FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH
A. FIQIH NU
Dalam struktur organisasinya NU memiliki suatu
Lembaga Bahtsul Masail (LBM). Sesuatu namanya Bahtsul Masail, yang berarti
pengakajian terhadap masalah-masalah agama. Kita maklum, bahwa dari berbagai
ilmu pengetahuan agama, fiqih merupakan pengetahuan yang dipandang penting,
termasuk bagi ormas NU. Fiqih diposisikan sebagai ratu ilmu pengetahuan. Sebab
fiqih merupakan petunjuk bagi seluruh perilaku dan penjelas apa yang boleh dan
apa yang tidak boleh. Fiqih merupakan tuntunan praktis dalam mempraktekkan agama dalam berbagai bidang kehidupan, dari soal
beribadah hingga berpolitik. Kedudukan fiqih sebagai unsur penting dalam
membentuk struktur nilai dan pranata sosial ini, menempatkannya dalam posisi
yang strategis bagi upaya perubahan. Maka untuk melakukan transformasi di lingkungan
NU mesti dibarengi dengan transformasi tradisi pemikiran fiqih baik kerangka
teoritis (ushul fiqh) maupun kaidah-kaidah fiqih (qawaidul fiqhiyah). Di sinilah posisi penting
dari LBM, yakni untuk menjawab berbagai permasalahan keagamaan yang dihadapi
warga Nahdhiyin. Munculnya lembaga ini karena adanya kebutuhan masyarakat
terhadap hukum Islam praktis (‗amaly) bagi kehidupan sehari-hari yang mendorong para ulama dan intelektual
NU untuk mencari solusinya dengan melakukan bahtsul masail. Pada mulanya
Bahtsul Masa'il dilaksanakan setiap tahun, yaitu pada Muhkmatamar I sampai
dengan Muhkmatamar XV (1926 - 1940). Namun karena keadaan yang kurang stabil
berkaitan dengan meletusnya perang dunia II, maka pelaksanaan bahtsul masa‘il
juga tersendat-sendat mengiringi tersendatnya Muktamar.
HM. Cholil Nafis, salah satu pengurus besar
NU pernah menerangkan, bahwa dalam perkembangannya sebagai wadah ilmiah NU dalam mencari solusi setiap problem hukum Islam yang dihadapi oleh masyarakat di bagi dalam tiga periode.
Pertama, periode ta‟sis (pembentukan).
Peride ini dimulai sejak berdirinya
NU dan dipraktekkan setelah beberapa bulan berikutnya sampai tahun 1990-an.
Pembentukan bahtsul masa‘il merupakan pelembagaan dan formalisasi kegiatan yang
merupakan bagian dari proses pelaksanaan fungsi tradisional para kyai pesantren
sebagai simbol otoritas keagamaan atas permasalahan keagamaan aktual (masa‟il diniyyah waqii‟iyyah) yang diajukan
masyarakat atau pribadi yang menjadi unsurnya.
Kedua, periode tajdid (pembaharuan).
Periode ini dimulai dengan keputusan Musyawarah
Nasional tahun 1992 di Lampung yang memutuskan tentang metode pengambilan (istimbath) hukum untuk mengatasi
kebuntuhan hukum (mauquf) karena tidak ada ibarat kitabnya, sampai tahun 2000-an. Dalam
keputusan Munas tersebut, metode istimbath dibagi menjadi tiga tingkatan;
metode istimbath qauli (termaktub ibarat kitab), metode ilhaqi
(analogi masalah kepada masalah yang sudah ada ketentuan hukumnya
dalam ibarah kitab) dan metode manhaji (menetapkan hukum dengan cara mengikuti metode imam mazhab tentang
masalah yang tidak bisa dijawab oleh metode qauli
dan ilhaqi).
Upaya ini sebenarnya telah dilakukan oleh para
pembaharu di dalam NU sendiri. Yang paling fenomenal adalah keputusan Munas NU
di Lampung pada 1992 yang menegaskan keabsahan bermadzhab secara manhaj (metodologis). Keputusan ini bisa dianggap sebagai terobosan yang sangat berani
karena memberikan peluang untuk tidak terikat, bermadzhab atau taqlid kepada
putusan-putusan hukum hasil istimbath para Imam Madzhab. Para
ulama NU hanya dituntut untuk tetap mempergunakan teori dan metodologi yang
dikembangkan para imam tersebut. Bermadzhab secara manhajy merupakan jalan
moderat bagi upaya mengakomodir berbagai perubahan di tengah masyarakat yang terjadi
terus menerus. Ketika kondisi masyarakat sebagai obyek hukum mengalami perubahan
maka fiqih juga dituntut melakukan perubahan agar ia tidak gagap memberikan
jawaban-jawaban dari persoalan yang bermunculan akibat arus perubahan. Di sisi
lain, dengan tetap mempertahankan metodologi para ulama terdahulu para mujtahid
sekarang tidak mengalami keterputusan dengan khazanah intelektual masa lalu dan
tidak perlu membuang tenaga untuk menyusun metodologi baru dari nol. Sebab, ternyata
metodologi yang dibangun pada abad pertengahan tersebut dipandang masih mampu
untuk menyediakan piranti inovasi dan pembaruan.
Periode Ketiga, yakni periode tashih wa taqnin (perbaikan dan legislasi).
Periode ini dimulai dengan proses pembersihan
terhadap paham yang ekstrim, baik kanan maupun kiri yang menyusup ke tubuh
organisasi NU dengan cara peneguhan Keputusan Munas Lampung 1992 tentang metode
istimbath hukum dilingkungan NU dan ditolaknya konsep hermeneutika sebagai
metode ta‟wil dilingkungan NU pada Muktamar NU ke-31 di Asrama
Haji Donuhudan Jawa Tengah tahun 2004. Pada Muktamar itu juga dimulai
pembahasan tentang kebijakan pemerintah dan undang-undang yang dibahas dalam
komisi masail diniyyah qonuniyyah (masalah keagama perundang-undangan) tersendiri. Forum Bahtsul
Masail tingkat Nasional sendiri sudah diadakan 42 kali, yang dimulai dari tahun
1926 sampai 2007. Namun karena ada beberapa Muktamar yang dokumennya
tidak/belum ditemukan, yaitu Muktamar XVII, XVIII, XIX, XXI, XXII dan XXIV,
maka berdasarkan dokumen yang dapat dihimpun, hanya ditemukan 36 kali bahtsul
masail yang menghasilkan 536 keputusan. HM. Cholil Nafis mengklasifikasikan keputusan Lajnah Bahtsul Masail dalam dua kelompok.
Pertama adalah keputusan non-fiqih, yaitu keputusan yang tidak berkaitan
dengan masalah hukum praktis.
Kedua adalah keputusan hukum fiqh, yakni yang berkaitan dengan
hukum-hukum praktis (‟amaliy).
Tetapi pada tahun 2000-an kebelakang keputusan-keputusan bahtsul masa‘il diklasifikasi menjadi
tiga tema besar. Pertama, waqi‟iyah, yaitu membahas tentang masalah-masalah keagamaan
yang berkaitan dengan halal dan haramnya suatu masalah. Kedua, maudlu‟iyah, yang membahas masalahmasalah aktual tematik yang
perlu disikapi oleh warga nahdhiyin. Ketiga, qanuniyah, yaitu membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan respons NU
terhadap kebijakan publik, undang-undang dan khususnya Rencangan Undang-Undang.
Dalam buku Antologi NU
karya H. Soelaeman Fadelli dan Muhammad Subhan diterangkan tentang mekanisme
kerja dari Lembaga Bahtsul Masail, yakni, sebagai berikut:
Pertama-tama semua
masalah yang masuk ke lembaga diinventarisir, kemudian disebarkan ke seluruh
ulama, anggota syuriah dan para pengasuh pondok pesantren yang ada di
bawah naungan NU. Selanjutnya para ulama melakukan penelitian terhadap
masalah itu dan dicarikan rujukan dari pendapat-pendapat ulama madzhab melalui
kitab kuning (klasik). Selanjutnya mereka bertemu dalam
satu forum untuk
saling beradu argumen dan dalil rujukan.
Dalam forum tersebut
seringkali mereka hrus berdebat keras mempertahankan dalil yang dibawanya,
sampai akhirnya ditemukan dalil dasar yang paling kuat.
Barulah ketetapan hukum
itu diambil bersama, secara mufakat. Pada umumnya rujukan yang diambil oleh
para Ulama NU mengikuti pendapat Imam Syafi‟i. Hal ini karena madzhab Syafi‟i paling banyak diikuti kaum muslimin dan lebih sesuai dengan
kondisi sosial, budaya dan geografis Indonesia. Jika pendapat Imam Syafi‟i tidak tersedia, maka pendapat ulama yang lain diambil, sejah
masih dalam lingkungan madzhab yang empat (Syafi‟i, Malilki, Hambali dan Hanafi). Meskipun semua dasar selalu
merujuk pada pendapat para ulama pendahulu, namun kondisi masyarakat selalu
dijadikan pertimbangan dalam penerapannya.
Dasar sikap NU untuk bermadzhab, menurut KH. Sahal Mahfudh,
yang kini (2010) mantan Rais 'Aam Syuriah PBNU, sebagaimana dimuat di NU
online, bahwa NU secara konsekuen telah menindaklanjuti sikapnya yakni dengan
upaya pengambilan hukum dari referensi ("maraji) berupa kitab-kitab fiqih yang pada umumnya dikerangkakan secara
sistematik dalam beberapa komponen: ibadah, mua'amalah, munakahah (hukum keluarga)
dan jinayah/qadla (pidana/peradilan). Dalam hal ini para ulama NU dan forum
Bahtsul masa'il mengarahkan orientasinya dalam pengambilan hukum kepada aqwalal-mujtahidin (pendapat para mujtahid) yang muthlaq
ataupun muntashib. Bila kebetulan ditemukan qaul
manshush (pendapat yang telah ada nashnya), maka qaul itulah yang dipegangi. Kalau tidak
ditemukan, maka akan beralih ke qaul mukharraj (pendapat thasil takhrij). Bila terjadi khilaf (perbedaan pendapat) maka diambil yang
paling kuat sesuai dengan pentarjihan para ahlul-tarjih. Mereka juga sering mengambil keputusan sepakat dalam khilaf akan
tetapi juga mengambil sikap untuk menentukan pilihan sesuai dengan situasi
kebutuhan hajjiyah tahsiniyah (kebutuhan sekunder) maupun
dharuriyah (kebutuhan primer). Sebagai produk ijtihad, maka sudah sewajarnya
jika fiqih terus berkembang lantaran pertimbangan-pertimbangan sosio-politik
dan sosio budaya serta pola pikir yang melatarbelakangi hasil penggalian
hukumsangat mungkin mengalami perubahan. Para peletak dasar fiqih, yakni imam mazhab
(mujtahidin) dalam melakukan formasi hukum Islam meskipun digali langsung dari
teks asal (al-Quran dan Hadis) namun selalu tidak lepas dari pertimbangan
"konteks lingkungan" keduanya baik asbab
al-nuzul maupun asbab al-wurud. Namun konteks lingkungan ini kurang berkembang di kalangan NU.
Ia hanya dipandang sebagai pelengkap (komplemen) yang memperkuat pemahaman
karena yang menjadi fokus pembahasannya adalah norma-norma baku yang telah dikodifikasikan dalam
kitab-kitab, furu' al-fiqh. Fungsi syarah, hasyiyah, taqrirat dan ta'liqat juga dipandang sebagai "figuran" yang hanya berfungsi
memperjelas pemahaman muatan teks. Meskipun di dalam kitab-kitab syarah, hasyiyah, ta'liqat sering ditemukan
adanya kritik, penolakan (radd), counter, perlawanan (i'tiradl), atas teks-teks matan yang dipelajari dan dibahas, namun hal itu
kurang mendapat kajian serius di lingkungan NU. Karena sadar bahwa fiqih merupakan
produk ijtihad, demikian Sahal Mahfudz melanjutkan tulisannya, maka para fuqaha
terdahulu baik al a'immah al-arba'ah maupun yang lain meskipun berbeda pandangan secara tajam, mereka
tetap menghormati pendapat lain, tidak memutlakkan pendapatnya dan menganggap
ijtihad fuqaha lain sebagai keliru. Mereka tetap berpegang pada kaidah “al-ijtihad la yunqadlu bi al-ijtihad”, yakni bahwa suatu ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad
lain. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan. Hasil ijtihad seorang
fuqaha mungkin tidak pas pada ruang dan waktu tertentu tetapi sesuai untuk
ruang dan waktu yang berbeda. Disinilah fiqih menunjukkan wataknya yang
fleksibel, dinamis, realistis, dan temporal, tidak kaku dan tidak pula
permanen. KH. Syansuri Badawi, salah seorang Kiai dan pembesar NU,
mengatakan bahwa ijtihad yang dilakukan para ulama
NU dalam Bahtsul Masail adalah bentuk qiyas. Tetapi ijtihad yang seperti itu
dilakukan sejauh tidak ada qaul (pendapat) para ulama yang dapat menjelaskan
masalah itu. Qiyas dilakukan sejauh tidak bertentangan dengan al-Qur;an dan
al-Hadist. Hal ini sejalah dengan pendapat Imam Syafi‘i bahwa ijtihad adalah
qiyas. Penggunaan ar-ra'yu yang harus dilakukan dengan memenuhi syarat ketat adalah wajar,
karena dalam hal ini yang dicari bukanlah hal-hal duniawi tetapi hukum agama
yang membawa konsekuensi ukhrawi. Hadits Nabi menerangkan bahwa barang siapa menafsirkan al-Quran
dengan pendapat atau selera sendiri, maka baginya disiapkan tempat di neraka.
Kesembronoan dalam menggunakan ra'yu atau ijtihad akan membawa konsekuensi
yang berat, bukan saja dosa akibat salah karena sembrono, tetapi juga dosa para
pengikutnya yang harus terpikul.
Ketika menghadapi masalah yang serius kekikian yang
di masa lalu peristiwa itu belum pernah terjadi, maka Bahtsul Masail selalu
meminta penjelasan terlebih dahulu kepada para ahlinya. Di saat akan
menjatuhkan hukum asuransi, misalnya, Lembaga Bahtsul Masail mengundang para praktisi
asuransi. Begitu juga ketika akan membahas operasi kelamin,
Lembaga Bahtsul Masail juga mengundang mereka yangt
erkait dengan masalah itu, seperti waria yang akan melakukan operasi, dokter
yang akan menangani dan juga psikolog. Bahkan ketika akan membahas praktek jual
beli emas sistem berantai gaya Gold Guest, LBM
mengundang kepla sistem perwakilan Gold Quest untuk wilayah Asia.
Mereka pun datang dan menjelaskan seluk beluk bisnis itu secara terbuka di
depan para ulama. Setelah kasusnya jelas, barulah dikaji lewat kitab kuning dan
rujukanrujukan yang lain.
Aswaja
Aswaja adalah singkatan yang
sudah sangat akrab di telinga warga NU, yakni Ahlsussunnah Wal Jama‘ah. Di
sekolah-sekolah dan pondok pesantren NU biasanya terdapat pelajaran khusus
tentang Aswaja.
Aswaja berasal dari tiga kata, yakni, Ahlun yang
bearti golongan, keluarga atau pengikut. As-Sunnah yang artinya ajarah
Rasulullah yang meliputi Sabda Rasul, perilaku dan ketetapan Rasulullah Saw.
Sedangkan al-Jama‘ah mengandung beberapa arti, Jama‘ah para sahabat Nabi, Khulafaurrasyidin,
as-Sawadul A‘dham (golongan Mayoritas Ummat Islam);
Jama‘ah kaum muslimin yang telah membaiat kepada
Negara, para imam Mujtahid, pra pengikut Imam Abu Hasan al-Asy‘ari dan
al-Maturidi dalam aqidah. Dengan demikian kaum Ahlussunah wal Jamaah adalah
kaum yang menganut i‘toqad sebagaimana i‘tiwad yang dianut oleh Nabi Muhammad saw
dan sahabat-sahabat beliau.
Berpegangnya NU pada i‘tiqot Aswaja sangat kentara
mempengaruhi hukum Islam yang difatwakan. Kita akan segara dapat memahami dan memaklumi
pendapat-pendapat NU tentang masalah fiqh secara tahu ciri-ciri dari perilaku
kaum ahlussunah wal Jama‘ah. Ciri-ciri tersebut, adalah:
a. Berpegang teguh pada kitab
Allah dan Sunnah Rasul.
b. Pengikut setia dan pelestari
sunnah-sunnah Rasul serta para Sahabat Rasul.
c. Mengikuti langkah dan fatwa
para khulafaurrasyidin, juga para sahabat-sahabat Rasul.
d. Mengikuti dan melaksanakan
ijma‘ para Ulama dalam masalah khilafah, memilih pendapat sawadil a‘dham
(mayoritas); serta mengikuti imam madzhab sekiranya tidak mampu berijtihad/sendiri.
Untuk Phoin pertama dan kedua kami rasa tidak perlu
dijabarkan lagi. Sementara untuk phoin ketiga dan keempat butuh penjelasan
lebih jauh. Kenapa NU memilih untuk
mengikuti langkah dan fatwa para khulafaurrasyidin, juga para sahabat-sahabat
Rasul? Dasarnya adalah hadist Rasulullah:
“Maka bahwasannya siapa yang hidup (lama) di antaramu niscaya akan melihat perselisihan (paham) yang banyak . ketika itu pegang teguhlah Sunnahku dan sunnah khalifah Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali) yang diberi hidayah. Pegang teguhlah itu dan gigitlah dengan gerahammu(HR. Imam Abu Dawud)“Para sahabatku adalah ibarat bintang-bintang. Dengan siapapun di antara mereka, kamu sekalian mengikutinya, maka kamu akan mendapatkan petunjuk.” (HR. Baihaqi)
Kenapa NU memilih mengikuti dan melaksanakan ijma‘
memilih pendapat mayoritas? Dasarnya adalah hadist Rasulullah:
”Sesungguhnya ummatku tidak mungkin akan sepakat dalam kesesatan. Maka, bila kamu menemukan perselisihan, ikutilah golongan mayoritas.
Juga al-Qur‘an surat an-Nisa‘ ayat 115:
Yang Artinya:
Dan barangsiapa yang
menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan
jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali
(Q.S. An-Nisa‘ : 155)
Aswaja juga menjadi merupakan paham keagamaan yang
di dalamnya mempunyai konsep, salah satunya adalah moderat (tawasut), setidaknya harus memandang
dan memperlakukan budaya secara proporsional (wajar). Karena budaya, sebagai
kreasi manusia yang tujuannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bisa terjamin.
Budaya memiliki nilai-nilai positif yang bisa dipertahankan bagi kebaikan
manusia, baik secara personal maupun sosial.
Dalam hal ini, berlaku sebuah kaidah fikih "al muhafazhah ala al qadim al-shalih wal al-akhzu bil jadidi
al-ashlah", melestarikan kebaikan yang ada dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik. Dengan
menggunakan kaidah ini, pengikut Aswaja memiliki pegangan dalam menyikapi budaya.
Jadi tidak semuanya budaya itu
jelek, selama budaya itu tidak bertentangan
dengan ajaran Islam, dan mengandung kebaikan maka bisa diterima.
Bahkan bisa dipertahankan dan layak
untuk diikutinya. Ini sesuai dengan sebauh
kaidah fikih, "al-adah
muhakkamah" bahwa budaya atau tradisi (yang baik) bisa menjadi pertimbangan hukum.
Selain itu, NU juga memiliki banyak sekali tokoh
yang seringkali pendapat-pendapatnya dijadikan rujukan oleh jamaah Nahdhiyin,
meskipun tidak diijma‘kan
dalam Bahtsul Masail. KH. Abdurrahman Wahid misalnya, beberapa kali
mengeluarkan pendapat-pendapat seputar hukum Islam yang tidak jarang
kontroversial dengan ulama NU yang lain.
NU juga memiliki Majalah Aula dan situs resmi di
dunia maya, sebagai sarana untuk memberikan informasi-informasi seputar NU dan pendapat-pendapat
NU dalam menanggapi suatu masalah, khususnya yang menjadi isu Nasional. Dalam
situs dan majalah tersebut terdapat artikel dan tanya jawab seputar fiqh, yang
ditulis dan asuh oleh para Ulama NU.
B. FIQIH MUHAMMADIYAH
Dalam tubuh Muhammadiyah terdapat satu lembaga yang
khusus menanangi persoalan-persoalan yang menyangkut ibadah dan mu‘amalah. Lembaga
tersebut bernama lembaga Majelis Tarjih atau Lajnah Tarjih.
Tarjih berasal dari kata ―rojjaha – yurajjihu- tarjihan―, yang berarti
mengambil sesuatu yang lebih kuat. Menurut istilah ahli ushul fiqh adalah usaha
yang dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu antara dua jalan (dua
dalil) yang saling bertentangan, karena mempunyai kelebihan yang lebih kuat
dari yang lainnya.
Tarjih dalam istilah persyarikatan, sebagaimana
terdapat uraian singkat mengenai -Matan keyakinan dan
cita-cita hidup Muhamadiyah- adalah membanding-bandingan
pendapat dalam musyawarah dan kemudian
mengambil mana yang mempunyai alasan yang lebih
kuat. Sebagai organisasi keagamaan, Muhammadiyah melalui lembaga tarjih Muhammadiyah (manhaj
tarjih Muhammadiyah) menetapkan hukum di bidang
ibadah dan mu‘amalah menggunakan cara-cara
istinbath hukum tersendiri yang khas, yaitu dengan menyusun praktik ibadah
tersebut dalam bentuk tuntunan ―Rasulullah, tanpa menyebut status hukum dari perbuatan, perkataan, dan
rangkaian ibadah tersebut.
Pada tahap-tahap awal, tugas Majlis Tarjih, sesuai
dengan namanya, hanyalah sekedar memilih-milih antar beberapa pendapat yang ada
dalam Khazanah Pemikiran Islam, yang dipandang lebih kuat. Tetapi, dikemudian hari,
karena perkembangan masyarakat dan jumlah persoalan yang dihadapinya semakin
banyak dan kompleks , dan tentunya jawabannya tidak selalu di temukan dalam
Khazanah Pemikiran Islam Klasik, maka konsep tarjih Muhammadiyah mengalami
pergeseran yang cukup signifikan.
Kemudian mengalami perluasan menjadi: usaha-usaha
mencari ketentuan hukum bagi masalah-maasalah baru yang sebelumnya tidak atau
belum pernah ada diriwayatkan qoul ulama mengenainya. Usaha-usaha tersebut dalam
kalangan ulama ushul Fiqh lebih dikenal dengan nama ―Ijtihad’.
Menurut Ahmad Zain An Najah, idealnya nama Majlis
yang mempunyai tugas seperti yang disebutkan di atas adalah Majlis Ijtihad, namun
karena beberapa pertimbangan, dan ada keinginan tetap menjaga nama asli, ketika
Majlis ini pertama kali dibentuk, maka nama itu tetap dipakai, walau terlalu
sempit jika di bandingkan dengan tugas yang ada.
Adapun tugas-tugas Majlis Tarjih, sebagaimana yang
tertulis dalam Qa‘idah Majlis Tarjih 1961 dan diperbaharuhi lewat keputusan
Pimpinan Pusat Muhammdiyah tahun 2000, yakni sebagai berikut :
a. Mempergiat pengkajian dan
penelitian ajaran Islam dalam rangka pelaksanaan tajdid dan antisipasi perkembangan
masyarakat.
b. Menyampaikan fatwa dan
pertimbangan kepada Pimpinan Persyarikatan guna menentukan kebijaksanaan dalam
menjalankan kepemimpinan serta membimbing umat , khususnya anggota dan keluarga
Muhammadiyah.
c. Mendampingi dan membantu
Pimpinan Persyarikatan dalam membimbing anggota melaksanakan ajaran Islam
d. Membantu Pimpinan Persyarikatan dalam
mempersiapkan dan meningkatkan kualitas ulama.
e. Mengarahkan perbedaan
pendapat/faham dalam bidang keagamaan ke arah yang lebih maslahat.
Menurut Prof. DR. H. Amin Abdullah, salah satu
tokoh Muhammadiyah yang pernah menjabat sebagai ketua Majlis Tarjih, bahwa Majis
Tarjih sebenarnya memiliki dua dimensi wilayah keagamaan yang satu sama lainnya
perlu memperoleh perhatian seimbang. Yang pertama adalah wilayah tuntunan
keagamaan yang bersifat praktis, terutama ikhwal ibadah mahdhoh dan yang kedua adalah wilayah
pemikiran keagamaan yang meliputi visi, gagasan, wawasan, nilai-nilai dan
sekaligus analisis terhadap berbagai persoalaan (ekonomi, politik,
sosial-budaya , hukum, ilmu pengetahuan, lingkungan hidup dan lain-lainnya).
Manhaj Tarjih
Pokok-pokok Manhaj Majlis Tarjih (disertai
keterangan singkat) adalah sebagai berikut:
a. Di dalam beristidlal, dasar utamanya adalah al Qur‟an dan al Sunnah al -hohihah. Ijtihad dan
istinbath atas dasar illah terhadap hal-hal yang tidak terdapat dalam nash,
dapat dilakukan. Sepanjang tidak menyangkut bidang
ta‟abbudi, dan memang hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan
hidup manusia. Dengan
perkataan lain, Majlis Tarjih menerima Ijitihad, termasuk qiyas, sebagai cara
dalam menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara langsung.
Majlis tarjih di dalam berijtihad menggunakan tiga
macam bentuk ijtihad:
Pertama, Ijtihad Bayani: yaitu (menjelaskan teks Al-Quran dan hadits yang masih mujmal, atau umum, atau mempunyai
makna ganda, atau kelihatan bertentangan, atau sejenisnya), kemudian dilakukan jalan
tarjih. Sebagai contohnya adalah Ijtihad Umar untuk tidak membagi tanah yang di
taklukan seperti tanah Iraq,
Iran
,Syam, Mesir kepada pasukan kaum muslimin, akan tetapi dijadikan ―Khoroj’dan hasilnya dimasukkan dalam
baitul mal muslimin, dengan berdalil Q.S Al-Hasyr ayat 7-10.
Kedua, Ijtihad Qiyasi. Yaitu penggunaan metode qiyas untuk menetapkan ketentuan hukum
yang tidak di jelaskan oleh teks Al- Quran maupun Hadist, diantaranya :
meng-qiyas-kan zakat tebu, kelapa, lada ,cengkeh, dan sejenisnya dengan zakat
gandum, beras dan makanan pokok lainnya, bila hasilnya mencapai 5 wasak ( 7,5
kwintal )
Ketiga, Ijtihad Istishlahi : yaitu menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara khusus
dengan berdasarkan illat, demi untuk kemaslahatan masyarakat, seperti; membolehkan wanita
keluar rumah dengan beberapa syarat, membolehkan menjual barang wakaf yang diancam
lapuk, mengharamkan nikah antar agama dll
b. Dalam memutuskan sesuatu keputusan, dilakukan dengan cara
musyawarah.
Dalam menetapkan
masalah ijtihad, digunakan sistem ijtihad jama‟i. Dengan demikian pendapat
perorangan dari anggota majlis, tidak dipandang kuat. Manhaj ini sebagaimana halnya pendapat salah satu anggota Majlis Tarjih
Pusat yang pernah dimuat di dalam majalah Suara Muhammadiyah, bahwa dalam
penentuan awal bulan Ramadlan dan Syawal hendaknya menggunakan Mathla‘ Makkah.
Pendapat ini hanyalah pendapat pribadi sehingga tidak dianggap kuat. Yang diputuskan
dalam Munas Tarjih di Padang Oktober 2003, bahwa Muhammadiyah menggunakan
Mathla‘ Wilayatul Hukmi.
c. Tidak mengikatkan diri kepada suatu madzhab, akan tetapi
pendapat-pendapat madzhab, dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan
hukum. Sepanjang sesuai dengan jiwa Al Qur‟an dan al – Sunnah, atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat.
Hal tersebut seperti halnya ketika Majlis Tarjih
mengambil pendapat Mutorif bin Al Syahr di dalam menggunakan Hisab ketika
cuaca mendung, yaitu di dalam menentukan awal bulan Ramadlan. Walaupun
pendapatnya menyelisihi Jumhur Ulama. Sebagai catatan: Rumusan di atas,
menunjukkan bahwa Muhammadiyah, telah menyatakan diri untuk tidak terikat
dengan suatu madzhab, dan hanya menyandarkan segala permasalahannya pada
Al-Qur‘an dan Hadits saja. Namun pada perkembangannya, Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan yang mempunyai pengikut cukup
banyak, secara tidak langsung telah membentuk madzhab sendiri, yang disebut―Madzhab Muhammadiyah―, ini dikuatkan dengan adanya
buku panduan seperti HPT (Himpunan keputusan Tarjih ).
d. Berprinsip terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya
majlis Tarjih yang paling
benar. Keputusan diambil atas dasar landasan dalil- dalil yang dipandang paling
kuat, yang di dapat ketika keputusan diambil. Dan koreksi dari siapapun akan
diterima. Sepanjang dapat diberikan dalil-dalil lain yang lebih kuat. Dengan
demikian, Majlis Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan.
Seperti halnya pencabutan larangan menempel gambar
KH. Ahamd Dahlan karena kekawatiran tejadinya syirik sudah tidak ada lagi , pencabutan
larangan perempuan untuk keluar rumah dll.
e. Di dalam masalah aqidah (Tauhid), hanya dipergunakan dalil-dalil mutawatir.
Keputusan yang membicarakan tentang aqidah dan iman
ini dilaksanakan pada Mukatamar Muhammadiyah ke- 17 di Solo pada tahun 1929.
Namun rumusan di atas perlu ditinjau ulang. Karena mempunyai dampak yang sangat
besar pada keyakinan sebagian besar umat Islam, khususnya kepada warga
Muhammadiyah. Hal itu, karena rumusan tersebut mempunyai arti bahwa
Persyarikatan Muhammadiyah menolak beratus-ratus hadits shohih yang tercantum dalam
Kutub Sittah, hanya dengan alasan bahwa hadits ahad tidak bisa dipakai dalam
masalah aqidah. Ini berarti juga, banyak dari keyakinan kaum muslimin yang
selama ini dipegang erat akan tergusur dengan rumusan
di atas, sebut saja sebagai contoh : keyakinan
adanya adzab kubur dan adanya malaikat munkar dan nakir, syafa‘at nabi Muhammad
saw pada hari kiamat, sepuluh sahabat yang dijamin masuk syurga, adanya
timbangan amal, (siroth) jembatan yang membentang di atas neraka untuk masuk syurga, (haudh) kolam nabi Muhammad saw,
adanya tanda- tanda hari kiamat sepeti turunnya Isa, keluarnya Dajjal. Rumusaan
di atas juga akan menjerat Persyarikatan ini
ke dalam kelompok Munkiru al-Sunnah , walau secara
tidak langsung.
f. Tidak menolak ijma‟ sahabat sebagai dasar suatu keputusan. (Ijma‘ dari segi kekuatan hukum dibagi menjadi dua, pertama: ijma‘
qauli, seperti ijma‘ para sahabat untuk membuat standarisasi penulisan Al
Qur‘an dengan khot Utsmani, kedua : ijma‘ sukuti. Ijma‘ seperti ini kurang kuat.
Dari segi masa, Ijma‘ dibagi menjadi dua : pertama : ijma‘ sahabat. Dan ini
yang diterima Muhammadiyah. Kedua ; Ijma‘ setelah sahabat)
g. Terhadap dalil-dalil yang nampak mengandung ta‟arudl, digunakan cara “al jam‟u wa al taufiq“. Dan kalau tidak dapat , baru dilakukan tarjih.
Cara-cara melakukan jama‘ dan taufiq, diantaranya
adalah :
Pertama :
Dengan menentukan macam persoalannya dan menjadikan
yang satu termasuk bagian dari yang lain. Seperti menjama‘ antara QS Al Baqarah
234 dengan QS
Al Thalaq 4 dalam menentukan batasan iddahorang
hamil ,
Kedua :
Dengan menentukan yang satu sebagai mukhashis
terhadap dalil yang umum, seperti : menjama‟ antara QS Ali Imran 86,87 dengan QS Ali Imran 89,
dalam menentukan hukum orang kafir yang bertaubat, seperti juga menjama‘ antara
perintah sholat tahiyatul Masjid dengan larangan sholat sunnah ba‘da Ashar,
Ketiga :
Dengan cara mentaqyid sesuatu yang masih mutlaq,
yaitu membatasi pengertian yang luas, seperti menjama; antara larangan
menjadikan pekerjaan membekam sebagai profesi dengan ahli bekam yang mengambil
upah dari pekerjaanya.
Keempat :
Dengan menentukan arti masing-masing dari dua dalil
yang bertentangan, seperti : menjama‘ antara pengertian suci dari haid yang
berarti bersih dari darah haid dan yang berarti bersih sesudah mandi. Kelima :
Menetapkan masingmasing pada hukum masalah yang berbeda, seperti larangan
sholat di rumah bagi yang rumahnya dekat masjid dengan keutamaan sholat sunnah
di rumah.
h. Menggunakan asas “saddu al-dara”)untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah.
Saddu al dzara‘‘i adalah perbuatan untuk mencegah
hal-hal yang mubah, karena akan mengakibat kepada hal-hal yang dilarang.
Seperti : Larangan memasang gambar KH. Ahmad Dahlan, sebagai pendiri Muhammadiyah,
karena dikawatirkan akan membawa kepada kemusyrikan. Walaupun akhirnya larangan
ini dicabut kembali pada Muktamar Tarjih di Sidoarjo, karena kekawatiran
tersebut sudah tidak ada lagi. Contoh lain adalah larangan menikahi wanita non
muslimah ahli kitab di Indonesia, karena akan menyebabkan finah dan kemurtadan.
Keputusan ini ditetapkan pada Muktamar Tarjih di Malang 1989.
i. Men-ta‟lil dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil Al Qur’an dan al
Sunnah, sepanjang sesuai dengan tujuan syare‟ah. Adapun qaidah: “ al hukmu
yaduuru ma‟a „ilatihi wujudan wa‟adaman” dalam hal-hal tertentu , dapat
berlaku “
Ta‘lil Nash adalah memahami nash Al-Qur‘an dan
hadits, dengan mendasarkan pada illah yang terkandung dalam nash. Seperti
perintah menghadap arah Masjid Al Haram dalam sholat, yang dimaksud adalah arah
ka‘bah, juga perintah untuk meletakkan hijab antara lakilaki dan perempuan,
yang dimaksud adalah menjaga pandangan antara laki-laki dan perempuan, yang
pada Muktamar Majlis Tarjih di Sidoarjo 1968 diputuskan bahwa pelaksanaannya
mengikuti kondisi yang ada, yaitu pakai tabir atau tidak, selama aman dari
fitnah )
j. Pengunaaan dalil- dalil untuk menetapkan suatu hukum , dilakukan
dengan cara konprehensif , utuh dan bulat. Tidak terpisah. Seperti halnya di dalam memahami larangan menggambar makhluq yang bernyawa,jika dimaksudkan untuk disembah atau
dikawatirkan akan menyebabkan kesyirikan )
k. Dalil –dalil umum al Qur‟an dapat ditakhsis dengan hadist Ahad, kecuali dalam bidang aqidah. (Lihat keterangan dalam point ke 5 )
l. Dalam mengamalkan agama Islam, mengunakan prinsip “Taisir“
Di antara contohnya adalah: dzikir singkat setelah
sholat lima
waktu, sholat tarawih dengan 11 rekaat)
m. Dalam bidang Ibadah yang diperoleh ketentuan- ketentuannya dari Al
Qur‟an dan al Sunnah,
pemahamannya dapat dengan menggunakan akal, sepanjang dapat diketahui latar
belakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui ,akal bersifat nisbi, sehingga
prinsip mendahulukan nash daripada akal memiliki kelenturan dalam
menghadapai situsi dan kondisi.
Contohnya, adalah ketika Majlis Tarjih menentukan
awal Bulan Ramadlan dan Syawal, selain menggunakan metode Rukyat,juga menggunakan
metode
al Hisab. Walaupun pelaksanaan secara rinci terhadap
keputusan ini perlu dikaji kembali karena banya menimbulkan problematika pada
umat Islam di Indonesia
n. Dalam hal- hal yang termasuk “al umur al dunyawiyah” yang tidak
termasuk tugas para nabi ,
penggunaan akal sangat diperlukan, demi kemaslahatan umat.
o. Untuk memahami nash yang musytarak, paham sahabat dapat diterima.
p. Dalam memahani nash , makna dhahir didahulukan dari ta‟wil dalam bidang aqidah. Dan takwil
sahabat dalam hal ini, tidak harus diterima. Seperti dalam
memahami ayat-ayat dan hadist yang membicarakan sifat-sifat dan perbuatan Allah swt,seperti Allah
bersemayam d atas Arsy, Allah turun ke langit yang terdekat dengan bumi pada
sepertiga akhir malam dll )
Dalam perjalanannya Majlis Tajrih mengalami
perkembangan. Salah satunya adalah dengan penambahan terhadap tiga bentuk
Ijtihad yang digunakan Majlis Tarjih (Yaitu Ijtihad
Bayani, Qiyasi dan Istishlahi ) dengan ditambah tiga
pendekatan baru ,yaitu Pendekatan “Bayani” , “Burhani”
dan “Irfani”. Tiga pendekatan tersebut diputuskan pada MUNAS Tarjih di Malang,
tahun 2000. Kemudian disempurnakan pada MUNAS Tarjih ke 26 di Padang, Oktober 2003. Walaupun telah
dilakukan beberapa kali sidang, tiga pendekatan tersebut masih belum tuntas
pembahasannya. Perjalan Majlis Tarjih yang sudah berdiri selama 77 tahun,
memang penuh dengan tantangan dan cobaan. Tugas yang diembannya untuk membimbing
masyarakat Islam Indonesia, pada umumnya dan warga Persyarikatan Muhammadiyah
pada khususnya dalam masalah keagamaan dan pengembangan pemikiran Islam, nampak
begitu berat dan menuntut adanya kesabaran dan perjuangan, serta pencarian yang
tiada kenal putus asa. Sehingga perbaikan,penyempurnaan serta pengembangan Majlis
tarjih ini sangat mutlak diperlukan,guna memberikan konstribusikonstribusi yang
bermanfaat bagi umat Islam Indonesia.
Adapun cara-cara peng-istinbath-an hukum dalam Lembaga Tarjih
Muhammadiyah, sebagaimana ditulis Ma‘rifat Iman di antaranya sebagai berikut:
a. Nash yang qath‟i. Mengenai hal ini tidak ada masalah. Tidak boleh diperdebatkan
lagi, tidak ada lapangan ijtihad padanya.
b. Terdapat nash, namun saling diperselisihkan, atau nash itu satu dengan yang lain saling bertentangan, atau nash
itu mempunyai nilai yang berbeda, maka Lembaga Tarjih Muhammadiyah menempuh
cara:
1) Tawaqquf, yaitu bersikap membiarkan
tanpa mengambil keputusan, karena kedua dalil atau lebih yang saling
bertentangan tersebut tidak lagi dapat dikompromikan dan tidak dapat dicarikan
alternatif mana yang dianggap terkuat.
2) Tarjih, yaitu mengambil jalan yang
lebih kuat di antara dalil-dalil yang bertentangan (memilih satu alternatif
dalil yang dianggapnya lebih kuat). Dalam hal bertarjih ini cara yang ditempuh,
yaitu:
a) Jarh (cela) itu didahulukan daripada
ta‟dil sesudah keterangan yang jelas dan sah menurut
anggapan syara‘.
b) Riwayat orang yang telah
terkenal suka melakukan tadlis dapat diterima bila ia menerangkan bahwa apa yang ia riwayatkan
itu bersanad sambung, sedang tadlisnya itu tidak sampai tercela.
c) Pendapat sahabat akan
perkataan musytarak, pada salah
satu artinya wajib diterima.
d) Penafsiran sahabat antara
arti kata yang tersurat dengan yang tersirat, arti kata yang tersurat itu yang
diutamakan/diamalkan.
3) Jam’u, yaitu menjama‘ atau
menggabung atau menghimpun antara kedua dalil atau lebih yang saling
bertentangan dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian. Misalnya jika ada Hadis
ahad yang shahih namum bertentangan dengan prinsip dasar ajaran Islam, maka
bisa jadi atau ada kemungkinan Hadis itu bersifat insidental atau anjuran yang
tidak mengikat.
c. Mengenai masalah-masalah yang
tidak ada nashnya, sedangkan terhadapnya diperlukan ketentuan hukumnya dalam
masyarakat.
Dalam hal semacam ini Lembaga Tarjih Muhammadiyah
berusaha mengeluarkan hukum atau menetapkan dengan jalan ijtihad dengan berpedoman
kepada prinsip-prinsip ajaran Islam, seperti prinsip kemaslahatan dan menolak
kemafsadatan. Memberikan atau menetapkan sesuatu hukum dengan beralasan adanya
darurat yang dapat menimbulkan kemudharatan.
2. Bermadzhab dalam
Pandangan NU dan Muhammadiyah
Pembahasan tentang madzhab dalam pandangan NU dan Muhammadiyah
agaknya perlu untuk dipertegas. Hal ini penting mengingat pandangan tentang
madzhab akan sangat memperngaruhi pengistimbatan hukum yang dilakukan oleh dua
ormas tersebut. Sebagaimana sudah disinggung di muka, bahwa NU yang mengaku
berhaluan ahlus sunnah wal jamaah dalam bidang fiqih terang-terangan bermadzhab Imam Maliki, Imam
Hanafi, Imam Syafi'i, dan Imam Hambali. Apabila dalam suatu masalah tidak
ditemukan
jawaban dari empat madzhab tersebut maka baru
dilakukan ijtihad. Di sisi lain, Muhammadiyah bersikap untuk tidak bermadzhab. Muhammadiyah
menyatakan padangannya bahwa pokok-pokok Manhaj Majelis Tarjih yang berbunyi
―Tidak mengikat diri kepada suatu madzhab, tetapi pendapat-pendapat madzhab
dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum, sepanjang sesuai
dengan jiwa al-Qur‘an dan as-Sunnah atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat, Dari sana dapat dipahami bahwa Muhammadiyah memang tidak terikat kepada
salah satu di antara madzhab-madzhab tertentu, akan tetapi juga bukan berarti
Muhammadiyah anti dengan madzhab, kita tidak meragukan kualitas keilmuan para
Imam-Imam madzhab.
Namun, bagaimanapun juga pendapat-pendapat para imam
tidaklah memiliki kebenaran secara mutlak sebagaimana kebenaran al-Qur‘an dan
as- Sunnah ash-Shahihah. Muhammadiyah berpendapat bahwa
pendapat para Imam tersebut sangat erat kaitannya dengan kondisi pada masa
mereka hidup, yang tentunya akan terdapat perbedaan dan juga akan ada hal-hal
yang kurang relevan lagi dengan masa kita sekarang. Menurut Muhammadiyah apa
yang menjadi pandangannya, yakni melaksanakan agama dengan bersumber langsung
pada al-Qur‘an dan as-Sunnah telah sesuai dengan sabda Rasulullah saw.
Sebagaimana sebuah hadis yang diriwayatkan dari Anas bin Malik,
“Aku telah
meninggalkan kepadamu sekalian dua perkara, tidak akan tersesat kamu selama
berpegang teguh dengan keduanya yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”.
Dan juga, apa yang dikatakan oleh salah satu Imam
madzhab, yaitu Imam Ahmad Bin Hanbal:
“Janganlah engkau taqlid kepadaku, demikian juga kepada Imam Malik, Imam Syafi‟i, Imam Auza‟i dan Imam ats-Tsauri. Namun, ambillah (ikutilah) dari mana mereka (para Imam itu) mengambil (yaitu Al-Qur‟an dan As-Sunnah)”.
Singkatnya, demikian di tulis dalam Tanya jawab
masalah Agama di Majalah Suara Muhammadiyah, tidak mengikuti pada madzhab-madzhab
tertentu bukan berarti tidak menghormati pendapat para Imam fuqaha, namun hal
ini justru langkah untuk menghormati mereka karena mengikuti metode dan jalan
hidup mereka serta melaksanakan pesan-pesan mereka agar tidak bertaqlid. Jadi,
sebenarnya hal penting yang perlu diikuti adalah menggali pandapat itu dari
sumber pengambilan mereka yaitu Al-Qur‘an dan Sunnah Rasulullah Saw. yang
shahih yang tidak diragukan lagi kebenarannya.
Inilah perspektif, pandangan, atau pendapat.
Perbedaan sangat niscaya. Jika Muhammadiyah berpendapat bahwa tidak mengikuti
madzhab merupakan usaha untuk menghormati imam Fuqoha, maka NU berpandangan
lain. NU tidak menganggap bahwa bermadzhab bisa diartikan dengan sepenuhya
taklid.
Pengertian taklid, menurut ormas tradisionalis ini,
hendaknya jangan digambarkan seperti kerbau yang dicocok hidungnya, taklid
buta, atau membuta
tuli tanpa ada kesempatan menggunakan akal pikiran,
tanpa boleh mempelajari dalil al-Quran dan al-Hadits. Pada taraf permulaan
memang demikian. Setiap pelajaran yang diberikan oleh ulama, Kiai, serta guru
hendaknya diterima dan diikuti. Selanjutnya setiap muslim didorong dan
dianjurkan untuk mempelajari dalil dan dasar pelajaran tersebut dari al-Quran
dan al-Hadits.
NU berpandangan bahwa bermadzhab bukanlah tingkah
laku orang bodoh, tetapi merupakan sikap yang wajar dari seorang yang tahu
diri. Ahli hadits paling terkenal, Imam Bukhari masih tergolong orang yang
bermadzhab Syafi'i. Jadi, menurut NU, bermadzahab juga ada
tingkatan-tingkatannya. Makin tinggi kemampuan seseorang, makin tinggi tingkat
bermadzhabnya sehingga makin longgar keterikatannya, dan mungkin akhirnya
berijtihad sendiri.
NU juga sering mendasarkan pandangannya dengan
dasar ittiba', yaitu mengikuti
hasil ijtihad orang lain dengan mengerti dalil dan argumentasinya.
Beberapa hal yang dapat dikemukakan tentang ittiba' antara lain:
1. Usaha untuk menjadikan setiap muslim dapat
melakukan ittiba' adalah sangat
baik, wajib didorong dan dibantu sekuat tenaga. Namun mewajibkan ittiba' atas setiap muslim dengan
pengertian bahwa setiap muslim harus mengerti dan mengetahui dalil atau
argumentasi semua hal yang diikuti kiranya tidak akan tercapai. Kalau sudah
diwajibkan, maka yang tidak dapat melakukannya dianggap berdosa. Jika demikian,
berapa banyak orang yang dianggap berdosa karena tidak mampu melakukan ittiba'?
2. Sebenarnya ittiba' adalah salah satu tingkat bermadzhab atau taklid yang lebih tinggi
sedikit. Dengan demikian hanya terjadi perbedaan istilah, bahwa ittiba' tidak diwajibkan, melainkan
sekedar anjuran dan didorong sekuat tenaga.
Meski NU banyak mendasarkan pandangan fiqihnya pada
madzhab empat, tetapi NU juga tidak menutup pintu ijtihad. Ijtihad di sini
diartikan dengan usaha keras untuk menyimpulkan hukum agama atas sesuatu hal
berdasar dari
al-Quran dan atau hadits, karena hal yang dicari
hukumnya tidak ada nash yang sharih, jelas, tegas, atau qath'i, pasti.
Ijtihad adalah usaha yang diperintahkan oleh agama
Islam untuk mendapat hukum sesuatu yang tidak ada nash sharih dan qath'i dalam al-Quran dan atau
hadits. Ijtihad dilakukan dengan beberapa metoda, yang paling terkenal adalah
cara qiyas atau analogi dan ijma' atau kesepakatan para mujtahidin. Hasil berijtihad yang berwujud
pendapat hukum itulah yang disebut madzhab yang asal artinya tempat berjalan.
Hasil ijtihad atau madzhab seorang mujtahid
biasanya diterima dan diikuti oleh orang lain. Sementara orang lain yang tidak
berkemampuan berijtihad sendiri yang menerima dan mengikuti hasil ijtihad
disebut bermadzhab kepada mujtahid tersebut. Ibaratnya yang berijtihad adalah produsen
dan yang bermadzhab adalah konsumen.
Ijtihad tidak boleh dilakukan sembarangan. Prinsip ahlus sunnah wal jamaah ini menegaskan bahwa ijtihad
atau penggunaan ra'yu dalam menyimpulkan hukum agama harus disertai persyaratan yang ketat
agar hasilnya tidak menyalahi assunnah wal jamaah. Persyaratan ijtihad cukup
banyak, tetapi pada pokoknya adalah:
1. Kemampuan ilmu agama dengan
al-Quran dan al-Hadits dan segala kelengkapannya seperti bahasa Arab, tafsir,
dan lain-lain.
2. Kemampuan menganalisis,
menghayati, dan menggunakan metoda kaidah yang dapat dipertanggungjawabkan.
3. Semuanya dilakukan atas dasar
akhlak atau mental yaitu keikhlasan mengabdi kepada Allah dalam mencari
kebenaran, bukan sekedar mencaricari
argumentasi untuk membenar-benarkan kecenderungan
selera dan nafsu atau kepentingan lain.
NU memandang akan sangat sulit dan sedikit orang
yang mampu melakukan ijtihad. Padahal semua orang Islam sudah harus melakukan
perintah dan menjauhi larangan Allah, meskipun belum mampu berijtihad. Karena
itu, NU sebenarnya tidak memaksa kaumnya untuk bertaklid / bermadzhab tetapi memberi
dua alternatif:
1. Berijtihad sendiri, yang
dapat dilakukan oleh mereka yang memenuhi persyaratan.
2. Menerima dan mengikuti hasil
ijtihad atau bermadzhab atau bertaklid, yang dapat dilakukan oleh semua orang.
Kenyataan memang menunjukkan bahwa hampir semua orang Islam melakukan taklid,
setidak-tidaknya pada waktu permulaan yang cukup panjang, bahkan seumur hidup
karena tidak pernah mencapai kemampuan untuk berijtihad sendiri.
Kiai Nuril Huda, seorang tokoh NU, penah menulis,
bagi orang awam taqlid atau mengikuti ulama mujtahid yang telah memahami agama
secara mendalam hukumnya wajib, sebab tidak semua orang mempunyai kemampuan dan
kesempatan untuk mempelajari agama secara mendalam.
Allah SWT berfirman :
“Tidak pantas orang
beriman pergi ke medan perang semua, hendaknya ada sekelompok dari tiap
golongan dari mereka ditinggal untuk memperdalam agama dan memberikan
peringatan kepada kaumnya apabila mereka kembali kepadanya, mudahmudahan mereka
itu takut” (QS At-Taubah: 122)
Dalam ayat ini jelas Allah SWT menyuruh kita untuk
mengikuti orang yang telah memperdalam agama. Dalam ayat lain secara lebih
tegas Allah SWT berfirman:
“Maka hendaknya kamu
bertanya kepada orang-orang yang ahli Ilmu Pengetahuan jika kamu tidak mengerti”
(An-Nahl: 43)
Lalu kepada siapakah kita bertaqlid? Kita bertaqlid
kepada salah satu dari madzhab empat yang telah dimaklumi oleh seluruh Ahli
Ilmu, tentang keahlian dan kemampuan mereka dalam Ilmu Fiqih. Di samping itu
telah dimaklumi pula ketinggian akhlaq dan taqwa mereka yang tidak akan
menyesatkan umat. Mereka adalah orang yang takut kepada Allah SWT dan telah
meletakkan hukum bersumber dari Al-Qur‘an, As-Sunnah, Al-Ijma‘ dan Al-Qiyas.
Namun, ketika kita boleh bertaqlid, bukan kemudian kita bertaqlid kepada
sembarang orang yang belum mutawatir kemasyhurannya. Tentu taqlid semcam itu
justru akan membawa kesesatan.
Kita bertaqlid kepada ulama yang telah diakui umat,
baik akhlaq dan sikapnya sehari-hari, di mana fatwa mereka diyakini berasal
dari Al-Qur‘an dan
As-Sunnah. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur‘an :
“Sesungguhnya yang takut kepada
Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah para
Ulama.” (Fathir: 28)
Menurut pandangan NU, bermadzhab adalah upaya untuk
menempuh jalan yang lebih selamat dari kekeliruan di bidang agama yang membawa konsekuensi
ukhrawi dan hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan serta dibenarkan berdasar
al-Quran dan al-Hadits. Sedangkan taqlid buta, atau taqlid
kepada sembarang orang tentu dilarang oleh agama.
Bagi mereka yang ada kesempatan dan kemampuan tentu wajib mengetahui seluk
beluk dalil yang dipergunakan oleh para fuqaha'. Namun, untuk mencapai derajat
mujtahid barangkali sulit, walaupun kemungkinan itu selalu ada.
Lihat
Juga :
0 Response to "FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip