SEKILAS TENTANG NU DAN MUHAMMADIYAH
A. Nahdhatul Ulama
1. Sejarah Berdiri dan
Perkembangannya
Sebagaimana ditulis dalam situs resmi NU
(www.nu.or.id) diketahui bahwa sejarah berdirinya NU bermula dari keterbelakangan,
baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia akibat penjajahan maupun
akibat kungkungan tradisi. Apa yang terjadi pada masa itu menggugah kesadaran
kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini melalui jalan
pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan
Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke
mana-mana--setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan
ketertinggalannya dengan bangsa lain, sebagai jawabannya, Muncullah berbagai
organisasi pendidikan dan pembebasan. Kalangan pesantren yang selama ini gigih
melawan kolonialisme, merespon Kebangkitan Nasional tersebut dengan membentuk
organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) 1916. Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan
keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat
itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya
Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi
juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki
cabang di beberapa kota.
Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas
tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua
peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak diziarahi
karena dianggap bi'dah. Gagasan kaum Wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari
kaum modernis di Indonesia,
baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di
bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang
selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran
warisan peradaban tersebut. Sikap kalangan pesantren yang berbeda ini,
menyebabkan kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di
Yogyakarta 1925.
Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan
sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan
keputusan tersebut.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan
kebebasan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan
pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab
Hasbullah. Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala
penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya
hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka
masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang
berhasil
memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil
menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga. Berangkat
dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa
perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis,
untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan
berbagai Kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang
bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926).
Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagi
Rais Akbar. Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka KH. Hasyim Asy'ari
merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jama‟ah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan
dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan
bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik. NU memikili jaringan yang
sangat luas. Hingga akhir tahun 2000, jaringan organisasi Nahdlatul Ulama (NU)
meliputi:
· 31 Pengurus
Wilayah
· 339 Pengurus
Cabang
· 12 Pengurus
Cabang Istimewa
· 2.630 Majelis
Wakil Cabang
· 37.125 Pengurus
Ranting
Jumlah warga NU atau basis pendukungnya
diperkirakan mencapai lebih dari 40 juta orang, dari beragam profesi. Sebagian
besar dari mereka adalah rakyat jelata, baik di kota maupun di desa. Mereka memiliki kohesifitas
yang tinggi karena secara sosial-ekonomi memiliki masalah yang sama, selain itu
mereka juga sangat menjiwai ajaran Ahlusunnah Wal Jamaah. Pada umumnya mereka
memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat
pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.
Basis pendukung NU ini mengalami pergeseran,
sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi. Warga NU di desa
banyak yang bermigrasi ke kota
memasuki sektor industri. Jika selama ini basis NU lebih kuat di sektor
pertanian di pedesaan, maka saat ini, pada sektor perburuhan di perkotaan, juga
cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis
intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas
sosial yang terjadi selama ini.
2. Visi dan Misi
Untuk menyesuaikan dengan perkembangan jaman, yang
dijalani, maka AD/ART (Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga) NU juga terus
berkembang setiap lima
tahun sekali. Dalam keputusan Muktamar di Donohudan, Boyolali (2004) disebutkan:
Tujuan NU didirikan adalah berlakunya ajaran Islam
yang menganut paham Ahlussunah Waljamaah dan menurut salah satu dari Madzhab empat untuk mewujudkan tatanan
masyarakat yang demokratis dan berkeadilan demi kemaslahatan dan kesejahteraan
umat. Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana di atas, maka NU melaksaksanakan
usaha-usaha sebagai berikut:
a. Di bidang agama, mengupayakan
terlaksananya ajaran Islam yang menganut paham Ahlussunah waljamaah dan menurut salah satu madzhab empat dalam masayarakat dengan
melaksanakan dakwah Islamiyah dan amar ma‟ruf nahi munkar.
b. Di bidang pendiidikan,
pengajaran dan kebudayaan, mengupayakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan
dan pengajaran serta pengembangan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam
untuk membina umat agar menjadi Muslim yang takwa, berbuddi luhur, perpengetahuan
luas dan terampil serta berguna bagi agama bangsa dan negara.
c. Di bidang sosial,
mengupayakan terwujudnya kesejahteraan lahir dan batin bagi rakyat Indonesia.
d. Di bidang ekonomi
mengupayakan terwujudnya pembangunan ekonomi untuk pemerataan kesempatan
berusaha dan menikmati hasil-hasil pembangunan, dengan mengutamakan tumbuh dan berkembanganya
ekonomi kerakyatan.
e. Mengembangkan usaha-usaha
lain yang bermanfaat bagi masyarakat banyak guna terwujudnya Khaira Ummah.
3. Paham Kegamaan NU
Di dalam lingkungan Nahdlatul Ulama ada yang
dikenal dengan istilah Fikrah Nahdhiyah. Yang dimaksud dengan fikrah Nahdhiyah adalah kerangka berpikir
yang didasarkan pada ajaran Ahlussunah yang dijadikan landasar berpikir Nahhaul
Ulama (khithah Nahdhiyin) untuk menenutukan arah perjuangan dalam rangka islahul ummah
(perbaikan umat).
Dalam merespon persoalan baik yang berkenaan dengan
persoalan keagamaan maupun kemasyarakatan, Nahdhatul Ulama memiliki manhaj Ahlususnnah sebagai berikut:
NU menganut paham Ahlussunah
Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah
antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli
(skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al- Qur'an, Sunnah, tetapi juga menggunakan
kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu
dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur
Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih
mengikuti empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam
bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid
Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Ciri-ciri fikrah Nahdhiyah adalah:
a. Fikrah tawassuthiyyah (pola pikir moderat), artinya
NU senantiasa bersikap tawazun (seimbang) dan i‟tidal (moderat) dalam menyikapi berbagai
persoalan. Nahdhatul Ulama tidak tafrits atau ifrath.
b. Fikrah tasamuhiyah (pola pikir toleran), artinya
NU dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun aqidah, cara
pikir, dan budayanya berbeda.
c. Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif),
artiya NU senantiasa mengupayakan perbaikan menuju ke arah yang lebih baik (al-islah ila ma huwa al-ashlah).
d. Fikrah Tathawwuriyah (pola pikir dinamis), artinya
NU senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon persoalan,
e. Fikrah Manhajiyah (pola pikir metodologis)
artinya NU senantiasa menggunakan kerangka berpikir yang mengacu kepada manhaj yang
telah ditetapkan oleh NU.
Ide dan konsep Fikrah
Nahdhiyah ini pertama kali dianjurkan oleh K.H. Achmad Siddiq
pada 1969 yang selanjutnya menjadi embrio gerakan Khittah pada tahun 1984.
Gagasan kembali ke khittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan
kembali ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang
fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara.
Gerakan tersebut berhasil membangkitkan kembali
gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.
B. MUHAMMADIYAH
1. Sejarah Kelahiran dan
Perkembangannya
Muhammadiyah didirikan oleh Muhammad Darwis atau
yang lebih dikenal dengan K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada
tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912. Persyarikatan
Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk memurnikan ajaran
Islam yang dianggap banyak dipengaruhi hal-hal mistik.
K.H. Ahmad Dahlan adalah seorang pegawai kesultanan
Kraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan sebagai pedagang. Melihat keadaan ummat
Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan
yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali
kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan Qur`an dan Hadist. Oleh karena
itu beliau memberikan pengertian keagamaan di rumahnya di tengah kesibukannya
sebagai Khatib dan para pedagang.
Mula-mula ajaran Muhammadiyah ditolak, namun berkat
ketekunan dan kesabarannya, akhirnya mendapat sambutan dari keluarga dan teman dekatnya.
Profesinya sebagai pedagang sangat mendukung ajakan beliau, sehingga dalam
waktu singkat ajakannya menyebar ke luar kampung Kauman bahkan sampai ke luar
daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk mengorganisir kegiatan tersebut maka
didirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Dan kini Muhammadiyah telah ada diseluruh
pelosok tanah air.
Disamping memberikan pelajaran/pengetahuannya
kepada kaum adam, K.H Ahmad Dahlan juga memberi pelajaran kepada kaum
Hawa, ibuibu muda dalam forum pengajian yang disebut "Sidratul Muntaha". Pada siang hari
pelajaran untuk anak-anak laki-laki dan perempuan. Pada malam hari untuk
anak-anak yang telah dewasa.
Tahun 1913 sampai tahun 1918 K.H Ahmad Dahlan telah
mendirikan sekolah dasar sejumlah 5 buah, tahun 1919 mendirikan Hooge School Muhammadiyah ialah sekolah
lanjutan. Tahun 1921 diganti namnaya menjadi Kweek
School Muhammadiyah, tahun 1923, dipecah menjadi dua,
laki-laki sendiri perempuan sendiri, dan akhirnya pada tahun 1930 namanya
dirubah menjadi Mu`allimin dan Mu`allimat.
Muhammadiyah juga mendirikan organisasi untuk kaum
perempuan dengan Nama 'Aisyiyah yang disitulah Istri KH. A. Dahlan, Nyi Walidah
Ahmad Dahlan berperan serta aktif dan sempat juga menjadi pemimpinnya.
K.H. Ahmad Dahlan memimpin Muhammadiyah dari tahun
1912 hingga tahun 1922 dimana saat itu masih menggunakan sistem permusyawaratan
rapat tahunan. Pada rapat tahun ke 11, Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh
KH Ibrahim yang kemudian memegang Muhammadiyah
hingga tahun 1934. Rapat Tahunan itu sendiri kemudian berubah menjadi Konggres
Tahunan pada tahun 1926 yang di kemudian hari berubah menjadi Muktamar tiga
tahunan dan seperti saat ini Menjadi Muktamar 5 tahunan Muhammadiyah adalah
sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Tujuan utama Muhammadiyah
adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah.
Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan
kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi.
Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun
tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik. Menampilkan
ajaran Islam bukan sekadar agama yang bersifat pribadi dan statis, tetapi
dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya.
Akan tetapi, ia juga menampilkan kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang
ekstrem.
Dalam pembentukannya, Muhammadiayah banyak merefleksikan
kepada perintah-perintah Al Quran, diantaranya surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi:
Yang Artinya:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.
Ayat tersebut, menurut para tokoh Muhammadiyah,
mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam secara
teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan tentang hidup
berorganisasi. Maka dalam butir ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah
dinyatakan, melancarkan amal-usaha
dan perjuangan dengan ketertiban organisasi, yang mengandung makna
pentingnya organisasi sebagai alat gerakan yang niscaya. Sebagai dampak positif
dari organisasi ini, kini telah banyak berdiri rumah sakit, panti asuhan, dan
tempat pendidikan di seluruh Indonesia.
2. Visi dan Misi
Organisasi
Visi Muhammadiyah adalah:
Tertatanya manajemen dan jaringan guna meningkatkan
efektifitas kinerja Majelis menuju gerakan tarjih dan tajdid yang lebih maju,
profesional, modern, dan otoritatif sebagai landasan yang kokoh bagi
peningkatan kualitas Persyarikatan dan amal usaha. Sementara itu misi
Muhammadiyah yaitu:
a. Mewujudkan landasan kerja
Majelis yang mampu memberikan ruang gerak yang dinamis dan berwawasan ke depan
b. Revitalisasi peran dan fungsi
seluruh sumber daya majelis
c. Mendorong lahirnya ulama
tarjih yang terorganisasi dalam sebuah institusi yang lebih memadai
d. Membangun model jaringan
kemitraan yang mendukung terwujudnya gerakan tarjih dan tajdid yang lebih maju,
profesional, modern, dan otoritatif
e. Menyelenggarakan kajian
terhadap norma-norma Islam guna mendapatkan kemurniannya, dan menemukan
substansinya agar didapatkan pemahaman baru sesuai dengan dinamika perkembangan
zaman
f. Menggali dan mengembangkan
nilai-nilai Islam, serta menyebarluaskannya melalui berbagai sarana publikasi
3. Pandangan Keagamaan
Muhammadiyah
a. Muhammadiyah dalam melakukan
kiprahnya di berbagai bidang kehidupan untuk kemajuan umat, bangsa, dan dunia
kemanusiaan dilandasi oleh keyakinan dan pemahaman keagamaan bahwa Islam sebagai
ajaran yang membawa misi kebenaran Ilahiah harus didakwahkan sehingga menjadi
rahmatan lil-‗alamin di muka bumi ini.
Bahwa Islam sebagai Wahyu Allah yang dibawa para
Rasul hingga Rasul akhir zaman Muhammad Saw., adalah ajaran yang mengandung hidayah,
penyerahan diri, rahmat, kemaslahatan, keselamatan, dan kebahagiaan hidup umat
manusia di dunia dan akhirat. Keyakinan dan paham Islam yang fundamental itu
diaktualisasikan oleh Muhammadiyah dalam bentuk gerakan Islam yang menjalankan
misi dakwah dan tajdid untuk kemaslahatan hidup seluruh umat manusia.
b. Misi da‘wah Muhammadiyah yang
mendasar itu merupakan perwujudan dari semangat awal Persyarikatan ini sejak
didirikannya yang dijiwai oleh pesan Allah dalam Al-Quran Surat Ali-Imran 104 sebagaimana
sudah disebutkan di atas. Kewajiban dan panggilan da‘wah yang luhur itu menjadi
komitmen utama Muhammadiyah sebagai ikhtiar untuk menjadi kekuatan Khaira Ummah
sekaligus dalam membangun masyarakat Islam yang ideal seperti itu sebagaimana
pesan Allah dalam Al-Quran Surat Ali-Imran ayat 110:
Yang Artinya:
”Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma‟ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Dengan merujuk pada Firman Allah dalam Al-Quran
Surat Ali Imran 104 dan 110, Muhammadiyah menyebarluaskan ajaran Islam yang komprehensif
dan multiaspek itu melalui da‘wah untuk mengajak pada kebaikan (Islam), al-amr bi al-ma‟ruf wa al-nahy „an al-munkar (mengajak kepada
yang ma‘ruf dan mencegah dari yang munkar), sehingga umat manusia memperoleh
keberuntungan lahir dan batin dalam kehidupan ini. Da‘wah yang demikian
mengandung makna bahwa Islam sebagai ajaran selalu bersifat tranformasional;
yakni dakwah yang membawa perubahan yang bersifat kemajuan, kebaikan,
kebenaran, keadilan, dan nilai-nilai keutamaan lainnya untuk kemaslahatan serta
keselamatan hidup umat manusia tanpa membeda-bedakan ras, suku, golongan, agama,
dan lain-lain.
c. K.H. Ahmad Dahlan sebagai
pendiri Muhammadiyah dikenal sebagai pelopor gerakan tajdid (pembaruan). Tajdid
yang dilakukan pendiri Muhammadiyah itu bersifat pemurnian (purifikasi) dan
perubahan ke arah kemajuan (dinamisasi), yang semuanya berpijak pada pemahaman tentang
Islam yang kokoh dan luas. Dengan pandangan Islam yang demikian Kyai Dahlan
tidak hanya berhasil melakukan pembinaan yang kokoh dalam akidah, ibadah, dan
akhlak kaum muslimin, tetapi sekaligus melakukan pembaruan dalam amaliah
mu‘amalat dunyawiyah sehingga Islam menjadi agama yang
menyebarkan kemajuan. Semangat tajdid Muhammadiyah tersebut didorong antara lain
oleh Sabda Nabi Muhammad s.a.w., yang artinya:
”Sesungguhnya Allah mengutus kepada umat manusia pada setiap kurun seratus tahun orang yang memperbarui ajaran agamanya” (Hadits diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abi Hurairah).
Karena itu, melalui Muhammadiyah telah diletakkan
suatu pandangan keagamaan yang tetap kokoh dalam bangunan keimanan
yangberlandaskan pada Al-Quran dan As-Sunnah sekaligus mengemban tajdid yang
mampu membebaskan manusia dari keterbelakangan menuju kehidupan yang
berkemajuan dan berkeadaban.
d. Dalam pandangan Muhammadiyah,
bahwa masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang menjadi tujuan gerakan
merupakan wujud aktualisasi ajaran Islam dalam struktur kehidupan kolektif
manusia yang memiliki corak masyarakat tengahan (ummatan wasatha) yang berkemajuan
baik dalam wujud sistem nilai sosial-budaya, sistem sosial, dan lingkungan
fisik yang dibangunnya. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang memiliki
keseimbangan antara kehidupan lahiriah dan batiniah, rasionalitas dan
spiritualitas, aqidah dan muamalat, individual dan sosial, duniawi dan ukhrawi,
sekaligus menampilkan corak masyarakat yang mengamalkan nilai-nilai keadilan,
kejujuran, kesejahteraan, kerjasama, kerjakeras, kedisiplinan, dan keunggulan dalam
segala lapangan kehidupan. Dalam menghadapi dinamika
kehidupan, masyarakat Islam semacam itu selalu
bersedia bekerjasama dan berlomba-lomba dalam serba kebaikan di tengah
persaingan pasarbebas di segala lapangan kehidupan dalam semangat berjuang menghadapi
tantangan (al-jihad li
al-muwajjahat) lebih dari sekadar berjuang melawan musuh (al-jihad li al-mu‟aradhah). Masyarakat Islam yang
dicita-citakan Muhammadiyah memiliki kesamaan karakter dengan masyarakat
madani, yaitu masyarakat kewargaan (civil-society) yang memiliki keyakinan yang dijiwai nilai-nilai Ilahiah,
demokratis, berkeadilan, otonom, berkemajuan, dan berakhlak-mulia (al-akhlaq alkarimah).
Masyarakat Islam yang semacam itu berperan sebagai syuhada ala al-nas di tengah berbagai pergumulan hidup masyarakat
dunia.
Karena itu, masyarakat Islam yang sebenar-benarnya
yang bercorak madaniyah tersebut senantiasa menjadi masyarakat yang serba unggul atau
utama (khaira ummah) dibandingkan dengan masyarakat lainnya.
Keunggulan kualitas tersebut ditunjukkan oleh
kemampuan penguasaan atas nilai-nilai dasar dan kemajuan dalam kebudayaan dan peradaban
umat manusia, yaitu nilai-nilai ruhani (spiritualitas), nilai-nilai pengetahuan
(ilmu pengetahuan dan teknologi), nilai-nilai materi (ekonomi), nilai-nilai
kekuasaan (politik), nilai-nilai keindahan (kesenian), nilai-nilai normatif
berperilaku (hukum), dan nilai-nilai kemasyarakatan (budaya) yang lebih
berkualitas. Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya bahkan senantiasa memiliki
kepedulian tinggi terhadap kelangsungan ekologis (lingkungan hidup) dan
kualitas martabat hidup manusia baik laki-laki maupun perempuan dalam relasi-relasi
yang menjunjungtinggi kemaslahatan, keadilan, dan serba kebajikan hidup.
Masyarakat Islam yang demikian juga senantiasa menjauhkan diri dari perilaku
yang membawa pada kerusakan (fasad fi al-ardh), kedhaliman, dan hal-hal lain yang bersifat menghancurkan kehidupan.
Lihat
Juga :
0 Response to "SEKILAS TENTANG NU DAN MUHAMMADIYAH"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip