Takhrij Hadits secara global
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, juga
dikeluarkan oleh Imam Ahmad, at-Turmuzi, Ibnu Majah, an-Nasai dan Ibnu
Hibban.
Makna hadits secara global
Dalam hadits diatas, Rasulullah menjelaskan bahwa salah satu dari
ciri kesempurnaan iman seseorang adalah dia memberikan porsi kecintaan
terhadap saudara nya se-iman melebihi cintanya pada dirinya sendiri.
Penjelasan tambahan
Dalam riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad terdapat penjelasan
tentang makna penafian iman dalam hadits diatas yaitu menafikan
pencapaian hakikat dan puncak keimanan karena banyak sekali disebutkan
dalam hadits-hadits Nabi tentang penafian iman lantaran tiada
terpenuhinya sebagian dari rukun-rukun dan kewajiban-kewajiban yang
terkait dengannya. Seperti dalam makna sabda beliau: "Tidaklah seorang
pezina melakukan perbuatan zina ketika dia melakukannya; sedangkan dia
dalam keadaan beriman, dan tidaklah seorang pencuri melakukan pencurian
ketika dia mencuri; sedangkan dia dalam keadaan beriman, dan tidaklah
meminum khamar/arak ketika dia meminumnya; sedangkan dia dalam keadaan
beriman". Juga dalam seperti dalam sabdanya yang lain: "Tidaklah beriman
(sempurna imannya) orang yang tetangganya tidak aman dari
ucapan-ucapannya".
Hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik diatas, menunjukkan
bahwa seorang Mukmin merasa senang dan gembira bila saudaranya se-iman
merasakan hal yang sama dengan yang dia rasakan. Begitu juga, dia ingin
agar saudaranya itu mendapatkan kebaikan seperti yang dianugerahkan
kepadanya. Hal ini bisa terealisasi manakala dada seorang Mukmin secara
sempurna terselamatkan dari penyakit dengki dan ngibul. Sebab sifat
dengki mengindikasikan bahwa si pendengki tidak suka bila kebaikan
seseorang melebihi dirinya atau bahkan menyamainya. Dia ingin agar
kelebihan yang ada padanya selalu diatas orang lain dan tidak ada orang
yang menyainginya sedangkan keimanan mengindikasikan sebaliknya; yaitu
agar semua orang-orang yang beriman sama-sama diberikan kebaikan seperti
dirinya tanpa dikurangi sedikitpun. Oleh karena itu, dalam KitabNya
Allah memuji orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat
kerusakan di muka bumi. Dia Ta'ala berfirman: "Negeri akhirat itu, Kami
jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan
berbuat kerusakan di (muka) bumi..". (Q.,s. 28/al-Qashash: 83).
Diantara hadits yang semakna dengan hadits Anas diatas, adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Mu'adz, bahwasanya dia
bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam tentang iman
yang paling utama, maka beliau bersabda: "iman yang paling utama adalah
engkau mencintai karena Allah dan membenci karena Allah, engkau
pekerjakan lisanmu dalam berzikir kepada Allah". Mereka lantas bertanya :
kemudian apa lagi wahai Rasulullah! , beliau menjawab: "engkau
mencintai manusia sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri dan engkau
benci (sesuatu yang buruk terjadi) terhadapnya sebagaimana engkau
membenci hal itu terjadi terhadap dirimu, dan engkau berkata dengan
perkataan yang baik atau engkau diam". Namun dalam memaparkan hadits
ini, Mushannif memakai lafazh "ruwiya" dimana dalam istilah hadits
merupakan bentuk yang menunjukkan "tamridh" alias hadits ini masih
dipertanyakan keshahihannya dan kevalidan sumbernya meskipun dari sisi
makna adalah shahih.
Implikasi dari terpatrinya sifat iman diatas
Diantara implikasi dari tercapainya keimanan melalui sifat mencintai
saudara se-iman seperti tersebut diatas adalah bahwa sifat tersebut
dapat membawa pemiliknya masuk surga. Hal ini dipertegas dalam
hadits-hadits lain, diantaranya: hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dari Yazid bin Asad la-Qasri, dia berkata: Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam bersabda kepadaku: "apakah kamu menginginkan surga?,
aku berkata: Ya, lalu beliau bersabda: "oleh karena itu, cintailah
saudaramu sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri". Begitu juga
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari 'Abdullah bin 'Amru bin
al-'Ash dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:
"barangsiapa yang ingin agar dirinya dijauhkan dari api neraka dan
dimasukkan ke surga, maka hendaklah saat dia menemui ajalnya dalam
keadaan beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dan dia memberikan kepada
manusia sesuatu yang dia suka hal itu diberikan kepadanya".
Hal ini juga diterapkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dzar al-Ghifari, dia
berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadaku:
"wahai Abu Dzar! Sesungguhnya aku melihatmu seorang yang lemah, dan aku
mencintaimu sebagaimana aku mencintai diriku sendiri; janganlah engkau
menjadi amir (pemimpin) atas dua orang, dan janganlah pula engkau
menjadi wali atas harta anak yatim". Mengomentari hadits ini, Mushannif
mengatakan bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wasallam melarang Abu Dzar
untuk melakukan hal tersebut lantaran beliau memandang bahwa dia (Abu
Dzar) merupakan sosok yang lemah dalam hal itu (memimpin/leadership),
sedangkan beliau mencintai setiap orang yang lemah, termasuk Abu Dzar
sendiri. Adapun kenapa beliau dapat menjalankan tugas mengatur urusan
orang banyak, hal itu karena Allah telah memberikan kekuatan kepada
beliau untuk melakukannya, dan memerintahkan kepada beliau untuk
mengajak seluruh makhluk agar loyal terhadapnya serta mengembankan tugas
kepada beliau untuk mengarahkan urusan agama dan dunia mereka.
Ada riwayat dari 'Ali bin Abi Thalib yang intinya menunjukkan bahwa
dia merealisasikan hadits Anas diatas sebagaimana Rasul juga telah
merealisasikannya, namun riwayat tersebut masih dipertanyakan
keshahihannya bahkan ada yang mengatakan kualitasnya lemah sekali.
Permasalahan hadits
Ada beberapa permasalahan yang terkait dengan hadits diatas:
1)Masalah pelaku dosa-dosa besar (Murtakibul Kaba-ir)
Para Ulama berbeda pendapat mengenai pelaku dosa-dosa besar; apakah
dia seoraang Mukmin tetapi iman nya kurang ataukah dia tidak dinamakan
sebagai seorang Mukmin tetapi disebut sebagai seorang Muslim?. Dalam hal
ini terdapat dua pendapat yang keduanya merupakan riwayat dari Imam
Ahmad.
Sedangkan terhadap pelaku dosa-dosa kecil (Murtakibush Shagha-ir),
maka lebel "iman" tidak hilang darinya secara keseluruhan tetapi dia
adalah seorang Mukmin yang kurang imannya dan kekurangan ini terjadi
sesuai dengan dosa yang dilakukannya.
Mengenai pelaku dosa-dosa besar diatas, pendapat yang mengatakan
bahwa pelaku dosa-dosa besar adalah seorang Mukmin yang kurang imannya
berasal dari Jabir bin Abdullah (seorang shahabat), Ibnu Mubarak, Ishaq
bin Rahawaih, Abu 'Ubaid, dan lain-lain. Sementara itu, pendapat kedua
yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar adalah seorang Muslim bukan
Mukmin berasal dari Abu Ja'far, Muhammad bin 'Ali. Mushannif menyebutkan
bahwa ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa pendapat ini merupakan
pendapat yang dipilih oleh Ahlus Sunnah.
Berkaitan dengan iman, Abdullah bin Rawahah, Abu Darda', Imam Ahmad
dan lain-lain menyatakan bahwa iman itu seperti baju yang terkadang
dipakai oleh seseorang dan terkadang pula dicopotnya. Menurut Mushannif,
makna dari ucapan diatas adalah: bila seseorang telah dapat
menyempurnakan sifat keimanan maka dia akan memakainya dan bila keimanan
tersebut berkurang sedikit maka dia akan mencopotnya. Hal ini semua
mengisyaratkan dapat terealisasinya iman yang benar-benar sempurna yang
tidak kurang sesuatupun dari kewajiban-kewajiban yang berkaitan
dengannya. Maksudnya, bahwa diantara ciri-ciri sifat iman yang wajib
adalah seseorang mencintai saudaranya se-iman sama seperti dia mencintai
dirinya sendiri. Begitu pula, dia tidak suka bila sesuatu terjadi
terhadapnya sama seperti dia tidak suka hal itu akan terjadi terhadap
dirinya. Bila perasaan semacam itu telah hilang dari jiwanya, maka
karenanya pula imannya akan berkurang. Terdapat hadits yang mendukung
makna tersebut, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dari
Waatsilah bin al-Asqa' dari Abu Hurairah, Nabi Shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Cintailah manusia sebagaimana engkau mencintai diri
sendiri maka engkau akan menjadi seorang Muslim".
2)Masalah orang yang menyombongkan diri dan berbuat kerusakan seperti yang disinggung dalam ayat 83 surat al-Qashash diatas
Dalam ayat 83 surat al-Qashash diatas disebutkan bahwa " Negeri
akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin
menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi..".
Ada yang mengatakan bahwa ayat tersebut berlaku bila seseorang ingin
menyombongkan diri atas orang lain bukan karena hanya sekedar
menonjolkan keindahan (berindah-indah) semata. 'Ikrimah dan para
Mufassir lainnya mengomentari ayat ini dengan mengatakan: (maksudnya)
kesombongan di muka bumi adalah takabbur/berlaku sombong dan mencari
kemuliaan serta kedudukan di sisi penguasa. Sedangkan maksud dari
berbuat kerusakan dalam ayat tersebut adalah melakukan perbuatan
maksiat.
Dalam kaitannya dengan hal diatas, banyak hadits yang menyatakan
bahwa orang yang tidak suka orang lain melebihi kecantikan/ketampanan
dirinya tidak berdosa. Diantaranya, hadits yang dikeluarkan oleh Imam
Ahmad dan al-Hakim dari Ibnu Mas'ud radhiallâhu 'anhu, dia berkata: aku
mengunjungi Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam yang saat itu disampingnya
ada Malik bin Mararah ar-Rahawi, lantas aku memergokinya berkata kepada
Rasulullah: wahai Rasulullah! Engkau telah mellihat bahwa Allah telah
memberikan ketampanan kepadaku dan aku tidak suka seorang pun yang
melebihiku meskipun seukuran dua pasang sandal atau lebih, apakah hal
ini termasuk perbuatan melampaui batas? Beliau bersabda: "tidak, ini
bukan termasuk perbuatan melampaui batas, tetapi yang dikatakan melampau
batas itu adalah orang yang menolak dan mengingkari kebenaran. (perawi
mengatakan: atau sabda beliau-red) orang yang meremehkan kebenaran dan
menyombongkan diri terhadap manusia".
Dalam hadits ini Rasulullah menafikan ketidaksukaan terhadap orang
yang melebihi diri seseorang dalam keindahan rupa termasuk kategori
"baghy" (melampaui batas) atau "kibr" (menyombongkan diri). Bahkan
beliau menafsirkan keduanya dengan: "menolak dan mengingkari kebenaran
dan takabbur. Juga menolak untuk menerimanya secara sombong bila
bertentangan dengan hawa nafsunya". Oleh karenanya, sebagian Salaf
berkata: Tawadhu' adalah menerima kebenaran dari siapa saja yang
membawanya meskipun lebih muda/kecil; barangsiapa yang menerima
kebenaran dari siapa saja yang membawanya meskipun dia muda atau tua,
menyukai atau membencinya maka dia adalah Mutawaadhi' (orang yang
memiliki sifat tawadhu') sedangkan orang yang menolak untuk menerima
kebenaran secara sombong maka dia adalah Mutakabbir (seorang yang
memiliki sifat sombong).
3)Masalah tahadduts dengan nikmat
Jika seseorang mengetahui bahwa Allah menganugerahkan keistimewaan
kepada dirinya yang tidak dimiliki oleh orang lain lantas dia
meceritakan hal itu kepada orang banyak demi kepentingan yang bersifat
keagamaan dan dia menceritakan hal itu dalam rangka tahadduts binni'am
(menceritakan nikmat) yang diberikan kepadanya. Dalam hal ini juga dia
melihat bahwa dirinya belum maksimal dalam bersyukur maka hal ini adalah
boleh.
Sikap semacam ini ditunjukkan oleh Ibnu Mas'ud saat berkata:
"sepanjang pengetahuanku, tidak ada orang yang lebih mengetahui
Kitabullah dari diriku". Meskipun begitu, hal ini tidak menghalangi
dirinya untuk selalu menginginkan agar orang-orang dapat menyamainya
dalam keistimewaan yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya tersebut.
Begitu juga, Ibnu 'Abbas pernah berkata: "sesungguhnya saat aku mengkaji
dan memahami ayat per-ayat dari Kitabullah, maka kala itu juga aku
ingin agar semua orang mengetahui apa yang aku ketahui". Demikian juga
dengan Imam asy-Syafi'i saat dia berkata: "aku ingin agar orang-orang
yang mempelajari ilmu ini (apa yang ia tulis dalam bukunya, dsb) tidak
menisbatkannya kepadaku".
Secara global,
hendaklah seorang Mukmin mencintai kaum Mukminin sebagaimana dia
mencintai dirinya sendiri, begitu pula dia tidak suka sesuatu yang jelek
terjadi terhadap mereka sebagaimana dia tidak suka hal itu terjadi pada
dirinya. Jika dia melihat ada kekurangan dalam masalah agama pada
saudaranya se-Islam maka dia berupaya dengan serius untuk sedapat
mungkin memperbaikinya.
Dalam hal ini, sebagian Salaf menyatakan bahwa orang-orang yang
mencintai saudaranya karena Allah, mereka akan memandang dengan Nur
Allah, mereka amat prihatin terhadap kemaksiatan yang dilakukan oleh
orang-orang yang berbuat maksiat, mencerca perbuatan tersebut dan
berupaya merubahnya melalui nasihat, menyayangkan bila raga mereka
dibakar oleh api neraka.
Seorang Mukmin tidak dikatakan sebagai sebenar-benar Mukmin hingga
dia rela bila orang lain mendapatkan sesuatu yang baik sebagaimana dia
rela hal itu dia dapatkan juga, dan tidak lah dia dikatakan sebagai
Mukmin bila melihat kelebihan yang ada pada orang lain melebihi dirinya
kemudian dia bercita-cita ingin mendapatkan kelebihan itu pula namun
bila kelebihan tersebut dalam masalah yang bersifat keagamaan maka hal
itu adalah baik sebab Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam juga pernah
bercita-cita mendapatkan kedudukan yang dicapai melalui mati syahid.
Karenanya, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah
boleh mendengki kecuali terhadap dua spesifikasi: seorang yang dikarunia
oleh Allah dengan harta, lalu dia infaqkan harta tersebut sepanjang
siang dan malam; dan seorang yang dikaruniai oleh Allah dengan Al-Qur'an
lalu dia membacanya (dengan mentadabburinya) sepanjang malam dan
siang".
Dalam hadits yang lain dijelaskan juga bahwa orang yang melihat
saudaranya menafkahkan hartanya di jalan ketaatan, kemudian dia berkata
pada dirinya: "andaikan saya memiliki harta seperti itu niscaya akan
saya lakukan begini dan begitu (di jalan ketaatan)", maka orang tersebut
mendapatkan pahala yang sama dengan orang yang memiliki harta dan
menafkahkan hartanya tersebut di jalan ketaatan. Akan tetapi hal ini
tidak berlaku dalam masalah duniawi dan tidak baik bercita-cita seperti
itu (lihat Q.,s. al-Qashash: 79-80).
Yang jelas, hendaknya seorang Mukmin bersedih bila dia tidak dapat
melakukan dan mendapatkan kelebihan dalam hal yang bersifat keagamaan,
oleh karena itu diperintahkan kepadanya dalam hal ini untuk memandang
kepada orang yang lebih dari dirinya dan berlomba-lomba untuk
mendapatkannya dengan seluruh kekuatan dan kemampuan yang ada padanya.
Allah berfirman: "…dan untuk yang demikian itu hendaknya orang
berlomba-lomba". (Q.,s. 83/al-Muthaffifiin: 26). Dia tidak boleh
membenci siapapun yang menyamainya dalam hal ini bahkan amat senang bila
semua orang berlomba-lomba di dalamnya dan mengajak orang kepada hal
itu.
Inilah tingkatan yang sempurna dalam memberi nashihat kepada kaum
Muslimin. Al-Fudhail bin 'Ayadh berkata: "jika kamu ingin agar orang
lain sepertimu maka kamu dianggap belum melaksanakan nasihat karena
Tuhanmu, bagaimana tidak? Sebab (dengan begitu berarti) anda ingin agar
kondisi mereka di bawah anda". Disini al-Fudhail mengisyaratkan bahwa
memberi nasihat kepada mereka artinya dia ingin agar mereka melebihi
dirinya.
Dan inilah kedudukan dan tingkat yang tinggi dalam memberikan
nasihat namun hal ini bukan merupakan suatu kewajiban. Sebenarnya yang
diperintahkan oleh syara' adalah keinginannya agar mereka sama seperti
dirinya, meskipun demikian bila seseorang melebihi dirinya dalam masalah
yang bersifat keagamaan maka dia mesti berusaha untuk mendapatkannya
dan bersedih atas ketidak maksimalannya di dalamnya. Hal semacam ini
bukan dikategorikan sebagai hasad (dengki) atas karunia yang diberikan
oleh Allah kepada mereka akan tetapi dalam rangka berlomba-lomba dengan
mereka dalam kebaikan.
Bila seorang Mukmin merasa bahwa dirinya masih belum maksimal dalam
menggapai kedudukan yang tinggi dalam masalah yang bersifat keagamaan,
maka dia akan mendapatkan dua keuntungan: Pertama , dia akan berupaya
untuk mendapatkan kedudukan tersebut dan ingin terus meningkatkannya.
Kedua, dia selalu melihat dirinya masih memiliki kekurangan; hal ini
berimplikasi kepada sikap ingin agar kaum Mukminin lebih baik dari
dirinya karena dia tidak rela kondisi mereka sama seperti dirinya
tersebut sebagaimana ketidakrelaannya dengan apa yang terjadi terhadap
dirinya bahkan dia akan berusaha memperbaikinya.
Muhammad bin Waasi' berkata kepada anaknya: " mudah-mudahan Allah
tidak memperbanyak di kalangan kaum Muslimin orang seperti bapakmu ini".
Dengan demikian, bilamana seseorang tidak rela terhadap dirinya maka
bagaimana mungkin dia menginginkan kaum Muslimin sama kondisinya seperti
dirinya dan memberikan nasihat kepada mereka? Bahkan selayaknyalah dia
menginginkan agar kondisi mereka lebih baik dari dirinya dan ingin agar
kondisi dirinya selalu lebih baik dari kondisi yang tengah dialaminya.
Intisari Hadits
- Hendaknya seorang Mukmin
mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri, begitu
pula dia tidak suka bila saudaranya mendapatkan sesuatu yang tidak baik
sebagaimana dia tidak suka hal itu terjadi pada dirinya.
- Syara' memerintahkan agar seorang Mukmin selalu
menginginkan saudaranya mendapatkan kelebihan yang sama seperti yang
Allah anugerahkan kepadanya, namun adalah merupakan tingkatan memberi
nasihat yang tinggi bila dia ingin agar saudaranya itu melebihi dirinya
dalam hal tersebut.
- Berlomba-lomba dalam ketaatan dan kebaikan bukan termasuk melampaui batas dan hal yang dilarang bahkan dianjurkan.
- Menceritakan nikmat yang dianugerahkan oleh Allah kepada kita dalam rangka bersyukur adalah dibolehkan. Wallaahu a'lam
0 Response to "Mencintai Saudara Se-iman Melebihi Cinta Kepada Diri Sendiri"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip