Menyikapi Perbedaan
Mengawali pembahasan pada bab
ini sebaiknya kita mengingat kembali kisah dimana Rasulullah SAW mengutus Mu‘adz bin Jabal
sebagai gubernur Yaman. Waktu itu Rasulullah bertanya kepada Muadz, “Bagaimana kamu akan memutuskan perkara yang dibawa ke
hadapanmu? Muadz menjawab: ―Saya putuskan berdasarkan Kitabullah.
Rasulullah bertanya lagi: ―Apabila kamu tidak
mendapatkannya dalam Kitabullah? Muadz menjawab: Saya putuskan berdasarkan
sunnah Rasul. Rasulullah bertanya lagi: ―Apabila
kamu tidak mendapatkannya dalam Kitabullah maupun Sunnah Rasul-Nya? Muadz menjawab: ―Maka saya akan berijtihad (ra‟yi) dan saya tidak akan ragu sedikit pun. Rasulullah kemudian
meletakkan tangannya ke dada Muadz dan bersabda: ―Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah, sesuatu
yang menyenangkan hati Rasulul-Nya. (HR Imam Tirmidzi dan Abu
Dawud)
Ijtihad adalah bersungguh-sungguh dalam menggali
hukum agama setelah memperhatikan sekalian ayat Al-Qur‘an dan Hadits Nabi SAW.
Ijtihad yang dilakukan tidak hanya oleh seroang ulama saja, secara otomatis
menghasilkan produk hukum yang berbeda-beda. dan penting ditegaskan bahwa hasil
pengistimbatan hukum islam tak hanya dalam perkara-perkara yang tidak diketemukan
dalam al-Qur‘an dan sunnah Rasulullah Saw, tetapi lebih luas lagi.
Sebab kita tahu, masing-masing ulama terkadang
berbeda dalam menggunakan dan memahami istilah-istilah atau kata-kata dalam dua
sumber hukum yang pokok tersebut, belum lagi pandangan yang berbeda tentang
riwayat suatu hadist, nasakhmansukh dan yang pokok adalah metodologi
pengistimbatan hukum itu sendiri.
Pemahaman tentang masalah tersebut di atas
merupakan kunci bagaimana kita harus memaklumi perbedaan pandangan fiqh yang
terjadi di masyarakat. Fanatisme terhadap suatu pendapat tertentu boleh-boleh
saja selama ia juga menghargai pendapat yang lain, yang juga memiliki
orang-orang yang fanatik terhadapnya.
Belajar fiqh sangat kurang jika kita hanya
mempelajari satu pendapat ulama saja.
Oleh karena itu orang NU tidak keliru jika ia
mempelajari fiqh Muhammadiyah, dan demikian pula sebaliknya. Sebab Belajar fiqh
tidak lengkap tanpa kita mencoba memahami, untuk kemudian menghargai perbedaan
pendapat.
A. Persatuan Tak Harus
Seragam
NU dan Muhamamdiyah sebagai organisasi dakwah,
sosial, dan kemasyarakatan, terbesar di Indonesia sudah sepantasnya tidak
hanya bertugas membantu masyarakat dalam memecahkan masalah-masalah fiqh,
tetapi lebih jauh dari itu, membantu masyarakat mengenalkan fiqh secara utuh,
tidak sepotong-sepotong.
Dalam arti lain, NU dan Muhammadiyah semestinya—dan
ini sudah dilakukan
meski tidak kentara—tidak mengenalkan produk fiqh
melainkan bagaimana produk tersebut dihasilkan. Disadari atau tidak, praktek
amaliyah fiqh sangat rentan menimbukan perselisihan. Dan perselisihan tersebut
tak diragukan bisa menyulut emosi negatif yang berbuntut pada perpecahan.
Namun, jika masyarakat secara total telah menyadari bahwa perbedaan pandangan
fiqh merupakan suatu yang niscaya maka perpecahan diantara sesama Ummat Islam
dapat lebih dihindari.
Ummat Islam harus bersatu itu jelas. Dan persatuan
bukanlah bermakna sama dalam segala hal. Dalam masalah Aqidah jelas Ummat islam
sama pandangannya, tetapi dalam urusan lain seperti pandangan tak bisa
dipersatukan, ini bukan satu kesalahan.
Kita tahu, bahwa Islam sangat membenci perpecahan
dan perselisihan.
Pernah suatu ketika Rasulullah bahkan memerintahkan
kepada orang yang sedang membaca Al-Qur‘an agar menghentikan bacaaanya apabila
bacaannya itu akan mengakibatkan perpecahan.
Dari Jundab bin Abdillah, Nabi SAW bersabda: Bacalah Al-Qur‟an selama bacaan itu dapat
menyatukan hati kalian. Tapi, bila kalian berselisih, hentikanlah bacaan itu. (HR Imam Bukhari dan Muslim)
Keutamaan persatuan ummat Islam banyak disinggung
dalam al-Qur‘an:
Dan berpeganglah kamu
semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan
ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah)
bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena
nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang
neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (Q.S. Ali Imran: 103)
Dan janganlah kamu
menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang
keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat
siksa yang berat. (Q.S. Ali Imraan ayat 105)
Orang-orang beriman
itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan)
antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat
rahmat. (Q.S. Al-Hujuraat ayat 10)
Dan taatlah kepada
Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan
kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah
beserta orang-orang yang sabar.
(Q.S. Al-Anfaal ayat 46)
Sesungguhnya
orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak
ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka
hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada
mereka apa yang telah mereka perbuat.
(Q.S. Al-An‘aamayat 159)
Dari ayat-ayat di atas jelaslah kiranya bahwa Allah
sama sekali tidak ridho apabila ummat Muhammad bercerai berai, berselisih, dan
terpecah-belah. Perlu diingat ada banyak kalangan yang menghendaki Ummat
Islam hancur dan pecah. Cara mereka menghancurkan ummat Islam bukan hanya
melalui serangan fisik tetapi juga dilakukan dengan cara mengadu domba antar
sesama ummat Islam itu sendiri.
NU dan Muhammadiyah tentu harus lebih hati-hati
dengan segala isu, termasuk isu-isu seputar perbedaan pandangan fiqih, jangan
sampai perbedaan perbedaan masalah fiqh tersebut merusak persatuan Ummat
Islam. Dalam hadis lain dinyatakan:
Penyakit umat-umat
sebelum kalian telah berjangkit kepada kalian, yaitu kedengkian dan permusuhan.
Permusuhan adalah pencukur. Aku tidak mengatakan pencukur rambut, tapi pencukur
agama. Demi Dzat, yang diriku berada dalam kekuasaan-Nya, kalian tidak akan
masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sehingga
kalian saling mencintai.
(HR Imam
Tirmidzi)
Harus diakui bahwa penyebab utama dari perpecahan
adalah perbedaan, termasuk perbedaan fiqh. Selama kita masih tidak bisa
menghargai pendapat orang lain, maka selama itu pula perbedaan akan menjadi suatu
masalah yang mengancam persatuan ummat. Sikap toleransi haruslah senantiasai
kita rawat dan lestarikan.
Di Indonesia memang sudah ada wadah untuk
menyatukan ummat Islam dari berbagai macam organisasi kemasyarakatan yang ada,
yaitu Majlis Ulama Indonesia
(MUI). MUI bukan sekadar lembaga fatwa yang tugasnya menyatakan
halal dan haramnya sesuatu, tetapi semestinya
ditempatnya sebagai wadah pemersatu Ummat dengan program-programnya yang
konkrit.
B. Membentuk Sikap
Positif
Pendidikan, di mana di Indonesia sekolah dan pesantren
menjadi tempat penyelenggaraan yang paling umum, mempunyai peran utama dalam
membentuk sikap dan mental sebuah bangsa. Mental dan sikap yang positif sangat
ditentukan oleh bagaimana pendidikan dijalankan. Salah satu sikap yang
seharusnya, karena tidak semua sekolah melakukan, adalah adalah sikap toleransi
dan penghormatan atas perbedaan pendapat. Untuk membentuk sikap tersebut,
mula-mula yang mesti dijalankan adalah mengenalkan perbedaan itu sendiri. Bahwa
Pendidikan agama Islam menjadi satu mata pelajaran pokok di setiap jenjang
pendidikan namun pengenalan akan perbedaan-perbedaan pandangan fiqh dalam Islam
masih jarang sekali ditekankan. Pengajaran fiqh di sekolah maupun Pesantren
hingga kini masih sering sebatas doktrin, dengan hanya mengajarkan atau
mengenalkan satu pendapat saja.
Lebih-lebih jika instansi pendidikan tersebut
merupakan instansi yang berada di bawah naungan suatu Lembaga atau Organisasi
kegamaan tertentu. Kita tahu, NU dan Muhammadiyah memiliki basis masa yang
besar dan telah mendidikan banyak lembaga Pendidikan, baik yang formal maupun
non formal. Mereka yang belajar di lembaga pendidikan tersebut sangat penting
untuk dikenalkan dengan fiqh ikhtilaf. Tidak dimilikinya wawasan
perbedaan-perbedaan dalam fiqh Islam akan membuat pola pikir generasi muda
menjadi sempit, mengira bahwa apa yang ajaran fiqh yang diamalkannya adalah
yang paling ―benar dan
yang lain adalah salah. Hal ini jelas bisa
menimbulkan prasangka buruk dan pada akhirnya akan mengurangi keharmonisan
hubungan sesama Ummat Islam.
Dengan ummat lain agama saja Allah jelas-jelas
telah menyuruh kita ummat muslim untuk bersikap toleransi, lebih-lebih dengan
sesama muslim. Batasan saling memahami dan saling mengerti adalah ketika suatu
pendapat telah didasarkan pada hujjah yang disertai dengan dalil-dalil yang
bisa diterima, ditelaah berdasarkan ilmu syar‘i, dan tidak bertentangan dengan
nash yang sudah jelas. Sudahlah, tak perlu lagi kita menyalahkan ubudiyah NU
atau
Muhammadiyah. Toh dari semua ubudiyah yang mereka kerjakan
didasarkan pada dalil dan hujjah yang bisa ditelaah dan dipertanggungjawabkan
secara ilmiah. Perbedaan adalah rahmat, sunnatullah, karenanya kita mesti
senantiasa
membangun sikap positif di tengah perbedaan, hanya
dengan itulah kita bisa rukun. Salah satu cara untuk membangun sikap positif
itu adalah dengan mempelajari dan menelaah perbedaan-perbedaan itu sendiri. NU
dan Muhammadiyah memiliki metode yang berbeda dalam memandang masalah madzhab,
hukum bermadzhab, dan ini sangat mempengaruhi istimbath hukum yang mereka
keluarkan. Selain juga metode pengistimbathan hukum, sumber dan dalil yang
digunakan, sudut pandang yang digunakan juga terkadang berbeda sehingga tidak
mustahil muncul ikhtilaf di antara keduanya.
Bukankah para ulama juga sudah menyatakan: ―Barang
siapa tidak mengetahui ikhtilaf ulama‘, maka dia belum bisa disebut ulama. Bahkan ada yang lebih tajam mengatakan, ―barang siapa tidak
mengetahui ikhtilaf para fuqoha‘, maka hidungnya belum pernah mencium bau fiqih.
Membangun sikap positif juga bisa kita kuatkan dengan mengingat beberapa sabda
Rasulullah dan pendapat para Ulama fuqoha. Dalam masalah shalat misalnya,
Rasulullah telah bersabda:
Nabi saw. bersabda, ―Bershalatlah kalian
sebagaimana kalian melihat aku bersahalat!
Coba digaris bawahi kata ―sebagaimana kalian melihat” dari hadist di
atas. Yang disuruh Nabi bukanlah shalat sebagaimana
Nabi bershalat melainkan sebagaimana kalian
melihat Nabi bershalat.
Dari hadist di atas, diambil pengertian bahwa,
sudut pandang (penglihatan) yang berbeda mengenai shalat akan menghasilkan
hukum yang berbeda pula. Jelas ini suatu yang tidak aneh dan perlu
dipermasalahkan apalagi diperselisihkan. Pada fuqoha sekaliber Imam Abu Hanifah
dan Imam Syafi'i juga tak lupa menasehati kita untuk menjadikan sunnah sebagai
madzhabnya. Imam Abu Hanifah pernah menyatakan, ―Apabila telah shahih sebuah
hadits maka hadits tersebut menjadi madzhabku. Senada dengan pernyataan Imam
Syafi‘i: ―terkadang di antara para imam ada yang menyelisihi sunnah yang belum
atau tidak sampai kepada mereka, maka mereka memerintahkan kepada kita untuk
berpegang teguh dengan sunnah dan menjadikan sunah tersebut termasuk madzhab
mereka semuanya. Di Indonesia sendiri ada teladan dari
tokoh Muhammadiyah tentang sikap positifnya dalam menghadapi perbedaan. Buya
Hamka, seorang tokoh Muhammadiyah ini suatu ketika menerima tamu, K.H Abdullah
Syafi‘i pendiri dan pemimpin Perguruan Asy-Syafi''iyah yang notabene memiliki
pandangan fiqh yang berbeda. Ketika di hari Jumat, KH. Abdullah Syafi''i
mengunjungi Buya masjid Al- Azhar Kebayoran Jakarta Selatan, Buya meminta KH.
Abdullah Syafi''i yang naik menjadi khatib Jumat menggantikan dirinya yang
waktu itu sebenarnya pas mendapat tugas.
Demikianlah seharusnya kita dan para Ulama
menyikapi perbedaan, bukan dengan menonjol-nonjolkan dan lantang berteriak,
‗pendapatku yang paling benar, yang lain neraka‘ melainkan menyikapinya dengan
cara yang arif dan selalu berpikir positif.
C. Menghindari Fanatisme Buta dalam Bertaqlid
Taklid sering diartikan dengan mengikuti pendapat
dari ulama mujtahid. Orang
yang taklid adalah orang yang tidak berijtihad atau
mengistimbathkan hukum sendiri, melainkan mengikuti hasil ijtihad yang sudah
dilakukan ulama terdahulu. Orang taklid bukan berarti ia tidak mempelajari
dalil dan hujjah dari produk hukum yang ia taklidi (ikuti), tetapi terkadang ia
telah mempelajarinya dan setuju dengan pendapat tersebut sehingga ia ikuti.
Menurut menurut KH Nuril Huda, Ketua PP LDNU, taklid bagi orang awam taqlid atau mengikuti ulama mujtahid yang telah
memahami agama secara mendalam hukumnya wajib, sebab tidak semua orang
mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk mempelajari agama secara mendalam.
Pendapat ini didasarkan pada dua ayat al-Qur‘an:
―Tidak pantas orang
beriman pergi ke medan
perang semua, hendaknya ada sekelompok dari tiap
golongan dari mereka ditinggal untuk memperdalam agama dan memberikan
peringatan kepada kaumnya apabila mereka kembali kepadanya, mudah-mudahan
mereka itu takut. (QS At-Taubah: 122)
Dalam ayat ini, masih menurut Nuril Huda, jelas
Allah SWT menyuruh kita untuk mengikuti orang yang telah memperdalam agama.
Dalam ayat lain secara lebih tegas Allah SWT berfirman:
―Maka hendaknya kamu
bertanya kepada orang-orang yang ahli Ilmu Pengetahuan jika kamu tidak
mengerti. (An-Nahl: 43)
NU sendiri jelas, menyarankan kepada kaum mislimin,
khususnya yang awam, untuk bertaklid madzhab empat (Hanafi, Hambali, Maliki,
Syafi'i), yang mana mereka telah dimaklumi oleh seluruh Ahli Ilmu, tentang
keahlian dan kemampuan mereka dalam Ilmu Fiqih. Meski NU mewajibkan taklid bagi
orang awam, bukan berarti NU menyuruhnya. Bagi mereka yang memiliki kesempatan
dan kemampuan tentu wajib mengetahui seluk beluk dalil yang dipergunakan oleh
para fuqaha'.
Mengkaji seluk-beluk dalil dan hujjah para fuqoha
adalah cara agar kita tidak terjebak pada fanatisme buta. Sikap fanatik
terhadap suatu paham keagamaan atau organisasi kemasyarakatan seperti NU dan
Muhammadiyah sebenarnya sah-sah saja. Tetapi jika fanatiknya tidak disertai
dengan ilmu, sangat rentan menyebabkan si fanatis tersebut menganggap
golongannya yang paling benar (truth claim) dan yang lain sesat (wrong), lebih
ekstrimnya kafir.
Tersebut di dalam majalah Suara Muhammadiyah,
sebagaimana dikutip di situs resmi Muhammadiyah: Oleh karena kita chawatir, adanja
pernjeknjokan dan perselisihan dalam kalangan Muhammadijah tentang masalah
agama itu, maka perlulah kita mendirikan Madjlis Tardjih untuk
menimbang dan memilih dari segala masalah jang diperselisihkan itu jang masuk
dalam kalangan Muhammadijah manakah jang kita anggap kuat dan berdalil benar
dari Al qur‘an dan hadits.
Perlu diingat bahwa fungsi didirikannya Majlis
Tarjih adalah untuk memberikan bimbingan keagamaan dan pemikiran di kalangan
umat Islam Indonesia
pada umumnya dan warga persyarikatan Muhammadiyah khususnya.
Jadi sumbangan yang diberikan Majlis tarjih
bukanlah produk hukum yang sudah jadi, lebih penting dari itu adalah bagaimana
proses pengambilan suatu hukum.
Apabila kita mengetahui bagaimana metode, dalil,
sebuah produk hukum itu maka saat itulah kita akan bisa keluar dari fanatisme
buta. bisa jadi kita menggunakan produk hukum Muhammadiyah, tetapi kita bukan
warga Muhammadiyah, hanya setuju dengan ijtihad atau pengistimbathan hukum yang
dilakukan oleh Muhammadiyah, tentu setelah mengetahui prosesnya. Nasehat dari
Imam Abu Hanifah berikut ini barangkali bisa menjadi bahan renungan kita
bersama:
―Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil/memakai
pendapat kami selama dia tidak mengetahui dari dalil mana kami mengambil
pendapat tersebut. dalam riwayat lain, haram bagi orang yang tidak mengetahui dalilku,
dia berfatwa dengan pendapatku. Dan dalam riawyat lain,
sesungguhnya kami adalah manusia biasa, kami
berpendapat pada hari ini, dan kami ruju‘ (membatalkan) pendapat tersebut pada
pagi harinya. Dan dalam riwayat lain, Celaka engkau wahai Ya‘qub (Abu Yusuf),
janganlah engakau catat semua apa-apa yang kamu dengar dariku, maka
sesungguhnya aku berpendapat pada hari ini denga suatu pendapat dan aku
tinggalkan pendapat itu besok, besok aku berpendapat dengan suatu pendapat dan
aku tinggalkan pendapat tersebut hari berikutnya. Beliau juga pernah berkata:
―Bila saya telah berkata dengan satu pendapat yang
telah menyalahi kitab Allah ta‘ala dan sunah Nabi Shallallaahu alaihi wa
Salam , maka tinggalkanlah pendapatku.Terakhir, marilah kita kaji dan pelajari
lagi hukum Islam yang selama ini kita jadikan pegangan dalam kehidupan
sehari-hari. Tak perlulah kita takut, untuk meninggalkan kepercayaan terhadap
suatu pendapat fuqoha yang sudah kita praktekkan selama bertahun-tahun, jika
suatu ketika kita menemukan atau meyakini pendapat kita yang lebih kuat.
Lihat
Juga :
·
2014@abdkadiralhamid
0 Response to "Menyikapi Perbedaan NU-Muhammadiyah"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip