//

PERJALANAN JAUH YUSUF BIN ABID ALHASANI BERTEMU SYECH ABUBAKAR BIN SALIM


Perjalanan Jauh dari Maroko, Mesir ke Hadramaut Yusuf Al Fasi bin Abid Alhasani bertemu Guru Spiritualnya, Fahrul Wujud Assyech Abubakar bin Salim

Menuju Hadramaut

Negeri dan Keluarga Yusuf bin ‘Abid Dalam mukaddimah, ini aku akan men­ceritakan secara sederhana tentang sebab-sebab perjalananku dari negeri Maroko menuju ke daerah Yaman dan Hadramaut. Semua itu karena panjangnya perjalananku dan ketakutanku akan kematian yang datang secara mendadak. Aku ingin menceritakan alasan perjalananku dari negeri Maroko ke negeri Timur, sebagaimana al-lmam al-Manshurbillah dan para Imam lainnya yang menceritakan alasan perjalanan al-lmam Idris bin Abdullah bin al-Hasan al-Mutsanna menuju ke Maroko. Maka aku akan menceritakannya dengan per­tolongan dan taufik dari Allah Swt sebagai berikut: Ketahuilah wahai saudaraku di jalan Allah, semoga Allah menjadikan kita tergolong mereka yang saling mencintai karena Allah, begitu pula aku dan mereka yang ingin mengambil manfaat dari alasan perjalananku. Demikian pula dari pembahasan lain semenjak kelahiranku hingga hari ini seperti dari letak kotaku, orang-orang yang merupakan keturunan al-lmam Idris, dan lain-lainnya. Kelahiranku ada di batas tahun enam puluh lima dan enam puluh enam pada abad kesepuluh. Aku lahir di sekitar al-Faidhah, yaitu daerah yang terletak di antara kota Fas dan kota Talmasan yang berjarak sekitar lima marhalah (± 207 Km – Penerj.). Ada sebuah daerah yang makmur bernama Anqad. Di sana terdapat kabilah, golongan dan banyak suku-suku. Diantaranya terdapat kabilah Zanatih’ dengan jumlah besar yang tinggal di daerah al-Faidhah dan al-Bahri Marilah kita kembali kepada pembahasan me­ngenai diriku di atas. Aku lahir pada tahun kelima puluh atau keenam puluh di abad kesepuluh. Selama sepuluh tahun aku berada di antara kedua orang tuaku, hingga wafatlah ayahku. Kami adalah penduduk Khudur, tetapi ayahku dikuburkan di al-Faidhah. Saudara-saudaraku memilih kuburan di kota al-Faidhah karena di sana terdapat kubur anak-anak paman-paman kami yang dikenal dengan anak-anak Yahya bin Ibrahim bin Abu Wakil. Kubur ayahku di tempat itu, dipindahkan dari sebuah tempat yang bernama Matslil yang merupakan suatu lembah yang masih bagian dari negeri Anqad dan berjarak sekitar dua pertiga marhalah (± 28 Km) atau lebih. Saudaraku Muhammad bin Abid telah wafat mendahului ayahku dan dikuburkan di tempat itu pula. Ibuku bernama Manshurah binti Abdullah bin Umar. Ayahku adalah anak paman ibuku dari keluarga ayahnya (sepupunya). Saat ayahku wafat, ibuku masih muda dan bersabar mengharap kebaikan Allah dan pahala seperti yang diriwayatkan di dalam sebuah hadits tentang keutamaan seorang wanita yang bersabar atas anak-anaknya yang telah yatim”. Anak-anak ibuku saat itu lima orang; Zuhrah. Muhammad, aku Yusuf, Fathimah, dan Abu al-Qasim yang masih kecil. Paling tua di antara kami adalah saudariku Zuhrah yang saat itu berusia tiga belas tahun. Kami juga memiliki saudara dari ibu lain bernama Fathimah binti al-‘lyath yang berasal dari kabilah Zanatih. Yang tertua di antara mereka adalah Muhammad yang telah wafat sebelum ayahku dan seorang wanita yang wafat pula sebelum ayahku. Saudariku itu menikah dengan anak pamannya (sepupu) dari pihak ayah yang bernama Yahya bin Ali bin Abdullah bin Umar dan ia tak memiliki anak seorang pun. Selain mereka adalah Musa dan Ali. Keduanya telah menikah dan memiliki anak serta cucu yang lahir di tahun wafatnya ayahku, yaitu tahun tujuh puluh empat atau tujuh puluh lima di abad kesepuluh. Begitulah, aku hidup di negeri ayah dan para datukku di tengah-tengah keluargaku. Terdidik di rumah tangga ayah, saudara dan paman-pamanku dari ibu. Paman-pamanku itu adalah Muhammad bin Abdullah bin Umar, dan Ali bin Abdullah bin Umar. Mereka adalah saudara sekandung ibuku. Kakekku Abdullah bin Umar, Muhammad bin Umar dan Yusuf bin Umar adalah ayah-ayahku. Kakekku Abdullah bin Umar dinikahkan oleh ayahnya yang bernama Umar bin Ibrahim bin Umar bin Isa dengan anak pamannya dari pihak ayah yang bernama Sulthanah binti Muhammad bin Zakariya bin Yahya bin Isa. Mereka memiliki tiga anak laki-laki; Muhammad, Ali, dan Abid. Begitu pula anak wanita bernama Zuhrah, ibuku Manshurah dan Amirah. Lalu suaminya, Abdullah bin Umar wafat, dan setelah itu saudaranya yang bernama Yusuf bin Umar menikahinya, hingga memiliki anak yang bernama Umar. Dialah guruku yang menjadikanku menimba akhlak darinya, karena ia adalah seorang yang alim. Beliau adalah duplikat dari Abdullah bin Umar. Sedangkan kakekku Muhammad bin Umar tidak memiliki anak kecuali ayahku Abid dan saudara wanitanya sebapak. Ibu ayahku bernama Halimah binti Muhammad. Kakekku Muhammad menikahi nenekku yang bernama Ghanimah yang merupakan anak Yahya bin Ibrahim bin Abu al-Wakil. Sebelumnya, nenekku menikah dengan Ali bin Ahmad bin Zakariya bin Yahya bin Isa. Melalui suaminya itu ia memiliki anak bernama Isa dan Mahjubah, serta seorang anak lagi yang lahir setelah wafat ayahnya. Anak itu diberi nama Ali bin Ali, dengan nama ayahnya sendiri. Setelah kematian suaminya, ia menikah dengan kakekku Muhammad bin Umar. Melalui pernikahannya itu ia memiliki anak yaitu bibiku yang bernama Halimah, lalu ayahku Abid. Kemudian kakekku Muhammad pergi ke arah timur yaitu ke desa al-Ghaidhah. Diberitakan bahwa ia pergi setelah wafat ayahnya, Umar bin Ibrahim, menuju murid-murid al-lmam as-Sanusiy, yaitu Muhammad bin Yusuf yang masyhur. Beliau wafat di sana, di sekitar kota Talmasan di gunung Barar. Sebagaimana wasiatnya, dibangunlah pagar yang mengelilingi kuburnya. Begitulah yang diberitakan kepadaku. Ali bin Abdullah bin Umar datang kepadaku dan menceritakan tentang kepergiannya ke kota itu, tentang penduduk yang tinggal di gunung itu dan menggambarkan kondisi tempat itu seperti yang aku ceritakan. Lalu ia mendatangi kubur kakekku Muhammad bin Umar dan mendapatinya seperti yang diceritakan mereka, yaitu terdapat bangunan yang mengelilinginya, dan tidak beratap. Setelah wafat kakekku, ayahku terdidik di rumah saudaranya seibu, yaitu Isa bin Ali, Ali bin Ali, dan Mahjubah binti Ali. Pamanku dari ibu yang bernama Muhammad bin Abdullah wafat setelah kematian ayahku dan dikuburkan di sisi ayahku di perkuburan sekitar Yaqqur. Tempat itu adalah perkuburan untuk anak-anak pamanku dari ayah Yahya bin Ibrahim bin Abu al-Wakil. Tempat itu tidak mereka cadangkan bagi kami kecuali saudaraku Muhammad, ayahku Abid dan pamanku dari ibu Muhammad bin Abdullah. Kita tak memiliki tempat pula untuk dikuburkan di dekat kakekku Umar bin Ibrahim, keluarganya, ayah dan datuk-datukknya yang terkubur di negeri Anqad, di suatu tempat yang dinamakan Ain Tammah. ‘Ain Tammah adalah sebuah tempat dengan mata air yang dinamakan ad-Daflah dan mata air yang lain memancar dari batu yang dinamakan *Uyun al-Muluk. Aku tak tahu apakah sebab mata air yang terdapat di dataran rendah dan bukan di pegunungan ini dinamakan Uyun al-Muluk. Sebagian besar penduduk di tempat itu mengatakan bahwa nama itu berasal dari seseorang yang bernama Abdul malik, lalu mereka menamakannya Muluk. Boleh jadi, dulu pemilik mata air itu adalah Abdulmalik lalu dinamakanlah mata air itu dengan Muluk. Wallahu a’lam. Di negeri Anqad ini terdapat sungai yang besar yang dinamakan Malwiyyah. Pangkal sungai itu keluar dari gunung yang menghadap ke kota Fas yang terletak di sebelah timur negeri Anqad. Di dalamnya terdapat desa, kebun, dan pertanian. Di bagian atas tempat mata air Muluk ini terdapat sebuah kota yang bernama Wathatha. Di sanalah Muhammad bin Umar bin Ibrahim bin Umar bin Isa bin Abu al-Wakil mempelajari al-Quran, dan tujuh bacaannya, beserta riwayatnya, la juga mendalami ilmu agama kurang lebih selama lima belas tahun. Kota itu masih dipenuhi keberkahan, sehingga setiap penuntut ilmu meminum air dari mata airnya. Di negeri Anqad ini terdapat penduduk yang banyak sekali. Tetapi sebagian besar penduduknya adalah suku badui (pedalaman). Setiap orang dari mereka membawa makanan pokok kabilahnya di atas unta. Pada unta itu terkadang diletakkan persediaan makanan pokok kabilahnya selama setahun. Kebiasaan mereka pada hari-hari dan bulan-bulan tertentu adalah pergi ke padang rumput. Di antara negeri ayah-ayahku ini dan kota Fas terdapat sungai Mallawiyyah. Pada bagian belakang sungai itu yang mengarah kepada kota Fas, ada pula sebuah kota yang bernama Tazah. Di sekeliling kota itu terdapat gunung-gunung, kebun-kebun. Di antaranya adalah gunung Baranis, Bani Hamid dan gunung ar-Ra’su yang bersambung dengan gunung Bani Hamid. Begitu pula terdapat gunung Ghimarah dan lain-lainnya. Penghuninya adalah sekelompok umat yang dirahmati dan memiliki keyakinan agama islam yang kuat. Segala puji bagi Allah atas semua ini. Maka begitulah, aku tinggal di negeri Anqad di tengah-tengah keluargaku hingga aku berumur dua puluh tahun. Pada saat itu bertepatan dengan tahun delapan puluh empat atau delapan puluh lima di abad kesepuluh. Aku tinggal di salah tempat di negeri Anqad ini, pergi dan pulang dari kota itu ke kota Wahdah. Di sana terdapat asy-Syaikh Musa al-Wahidiy yang menggembalakan ternaknya di antara negeri kami hingga negeri Talmasan. Terkadang aku harus bolak-balik dari kotaku menuju kepadanya untuk mempelajari al-Quran. Di sana juga terdapat kabilah yang disebut dengan anak-anak Isa dan anak-anak Zain. Mereka adalah dua kabilah yang memiliki hubungan sebagai sepupu, namun keduanya saling berperang di kota itu. Peperangan dan perdamaian kerap kali terjadi di antara mereka seperti yang terjadi di antara anak-anak Thalhah bin Ya’qub dan anak-anak Musa bin Thalhah. Musa memiliki anak bernama Abdullah, Ahmad, dan Aisyah. Mereka adalah saudara sekandung. Lalu ia memiliki anak-anak dari istri yang lain bernama Abdul malik, Madhfar, dan Manshur. Mereka semua saling berperang, hingga peperangan itu berkembang di negeri Anqad. Setiap orang di kota itu mendukung salah satu dari anak Thalhah bin Ya’qub. Anak-anak Abdullah bin Musa, Ahmad bin Musa, dan Aisyah binti Musa, mereka berkelompok sendiri dan memiliki kekuatan di kota Fas. Sedangkan saudara mereka anak-anak Abdulmalik bin Musa, dan Manshur bin Musa, memiliki kekuatan di kota Fas juga. Demikian pula saudara mereka yang merupakan anak-anak Abdulmalik, anak-anak Madhfar bin Musa dan Manshur bin Musa, mereka berkelompok sendiri dan memiliki kekuatan di Talmasan dan Masyariq. Begitulah fitnah ini tersebar di antara kabilah. Setiap mereka memiliki kefanatikan terhadap kabilahnya, hingga masalah ini melebar menjadi masalah yang tidak ada yang dapat memecahkannya kecuali Allah. Sedangkan keluarga kami, keturunan Abu al-Wakil di kota ini, adalah mereka yang bernasab kepada Isa bin Abu al-Wakil. Para pendahulu kami yang hidup sebelum Abu al-Wakil tidak tinggal di negeri ini. Sebab negeri kami yang sebenarnya adalah setelah pindahnya al-lmam Muhammad bin Idris bin al-lmam Idris ke as-Sus, yaitu sebuah negeri yang terletak di belakang kota Fas. Dulu kakek kami Muhammad bin Idris adalah raja di negeri as-Sus. Sebagai seorang raja yang adil, beliau meletakkan hukum-hukum Allah di negeri itu. Beliau memiliki sifat seperti yang disebutkan oleh datuknya al-lmam Idris al-Akbar pada khutbahnya yang telah disebutkan dalam pembahasan yang lalu. Beliau juga menebarkan dakwah di Maroko. Lalu kerajaan itu berkembang hingga zaman Abu al-Wakil. Di ujung kota Fas ini, di sekitar sungai yang bernama Ummu Rabi’, terdapat desa khusus yang dihuni oleh anak-anak Abu al-Wakil. Dalam tarikh para pendahulu disebutkan bahwa, sebab bepindahnya beliau (Isa bin Abu al-Wakil) ke daerah ini (Anqad), adalah saat wafatnya datuk kami Abu al-Wakil. Pada saat itu anaknya yang bernama Isa diberinya seekor kuda, namun saudaranya meminta pemberian itu kepadanya sebagai warisan. Dia tidak memberikannya sebab itu adalah pemberian ayahnya untuknya. Lalu ia pergi meninggalkan saudaranya menuju ke negeri Anqad. Menurutku, ia sebenarnya tidak menginginkan tinggal di kota itu tetapi semata-mata hanya karena marah terhadap keluarganya. Namun kehendak Allah Swt menetapkannya di daerah itu dan menikah dengan wanita di daerah itu, sehingga memiliki dua orang anak yaitu Yahya dan Umar bin Isa yang merupakan keturunan Abu al-Wakil. Setelah wafat ayah mereka Isa, maka kedua anak tersebut, yakni Yahya dan Umar tetap tinggal di daerah itu dan keberkahan mereka tampak di sana kerena mereka menempuh jalan datuk mereka Abu al-Wakil. Pada zamannya, Abu al-Wakil termasuk seorang guru besar yang masyhur serta memiliki keberkahan. Tampaklah pada dirinya banyak keistimewaan. Sejarah beliau dikenal oleh para ahli sejarah di zamannya, sehingga keturunan beliau di Maroko menjadi orang-orang yang dihormati hingga saat ini. Kabar tentang anak-anak Isa bin Abu al-Wakil -Yahya dan Umar-tersiardi mana-mana. Mereka berdua termasuk orang-orang yang memiliki kekuasaan di masa para penguasa Talmasan dan sekitarnya. Lalu, dengan harga yang cukup, mereka membeli dari kabilah Mutha’ daerah al-Faidhah berserta isinya termasuk perkebunan, pohon-pohonnya beserta beragam manfaatnya di antara perbatasan, sebagaimana diketahui oleh para kabilah. Maka kedua anak sekandung Isa bin Abu al-Wakil, Yahya dan Umar itu menjadi lebih dikenal dari saudara-saudaranya seayah dan seibu. Ketika masa kerajaan kabilah Abdulmu’min selesai, kabilah Murayyan tampil sebagai pengganti. Mereka memberikan kepada Yahya dan Umar bin Isa bin Abu al-Wakil emas sebesar satu sha’ atau empat raupan di setiap tahun pada Asyura, sapi, serta satu wasaq gandum atau enam puluh sha’ (24 raupan). Semua itu disebabkan jasa mereka terhadap negeri Anqad. Maka di situlah akhirnya para pendahulu kami menetap, sampai di zamanku, yaitu di tahun empat puluh delapan dari abad kesepuluh. Setiap orang di antara kami memiliki tempat khusus dan dikenal oleh siapapun. Begitulah kami, keturunan Abu al-Wakil terbagi menjadi beberapa keluarga; keluarga kami yaitu keluarga Isa bin Abu al-Wakil, dan keluarga Umar bin Isa bin Abu al-Wakil. Kita memiliki saudara sepupu dari anak-anak Yahya bin Ibrahim, dan anak-anak Ya’qub bin Ibrahim di negeri Anqad. Kita juga memiliki keluarga di gunung al-Hanasy yang datuk mereka adalah Muhammad bin Abu Wakil. Begitu pula yang terdapat di desa, yaitu anak-anak Umar bin Abu al-Wakil. Dan aku mendengar salah satu dari keturunan Abu al-Wakil terdapat di Masyariq di daerah kami atau Isybiliyah atau Tunisia. Begitulah daerah para pendahuluku. Di sanalah aku tumbuh, dan di antara merekalah aku mondar-mandir hingga aku mencapai usia dua puluh tahun. Di tempat itu aku juga bertemu dengan asy-Syaikh Muhammad bin Ali bin ar-Raisuniy yang merupakan keturunan Abdussalam bin Masyisy. Beliau menggantikan posisi datuknya itu setelah mendapatkan isyarat dari asy-Syaikh asy-Syarif Abdullah bin Husain yang tinggal di kota Taamdalat di belakang kota Marakisy. Beliau bertanya kepadaku tentang nasabku. Kita saling berbincang sampai aku menyebutkan kepadanya bahwa aku termasuk keturunan Abu al-Wakil, yaitu Isa bin Abu al-Wakil. Mendengar ucapanku beliau menceritakan kepadaku biografi Abu al-Wakil, hingga ia berkata, “Tak ada yang kami ketahui yang terkubur pada empat makam di desa yang berlainan kecuali semua makam itu adalah dia.” “Mengapa bisa begitu?” tanyaku, la menjelaskan bahwa asy-Syaikh Abu al-Wakil adalah sosok yang dicintai di daerah itu oleh para kabilah. Saat wafat, beliau dikuburkan di desa salah satu kabilah. Namun penduduk desa lain mencari kesempatan untuk menggali kuburnya kemudian memindahkannya ke desa mereka. Lalu terdapat penduduk desa lain lagi yang menggali kubur asy-Syaikh kedua dan menguburkan jasadnya di desanya, lalu terdapat penduduk desa lain lagi menggali kubur asy-Syaikh yang ketiga dan menguburkan jasadnya di desanya. Maka terjadilah peperangan antara penduduk desa-desa tersebut untuk memperebutkan jasad asy-Syaikh. Kemudian pembantu, atau anak asy-Syaikh, mengatakan kepada penduduk desa-desa itu agar menggali empat makam itu. Maka penduduk desa menggali makam asy-Syaikh yang berada di desa mereka masing-masing dan semua penduduk di empat desa tadi mendapati jasad asy-Syaikh ada di makam yang digali di desa mereka masing-masing, la berkata kepadaku, “Ini adalah kedudukan terbesar dalam biografi para syarif yang dibukukan.” Lalu ia berkata lagi, “Kita adalah saudara sepupu dari pihak ayah. Datukku adalah datukmu, Ahmad bin Muhammad bin Idris bin al-lmam Idris al-Akbar bin Abdullah al-Kamil bin al-Hasan al-Mutsanna bin al-Hasan (cucu Nabi).” la mengatakan hal itu sementara yang lain mendengarkan ucapannya. Kemudian ia turun dari gunung, dan aku tetap tinggal di makam asy-Syaikh beberapa hari lagi. Tiba-tiba datang kepadaku seseorang membawa amanat dari asy-Syaikh Muhammad bin Alt yang kuceritakan di atas. la membawa roti, madu, dan buah-buahan yang terdapat di masa itu, seperti buah plum dan lainnya, la datang sendiri tanpa seorang teman dan membawa secarik kertas. “Apakah engkau Yusuf, Abu Ya’qub?” tanyanya. “Benar,” jawabku. Lalu ia memberikan secarik kertas itu dan kubaca. Aku baru memahami bahwa ternyata kertas itu adalah isyarat. Pembawa amanat itu bertanya kepadaku, “Apakah isyarat yang tertulis bagimu?” Aku menjawabnya, “Ism al-Jalalah (Allah). Aku diperintahkan oleh asy-Syaikh membacanya sebanyak tujuh puluh ribu kali setiap hari di pagi dan petang. Lalu shalawat kepada Nabi Saw sebanyak tujuh puluh ribu kali. Serta membaca doa aI Faraj (menyingkap segala kesusahan)”.” Maka aku tinggal bermalam di tempat itu bersama orang pembawa amanat tadi. la berkata, “Kamu menjadi imam nanti di shalat maghrib dan isya, sedangkan aku akan menjadi imam besok di shalat subuh dan dhuhur, jika Allah masih menghidupkan kita.” Maka aku pun menjadi imam di shalat maghrib. Setelah aku selesai melakukan salam di akhir shalat, ia melihat ke arahku dan berkata, “Kau akan memiliki kedudukan yang tak boleh kau tergesa-gesa ingin menampakkannya sebelum waktunya. Berhati-hatilah terhadap kedudukan yang menipu ketika semua manusia mendatangimu. Sesungguhnya jika Allah menghendaki kebinasaan anak ayam ketika masuk ruh dan kehidupan di dirinya, maka Dia menghendaki anak ayam itu keluar dari dalam telur sebelum wak tunya dan binasa. Jika Allah menghendaki kesem­purnaannya, maka Dia meletakkannya di dalam telur hingga sempurna kebaikan bagi dirinya dari Allah. Begitu pula seorang murid, jika tampak cahaya ibadahnya, orang-orang yang memiliki keyakinan akan mendatanginya karena jiwa mereka terbiasa mencintai auliya. Namun semua itu dapat memutuskannya dari pencariannya menuju puncak kesempurnaan, cita-cita, dan perjalanan manusia menuju Tuhannya melalui amal saleh. Sedangkan hanya Tuhannyalah yang akan memberi manfaat rahasia dan cahaya kepada para murid yang pantas mendapatkannya dan yang bermaksud mendapatkan manfaat dari para auliya.” Aku tak mengetahui siapa orang yang membawa amanat itu hingga tiba sore hari. Kemudian datanglah asy-Syaikh, seorang kadi di negeri itu yang termasuk keturunan Abdussalam bin Masyisy. Seorang ulama besar di negeri itu. Beliau datang menunggangi kuda untuk berziarah. Aku melihat orang yang membawa amanat itu mengagungkan asy-Syaikh ini. Ketika kadi itu hendak mengambil air untuk kudanya, aku berkata kepadanya, “Biarkan aku yang meberikannya minum.” Namun laki-laki pembawa amanat itu segera bangkit dan memegang kendali kuda, lalu membawanya ke mata air yang mengalir dari gunung. Aku bertanya kepada kadi itu, “Wahai tuan, siapakah dia?” la menjawab, ‘la adalah Muhammad bin Said al-‘Ashmudiy as-Sayyah.” Sebenarnya aku pernah mendengar tentang beliau. Lalu kadi menceritakan kepadaku tentangnya, la berkata kepadaku, “Jarang orang dapat bertemu dengannya, sebab biasanya ia sering berada di pesisir pantai dan beribadah di sana.” Sebelum kadi itu pulang, aku menceritakan kepadanya apa yang kualami. Aku bertanya kepadanya tentang masukknya aku ke dalam thariqah ini, apakah karena usahaku yang sungguh-sungguh atau karena paksaan dan sama sekali bukan karena usaha. Maka kita berbincang-bincang tentang pembimbing kita masing-masing, la menceritakan kondisinya dulu yang merupakan paksaan dan tak terjadi karena usahanya. Setelah semua itu, kami berdoa di depan makam asy-Syaikh berharap Allah mengabulkan keinginan kami dan agar Allah mempertemukan kami kembali di makam Nabi Saw. Setelah itu aku berpisah dengannya.

Menuju Hadramaut

Berangkatlah aku bersama para pengunjung yang lain dalam jumlah yang banyak menuju kepada asy-Syaikh Abubakar bin Salim. Mereka keluar dari lembah Baihan dan memilki nazar kepada asy-Syaikh Abubakar bin Salim. Antara Syabwah dan Baihan berjarak jauh sekali. Para pengunjung yang berjalan bersamaku bergaul denganku dengan cara yang tidak ramah. Seperti yang disebut Allah dalam firman-Nya menceritakan Yusuf as.: “dan mereka merasa tidak tertarik hatinya (kepada Yusuf dan menjualnya dengan harga murah)” (Qs.Yusuf[12]: 20) Namun ketika aku sampai di rumah asy-Syaikh Abubakar bin Salim yang terkenal di desa *lnat, orang-orang di sana bersikap ramah terhadapku, berbeda dengan apa yang diperbuat oleh para peziarah itu kepadaku. Aku duduk di majelis mereka selama delapan hari. Lalu aku bercerita kepada beliau sebab kedatanganku kepadanya. Aku bercerita tentang seseorangyangberkelilingdiataskepalakudi mimpiku setelah lenyapnya hafalanku dan terkuncinya lisanku. Berdasarkan ucapan asy-Syaikh Yusuf ad-Dadasiy yang tinggal di kota Maknas, aku berkata kepadanya, “Tak ada yang menunjukkanku kepadamu kecuali asy-Syaikh al-Mahalliy orang India itu. la mengatakan bahwa kau telah berkata kepadanya ‘Telah dijanjikan kepadaku datangnya seorang anak syarif yang belajar di kota Fas’. Jika aku adalah muridmu itu, maka aku telah datang kepadamu. Jika aku bukan muridmu, maka Allah telah menampakkan aku kepadamu, maka tunjukkan kepadaku siapakah Syaikh yang akan membimbingku. Sesunguhnya al-Bakriy mengatakan kepadaku bahwa aku adalah muridmu, la mengatakan kepadaku bahwa dirinya bukan Syaikh pem-bimbingku.” Maka asy_syaikh menjawabku dengan jawaban yang sesuai dengan kondisiku di waktu itu. Lalu aku berdiam di tempatnya selama delapan hari dan beliau membimbingku di tempat itu. Masuknya aku ke rumah beliau adalah pada tanggal dua belas Rabi’ats-Tsaniy di tahun sembilan puluh dua abad kesepuluh. Setelahaku menghabiskan waktu di sisinya, aku berjalan dari tempatnya menuju ke kota Saba bersama kafilah. Sebagian orang dekatnya mengatakan kepada seseorang yang menceritakan kepadaku bahwa ia mendengar asy-Syaikh Abubakar bin Salim mengata­kan kepadanya, “Syarif yang aku sampaikan kepada kalian kedatangannya, telah datang bersama para pengunjung ini. Ketika aku mendengar dari asy-Syaikh hal itu maka aku menangis karena aku tahu waktu kematian asy-Syaikh telah dekat. Agar aku mengetahui syarif yang disebutkannya, asy-Syaikh berkata,’Dia akan datang kepadaku.” Saat itu aku kembali kepadanya dari kota Ma’arib dan aku bertemu dengan orang-orang Hadramaut yang mendapatkan khirqah dan lain-lainnya dari asy-Syaikh. Mereka mendatangiku karena mereka mendengar dari asy-Syaikh bahwa beliau menye­butku sebelum aku sampai kepadanya dan setelah sampai kepadanya. Beliau berkata, “Dia adalah syarif yang aku sampaikan kepada kalian tentang kedatangannya.” Sebab itu penduduk di daerah itu semakin mencintai dan menginginkanku. Akhirnya aku berdiam di tempat mereka selama lima belas hari. Dari tempatnya aku pergi ke desa Yasybam. Lalu aku berpuasa Ramadhan di tempat seorang syaikh di daerah itu yang bernama Ubaid bin Abdulmalik. Lalu aku pulang menuju ke asy-Syaikh dengan isyarat darinya, yaitu akan berpulangnya beliau kepada Tuhannya. Kemudian pada tanggal lima atau enam bulan Dzul hijjah aku masuk ke rumahnya. Ketika aku masuk dan berhadapan dengannya, beliau berkata: “Inilah barang-barang kita dikembalikan kepada kita.” (Qs. Yusuf (12): 65) “Engkau kebingungan terhadapku wahai Yusuf, aku adalah ayah ruhmu, sedangkan ayahmu adalah ayah jasadmu. Demi Allah, aku telah melihatmu di sulbi ayahmu *Abid, dan aku hadir saat kau dilahirkan.” Setelah aku, datang dua orang. Satu orang dari Romawi bernama Syukru dan seorang syarif husainiy (keturunan Husain) yang datang dari sebuah tempat belakang sungai.

Aku merayakan Idul Adha di tempat beliau, la berkata kepadaku sehari sebelum sakit, “Sedangkan Yusuf, aku telah menjadikannya seorang syaikh dan pendidik.” Saat itu Muhammad bin Ali bin Umar al-Katsiriy ada bersamaku. Sebelum sakit beliau memberikan khirqah kepadaku, yaitu memberikan kopiah yang dikenakannya, lalu menjadikan aku sebagai seorang syaikh dan memberi ijazah kepadaku untuk memberi khirqah kepada orang lain yang pantas menerimanya serta ijazah membaca kitab al-Juz al-Lathiffiy at-Tahkim lil asy-Syarif karya junjungan kami asy-Syaikh Abubakar bin Abdullah al-‘Aidarus yang dikubur di kota Aden. Juga ijazah atas kitab-kitab lainnya. Lalu keesokan harinya beliau mulai jatuh sakit, di malam selasa tanggal empat belas bulan Dzulhijjah hingga malam ahad tanggal dua puluh enam di bulan Dzulhijjah di tahun sembilan puluh dua di abad kesepuluh. Beliau terus menerus berbicara dan berlembut kepadaku hingga terpejamlah kedua matanya dan keluar ruh beliau yang suci menuju ke hadirat yang Maha Tinggi. Pandangan dan didikan beliau kepadaku sejak bertemu aku hingga berpisah ruh dengan jasadnya berlangsung selama delapan bulan dan delapan hari. Inilah sebab perpindahanku dari Mesir menuju ke Hadramaut, dan dari Maroko menuju ke Mesir. Sedangkan asy-Syaikh Muhammad bin Abu al-Hasan al-Bakriy wafat di Mesir pada bulan Rabi’ al-Akhir tahun sembilan puluh tiga di abad kesepuluh, setelah wafatnya asy-Syaikh Abubakar bin Salim. Beliau termasuk keturunan Thalhah bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abubakar ash-Shiddiq. Selesai ——————- Yusuf bin ‘Abid akhirnya menetap di Hadra­maut hingga akhir hayatnya. Lahir pada hari senin, 17 Rabi at-Tsani 965 H dan wafat di hari senin, 18 jumadi al-akhir 1048 H. Wafat pada usia 83 tahun. Beliau menikah dengan Fathimah binti Ahmad bin Umar dari kota Maryamah, dan mendapatkan dua orang anak, yaitu Abdullah dan Abu al-Wakil. Beliau juga menikah dengan Ubaidah binti Muhalhal bin Wa’il dari Maarib (Yaman bagian utara), dan mendapatkan tiga orang anak, yaitu Muhammad, Fathimah, dan Umar.” Semoga Allah Swt merahmati mereka semua dan mengembalikan kepada kita keberkahan, rahasia-rahasia ilahi, cahaya, ilmu, akhlak, semangat dan keikhlasan mereka kepada kita semua, khususnya kepada anak cucu beliau. Amin

Sumber:  

karya tulis beliau yang diberi nama "Ad Duraru Al Faakhirati A'yaanil Miatil 'Aassyirati"  ttg catatan Perjumpaan Yusuf bin ‘Abid dengan syaikh Abu Bakar bin Salim

abdkadiralhamid@2022

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PERJALANAN JAUH YUSUF BIN ABID ALHASANI BERTEMU SYECH ABUBAKAR BIN SALIM"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip