Wadi'ah
(Menitipkan Barang)
A. Pengertian dan Hukum dan dalil Wadi’ah
1.
Pengertian
Wadi’ah
a)
Secara Etimologi
Secara etimologi wadi’ah ( الودعة) berartikan titipan (amana) Coba
kita lihat di beberapa surat dalam alqur’an Allah memaknakan wadi’ah
dengan amanah.
b)
Secara terminology
Secara terminology atau definisi istilah menurut mazhab
hanafi, maliki dan hambali. Ada dua
definisi wadi’ah yang dikemukakan ulama fikih.
Ulama mazhab hanafi mendefinisikannya:
تسليط الغير
على حفظ ماله صريحا أ و دلا لة
“mengikutsertakan orang lain dalam memelihara
harta, baik dengan uangkapan yang jelas maupun melalui isyarat”.
Umpama seraoang mengatakan: “saya titpkan tas saya ini pada anda”. Lalu
dijawab “saya terima”. Dengan demikian, sempurnalah akad wadi’ah. Mungkin juga
dengan cara: “saya titipkan tas saya ini
pada anda” tetapi orang yang dititipi diam saja (tanda setuju).
Mazhab Syafi’i, Maliki dan Hambali (jumhur ulama) mendefinisikannya:
تو كيل في
حفظ مملوك على وجه مخصوص
“mewakilkan
orang lain untuk memelihara harata tertentu dengan cara tertentu”.
c)
Menurut
istilah wadi’ah dapat diartikan sebagai akad yang dilakukan oleh kedua belah
pihak orang yang menitipkan barang kepada orang lain agar dijaga dengan baik.
d)
Di dalam
ensiklopedi hokum islam mengenai wadi’ah secara bahasa bias dimaknai
meninggalkan atau meletakkan, yaitu meninggalkan atau meletakkan sesuatu kepada
orang lain untuk menjaganya dengan baik. Sedangkan menurut istilah ialah
memberikan kekuasaan sepenuhnya kepada orang lain untuk menjaga barangnya
dengan cara terang-tengan kepada si pemilik barang tersebut.
2.
Hukum dan Dalil
Wadi’ah
Ulama
fikih sependapat, bahwa wadi’ah adalah sebagai salah satu akad dalam rangka
tolong menolong antara sesame manusia.
Sebagai
landasannya firman Allah SWT.:
ان الله ياءمركم ان تؤدواالامنت الى
اهلها ...(النساء:58)
“sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya ....
(an-Nisa: 58)
Menurut para mufasir, ayat ini
berkaitan dengan penitipan kunci Ka’bah kepada Usman bin Talhah (seorang
sahabat Nabi) sebagai amanat dari Allah SWT.
Dalam ayat lain disebutkan:
...
فليؤدالذىاؤتمنامنته واليتق الله ربه ...(البقرة:283)
“..... Hendaklah
orang dipercayai itu menunaikan amanat .... (al-Baqarah: 283).
Di dalam hadits Rasulullah disebutkan:
اد الأمانة
االى من ائتمنك ولا تخن من خنك (رواه أبو داود والتر ميذى والحاكم)
“Hendaklah
amanat orang yang mempercayai anda dan janganlah anda menghianati orang yang
menghianati anda.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Hakim).
Dari ayat-ayat
dan hadits-hadits diatas, para ulama sepakat mengatakan, akad wadi’a (titipan)
hukumnya mandub (disunatkan), dalam hal
tolong-menolong sesama manusia. Oleh sebab
itu Ibnu Qudamah (ahli fikir mazhab hanafi) menyatakan bahwa sejak zaman
Rasulullah sampai generasi ke gerasi berikutnya, wadi’ah telah menjadi ijma’
‘amali (الا جماع العملى), yaitu telah menjadi keperilaku kebiasaan dengan
menitipkan barang kepada orang lain.
B. Syarat dan Rukun Wadi’ah
A.
Rukun Wadi’ah
Menurut ulama
ahli fiqh imam abu hanafi mengatakan bahwa rukun wadi’ah hanyalah ijab dan
qobul. Namun menurut jumhur ulama
mengemukakan bahwa rukun wadi’ah ada tiga yaitu:
1.
Orang yang berakad
2.
Barang titipan
3.
Sighah, ijab dan kobul
B.
Syarat
1.
Orang yang berakad
Orang yang berakad hendaklah orang yang sehat (tidak gila)
diantaranya yaitu:
a.
Baligh
b.
Berakal
c.
Kemauan sendiri, tidak dipaksa
Dalam mazhab Hanafi baliqh dan berakal tidak dijadikan
syarat dari orang yang sedang berakad, jadi anak kecil yang dizinkan oleh
walinya boleh untuk melakukan akad wadi’ah ini.
2.
Barang titipan
Barang yang dititipkan harus jelas dan dapat dipegang atau
dikuasai, maksudnya ialah barang itu haruslah jelas identitasnya dan dapat
dikuasai untuk dipelihara.
3.
Sighah (akad)
Syarat sighah yaitu kedua belah pihak melafazkan akad yaitu
orang yang menitipkan (mudi’) dan orang yang diberi titipan (wadi’)
C. Macam-macam Wadi’ah
a)
Wadi’ah
yad-amanah
Para ulama ahli fiqh mengatakan bahwa akad wadi’ah bersifat mengikat
kedua belah pihak. Akan tetapi, apakah orang yang tanggung jawab memelihara
barang itu bersifat ganti rugi (dhamaan=الضمان).
Ulama fikih sepakat, bahwa status wadi’ah bersifat amanat, bukan
dhamaan, sehingga semua kerusakan penitipan tidak menjadi tangggung jawab pihak
yang menitipi, berbeda sekiranya kerusakan itu disengaja oleh orang yang dititipi,
sebagai alasannya adalah sabda Rasulullah:
ليس على
المسودع غير المغل ضمان (رواه البيهقى و الدار قطنى)
“orang yang dititipi barang, apabila tidak melakukan pengkhianatan tidak
dikenakan ganti rugi.” (HR. Baihaqi dan Daru-Quthni)
Dalam riwayat
lain dikatakan:
(قطنيى الداررواه) مؤتمن على لاضمان
“tidak ada ganti rugi terhadap orang yang dipercaya memegang amanat.”
(HR. Daru-Quthni”.
Dengan demikian, apabila dalam akad wadi’ah ada disyaratkan untuk ganti
rugi atas orang yang dititipi maka akad itu dianggap tidak sah. dan orang yang
dititipi pun juga harus menjaga amanat dengan baik dan tidak menuntut upah
(jasa) dari orang yang menitipkan.
b)
Wadi’ah
yad-dhamanah
Akad ini
bersifat memberikan kebebasan kepada pihak penerima titipan dengan atau tanpa
seizin pemilik barang dapat memanfaatkan barang dan bertanggung jawab terhadap
kehilangan atau kerusakan pada barang yang dinggunakannya.
D. Hukum Menerima Benda Titipan
Hukum menerima benda titipan dapat di bagati atas 5
yaitu:
1. Haram
Hukum menerima
benda titipan dapat berhukum haram jika orang yang dititipi yakin dirinya akan
berkhiyanat.
2. Makruh
Hukum menerima
benda titipan dapat berhukum makruh jika orang yang dititipi khawatir akan
berkhianat (was-was).
3. Mubah
Hukum menerima
benda titipan dapat berhukum mubah (boleh) jika seorang mengatakan kepada si
penitip bahwa dirinya khawatir akan berkhianat namun si pentitip yakin dan
tetap mempercayai bahwa orang tersebut dapat diberikan amanah.
4. Wajib
Hukum menerima
benda titipan dapat berhukum wajib jika tidak ada orang jujur dan layak selain
dirinya.
E. Wadi’ah yad-Amanah Berubah Menjadi
Wadi’ah yad-Dhamanah
Kemungkinan
perubahan sifat amanat berubah menjadi wadi’ah yang bersifat dhamanah (ganti
rugi). Yaitu kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah:
1.
Barang itu
tidak dipelihara oleh orang yang dititipi. Dengan demikian halnya apabila ada
orang lain yang akan merusaknya, tetapi dia tidak mempertahankannya, sedangkan
dia mampu mengatasi (mencegahnya).
2.
Barang titipan itu dimanfaatkan oleh
orang yang dititipi, kemudian barang itu rusak atau hilang. Sedangkan barang
titipan seharusnya dipelihara, bukan dimanfaatkan.
3.
Orang yangdititipi mengingkari ada
barang titipan kepadanya. Oleh sebab itu, sebaiknya dalam akad wadi’ah
disebutkan jenis varangnya dan jumlahnya ataupun sifat-sifat lain, sehingga
apabila terjadi keingkaran dapat ditunjukkan buktinya.
4.
Orang yang
menerima titipan barang itu, mencampuradukkan dengan bangan pribadinyam
sehingga sekiranya ada yang rusak atau hilang, maka sukar untuk
menentukannya, apakah barangnya sendiri yang rusak (hilang) atau barnag titipan
itu.
5.
Orang yang menerima titipan itu
tidak menepati syarat-syarat yang dikemukakan oleh penitip barang itu, seperti
tempat penyimpanan dan syarat-syarat lainnya.
F. Keuntungan (Laba) dalam Wadi’ah
Beberapa ulama
berpendapat mengenai pengambilan laba atau bonus dalam wadi’ah, yaitu:
1.
Menurut ulama
syafi’iyah, tidak boleh mengambil keuntungan atau bonus yang tidak disyaratkan
diawal akad ketika memanfaakan barang yang dititipkan dan akadnya bisa
dikatakan gugur.
2.
Menurtu ulama
maliki dan hambali dapat menerima bonus yang diberikan oleh orang yang
dititipi.
3.
Sedangkan
imbalan yang diterima dari bank berupa bunga, maka ulama Hanafiah mengatakan
keuntungan tersebut harus disedekahkan, sedangkan menurut ulama maliki
keuntungan tersebut harus diserahkan ke baitul mal (kas negara).
G. Jaminan Wadiah
1.
Menurut ulama
malikiyah, sebab adanya jaminan adalah:
a.
Menitipkan
barang selain penerimaan titipan (wadi’) tanpa uzur sehingga ketika minta
dikembalikan, wadiah sudah hilang
b.
Pemindahan wadi’ah
dari negara kenegara lain berbeda dengan pemindahan dari rumah kerumah
c.
Mencampur
adukkan eadiah dengan sesuatu yang tidak bisa dibedakan
d.
Pemanfaatan
wadiah
e.
Meletakkan
titipan pada tempat yang memungkinkan untuk hilang atau rusak.
f.
Menyalahi cara
pemeliharaan.
2.
Menurut ulama
syafi’iyah sebab adanya jaminna adalah:
a.
Meletakkan
wadiah pada orang lain tanpa izin
b.
Meletakkan pada
tempat yang tidak aman
c.
Pemindahan
ketempat yang tidak aman
d.
Melalaikan
kewajiban menjaganya
e.
Berpaling dari
menjaga sehingga barang rusak
f.
Memanfaatkan
wadiah
3.
Menurut ulama
hanabilah, sebab adanya jaminan adalah:
a.
Menitipkan pada
orang lain tanpa ada uzur
b.
Melalaikan pemeliharaan
barang
c.
Menyalahi
pemeliharaan yang telah disepakati
d.
Mencampurkan
dengan barang yang lain sehingga sulit untuk dihilangkan
e.
Pemanfaatan
barang
H. Aplikasi dalam LKS dan Fatwa DSN
Beberapa
aplikasi LKS dan fatwa DSN antara lain sebagai berikut:
1.
Wadiah sering
dipraktekkan dan dikembangkan oleh bank syariah.
2.
Priduk yang
ditawarkan bank syariah menggunakan konsep wadiah biasanya berkaitan dengan
penghimpunan dana (found), seperti giro, SWBI, tabungan, Save deposit box
(SDB), dan deposito, deposit memakai prinsip mudharabah, sedangkan yang lainnya
menggunakan prinsip wadiah.
3.
Wadiah
yad-Damanah bisa dikatakan qordul hasan.
4.
Giro wadiah
adalah giro yang dijalankan berdasarkan akad wadi’ah, yaitu murni tidap
saat dapat diambil jika di penitip.
5.
Fatwa Dewan
Syariah Nasional tentang giro No:01/DSN-MUI/IV/2000.
6.
Fatwa Dewan
Syariah Nasional tentang No:02/DSN-MUI/IV/2000.
7.
Tabungan wadiah
adalah tabungan yang dijalankan berdasarkan akad wadiah.
8.
Sertifikat
Wadiah Bank Indonesia dan Fatwa Dewan Syariah Nasional No:36/DSN-MUI/X/2002.
9.
Penghapusan
SWBI menjadi Ijarah. Bank Syariah myang menempatkan dana di BI telah berperan
mendukung stabilitas moneter, dan diberi upah oleh BI sebesar misalnya 8,78%.
Dalam perbankan
juga terdapat save deposit box dengna FDSN No:24/DSN-MUI/III/2002.
DAFTAR PUSTAKA
Ali M. Hasan. 2003. Berbagai
Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh mu’amalat). Rajawali Pers. Jakarta.
Ghazaly Rahman
Abdul, dkk. 2010. Fiqh Muamalat. Kencana. Jakarta
Muslich Wardi
Ahmad. 2010. Fiqh Muamalat. Amzah. Jakarta
Nas’adi dan
Ghufron. 2002. Fiqih Muamalat Kontekstual. Edisi ke-1. Rajawali Pers. Jakarta.
Nuhayati Sri, Wasilah. 2008. Akuntansi Syariah di Indonesia. Salemba Empat. Jakarta.
abdkadiralhamid@2014
0 Response to "Wadi'ah (Menitipkan Barang) "
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip