//

Jami’ah al- Khairiyah, Organisasi Pendidikan Islam Alawiyyin Tertua

JAM'IYYAT  AL-KHAIR



encyclopedia/57fd26768acb045b2f96c9fd03088bc4
Organisasi sosial keagamaan Jamiatul Khair

Organisasi sosial yang berperan dalam melakukan perubahan sistem atau lembaga pendidikan Islam terutama di Jakarta. Lengkapnya Al-Jamiatul Khairiyah. Merupakan organisasi pendidikan Islam tertua di Jakarta, didirikan tahun 1901 dengan peran besar para ulama asal Arab Hadramaut dan juga pemuda Alawiyyin, seperti Habib Abubakar bin Ali bin Abubakar bin Umar Shahab, Sayid Muhammad Al-Fakir Ibn. Abn. Al Rahman Al Mansyur, Idrus bin Ahmad Shahab, Ali bin Ahmad Shahab, Abubakar bin Abdullah Alatas, Muhammad bin Abdurrahman Shahab, Abubakar bin Muhammad Alhabsyi dan Syechan bin Ahmad Shahab. Di tangan ulama-ulama inilah Jamiatul Khair tumbuh pesat.



Organisasi Pembaharuan Islam ini berkantor di daerah Pekojan di Tanjung Priok (Jakarta). Oleh karena perkembangannya dari waktu ke waktu semakin pesat, maka pusat organisasi ini dipindahkan dari Pekojan ke Jl. Karet, Tanah Abang. Organisasi ini dikenal banyak melahirkan tokoh-tokoh Islam, terdiri dari tokoh-tokoh gerakan pembaharuan agama Islam antara lain, Kyai Haji Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), HOS Tjokroaminoto (pendiri Syarikat Islam), H. Samanhudi (tokoh Sarekat Dagang Islam), dan H. Agus Salim. Bahkan beberapa tokoh perintis kemerdekaan juga merupakan anggota atau setidaknya mempunyai hubungan dekat dengan Jamiatul Khair.


Awalnya memusatkan usahanya pada pendidikan, namun kemudian memperluasnya dengan dakwah dan penerbitan surat kabar harian Utusan Hindia di bawah pimpinan Haji Umar Said Cokroaminoto (Maret 1913). Kegiatan organisasi juga meluas dengan mendirikan Panti Asuhan Piatu Daarul Aitam. Di Tanah Abang, Habib Abubakar bersama sejumlah Alawiyyin juga mendirikan sekolah untuk putra (aulad) di Jl. Karet dan putri (banat) di Jl. Kebon Melati serta cabang Jamiatul Khair di Tanah Tinggi Senen.

Pemimpin-pemimpin Jamiatul Khair mempunyai hubungan yang luas dengan luar negeri, terutama negeri-negeri Islam seperti Mesir dan Turki. Mereka mendatangkan majalah-majalah dan surat-surat kabar yang dapat membangkitkan nasionalisme Indonesia, seperti Al-Mu’ayat, Al-Liwa, Al-ittihad dan lainnya. Tahun 1903 Jamiatul Khair mengajukan permohonan untuk diakui sebagai sebuah organisasi atau perkumpulan dan tahun 1905 permohonan itu dikabulkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan catatan tidak boleh membuka cabang-cabangnya di luar di Batavia..

Abubakar bin Ali Syahab

Masa muda dan pendidikan

Lahir di Jakarta pada tanggal 28 Rajab 1288 H (130 tahun lalu), dari seorang ayah bernama Ali bin Abubakar bin Umar Shahab, kelahiran Damun, Tarim, Hadramaut. Ibunya bernama Muznah binti Syech Said Naum. Said Naum adalah salah seorang keturunan Arab yang mewakafkan tanahnya yang luas di kawasan Kebon Kacang, Tanah Abang, untuk pemakaman.
Dalam usia 10 tahun, pada tahun 1297 H, Habib Abubakar bersama ayahnya serta saudaranya Muhammad dan Sidah, berangkat ke Hadramaut. Di Hadramaut, ia mengabiskan waktunya untuk menuntut ilmu dari berbagai guru terkenal di sana, baik di Damun, Tarim, maupun Seywun. Tidak puas dengan hanya dengan berguru, ia mendatangi tempat-tempat pengajian dan mengadakan pertemuan-pertemuan dengan sejumlah ulama terkemuka.
Habib Abubakar kembali ke Indonesia melalui Syihir, Aden, Singapura, dan tiba di Jakarta pada tanggal 3 Rajab 1321 H. Mendapat gemblengan selama tiga belas tahun di Hadramaut, ia lalu mendirikan Jamiat Kheir bersama pemuda-pemuda sebayanya.


Pendirian Jamiat Kheir

Dalam situasi dan tekanan kolonial yang keras, Habib Abubakar tampil untuk mendirikan sebuah perguruan Islam, yang bukan hanya mengajarkan agama, tapi juga pendidikan umum. Pada tahun 1901, bersamaan dengan maraknya kebangkitan Islam di tanah air, berdirilah perguruan Islam Jamiat Kheir. Pada saat pertama kali berdiri, perguruan ini membuka sekolah di kawasan Pekojan yang saat itu penghuninya banyak keturunan Arab.
Selain Habib Abubakar, turut serta mendirikan perguruan ini sejumlah pemuda Alawiyyin yang mempunyai kesamaan pendapat dan tekad untuk memajukan Islam di Indonesia, sekaligus melawan propaganda-propaganda Belanda yang anti Islam. Mereka antara lain adalah Muhammad bin Abdurrahman Shahab, Idrus bin Ahmad Shahab, Ali bin Ahmad Shahab, Syechan bin Ahmad Shahab, Abubakar bin Abdullah Alatas dan Abubakar bin Muhammad Alhabsyi.
Habib Ali bin Abubakar Shahab sebagai ketua Jamiat Kheir, juga ikut mendorong organisasi ini ketika pindah dari Pekojan ke Jalan Karet (kini jalan KH Mas Mansyur, Tanah Abang). Kegiatan organisasi ini kemudian meluas dengan mendirikan Panti Asuhan Piatu Daarul Aitam. Di Tanah Abang, Habib Abubakar bersama-sama sejumlah Alawiyyin juga mendirikan sekolah untuk putra (aulad) di Jalan Karet dan putri (banat) di Jalan Kebon Melati (kini Jl. Kebon Kacang Raya), serta cabang Jamiat Kheir di Tanah Tinggi, Senen.



Perjalanan ke luar negeri dan naik haji

Setelah Jamiat Kheir berkembang dan semakin banyak muridnya, dalam usia 50 tahun atau pada tanggal 1 Mei 1926 ia kembali berangkat ke Hadramaut untuk kedua kalinya. Kali ini ia disertai dua orang putranya, yaitu Hamid dan Idrus. Mereka singgah di Singapura, Malaysia, Mesir dan Mukalla sebelum akhirnya tiba di Damun, Hadramaut, pada tanggal 20 Zulqaidah 1344 H.
Di tempat-tempat yang dikunjunginya, ia dan dua putranya yang masih berusia 20-an tahun selalu membahas upaya untuk meningkatkan syiar dan pendidikan Islam sesuai dengan hadits Nabi Muhammad SAW, "Belajarlah kamu dari sejak buaian sampai ke liang lahad". Habib Abubakar di tempat-tempat yang disinggahi selalu belajar dengan para guru dan sejumlah habib. Di Hadramaut ini, ia memperbaiki sejumlah masjid, antara lain masjid Al-Mas. Bahkan ia juga membangun masjid Sakran yang sampai sekarang masih berdiri dengan megahnya.
Habib Abubakar juga tidak segan untuk mencari dan mengumpulkan biaya selama di Jawa, Palembang dan Singapura untuk membangun sebuah madarasah di Damun, Hadramaut. Sampai sekarang madrasah ini pun masih berdiri dengan baik. Selain itu ia juga mendirikan yayasan Iqbal di Damun.
Pada 27 Syawwal 1354 H Habib Abubakar menunaikan ibadah haji. Kedatangannya di tanah suci bersamaan dengan kedatangan Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi dari Kwitang, seorang ulama besar di Jakarta yang menjadi sahabat karibnya. Mereka bersama-sama menziarahi tempat-tempat mulia dan para tokoh ulama. Pada awal Muharram 1355 H Habib Abubakar kembali ke Damun, Tarim.



Melanjutkan pengabdian di Indonesia

Pada 11 Safar 1356 H bertepatan dengan 23 April 1937 M Habib Abubakar berangkat pulang ke Jakarta. Setibanya di Jakarta, ia disambut oleh sahabat karibnya, Habib Ali Kwitang di sekolah Unwanul Fallah yang dibangun Habib Ali. Demikian pula keesokan harinya disambut di sekolah Jamiat Kheir yang didirikannya, yang saat itu dipimpin oleh Muhammad bin Ahmad bin Sumaith.
Pada 14 November 1940 ia menghadiri pembukaan madrasah/ma'had di Pekalongan, yang dibangun oleh sepupunya Habib Husein bin Ahmad bin Abubakar Shahab. Pembukaan sekolah di Pekalongan ketika itu mendapat sambutan meriah bukan saja dari warga setempat, tapi juga dari tokoh masyarakat Jakarta, Cirebon, Solo, Gresik, Surabaya dan dari daerah-daerah lainnya.
Habib Abubakar tidak pernah berhenti berjuang untuk Islam dan masyarakat. Berbagai kegiatan di bidang sosial dan pendidikan tidak pernah henti-hentinya dilakukannya, karena bidang ini tidak lepas dari perhatiannya. Selain tenaga, ia juga tidak segan-segan untuk mendermakan harta bendanya. Demikianlah, sebagai wakil dari Al-Rabithah Al-Alawiyyah ia telah beberapa kali ditugaskan mencari dana, bukan hanya untuk kepentingan kelompok Alawiyyin melainkan juga untuk masyarakat luas.



Wafat, warisan dan keturunannya

Pada tanggal 18 Maret 1944 M, saat pendudukan Jepang, tokoh yang juga ikut dalam mendirikan Malja Al Shahab pada tahun 1913 bersama sejumlah pemuda Al Shahab ini, menghadap ke hadirat Allah SWT. Ia wafat di Jakarta dan dimakamkan di pekuburan wakaf Tanah Abang, tanah wakaf kakeknya Said Naum.
Di zaman Gubernur Ali Sadikin pada tahun 70-an pemakaman ini dipindahkan ke Jeruk Purut dan Karet, dan tidak ada yang mengetahui dimana jasad beliau dipindahkan. Lahannya dipergunakan untuk membangun rumah susun pertama di Indonesia, berikut sebuah masjid lengkap dengan madrasahnya yang memakai nama Said Naum untuk mengabadikan wakafnya. Masjid ini pernah mendapat anugerah Agha Khan karena arsitekturnya yang orisinil dan menawan selaras dengan lingkungannya.
Habib Abubakar meninggalkan tujuh orang putra-putri, yaitu putra tertua Abdurrahman, serta Abdullah, Hamid, Idrus, Zahrah, Muznah dan Ali. Putra terkecilnya Ir. Ali A. Shahab, pernah menjabat Kepala Divisi Komunikasi dan Elektronika Direktorat PKK Pertamina. Seperti juga almarhum ayahnya, Ali Abubakar Shahab kini aktif di bidang sosial. Ir. Ali A. Shahab yang mantan anggota direksi Pertamina dan kini menjadi penasehat Malja Al Shahab, ketika baru-baru ini berkunjung ke Hadramaut telah menyaksikan masjid yang dibangun almarhum ayahnya. Di Jakarta, ada sebuah yayasan yang menangani pemeliharaan masjid ini yang diketuai oleh Ahmad bin Abdurrahman Shahab, salah seorang cucu almarhum.
Jamiat Kheir yang didirikan oleh Habib Abubakar bin Ali Shahab hingga kini diakui oleh pemerintah RI dan ahli sejarah Islam Indonesia sebagai organisasi Islam yang banyak melahirkan tokoh-tokoh perjuangan Indonesia. Mereka antara lain seperti KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), HOS. Tjokroaminoto (pendiri Sarekat Islam), H. Samanhudi (tokoh Sarekat Dagang Islamiyah), H. Agus Salim (tokoh Konferensi Meja Bundar), dan tokoh-tokoh perintis kemerdekaan lainnya yang merupakan anggota atau setidak-tidaknya mempunyai hubungan dekat dengan Jamiat Kheir.

  2013@abdkadir alhamid


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Jami’ah al- Khairiyah, Organisasi Pendidikan Islam Alawiyyin Tertua"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip