Khirqah |
Sebagai kata, khirqah berarti pakaian, kain, atau sobekankain baju. Sedangkan sebagai istilah, khirqah adalah cenderamata sebagai bentuk pensanadan dan pengijazahan dalam tarekat kesufian. Kesufian atau tasawuf tidak berbeda dengan ilmu-ilmu lainnya, yang memiliki sanad yang bersambung hingga sang empu pembawa titah Ilahiyah, Rasulullah SAW. Adanya sanad dapat mempertanggungjawabkan kebenaran tasawuf ini. Dan keberadaan sanad ini sekaligus sebagai bantahan terhadap pembenci praktek tasawuf. Dengan demikian, pendapat sebagian orang yang mengatakan bahwa tasawuf adalah sesuatu yang baru, bid’ah sesat, atau ajaran yang tidak pernah dibawa oleh Rasulullah, adalah pendapat yang tidak memiliki dasar sama sekali. Penggunaan istilah dengan penyebutan sesuatu yang berbentuk fisik semacam ini hanya sebagai ungkapan, lambang, simbolisasi, dari tradisi ilmu-ilmu yang berkembang di kalangan kaum sufi, yang hal tersebut terjadi secara turun-temurun dari guru ke murid sebagai sanad. Selain kata al-khirqah, istilah-istilah lain yang biasa digunakan di kalangan sufi adalah ar-râyah (bendera), al-hizâm (sabuk), al-ilbas (pengenaan surban, jubah, peci, dan lainnya). Benda-benda fisik ini, sekalipun benar adanya sebagai sesuatu yang turun-temurun sebagai sanad dari guru ke murid, yang menjadi tolak ukur dalam ajaran tasawuf ini bukan semata benda-benda simbolis tersebut, melainkan kandungan atau nilai-nilai yang dibawa dan tersirat dari itu semua, yaitu ajaran tasawuf itu sendiri. Identitas yang Khas Al-Imam Al-Hâfizh As-Sayyid Ahmad bin Ash-Shiddiq Al-Ghumari, mengutip perkataan Al-‘Allâmah Al-Amir dalam Fahrasat-nya, mengatakan, khirqah, râyah, hizâm dan ilbas dalam dunia tasawuf bukan merupakan tujuan utama. Karena benda-benda tersebut hanya benda zhahir. Adapun yang menjadi tujuan utama dalam jalan tasawuf adalah memerangi nafsu, mujâhadah an-nafs, dan menuntun umat untuk berpegang teguh pada ketentuan syari’at dan sunnah-sunnah Rasulullah, baik secara zhahir maupun secara bathin. Karena itu, dalam muqadimah risalah Ibn ‘Arabi yang berjudul Nasab al-Khirqah, yang ditulis Al-Hafizh Al-Ghumari, ia mengutip perkataan Imam Malik saat ditanya pengertian ilmu bathin, ‘ilm al-bâthin, “Kerjakanlah olehmu ilmu-ilmu zhahir, maka Allah akan mewariskan kepadamu akan ilmu-ilmu bathin.” Namun demikian, lambang-lambang fisik di atas menjadi tradisi turun-temurun sebagai sanad, yang hal tersebut beberapa di antaranya bersambung hingga Rasulullah. Seperti sanad dalam memakai al-‘imâmah as-saudâ’, kain atau surban hitam yang dililit di atas kepala, secara turun-temurun di kalangan pengikut tarekat Ar-Rifa’iyyah, baik warna kain maupun tata cara memakainya, yang hal tersebut secara turun-temurun berasal dari Rasulullah. Lambang-lambang berupa fisik tersebut, selain memiliki makna yang cukup penting dalam kaitannya dengan ajaran-ajaran yang terkandung di balik benda-benda itu sendiri, juga menjadi semacam identitas yang khas di kalangan kaum sufi. Al-khirqah, walau sebagai kata berarti hanya “sebuah pakaian”, bahan yang dipergunakan, cara pemakaian, dan lain-lainnya, memiliki kekhususan tersendiri. Contoh lainnya seperti gerakan-gerakan tubuh saat berdzikir. Gerakan-gerakan ini memiliki kekhususan tersendiri yang menjadi identitas atau ciri khas mereka, yang hal tersebut telah menjadi turun-temurun sebagai sanad. Kemudian para ulama juga telah sepakat bahwa ajaran tasawuf menjadi sebuah disiplin ilmu atau sebagai madzhab yang dirintis dan diformulasikan pertama-tama oleh seorang imam agung, sufi besar, Al-‘Ârif Billâh Al-Imam Al-Junaid Al-Baghdadi. Di atas jalan yang beliau rumuskan inilah di kemudian hari para kaum sufi menginjakan kaki-kaki mereka. Karena itu Al-Imam Al-Junaid Al-Baghdadi disebut sebagai pimpinan kaum sufi dan pemuka mereka, Sayyid ath-Tha-ifah ash-Shûfiyah. Seperti halnya dalam fiqih, ajaran-ajaran di dalamnya diintisarikan, di istinbâthkan, oleh para ulama mujtahid dari Al-Qur’an dan hadits. Artinya, yang menjadi sandaran utama dalam hal ini adalah ajaran Rasulullah, dengan segala apa yang dibawa oleh beliau. Demikian pula dengan landasan tasawuf, pokok yang menjadi fondasinya adalah Al-Qur’an dan sunnah-sunnah Rasulullah. Al-Imam Al-Junaid Al-Baghdadi memiliki sanad dalam tasawuf, labs al-khirqah, yang bersambung hingga sampai kepada Imam Al-Hasan Al-Bashri, yang diambil dari Amir Al-Mu’minin Imam Ali bin Abi Thalib KWH, yang secara langsung didapatkan dari Rasulullah SAW.Lengkapnya sanad tersebut sebagai berikut: Al-Junaid Al-Baghdadi mendapatkan sanad khirqah kaum sufi dari pamannya sendiri, Imam As-Sirri As-Saqthi, kemudian dari Imam Ma’ruf Al-Karkhi, dari Imam Dawud Ath-Tha’i, dari Imam Habib Al-‘Ajami, dari Imam Al-Hasan Al-Bashri, dari Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, dan terakhir dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Sanad tasawuf ini disepakati kebenarannya di kalangan ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Selain sanad di atas, terdapat juga sanad lain yang memperkuat kebenaran mata rantai Imam Al-Junaid Al-Baghdadi dari pamannya, Imam As-Sirri As-Saqthi. Yaitu dari Imam Ma’ruf Al-Karkhi dari Imam Ali Ar-Ridha, dari ayahnya sendiri, Imam Musa Al-Kazhim, dari ayahnya sendiri, Imam Ja’far Ash-Shadiq, dari ayahnya sendiri, Imam Muhammad Al-Baqir, dari ayahnya sendiri, Imam Ali Zainal Abidin, dari ayahnya sendiri, Imam Al-Husain, dari ayahnya sendiri, Imam Ali bin Abi Thalib, dan terakhir dari Rasulullah SAW. Sanad yang kedua ini sangat kuat. Orang-orang shalih yang terlibat dalam rangkaian sanad ini tidak diragukan lagi keagungan derajat mereka. Sanad kedua ini, di samping sebagai penguat bagi sanad pertama, sekaligus juga sebagai bantahan kepada mereka yang mengingkari sanad pertama. Karena sebagian orang anti tasawuf biasanya mempermasalahkan sanad pertama di atas dengan mempersoalkan pertemuan, al-mu’âsharah wa al-liqâ’, antara Imam Al-Hasan Al-Bashri dan Imam Ali ibn Abi Thalib. Walau demikian, tentang sanad pertama, mayoritas ulama sepakat menetapkan adanya al-mu’âsharah wa al-liqâ’ antara Imam Al-Hasan Al-Bashri dan Imam ‘Ali ibn Abi Thalib. Di antara yang menetapkan hal tersebut adalah Imam Al-‘Allâmah Dliya’uddîn Ahmad Al-Witri Asy-Syafi’i Al-Baghdadi dalam kitabnya Raudlah an-Nâdlirîn. Imam Al-Witri mengutip perkataan Imam Sufyan Ats-Tsauri bahwa Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Al-Hasan Al-Bashri adalah orang yang paling utama di antara yang mengambil pelajaran dari Ali bin Abi Thalib RA.” Kemudian Imam Al-Witri berkata bahwa, saat terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan, Imam Al-Hasan Al-Bashri berada di tempat kejadian. Al-Hasan Al-Bashri saat itu adalah seorang anak yang masih berumur empat belas tahun, yang kemudian tumbuh remaja di bawah bimbingan sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib. Memiliki Dasar yang Tsabit As-Sayyid As’ad (w. 1016 H/1607 M), seorang mufti di Madinah, membuat risalah pendek berjudul At-Tasyarruf bi Dzikr Ahl ath-Tashawwuf, tentang sanad ajaran kaum sufi dan sanad khirqah mereka. Kesimpulan tulisannya adalah, sekalipun ada beberapapenghafal hadits, huffazh al-hadits, mengingkari pertemuan antara Al-Hasan Al-Bashri dan Ali bin Abi Thalib, pendapat yang kuat menetapkan bahwa telah terjadi pertemuan kedua orang tersebut. Pendapat ini didasarkan pada pernyataan huffazh al-hadits lainnya yang telah menetapkan keberadaan pertemuan tersebut. Dan pendapat huffâzh al-hadîts yang menetapkan keberadaannya didahulukan atas pendapat yang menafikannya, al-mutsbit muqaddam ‘alâ an-nâfî, sebagaimana hal ini telah diketahui dalam kaidah-kaudah ilmu hadits. Masih menurut Sayyid As’ad, nasab al-khirqah memiliki dasar yang berasal dari Rasulullah sendiri. Dalam menetapkan pendapat ini sebagian ulama mengambil pendekatan dengan hadits Ummu Khalid. Diriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah membawa sebuah baju hitam dengan pernik-pernik berwarna kuning dan merah ke hadapan para sahabatnya, lalu Rasulullah berkata, “Siapakah menurut kalian orang yang hendak aku pakaikan baju ini padanya?” Semua sahabat terdiam sambil berharap mendapatkan baju tersebut. Kemudian Rasulullah berkata, “Panggillah Ummu Khalid.” Setelah Ummu Khalid datang, Rasulullah memakaikan baju tersebut kepadanya seraya berkata, “Pakailah, semoga banyak memberikan manfaat bagimu.” Setelah memakaikan baju tersebut kepada Ummu Khalid lalu melihat pada pernik-pernik warna kuning dan warna merah pada baju sersebut, Rasulullah berkata, “Wahai Ummu Khalid, ini adalah pakaian yang indah.” Termasuk yang dapat dijadikan pendekatan tentang keberadaan nasab al-khirqah ini adalah riwayat yang telah disebutkan oleh banyak ulama bahwa sahabat Ali bin Abi Thalib dan sahabat Umar bin Al-Khaththab memakaikan khirqah kepada Uwais Al-Qarni. Sebagaimana dikatakan Imam Asy-Sya’rani berikut ini, “Uwais Al-Qarni telah memakai pakaian (ats-tsaub) dari sahabat Umar bin Al-Khaththab dan memakai selendang (ar-ridâ’) dari sahabat Ali bin Abi Thalib.” Kesimpulan dari ini semua, khirqah kaum sufi memiliki dasar yang tsabit, kuat, dalam hadits. Para pengemban riwayat sanad al-khirqah adalah para imam yang agung dari umat ini. Adapun bahwa beberapa huffâzh al-hadîts mengingkari nasab al-khirqah, yang dimaksud adalah terbatas pada sanad pengijazahan jubah (al-jubbah) dan peci (ath-thâqiyah). Benar, dua benda ini sangat erat kaitannya dengan kaum sufi, namun makna al-khirqah secara luas tidak terbatas pada dua benda tersebut. Seperti khirqah kaum Tarekat Ar-Rifa’iyyah, yang hal tersebut tidak dapat diingkari kebenaran sanadnya. Khirqah kaum Ar-Rifa’iyyah itu adalah imamah, kain atau surban yang dililitkan pada kepala, yang berwarna hitam, al-’imâmah al-sauda’, yang bersambung hingga Rasulullah SAW. Suatu ketika Rasulullah memakaikan al-’imâmah as-sauda’ ini kepada Imam ‘Ali bin Abi Thalib, sebagaimana hal ini telah ditetapkan dalam kitab-kitab shahih, lalu Rasulullah berkata di hadapan para sahabatnya, “Pakailah oleh kalian ’imâmah seperti ini.” Kemudian tidak ada perselisihan di antara kaum sufi bahwa sanad tasawuf adalah lewat jalur Al-Junaid dari As-Sirri dari Al-Karkhi dan seterusnya hingga Ali bin Abi Thalib RA. Adapun dasar khirqah kaum Tarekat Rifa’iyyah yang berupa al-’imâmah as-saudâ’ secara jelas disebutkan dalam banyak hadits Rasulullah, seperti dalam riwayat Imam Muslim, Imam Ath-Thabarani, dan lainnya. Di antaranya sebuah hadits dari sahabat Ali bin Abi Thalib, “Pada hari Ghadir Khum Rasulullah memakaikan ‘imâmah hitam kepadaku dengan mengulurkannya sedikit ke bagian belakangku, seraya bersabda: ‘Sesungguhnya Allah memberiku pertolongan di hari Perang Badar dan Perang Hunain dengan serombongan malaikat yang mereka semua mengenakan ‘imâmah semacam ini.’ (Kemudian Rasulullah juga bersabda) ‘Sesungguhnya ‘imâmah adalah pembatas antara kekufuran dan keimanan’.” (HR Abu Musa Al-Madani dalam kitab as-Sunnah Fi Sadl al-’Imâmah dan oleh lainnya). |
Assalamu'alaikum ya habib ana mau izin share(membagu) ilmu ilmu, atau konten yg ada di web ini kepada orang orang, jika di ijinkan, afwan sebelum nya, syukran jazakallah
ReplyDelete