menepis potensi nega
tive dari pribadi Maryam dengan firmaNya. Artinya :
Ahmad dan Abu Daud] Sebagian ulama menjelaskan, maksud
nya dia buruk dari aspek asalusul dan unsur pembentukannya,
garis nasab, dan kelahirannya. Penjelasannya, dia merupakan
kombinasi dari sperma dan ovum pezina, satu jenis cairan
yang menjijikkan (karena dari pezina) sementara gen itu
terus menjalar turun temurun, dikhawatirkan keburukan
tersebut akan berpengaruh pada dirinya untuk melakukan
kejahatan. Dalam konteks inilah, Allah menepis potensi nega
tive dari pribadi Maryam dengan firmaNya. Artinya :
Ayahmu sekalikali bukanlah seorang penjahat dan ibumu
sekalikali bukanlahseorang penzina” [Maryam : 28]
sekalikali bukanlahseorang penzina” [Maryam : 28]
Walaupun demikian adanya, dia tidak dibebani dosa orang
tuanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. Artinya :
Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang
lain” [Al-An’am :164]
tuanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. Artinya :
Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang
lain” [Al-An’am :164]
Pada prinsipnya, dosa dan sanksi zina di dunia dan akhirat
hanya ditanggung oleh orang tuanya. Tetapi dikhawatirkan
sifat bawaan yang negative itu akan terwarisi dan akan mem
bawanya untuk berbuat buruk dan kerusakan. Namun hal ini
tidak selalu menjadi acuan, kadangkala Allah akan mempebai
kinya sehingga menjadi manusia yang alim, bertakwa lagi
wara’, dengan demikian menjadi satu kombinasi yang terdiri
atas tiga komponen yang baik.
hanya ditanggung oleh orang tuanya. Tetapi dikhawatirkan
sifat bawaan yang negative itu akan terwarisi dan akan mem
bawanya untuk berbuat buruk dan kerusakan. Namun hal ini
tidak selalu menjadi acuan, kadangkala Allah akan mempebai
kinya sehingga menjadi manusia yang alim, bertakwa lagi
wara’, dengan demikian menjadi satu kombinasi yang terdiri
atas tiga komponen yang baik.
Meskipun pernikahan wanita hamil
karena zina dianggap sah dengan memenuhi dua syarat utama di atas, tetapi
pernikahan tersebut tidak membawa perubahan status terhadap anak yang dikandungnya,
artinya anak tersebut tidak dinasabkan kepada ayahnya tetapi hanya dinasabkan
kepada ibunya. Karena Semua madzhab yang empat (Madzhab Hanafi, Malikiy,
Syafi?i dan Hambali) telah sepakat bahwa anak hasil zina itu tidak memiliki
nasab dari pihak laki-laki, dalam arti dia itu tidak memiliki bapak, meskipun
si laki-laki yang menzinahinya dan yang menaburkan benih itu mengaku bahwa dia
itu anaknya. Pengakuan ini tidak dianggap, karena anak tersebut hasil hubungan
di luar nikah. Di dalam hal ini, sama saja baik si wanita yang dizinai itu
bersuami atau pun tidak bersuami. Jadi anak itu tidak berbapak.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam : Artinya “Anak itu bagi (pemilik) firasy dan
bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan).” (Al Mabsuth
17/154, Asy Syarhul Kabir 3/412, Al Kharsyi 6/101, Al Qawanin hal : 338, dan Ar
Raudlah 6/44. dikutip dari Taisiril Fiqh 2/828.)
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
Sallam telah menjadikan kerugian dan penyesalan bagi si laki-laki pezina, yaitu
maksudnya tidak ada hak nasab bagi si laki-laki pezina, sedangkan penafian
(peniadaan) nasab itu adalah murni hak Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Ibnu Abdil Barr berkata, Nabi
Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, “Dan bagi laki-laki pezina adalah batu
(kerugian dan penyesalan). Maka beliau menafikan (meniadakan) adanya nasab anak
zina di dalam Islam”.
Firasy adalah tempat tidur dan di
sini maksudnya adalah si istri yang pernah digauli suaminya atau budak wanita
yang telah digauli tuannya, keduanya dinamakan firasy karena si suami atau si
tuan menggaulinya atau tidur bersamanya. Sedangkan makna hadits tersebut yakni
anak itu dinasab-kan kepada pemilik firasy. Namun karena si pezina itu bukan
suami maka anaknya tidak dinasabkan kepadanya dan dia hanya mendapatkan
kekecewaan dan penyesalan saja. (Taudlihul Ahkam 5/103.)
Dikatakan di dalam kitab Al-Mabsuth,
“Seorang laki-laki mengaku berzina dengan seorang wanita merdeka dan (dia
mengakui) bahwa anak ini anak dari hasil zina dan si wanita membenarkannya,
maka nasab (si anak itu) tidak terkait dengannya, berdasarkan sabda Rasulullah:
“Anak itu bagi pemilik firasy, dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian
dan penyesalan)” (HR: Al Bukhari dan Muslim)
Rasulullah telah menjadikan kerugian
dan penyesalan bagi si laki-laki pezina, yaitu maksudnya tidak ada hak nasab
bagi si laki-laki pezina, sedangkan penafian (peniadaan) nasab itu adalah murni
hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Al Mabsuth 17/154)
Ibnu Abdil Barr berkata, Nabi
bersabda, “Dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan)?
Maka beliau menafikan (meniadakan) adanya nasab anak zina di dalam Islam.” (At
Tamhid 6/183 dari At Taisir)
Oleh karena itu anak hasil zina itu
tidak dinasabkan kepada laki-laki yang berzina maka :
* Anak itu tidak berbapak.
* Anak itu tidak saling mewarisi
dengan laki-laki itu.
Bila anak itu perempuan dan di kala
dewasa ingin menikah, maka walinya adalah wali hakim, karena dia itu tidak
memiliki wali.
Rasulullah bersabda, “Maka sulthan
(pihak yang berwenang) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali?”
(Hadits hasan Riwayat Asy Syafi\’iy, Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu
Majah.)
Satu masalah lagi yaitu bila si
wanita yang dizinahi itu dinikahi sebelum beristibra dengan satu kali haidh,
lalu digauli dan hamil terus melahirkan anak, atau dinikahi sewaktu hamil,
kemudian setelah anak hasil perzinahan itu lahir, wanita itu hamil lagi dari
pernikahan yang telah dijelaskan di muka bahwa pernikahan ini adalah haram atau
tidak sah, maka bagaimana status anak yang baru terlahir itu ?
Bila si orang itu meyakini bahwa
pernikahannya itu sah, baik karena taqlid kepada orang yang memboleh-kannya
atau dia tidak mengetahui bahwa pernikahannya itu tidak sah, maka status anak
yang terlahir akibat pernikahan itu adalah anaknya dan dinasabkan kepadanya,
sebagaimana yang diisyaratkan oleh Ibnu Qudamah tentang pernikahan wanita di
masa iddahnya di saat mereka tidak mengetahui bahwa pernikahan itu tidak sah
atau karena mereka tidak mengetahui bahwa wanita itu sedang dalam masa
iddahnya, maka anak yang terlahir itu tetap dinisbatkan kepada-nya padahal
pernikahan di masa iddah itu batal dengan ijma para ulama, berarti penetapan
nasab hasil pernikahan di atas adalah lebih berhak. (Al-Mughniy 6/455.)
Ibnu Taimiyyah mengatakan hal
serupa, beliau berkata, “Barangsiapa menggauli wanita dengan keadaan yang dia
yakini pernikahan (yang sah), maka nasab (anak) diikutkan kepadanya, dan
dengannya berkaitanlah masalah mushaharah (kekerabatan) dengan kesepakatan
ulama, meskipun pada hakikatnya pernikahan itu batil di hadapan Allah dan
Rasul-Nya, dan begitu juga setiap hubungan badan yang dia yakini tidak haram
padahal sebenarnya haram, (maka nasabnya tetap diikutkan kepadanya).” (Dinukil
dari nukilan Al Bassam dalam Taudlihul Ahkam 5/104)
Dengan demikian, dari uraian di atas
dapat diuraikan secara singkat adalah:
Pertama, perbuatan zina adalah
perbuatan yang termasuk dalam al Kabaair, yakni dosa besar. Pelakunya, dikenai
hukuman, jika ia belum menikah, maka didera sebanyak 100 deraan dan diasingkan
dari negerinya selama satu tahun.
Namun, jika ia sudah menikah, maka
hukumannya dirajam sampai mati.
Selanjutnya, status anak yang lahir
dari hubungan di luar pernikahan ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai anak zina, maka ia tidak
punya nasab kepada bapak (zina)nya. Nasab atau garis keturunannya adalah
dari ibunya. Jika bapak (zina)nya adalah A dan ibunya adalah B. Maka nasab anak
tersebut adalah fulan/fulanah bin/binti B, dan bukan fulan/fulanah bin/binti A.
2. Dengan putusnya garis nasab, maka
anak zina, tidak berhak memperoleh waris dari bapak (zina)nya. Begitu pula
sebaliknya, yakni jika anak (zina) meninggal duluan, maka bapak (zina) tidak
memperoleh bagian warisnya.
3. Dengan putusnya nasab, maka jika
si anak (zina) menikah, yang menjadi wali adalah BUKAN bapak (zina)nya,
melainkan sulthon/penguasa/KUA/penghulu.
4. Tidak wajib (yakni tidak berdosa)
jika si bapak (zina) tidak menafkahi anak hasil zinanya ini.
5. Namun, tetap saja, karena si anak
lahir dari benih bapaknya, maka status keduanya adalah MAHRAM (haram untuk
dinikahi).
6. Jika anak zina ini lahir dari
hasil selingkuhan, maka nasabnya tetap mengikuti bapak yang ada hubungan
pernikahan dengan ibunya, BUKAN nasab bapak yang berselingkuh.
Pembagian Waris Anak Zina
Sebagaimana dijelaskan, anak zina
tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya, begitu juga jika anak itu wanita,
ayahnya tidak dapat menikahkannya sebagai wali. Dengan demikian pembagian waris
pun tidak berhak diberikan kepadanya karena tidak ada hubungan nasab dari
perkawinan yang sah. Tetapi anak zina hanya dapat waris dari ibunya. Pembagian
warisnya sebagai berikut:
Seorang perempuan meninggalkan ahli
waris sebagai berikut:
Suami dan anak laki-laki hasil zina.
Maka suami mendapat 1/4 karena ada anak. Sedangkan anak laki-laki hasil zina
mendapat asobah (sisa) yaitu 3/4.
Atau kasus lain seorang perempuan
meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Suami dan anak perempuan hasil zina.
Maka suami berhak mendapat 1/4 karena mayit memiliki anak. Sedangkan anak
perempuan hasil zina mendapat 1/2 karena sendirian. Sedangkan ibu mendapat 1/6
karena ada anak. Asal masalahnya adalah 12. Suami mendapat 1/4 menjadi 3/12.
Anak perempuan hasil zina 1/2 menjadi 6/12. Dan ibu 1/6 menjadi 2/12. Adapun
sisanya 1/12 adalah dibagikan buat anak perempuan dan ibu.
Tetapi jika yang meninggalnya itu
adalah seorang laki-laki. Maka anak hasil zina itu tidak berhak mendapatkan
waris. Tetapi dapat diberikan dengan cara hibah atau wasiat, tentunya dengan
cara yang sesuai dengan ketentuan wasiat dan hibah.
Tulisan habib muhammad alkaff (MDA)
abdkadiralhamid@2013
0 Response to "MASALAH MENGAWINI WANITA HAMIL DAN HUKUM ANAK DI LUAR NIKAH"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip