Tarekat Naqsyabandiyah
Tokoh Jamaah Thariqat Naqsyabandiyyah al-Haqqaniyyah syech hisyam kabbani dan Hb.Muhammad Luthfi Bin Ali Bin Hasyim Bin Yahya,pekalongan jawa tengah. |
Tariqat Naqshbandi mempunyai sejarah yang panjang yaitu silsilah
pemimpin ataupun imam-imam besar bagi tariqat ini dapat dikesan sehingga
ke Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq ra, Khalifah Ar-Rasyidun yang
pertama.Abu Bakar as-Siddiq ra menjadi pengganti pertama kepada
Rasulullah (s.a.w) untuk memimpin Ummat Islam pada masa itu dan
mengukuhkan rohani dan iman mereka. Firman Allah didalam Al-quran yang
mulia
"...sedang dia salah seorang dari 2 orang ketika keduanya
berada dalam gua,di waktu dia berkata kepada temannya,Janganlah kamu
berdukacita sesungguhnya Allah beserta kita." (Al-Quran, 9:40)
Rasulullah (s.a.w) pernah memuji Abu Bakar as-Siddiq ra dengan
sabdanya,"Dikala terbit atau terbenamnya matahari, sinarnya yang
memancar itu, tidak pernah menyinar pada seorang yang lebih baik selain
Abu Bakar melainkan para Nabi dan Rasul." (Tarikh al-Khulafa) Baginda
(s.a.w) juga pernah bersabda,"Abu Bakar lebih utama daripada kamu bukan
kerana banyaknya solat atau puasa beliau melainkan kerana sesuatu rahsia
yang berakar umbi di dalam hatinya."(Manaqib as-Sahaba Imam Ahmad).
Rasulullah (s.a.w) pernah bersabda," Jika aku di kehendaki memilih teman
yang kucintai,aku memilih Abu Bakr sebagai teman yang kucintai;tetapi
dia adalah saudara dan sahabatku."(Sahih Muslim)
Tariqat
Naqshbandi terbina asas dan rukunnya oleh 5 bintang yang bersinar diatas
jalan Rasulullah (s.a.w) ini dan inilah yang merupakan ciri yang unik
bagi tariqat ini yang membedakannya daripada tariqat lain. Lima bintang
yang bersinar itu ialah Abu Bakr as-Siddiq,Salman Al-Farisi,Bayazid
al-Bistami,Abdul Khaliq al-Ghujdawani dan Muhammad Bahauddin Uwaysi
a-Bukhari yang lebih dikenali sebagai Shah Naqshband - Imam yang utama
didalam tariqat ini.
Perkataan Naqshband berasal daripada dua
cetusan idea : naqsh yang bermaksud "ukiran" dan ini diertikan sebagai
mengukir nama Tuhan pada hati dan band pula bermaksud "ikatan" yang
menunjukkan ikatan antara insan dan Penciptanya. Oleh itu ini bermakna
Tariqat Naqshbandi mengajak murid-muridnya lelaki ataupun perempuan,
agar melakukan solat dan menunaikan perkara yang wajib mengikut Al-Quran
dan As-sunnah Rasulullah (s.a.w) dan kehidupan para sahabat berserta
dengan sifat Ihsan. Agar terus bermujahadah dan dapat merasakan
kehadiran Allah dan perasaan cinta kepada Allah didalam hati murid-murid
tadi dan seterusnya terjalinlah ikatan antara murid dengan Penciptanya.
Kaum Naqsyabandiyah dalam jumlah dan kekuatan intelektualnya,
tidak dapat digambarkan secara seragam dalam Dunia Islam sekarang ini.
Pengaruh mereka mungkin paling kuat di Turki dan wilayah Kurdistan, dan
yang paling lemah adalah di Pakistan. Pada masa pemerintahan Soviet,
pengaruh Naqsyabandiyah sangat terasa pada gerakan "Islam bawah tahan"
di Kaukasus Asia Tengah. Namun, pada akhirnya pemerintahan Soviet tidak
diikuti perkembangan Naqsyabandiyah di permukaan.
Berbagai Ritual dan Teknik Spiritual Naqsyabandiyah
Seperti tarekat-tarekat yang lain, Tarekat Naqsyabandiyah itu pun
mempunyai sejumlah tata-cara peribadatan, teknik spiritual dan ritual
tersendiri. Memang dapat juga dikatakan bahwa Tarekat Naqsyabandiyah
terdiri atas ibadah, teknik dan ritual, sebab demikianlah makna asal
dari istilah thariqah, "jalan" atau "marga". Hanya saja kemudian istilah
itu pun mengacu kepada perkumpulan orang-orang yang mengamalkan "jalan"
tadi.
Naqsyabandiyah, sebagai tarekat terorganisasi, punya
sejarah dalam rentangan masa hampir enam abad, dan penyebaran yang
secara geografis meliputi tiga benua. Maka tidaklah mengherankan apabila
warna dan tata cara Naqsyabandiyah menunjukkan aneka variasi mengikuti
masa dan tempat tumbuhnya. Adaptasi terjadi karena keadaan memang
berubah, dan guru-guru yang berbeda telah memberikan penekanan pada
aspek yang berbeda dari asas yang sama, serta para pembaharu
menghapuskan pola pikir tertentu atau amalan-amalan tertentu dan
memperkenalkan sesuatu yang lain. Dalam membaca pembahasan mengenai
berbagai pikiran dasar dan ritual berikut, hendaknya selalu diingat
bahwa dalam pengamalannya sehari-hari variasinya tidak sedikit.
Asas-asas
Penganut Naqsyabandiyah mengenal sebelas asas Thariqah. Delapan dari
asas itu dirumuskan oleh 'Abd al-Khaliq Ghuzdawani, sedangkan sisanya
adalah penambahan oleh Baha' al-Din Naqsyaband. Asas-asas ini disebutkan
satu per satu dalam banyak risalah, termasuk dalam dua kitab pegangan
utama para penganut Khalidiyah, Jami al-'Ushul Fi al-'Auliya. Kitab
karya Ahmad Dhiya' al-Din Gumusykhanawi itu dibawa pulang dari Makkah
oleh tidak sedikit jamaah haji Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal
abad ke-20. Kitab yang satu lagi, yaitu Tanwir al-Qulub oleh Muhammad
Amin al-Kurdi dicetak ulang di Singapura dan di Surabaya, dan masih
dipakai secara luas. Uraian dalam karya-karya ini sebagian besar mirip
dengan uraian Taj al-Din Zakarya ("Kakek" spiritual dari Yusuf Makassar)
sebagaimana dikutip Trimingham. Masing-masing asas dikenal dengan
namanya dalam bahasa Parsi (bahasa para Khwajagan dan kebanyakan
penganut Naqsyabandiyah India).
Asas-asasnya 'Abd al-Khaliq adalah:
1. Hush dar dam: "sadar sewaktu bernafas". Suatu latihan konsentrasi:
sufi yang bersangkutan haruslah sadar setiap menarik nafas,
menghembuskan nafas, dan ketika berhenti sebentar di antara keduanya.
Perhatian pada nafas dalam keadaan sadar akan Allah, memberikan kekuatan
spiritual dan membawa orang lebih hampir kepada Allah; lupa atau kurang
perhatian berarti kematian spiritual dan membawa orang jauh dari Allah
(al-Kurdi).
2. Nazar bar qadam: "menjaga langkah". Sewaktu
berjalan, sang murid haruslah menjaga langkah-langkahnya, sewaktu duduk
memandang lurus ke depan, demikianlah agar supaya tujuan-tujuan
(ruhani)-nya tidak dikacaukan oleh segala hal di sekelilingnya yang
tidak relevan.
3. Safar dar watan: "melakukan perjalanan di
tanah kelahirannya". Melakukan perjalanan batin, yakni meninggalkan
segala bentuk ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan
hakikatnya sebagai makhluk yang mulia. [Atau, dengan penafsiran lain:
suatu perjalanan fisik, melintasi sekian negeri, untuk mencari mursyid
yang sejati, kepada siapa seseorang sepenuhnya pasrah dan dialah yang
akan menjadi perantaranya dengan Allah (Gumusykhanawi)].
4.
Khalwat dar anjuman: "sepi di tengah keramaian". Berbagai pengarang
memberikan bermacam tafsiran, beberapa dekat pada konsep "innerweltliche
Askese" dalam sosiologi agama Max Weber. Khalwat bermakna menyepinya
seorang pertapa, anjuman dapat berarti perkumpulan tertentu. Beberapa
orang mengartikan asas ini sebagai "menyibukkan diri dengan terus
menerus membaca dzikir tanpa memperhatikan hal-hal lainnya bahkan
sewaktu berada di tengah keramaian orang"; yang lain mengartikan sebagai
perintah untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat
sementara pada waktu yang sama hatinya tetap terpaut kepada Allah saja
dan selalu wara'. Keterlibatan banyak kaum Naqsyabandiyah secara aktif
dalam politik dilegitimasikan (dan mungkin dirangsang) dengan mengacu
kepada asas ini.
5. Yad kard: "ingat", "menyebut".
Terus-menerus mengulangi nama Allah, dzikir tauhid (berisi formula la
ilaha illallah), atau formula dzikir lainnya yang diberikan oleh guru
seseorang, dalam hati atau dengan lisan. Oleh sebab itu, bagi penganut
Naqsyabandiyah, dzikir itu tidak dilakukan sebatas berjamaah ataupun
sendirian sehabis shalat, tetapi harus terus-menerus, agar di dalam hati
bersemayam kesadaran akan Allah yang permanen.
6. Baz gasyt:
"kembali", " memperbarui". Demi mengendalikan hati supaya tidak condong
kepada hal-hal yang menyimpang (melantur), sang murid harus membaca
setelah dzikir tauhid atau ketika berhenti sebentar di antara dua nafas,
formula ilahi anta maqsudi wa ridlaka mathlubi (Ya Tuhanku, Engkaulah
tempatku memohon dan keridlaan-Mulah yang kuharapkan). Sewaktu
mengucapkan dzikir, arti dari kalimat ini haruslah senantiasa berada di
hati seseorang, untuk mengarahkan perasaannya yang halus kepada Tuhan
semata.
7. Nigah dasyt: "waspada". Yaitu menjaga pikiran dan
perasaan terus-menerus sewaktu melakukan dzikir tauhid, untuk mencegah
agar pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran yang tetap
akan Tuhan, dan untuk memlihara pikiran dan perilaku seseorang agar
sesuai dengan makna kalimat tersebut. Al-Kurdi mengutip seorang guru
(anonim): "Kujaga hatiku selama sepuluh hari; kemudian hatiku menjagaku
selama dua puluh tahun."
8. Yad dasyt: "mengingat kembali".
Penglihatan yang diberkahi: secara langsung menangkap Zat Allah, yang
berbeda dari sifat-sifat dan nama-namanya; mengalami bahwa segalanya
berasal dari Allah Yang Esa dan beraneka ragam ciptaan terus berlanjut
ke tak berhingga. Penglihatan ini ternyata hanya mungkin dalam keadaan
jadzbah: itulah derajat ruhani tertinggi yang bisa dicapai.
Asas-asas Tambahan dari Baha al-Din Naqsyabandi:
1. Wuquf-i zamani: "memeriksa penggunaan waktu seseorang". Mengamati
secara teratur bagaimana seseorang menghabiskan waktunya. (Al-Kurdi
menyarankan agar ini dikerjakan setiap dua atau tiga jam). Jika
seseorang secara terus-menerus sadar dan tenggelam dalam dzikir, dan
melakukan perbuatan terpuji, hendaklah berterimakasih kepada Allah, jika
seseorang tidak ada perhatian atau lupa atau melakukan perbuatan
berdosa, hendaklah ia meminta ampun kepada-Nya.
2. Wuquf-i
'adadi: "memeriksa hitungan dzikir seseorang". Dengan hati-hati beberapa
kali seseorang mengulangi kalimat dzikir (tanpa pikirannya mengembara
ke mana-mana). Dzikir itu diucapkan dalam jumlah hitungan ganjil yang
telah ditetapkan sebelumnya.
3. Wuquf-I qalbi: "menjaga hati
tetap terkontrol". Dengan membayangkan hati seseorang (yang di dalamnya
secara batin dzikir ditempatkan) berada di hadirat Allah, maka hati itu
tidak sadar akan yang lain kecuali Allah, dan dengan demikian perhatian
seseorang secara sempurna selaras dengan dzikir dan maknanya. Taj al-Din
menganjurkan untuk membayangkan gambar hati dengan nama Allah terukir
di atasnya.
Zikir dan Wirid
Teknik dasar Naqsyabandiyah,
seperti kebanyakan tarekat lainnya, adalah dzikir yaitu berulang-ulang
menyebut nama Tuhan ataupun menyatakan kalimat la ilaha illallah. Tujuan
latihan itu ialah untuk mencapai kesadaran akan Tuhan yang lebih
langsung dan permanen. Pertama sekali, Tarekat Naqsyabandiyah membedakan
dirinya dengan aliran lain dalam hal dzikir yang lazimnya adalah dzikir
diam (khafi, "tersembunyi", atau qalbi, " dalam hati"), sebagai lawan
dari dzikir keras (dhahri) yang lebih disukai tarekat-tarekat lain.
Kedua, jumlah hitungan dzikir yang mesti diamalkan lebih banyak pada
Tarekat Naqsyabandiyah daripada kebanyakan tarekat lain.
Dzikir
dapat dilakukan baik secara berjamaah maupun sendiri-sendiri. Banyak
penganut Naqsyabandiyah lebih sering melakukan dzikir secara
sendiri-sendiri, tetapi mereka yang tinggal dekat seseorang syekh
cenderung ikut serta secara teratur dalam pertemuan-pertemuan di mana
dilakukan dzikir berjamaah. Di banyak tempat pertemuan semacam itu
dilakukan dua kali seminggu, pada malam Jum'at dan malam Selasa; di
tempat lain dilaksanakan tengah hari sekali seminggu atau dalam selang
waktu yang lebih lama lagi.
Dua dzikir dasar Naqsyabandiyah,
keduanya biasanya diamalkan pada pertemuan yang sama, adalah dzikir ism
al-dzat, "mengingat yang Haqiqi" dan dzikir tauhid, " mengingat
keesaan". Yang duluan terdiri dari pengucapan asma Allah berulang-ulang
dalam hati, ribuan kali (dihitung dengan tasbih), sambil memusatkan
perhatian kepada Tuhan semata. Dzikir Tauhid (juga dzikir tahlil atau
dzikir nafty wa itsbat) terdiri atas bacaan perlahan disertai dengan
pengaturan nafas, kalimat la ilaha illa llah, yang dibayangkan seperti
menggambar jalan (garis) melalui tubuh. Bunyi la permulaan digambar dari
daerah pusar terus ke hati sampai ke ubun-ubun. Bunyi Ilaha turun ke
kanan dan berhenti pada ujung bahu kanan. Di situ, kata berikutnya, illa
dimulai dengan turun melewati bidang dada, sampai ke jantung, dan ke
arah jantung inilah kata Allah di hujamkan dengan sekuat tenaga. Orang
membayangkan jantung itu mendenyutkan nama Allah dan membara,
memusnahkan segala kotoran.
Variasi lain yang diamalkan oleh
para pengikut Naqsyabandiyah yang lebih tinggi tingkatannya adalah
dzikir latha'if. Dengan dzikir ini, orang memusatkan kesadarannya (dan
membayangkan nama Allah itu bergetar dan memancarkan panas)
berturut-turut pada tujuh titik halus pada tubuh. Titik-titik ini,
lathifah (jamak latha'if), adalah qalb (hati), terletak selebar dua jari
di bawah puting susu kiri; ruh (jiwa), selebar dua jari di atas susu
kanan; sirr (nurani terdalam), selebar dua jari di atas putting susu
kanan; khafi (kedalaman tersembunyi), dua jari di atas puting susu
kanan; akhfa (kedalaman paling tersembunyi), di tengah dada; dan nafs
nathiqah (akal budi), di otak belahan pertama. Lathifah ketujuh, kull
jasad sebetulnya tidak merupakan titik tetapi luasnya meliputi seluruh
tubuh. Bila seseorang telah mencapai tingkat dzikir yang sesuai dengan
lathifah terakhir ini, seluruh tubuh akan bergetar dalam nama Tuhan.
Konsep latha'if -- dibedakan dari teknik dzikir yang didasarkan padanya
-- bukanlah khas Naqsyabandiyah saja tetapi terdapat pada berbagai
sistem psikologi mistik. Jumlah latha'if dan nama-namanya bisa berbeda;
kebanyakan titik-titik itu disusun berdasarkan kehalusannya dan
kaitannya dengan pengembangan spiritual.
Ternyata latha'if pun
persis serupa dengan cakra dalam teori yoga. Memang, titik-titik itu
letaknya berbeda pada tubuh, tetapi peranan dalam psikologi dan teknik
meditasi seluruhnya sama saja.
Asal-usul ketiga macam dzikir
ini sukar untuk ditentukan; dua yang pertama seluruhnya sesuai dengan
asas-asas yang diletakkan oleh 'Abd Al-Khaliq Al-Ghujdawani, dan muntik
sudah diamalkan sejak pada zamannya, atau bahkan lebih awal. Pengenalan
dzikir latha'if umumnya dalam kepustakaan Naqsyabandiyah dihubungkan
dengan nama Ahmad Sirhindi. Kelihatannya sudah digunakan dalam Tarekat
Kubrawiyah sebelumnya; jika ini benar, maka penganut Naqsyabandiyah di
Asia Tengah sebetulnya sudah mengenal teknik tersebut sebelum
dilegitimasikan oleh Ahmad Sirhindi.
Pembacaan tidaklah
berhenti pada dzikir; pembacaan aurad (Indonesia: wirid), meskipun tidak
wajib, sangatlah dianjurkan. Aurad merupakan doa-doa pendek atau
formula-formula untuk memuja Tuhan dan atau memuji Nabi Muhammad, dan
membacanya dalam hitungan sekian kali pada jam-jam yang sudah ditentukan
dipercayai akan memperoleh keajaiban, atau paling tidak secara
psikologis akan mendatangkan manfaat. Seorang murid dapat saja diberikan
wirid khusus untuk dirinya sendiri oleh syekhnya, untuk diamalkan
secara rahasia (diam-diam) dan tidak boleh diberitahukan kepada orang
lain; atau seseorang dapat memakai kumpulan aurad yang sudah
diterbitkan. Naqsyabandiyah tidak mempunyai kumpulan aurad yang unik.
Kumpulan-kumpulan yang dibuat kalangan lain bebas saja dipakai; dan kaum
Naqsyabandiyah di tempat yang lain dan pada masa yang berbeda memakai
aurad yang berbeda-beda. Penganut Naqsyabandiyah di Turki, umpamanya,
sering memakai Al-Aurad Al-Fathiyyah, dihimpun oleh Ali Hamadani,
seorang sufi yang tidak memiliki persamaan sama sekali dengan kaum
Naqsyabandiyah.
=============================================================================
Al Habib M. Lutfi bin ali bin hasyim bin yahya : Muslim Bertarekat dan tidak Bertarekat
Tanya Jawab dengan Al Habib M. Lutfi bin ali bin hasyim bin yahya :
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Habib Muhammad Luthfi bin Yahya yang terhormat. Saya ingin mengajukan pertanyaan penting yang berhubungan dengan masalah kemurniaan dan kesempurnaan iman.Pertama, apakah, di dalam mendalami masalah keimanan, setiap muslim lebih baik menjadi jamaah tarekat? Kedua, apakah dengan cara menjadi anggota jamaah tarekat di bawah bimbingan mursyidnya, seseorang dapat lebih tenang dan mantap dalam mengamalkan tuntunan agama Islam, karena dianggap merujuk pada ajaran Nabi Muhammad (saw) melalui bimbingan mursyid tersebut? Bagaimana dengan para ulama atau ustad yang mengajarkan Islam tanpa menjadi anggota jamaah tarekat? Demikian pertanyaan dari saya, semoga menjadi manfaat. Amin ya Robbal Alamin.Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.
Jawaban:
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.Tentang keimanan seseorang sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an,"Katakanlah, jika kamu mencintai Allah..." (Ali Imran: 31).Ketika ayat ini turun, seorang sahabat bertanya kepada Baginda Nabi Muhammad (saw), "Matta akunu mu'mman shadiqan?" atau "Bilamanakah aku menjadi mukmin yang sesungguhnya?" Dijawab oleh Baginda Nabi (saw), "Idza ahbabtallah" atau "Apabila engkau mencintai Allah"Seianjutnya sahabat itu bertanya lagi, dan dijawab oleh Rasulullah (saw),"Orang itu mencintai Rasul-Nya. Berikutnya mengikuti sunnah-sunnahnya, dan mencintai orang yang dicintai Allah dan Rasul-Nya"Dan akhirnya, Nabi Muhammad (saw) bersabda lagi"Wayatawaffatuna fil- Imani qadrl tawannutihim fi mahabati,"atau "Dan keimanan mereka bertingkat-tingkat menurut tingkatan kecintaan kepada Allah." Itu diucapkan sampai tiga kali oleh Rasulullah (saw).Hadit itu melanjutkan bahwa kadar bobot iman seseorang, tergantung pada kecintaannya kepada Nabi Muhammad (saw). Sebaliknya kadar kekafiran seseorang juga tergantung pada kebenciannya kepada beliau (saw). Kalau kecintaannya kepada Rasulullah (saw) bertambah, keimanannya kepada Allah (Swt) pun akan bertambah. bertambah dalam arti bersinar, bercahaya, dan semakin menerangi hidupnya. Maka, apabila kita melihat ayat,«Katakanlah: Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihl dan mengampunlmu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"(All Imran: 31).Lalu bagaimanakah cara mencintai Allah dan apa yang terkandung di dalam makna mencintai tersebut? Jawabanya; di antaranya bahwa Allah dan Rasul-Nya jelas tidak bias dipisah-pisahkan. Kalau seseorang mencintai Allah, pasti dan harus mencintai Nabi-Nya. Dan tentu saja, dia akan menjalankan sunnah serta mencintai orang yang dicintai Rasul-Nya. Di sinilah pengertian tarekat yang sebenarnya, yakni untuk membimbing orang itu mencapai keimanan sempurna.Keimanan terbentuk secara terbimbing. Di situlah peran para mursyid, sehingga tingkatan tauhid kita, makrifat kita,tidak salah dan tidak sembarangan menempatkan diri, sebab ada bimbingan dari mursyid tersebut Bagaimana orang yang tidak bertarekat? Saya jelaskan dulu, syaratnya bertarekat itu harus tahu syariat dulu. Artinya, kewajiban-kewajiban yang harus dimengerti oleh individu sudah dipahami. Diantaranya, hak Allah (Swt): wajib, mustahil, dan jaiz (berwenang). Lalu hak para rasul, apa yang wajib, mustahil, dan jaiz bagirnereka.Setelah kita mengenal Allah dan Rasul-Nya, kita meyakini apa yang disampaikannya. Seperti rukun Islam, yaitu membaca syahadat, mengerjakan shalat, melaksanakan puasa, berzakat bagi yang cukup syaratnya, serta naik haji baga y ng mampu. Begitu juga kita mengetahui rukun iman, serta beberapa tuntunan Islam seperti shalat, wudhu', dan lainnya. Namun Anda harus bisa membedakan, orang yang menempuh jalan kepada Allah dengan sendirian, tentu tidak sama dengan orang yang menempuh jalan kepada Allah bersama-sama, yaitu melalui seorang mursyid. Kalau kita mau menuju Mekkah, sebagai satu contoh, seseorang yang belum mengenal Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah, tentu berbeda dengan orang yang datang kedua tempat tersebut dengan disertai pembimbing ataumursyid.Orang yang tidak mengenal sama sekali kedua tempat itu, karena meyakini berdasarkan informasi dan kemampuannya, sah-sah saja. Namun orang yang disertai mursyidakan lebih runtut dan sempurna, karena si pemimbing tadi sudah berpengalaman dan akan mengantarke rukun zamani, sumur zamzam, makam Ibrahim, dan lainnya Meski seseorang itu sudah sampai di Ka'bah, namun kalau tidak tahu rukun zamani, dia tidak akan mampu untuk memulai tawaf karena tidak tahu bagaimana memulainya itulah perbedaannya.
Al Habib M. Lutfi bin ali bin hasyim bin yahya :
Benarkah tarekat itu bid'ah ???
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya pernah membaca buku yang menyatakan sesatnya tarekat dan mengharamkan membaca sholawat. Saya bingung, bagaimana mungkin sebuah komunitas zikir disebut sesat. Alasannya, tak ada tuntunan Rasulullah. Saya semakin bingung lagi. Pertanyaan saya, begitu sempitkah ajaran Islam itu sehingga semuanya harus mengikuti Rasulullah? Menurut saya, tarekat juga membaca wirid yang diajarkan Rasulullah. Dan menurut sebuah hadist, Allah swt dan malaikat pun bersholawat kepada Rasulullah saw. Hanya karena dikelompokkan dan kemudian berzikir secara bersamaan dalam sebuah kelompok disebut sesat dan bid'ah? Mohon penjelasan, apa batasan bid'ah itu? Apakah juga untuk semua hal, termasuk wirid secara bersama-sama? Terima kasih. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Jabir Ibnu Hayyan
Jawaban:
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Islam adalah agama yang universal. Ini dapat dibuktikan dengan keuniversalan Al-Qur'an. Orang yang mempelajari Al-Qur'an atas dasar keuniversalannya justru akan selalu melihat bahwa manusia perlu dimodernisasikan. Untuk itu paling tidak diperlukan dan dibekali ilmu yang cukup dalam mempelajari Al-Qur'an.Islam itu luwes. Sebab kejadian yang tidak terjadi di zaman Rasulullah bisa saja terjadi di zaman para sahabat. Demikian pula, kejadian yang tidak terjadi di zaman sahabat, bisa terjadi di zaman tabi'in yaitu orang-orang yang hidup pada generasi setelah para sahabat Nabi (saw), dan begitupun seterusnya.Mestinya para ulama itu dapat memberikan jawaban sesuai dengan generasinya karena adanya sebuah perkembangan zaman. Namun itu bukan berarti bahwa Al-Qur'an tidak bisa menjawab persoalan. Al-Qur'an siap menjawab persoalan sepanjang masa. Tapi siapakah yang sanggup memberi penjelasan jika tanpa dibekali ilmu Al-Qur'an yang cukup. Misalnya saja, pada zaman Rasulullah, pencangkokan mata, ginjal dan sebagainya belum terjadi. Namun, kemungkinan ilmu-ilmu untuk mencangkok sudah ada. Tapi peristiwa itu secara syariat di zaman Rasul belum ada. Mungkin saja terjadi di suatu zaman, contohnya ada seseorang memerlukan kornea mata, dan ahli medis siap untuk melakukannya sebagai sebuah ikhtiar. Untuk orang yang bersangkutan, apakah ini tidak dibenarkan? Untuk masalah zikir, siapa yang bilang tidak ada ajaran tentang zikir dari Rasulullah. Misalnya, satu Hadist Qudsi -Hadist yang diyakini sebagai firman Allah, bukan ucapan Nabi (saw)- menyebutkan, diriwayatkan oleh Imam Ali Ridha, "Kalimat La ilaha Illallah itu benteng-Ku. Barang siapa mengucapkan kalimat La ilaha Illallah berarti orang itu masuk ke dalam pengayoman-Ku (dalam benteng-Ku). Dan barang siapa yang masuk ke dalam benteng-Ku, berarti amanlah mereka dari siksa-Ku." Apakah ini tidak bisa dianggap sebagai tuntunan? Selanjutnya, mohon maaf, sebelum Anda ikut-ikutan mengatakan bahwa tarekat itu sesuatu yang bid'ah, ada baiknya Anda mempelajari dulu perihal tarekat. Setelah itu melaksanakan ajaran dalam tarekat tersebut dalam kehidupan Anda sehari-hari. Jadi bukan hanya bersumberkan pada pertanyaan tadi. Lebih dari itu, melaksanakan tarekat sesuai ajaran dan kaidah yang ada dalam tarekat. Nanti Anda akan langsung mengetahui, termasuk siapa ulama-ulama itu, tepat atau tidak bila seorang ulama itu telah mengatakannya sebagai bid'ah. Apakah sejauh itu prasangka kita pada ulama-ulama? Seolah-olah ulama-ulama itu tidak mengerti dosa, dan hanya kita sendiri yang mengerti bid'ah? Harap diingat, melihat figur jangan sampai dijadikan ukuran. Sebab sebuah figur belum merupakan orang yang alim. Makanya syarat orang yang mengikuti tarekat itu, haruslah mengetahui arkan al-iman (rukun iman) dan Islam. Mengetahui batalnya shalat, rukun shalat, rukun wudhu, batalnya wudhu, dan sebagainya. Juga mengetahui sifat-sifat Allah yang wajib dan yang jaiz, juga tahu sifat para rasul, membedakan barang halal dan haram. Setelah itu baru dipersilahkan mengikuti tarekat. Itulah dasar kita masuk tarekat. Bukan suatu yang bersifat ikut-ikutan. Sedangkan orang yang masuk terkadang tertarik oleh sebuah ritus, termasuk mendekatkan diri pada ulama. Tetapi di dalam dirinya masih ada banyak kekurangan, sehingga apa yang sebenarnya bukan merupakan ajaran sebuah tarekat, terpaksa dilakukan. Seperti, kita menjalankan tarekatnya namun justru meninggalkan yang wajib. Sekali lagi harus diingat, tarekat adalah buah shalat. Bukan sebaliknya.
abdkadiralhamid@2013
Related Posts :
RANTAI THORIQOH `ALAWIYYAH & AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH RANTAI THORIQOH `ALAWIYYAH Inilah sedikit penjelasan tentang Thoriqoh `Alawiyyah, yaitu jalan yang ditempuh oleh `Ulama assholi… Read More...
Ada Orang yang Mengaku sebagai Muhaddits? Cek Dulu Apakah Kriteria-kriteria Berikut ini Sudah Terpenuhi? Ada Orang yang Mengaku sebagai Muhaddits? Cek Dulu Apakah Kriteria-kriteria Berikut ini Sudah Terpenuhi? Bismillahirrahmaanirrahiim… Read More...
PENGARUH BA’ALAWI DI INDONESIA PENGARUH BA’ALAWI DI INDONESIA Gustav Lebon mengatakan, “Bahwa kami tidak melihat adanya suatu bangsa yang mempunyai pengaru… Read More...
Keteladanan Imam Syafi‘i Keteladanan Imam Syafi‘i “Asy-Syafi‘i mengkhatamkan Al-Qur’an dalam satu bulan Ramadhan sebanyak enam puluh kali khatam, semua… Read More...
Thariqah ‘Alawiyyah ??? Thariqah ‘Alawiyyah ??? Dikalangan Ba’Alawi, kata tarekat dipahami sebagai suatu suluk (cara ibadah) yg dilakukan oleh seseorang ya… Read More...
0 Response to "Tarekat Naqsyabandiyah "
Posting Komentar
Silahkan komentar yg positip