Manaqib :
“Mutiara Tarim Sampai Ke Tanah Mandar” ,
Al’ Allamah Al Habib Alwi bin Abdullah bin Sahl Jamalullail
A. Nasab Habib Alwi bin
Abdullah
bin Sahl
Nama lengkap
beliau adalah Alwi bin Abdullah bin Husain bin Abdurrahman bin Muhammad
bin Abdullah bin Ahmad bin Sahl bin Ahmad bin Sahl bin Ahmad bin Abdullah bin
Al-Imam Muhammad Jamalullail bin Hasan Al – Muallim bin Muhammad Asadullah bin
Hasan Atturobi bin Ali bin al‐Faqih al‐Muqaddam, Muhammad bin Ali, bin Muhammad Sahib Mirbat, bin `Ali Khali` Qasam, bin
`Alawi, bin Muhammad Sahib al‐Sawma`a, bin `Alawi, bin `Ubaydullah, bin al‐Imam al‐Muhajir il‐ Allah Ahmad,
bin `Isa, bin Muhammad al‐Naqib, bin
`Ali al‐`Uraydi, bin Ja`far al‐Sadiq, bin
Muhammad al‐Baqir, bin `Ali Zayn al‐`Abidin, bin Husayn al‐Sibt, bin `Ali bin Abu Talib dan Fatimah al‐Zahra, anak perempuan Rasulullah SAW.
Habib Alwi bin Abdullah lebih dikenal dengan sebutan “Puang Towa” (orang yang dituakan), karena umurnya yang panjang sampai 99
tahun, sebagaimana datuknya Imam Jamalullail yang digelari “Asy Syaibeh” (yang dituakan).
Beliau dilahirkan di Lasem, Pati, Jawa Tengah tahun 1835 M, ayah beliau bernama Sayyid Abdullah
bin Husain bin Sahl dan ibunya Raden Ayu
Habibah, Pati Lasem Al Munawwar,
beliau memiliki 15 orang saudara :
1.
Ali bin Abdullah (keturunannya di Perlis, Malaysia, Singapura
dan Jeddah, kemudian wafat di Pulau Pinang ).
2. Hasan bin Abdullah.
3. Ahmad bin Abdullah.
4. Husain bin Abdullah (keturunannya di Perlis, Johor , Malaysia dan Madinah, Arab Saudi).
5. Muhammad bin Abdullah
(terputus keturunannya).
6. Sahl bin Abdullah (keturunannya berada di Hadramaut
7. Alwi bin Abdullah (Sohibul Manaqib)
8. Ruqayyah binti Abdullah (wafat di Jakarta).
9. Salmah binti Abdullah.
10. Sofiah binti
Abdullah.
11. Aisyah binti
Abdullah.
12. Maryam binti
Abdullah.
13. Fadlun binti
Abdullah.
14. Alwiyah binti
Abdullah.
15. Aminah binti
Abdullah (wafat di Jakarta).
Semenjak
kecil beliau belajar agama pada sang ayah di tempat kelahirannya. Kemudian
diminta sang ayah untuk berangkat ke Timur Tengah untuk mendalami ajaran islam. Setelah kembali dari Timur
Tengah, beliau sempat ke Batavia, kemudian kembali ke tempat kelahirannya di
Lasem.
B. Putra - Putri Habib
Alwi bin Abdullah bin Sahl.
Habib Alwi bin Sahl mempunyai 4 (empat) orang istri. Saat berada di Nusa Tenggara Barat (Sumbawa), beliau menikah (nama istri beliau belum ditemukan datanya) dan memiliki putri bernama Sy. Fatimah bin Alwi.
Dan saat tinggal di Sulawesi Barat (tepatnya di Tanah Mandar),
beliau menikah dengan putri seorang bangsawan yang bernama Kanna Cora dan darinya dikaruniai 4 (empat) anak yaitu :
1. Intan binti Alwi
2. Ruqayya binti Alwi
3. Alwiyah binti Alwi
4. Umar bin Alwi
Kemudian saat tinggal di Pambusuang, beliau menikahi salah satu putri pelaut mandar yang dikenal dengan Pua Padang dan memiliki 3 (tiga) anak yaitu :
1. Hasan bin Alwi, lebih dikenal "Puang Lero"
2. Hural Aeni binti Alwi
3. Hasyimiyah binti Alwi
Dan
sewaktu tinggal di Campalagian, beliau dengan Cumeng, dari pernikahannya memiliki 4 (empat ) anak yaitu :
1. Husain bin Alwi
(dikenal dengan gelar
“Capuang”, yang artinya
orang yang
dimuliakan)
2. Muhammad Muhsin bin
Alwi
3. Mardiyah binti Alwi
4. Zahrah binti Alwi
C.
Masuk ke Tanah Mandar
Dari tekad dan keberanian yang dimiki, beliau berlayar dari suatu
daerah ke daerah yang lain dengan tujuan berdagang, akhirnya sampai ke Nusa
Tenggara Barat (Sumbawa), dimana Habib Alwi membina masyarakat setempat, dengan
membuka pengajian dan kebetulan ada beberapa pelaut-pelaut dari Tanah Mandar
ikut juga dalam pengajian yang dibawakan oleh Habib Alwi, dan dari sanalah
beliau mendapat banyak informasi tentang keadaan tanah mandar.
Pada akhirnya Habib Alwi bersedia untuk melanjutkan dakwahnya ke
Tanah Mandar bersama pelaut mandar tersebut. Beliau tiba di Bandar Manjopai,
Mandar. Pada waktu itu yang menjadi Imam
pertama Mesjid Manjopai adalah H. Kaisah yang bergelar Haji Kappung dari tahun 1859 – 1900 M.
Kedatangan Habib Alwi
disambut baik oleh masyarakat setempat, yang juga sudah memeluk agama islam,
akan tetapi masih banyak yang berpaham “animisme” yang bertentangan dengan
aqidah islam.
D.
Gerakan Dakwah di Tiga
Daerah
1.
Manjopai
Selama tinggal di Manjopai, Habib Alwi melaksanakan tugas dakwah
dengan menggunakan prinsip dan metode dakwah sebagai petunjuk Alqur’an (QS.
An-Nahl : 125). Beliau memberikan pemahaman keagamaan kepada masyarakat dengan
penuh hikmah dan dialogis dengan melakukan pengajian-pengajian di masjid-masjid dan tempat-tempat yang
memungkinkan dengan berbentuk halaqah dan
menggunakan metode tanya jawab. Dalam strategi dakwahnya agar mudah diterima oleh
masyarakat. Beliau mendekati para sesepuh agama (Mara’dia) dan orang-orang terhormat sehingga beliau menyampaikan
ajaran islam kepada masyarakat lebih mudah karena didukung oleh mereka.
Kendati dakwahnya mempunyai kemudahan dalam membina masyarakat
muslim, namun tidak sedikit dari mereka yang menentang khususnya bagi mereka
yang mempunyai kepercayaan kepada benda-benda ghaib. Faham yang muncul pada
masa itu dikenal dengan istilah “Awayang Ka’daro”
(suatu faham keyakinan
untuk menjadi kebal dan berani). Meski
demikian, Habib Alwi terus melakukan berbagai macam pendekatan yang mampu
meyakinkan mereka sehingga banyak diantara mereka akhirnya sadar dan bertaubat
kepada Allah SWT.
Habib Alwy di Manjopai, pernah diangkat oleh
masyarakat setempat menjadi Imam Masjid (Imam III) sekitar tahun 1916-1921
mengantikan H.
Muhammad Amin (Imam II) yang bergelar Imam Missuq (Mundur dari
Imam sebagai bukti penghormatan kepada Beliau). Habib Alwi
selama di Manjopai memberantas paham awayang ka’daro (ilmu kekebalan).
2.
Pambusuang
Pada dasarnya,
Habib Alwi masuk ke Pambusuang dapat dikatakan bersamaan dengan masuknya ke
Manjopai, sebab pelaut Mandar yang ditumpangi beliau dari Sumbawa adalah
seorang dari daerah pambusuang sehingga beliau diajak tinggal di rumahnya.
Kemudian Habib Alwy bin Sahil di Pambusuang
juga diterima baik dengan masyarakat Pambusuang dan bersama-sama dengan tokoh
masyarakat dan tokoh agama (‘alim ulama) untuk membangun Masjid sebagai sarana
beribadah kepada Allah SWT, sekaligus tempat belajar ilmu keislaman. Habib Alwy
terlibat dalam kegiatan sosial kemasyarakatan dan sosial keagamaan, menyebarkan
islam lewat pemahaman Tasauf dan Thariqoh Ba’ Alawi (Thariqoh Alawiyah)
kepada masyarakat. Sistem pengajaran yang beliau kembangkan di Pambusuang
adalah bentuk halaqah baik di Masjid-masjid maupun dari rumah ke rumah serta
masyarakat yang langsung datang menghadap kepada Habib Alwy bin Sahil untuk
menanyakan seputar ajaran Islam.
3.
Campalagian
Di Campalagian, beliau telibat urusan
kemasyarakatan dan keagamaan bersama masyarakat para ulama dan pemerintahan
membangun masjid dan memberikan pelajaran keagamaan kepada masyarakat. Ulama
yang hidup semasa dengannya seperti KH. Abdul Hamid, K.H. Muhammad Arsyad Maddapungan.
Habib Alwy bersama para ulama dan kepala kampung (Mara’dia) memberikan
perhatian serius terhadap pengembangan agama. Keberadaan Habib Alwy lebih
memperluas syiar Islam, serta membasmi segala persembahan berhala bagi rakyat,
yang masih fanatik kepada faham yang mirip pada agama Hindu, yang dianut dan
dikembangkan oleh “Sawerigading”.
Pada saat itu, kemajuan agama Islam di daerah Campalagian telah meningkat, sehingga Surau-surau (langgar) tadi itu, mulai dibongkar dan dijadikan dan diubah menjadi masjid, yang dipolopori oleh Habib Alwy bin Sahil tersebut bersama-sama Khadi Abdul Hamid dengan seorang yang berpengaruh bernama KARRU DAENNA PETTI yang pernah juga menjabat pangkat Mara’dia Campalagian.
E.
Hubungan Guru dengan Murid
Dalam dakwahnya sering ditemani
oleh Muhammad Thahir(Imam Lapeo). Habib Alwy merupakan guru dari Imam Lapeo (1). Imam lapeo yang nama
aslinya Junaihin
Namli, diganti namanya dengan sebutan Muhammad Thahir ketika
menjadi murid beliau. Pernah suatu ketika Habib Alwy bin Sahil mengajak
beberapa orang termasuk Imam Lapeo untuk “berhalwat” (mengasingkan diri dari
khalayak ramai) di suatu tempat, dan dari sekian banyak orang itu, Imam Lapeo
satu-satunya yang dapat bertahan menerima cobaan-cobaan yang muncul pada saat
berhalwat dan Habib Alwy bin Sahil berkata kepadanya :
“Kamu telah lulus, segala ilmu dzohir dan hakikat ada
padamu, dan kita bersaudara dunia akhirat”.
Ungkapan
kedua tokoh agama ini tidak hanya berlaku pada keduanya tapi sampai kepada anak
cucu dan keturunannya masih tetap terjalin persaudaraan dan silaturrrahmi
dengan baik.
Pernah
juga suatu ketika rombongan Habib Alwi beserta murid-muridnya dari Pambusuang datang
ke kampong Laliko
untuk menyebarkan agama islam sempat mendapat kendala dari warga setempat
dengan menembaki rombongan dengan senapan. Melihat keadaan tersebut, Imam Lapeo
pergi menghadapi mereka, seraya berkata :
“Kalian telah melakukan perbuatan
yang sia-sia dan konyol serta pengecut, menembaki habib yang tak bersenjata,
itu bukan perbuatan laki-laki sejati, jika ada yang berani hadapilah aku.”
Lalu
tampaklah seorang dari mereka yang berani menantang beliau, kemudian beliau
berkata :
“ Silahkan tusuk saya dengan tombakmu itu sebanyak tujuh
kali, selesai itu giliran saya menusukmu dengan tombak sebanyak tujuh kali
pula.”
Ternyata orang itu tidak kuasa melukai
(karena bantuan Allah SWT) walau sudah berusaha sekuat tenaga hingga putus asa,
tibalah giliran Imam Lapeo untuk menusuk sebanyak tujuh kali pula. Beliau
memegang tombak itu dengan gagah berani, namun dalam hatinya tiada terbetik
kecuali kematian dan tiada lagi kehidupan apabila benar-benar beliau
berkehendak menusuknya. Di saat beliau menatap orang itu, beliau menampakkan
rasa kasih sayang dan menjatuhkan tombak itu dan memaafkannya. Dengan kekuasaan
Allah, hati orang itu digerakkan bersama kelompoknya menyatakan tunduk, patuh
dan menjadi pengikutnya.
Melihat hal itu, Habib Alwi meminta
supaya Imam lapeo lah yang membina dan mengasuh masyarakat itu, mengeluarkan dari
jurang kebodohan dan dari keterbelakangan kepada pelaksanaan syariat islam yang
sebenar-benarnya. Habib
Alwi memberikan isyarat bahwa tempat ini menjadi tempat utama bagi beliau yang
akan datang, Habib lalu merestui dan mendo’akan. (2)
Habib Alwi punya kelebihan dan
keistimewaan, namun tidak banyak orang menyaksikan kelebihan dan karomah
beliau. Sesungguhnya karomah dan keistimewaan yang terbesar dimiliki oleh
seorang waliyyullah adalah “istiqomah”. Pernah suatu ketika ada
orang yang meninggal di suatu tempat dan para guru-guru agama (ulama) sudah
berangkat ke pemakaman dan meninggalkan Habib Alwi. Setelah jenasah diantar ke
kuburan, ternyata tidak bisa dikuburkan karena di sekitar kuburan itu dikerumuni
banyak serangga dan tidak tahu darimana asal muasalnya, sehingga
ada di antara jamaah mengusulkan agar menjemput “Puang Towa” (sebutan Habib
Alwi). Dengan kekuasaan Allah yang menyayangi kekasihnya, bersamaan kedatangan
beliau di tempat itu, serangga itu hilang seketika.
Habib Alwi bin Abdullah bin Sahl
Jamalullail (Puang Towa) wafat di Campalagian pada tanggal 9 April 1934 M bertepatan
tanggal 25
Dzulhijjah 1352 H, dan dimakamkan di Mesjid Besar Campalagian Desa
Bonde Kec Campalgiang Polewali Mandar Sulawesi Barat. Pada saat wafatnya,
jenasah beliau menjadi “rebutan” masyarakat Manjopai yang menghendaki beliau
dimakamkan di daerahnya, begitu juga masyarakat Pambusuang dan Masyarakat Lapeo
yang berkehendak sama dikebumikan di daerahnya masing-masing, namun setelah berembuk
dan melakukan dialog sehat, dengan ketidak restuan pihak Campalagian, akhirnya
disepakati serta diputuskan dimakamkan di Campalagian.
Tulisan ini tentang Manaqib Mutiara
Tarim Sampai Ke Tanah Mandar, Al’ Allamah Al Habib Alwi bin Abdullah bin Sahl
Jamalullail, merupakan bentuk kesyukuran dan nikmat yang besar yang penulis rasakan
dan mengajak khusunya anak cucunya dapat lebih mengenal dan mengikuti jejaknya,
bukan berarti larut membanggakan datuk-datuk kita tanpa mengikuti
langkah-langkahnya, sebagaimana dalam syair yang disampaikan Al Habib Zein bin
Ibrahim bin Smith, Al-Manhajus Sawiy Syarhul Ushul Thariqoh Al Saadatil Al- Ba’alawi,
hal 198 :
“Siapapun anda carilah adab, sebab adab yang baik itu
membuatmu tidak butuh dengan nasab. Sesungguhnya pemuda yang benar adalah
pemuda yang mengatakan inilah saya, bukan orang yang mengatakan inilah ayahku
(datuk-datukku)”.ziarah maqam habib alwi bin abdullah bin sahil (puang towa), bonde ~ campalagian |
ziarah maqam habaib ~ pambusuang |
maulid nabi Muhammad s.a.w. bersama mayjend. salim s. mengga alattas (duduk depan), di banua baru, wonomulyo - polman (2009) |
CAMPALAGIAN: Haul habib alwi bin abdullah bin sahil (puang towa), mesjid bonde ~ campalagian. |
selesai acara di mesjid kumpul di rumah habib alwi bin abdullah bin sahil (buyut), silaturahmi dengan keluarga yang lain. |
Haul Habib Alwi bin Abdullah bin Sahil. Sabtu : 02 Juli 2011
Keterangan :
(1) Lapeo merupakan salah satu desa
di Kecamatan Campalagian, Kabupaten Polewali Mandar - Sulawesi Barat
(2) Rahmadi Mansur, Artikel mengenal Imam Lapeo, Malunda, Sulawesi Barat
Sumber :
1. Manaqib Mutiara Tarim Sampai Ke Tanah Mandar, Al’ Allamah Al Habib Alwi bin Abdullah bin Sahl Jamalullail, Penulis Hasan Thohir bin Sahl, SPd.I
2. Mengenal sosok Habib Alwy bin Abdullah bin Sahil (Puang Towa) oleh Aniesh Mahdi
* Direvisi ulang : Abdkadir Alhamid
abdkadiralhamid@2013
0 Response to "Manaqib Mutiara Tarim Sampai Ke Tanah Mandar, Al’ Allamah Al Habib Alwi bin Abdullah bin Sahl Jamalullail"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip