Khusus jemaah pria
Salah satu yang khas dari masjid Assaid adalah tidak adanya ruang bagi jemaah wanita. Pada waktu-waktu shalat, jemaahnya juga hanya lelaki. Itu bukan kebetulan, karena pengurus masjid memang menghendaki demikian.
Sejak mulai awal dibangun, masjid Assaid dipertahankan hanya bagi jemaah pria. Itu sebagai pelaksanaan hadist Rasulullah SAW, yang berbunyi sebaik-baiknya shalat wanita adalah di dalam rumahnya.
"Bukan berarti masjid lain yang menampung jemaah wanita itu salah. Kami hanya ingin mempertahankan apa yang sudah dilakukan para pendahulu kami," kata Alwi. "Walau begitu, sesekali juga ada wanita yang shalat di sini. Mungkin mereka yang kebetulan lewat dan tidak tahu kalau ini khusus pria. Untuk yang seperti itu tidak mungkin kami minta keluar. Tetap dibiarkan."
Pelihara tradisi, tak ada jemaah perempuan di Masjid
Arab Makassar
Jemaah
di masjid Assa’id Makassar.
Masjid Assaid yang terletak di Jalan
Lombok, Kecamatan Wajo, Makassar dikenal dengan
nama Masjid Arab. Masjid yang berusia 110
tahun itu didirikan oleh para habib keturunan Arab tepatnya dari Yaman,
Hadramaut yang menginjakkan kaki di wilayah Sulawesi sejak tahun 1800-
1900.
Masjid ini diinisiasi Habib Hasan
bin Muhammad Asshofi dan Habib Ali bin Abdurrahman Shihab selesai dibangun pada
1907 dan langsung dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan ibadah, syiar agama
warga keturunan Arab dengan masyarakat setempat. Habib Ali bin Abdurrahman Shibab adalah kakek dari Prof Dr H
Muhammad Quraish Shihab, salah
seorang cendekiawan muslim di Indonesia. Dia langsung ditunjuk sebagai imam
pertama kalinya di masjid itu.
Pemerintah telah menetapkan masjid ini
sebagai benda cagar budaya. Masjid yang kini dikelola Yayasan Assaid Makassar
itu memiliki luas 18 x 22 meter persegi di atas tanah seluas 23 x 70 meter.
Kapasitasnya bisa mencapai 750 orang. Dari sisi eksterior dan interior, tidak
ada yang menonjol dari masjid ini. Hanya saja ada bagian-bagiannya yang sengaja
dibangun dilatarbelakangi nilai filosofi.
"Didirikan di sini karena dekat
dengan pelabuhan yang menjadi salah satu pusat aktivitas pada masa itu. Masjid
ini menjadi wadah untuk menyebarkan agama Islam, beribadah, dan berinteraksi
dengan sesama masyarakat," kata salah satu imam masjid Assaid, Habib Alwi
Al Bafaqih.
Sejak berdiri, bentuk bangunan masjid Assaid tetap dipertahankan. Arsitektur memadukan gaya Timur Tengah dan nuansa lokal nusantara. Itu terlihat dari bentuk luar terutama kubah masjid, yang disebut mirip dengan kubah Masjid Demak di Jawa.
"Mungkin maksudnya ingin menunjukkan bahwa nuansa Islam tidak selalu harus mirip dengan nuansa Arab," kata Alwi.
Sejak berdiri, bentuk bangunan masjid Assaid tetap dipertahankan. Arsitektur memadukan gaya Timur Tengah dan nuansa lokal nusantara. Itu terlihat dari bentuk luar terutama kubah masjid, yang disebut mirip dengan kubah Masjid Demak di Jawa.
"Mungkin maksudnya ingin menunjukkan bahwa nuansa Islam tidak selalu harus mirip dengan nuansa Arab," kata Alwi.
Imam masjid Assaid, Habib Alwy Al
Bafaqih mengatakan, bagian masjid yang khas adalah pintunya yang berjumlah
sembilan dan ukurannya yang lebar.
"Pintunya yang besar-besar itu
ada 9 buah menghiasi sisi depan, kanan dan kirinya.
Angka 9 itu angka tertinggi, angka ganjil. Sesuatu yang ganjil itu, Allah SWT
paling suka, misalnya jumlah rakaat witir yang ada 3 rakaat," tutur Habib
Alwy Al Bafaqih.
Lalu ada empat tiang atau pilar
besar di dalam masjid yang masing-masing berdiameter 80 centimeter sebagai
simbol empat khalifah. Habib Alwy menceritakan, pintu-pintunya sengaja dibuat
lebih lebar agar jemaah yang berada di dalam maupun teras masjid tetap saling
berdekatan. Karena secara fiqhi, antara jemaah sebaiknya berkesinambungan.
"Masjid ini dibangun atas dasar
maszhab Imam Syafii yang menyebutkan imam tidak boleh terputus dengan mamum.
Jadi kalau ada jemaah di belakang, minimal harus melihat mamum-mamum, tidak
boleh tertutup," katanya.
Pemandangan unik lain di masjid ini
adalah jemaahnya yang didominasi laki-laki. Tidak ada satu pun jemaah perempuan kecuali musyafirah atau warga
perempuan yang sementara dalam perjalanan dan singgah salat karena tidak
mengetahui tradisi di masjid ini. Dia menceritakan asal usulnya. Karena
didirikan oleh habib asal Arab, maka masjid ini menjaga tradisi yang juga
dijalankan di sana.
"Tradisi yang dipertahankan
adalah tradisi dari Arab salah satunya soal jemaah perempuan atau wanita yang
tidak ada di masjid. Karena memang tradisinya orang Arab, di masjid-masjid
kecil perempuannya tidak ada. Kecuali masjid-masjid bersejarah di zaman
Rasulullah seperti masjid Nabawi dan masjidil haram," jelasnya.
Dia menuturkan, saat ini banyak
masjid yang dipenuhi perempuan. Maka alangkah baiknya kalau masjid Assaid tetap
mempertahankan tradisi yang sudah ada sejak dulu. Namun pihaknya tidak melarang
jika ada perempuan yang salat di masjid ini. Bahkan ada yang sengaja
meninggalkan peralatan salatnya seperti mukena di masjid ini dengan tujuan jika
nantinya kembali bertemu masjid ini, bisa salat dengan mukena yang sudah pernah
ditinggalkan.
"Jadi di Ramadan ini, jangan
cari jemaah perempuan karena memang masjid ini untuk laki-laki," ujar Alwy
Al Bafaqih.
Dia menambahkan, ada hadis Nabi yang
menyebutkan bahwa sebaik-baiknya salat wanita itu dilakukan di rumah. Tapi
bukan berarti wanita tidak bisa salat di masjid kalau dia merasa aman, jauh
dari fitnah.
Meski terletak di antara pemukiman
etnis Tionghoa, Masjid Assaid nyaris tidak pernah sepi di waktu shalat.
Masjid ini disebut punya semacam jemaah tetap, yang berasal dari berbagai
penjuru di Makassar dan sekitarnya. Sebagian merupakan keturunan Arab
yang menjadi perintis masjid.
Salah satu alasan ramainya jemaah, karena masjid ini mempertahankan tradisi dzikir yang mungkin tidak didapatkan di tempat lain. Termasuk di bulan Ramadan. Biasanya, jelang waktu Isya, digelar puji-pujian qasidah bersama para jemaah. Demikian juga sebelum masuk dan setelah waktu tarawih. Terdapat sejumlah wirid panjang dipimpin imam.
"Di malam ke 27 kita gelar buka puasa besar-besaran dan menyajikan makanan khas Timur Tengah. Sekaligus menggelar doa bakti kedua orang tua (Birrul Walidain) dan khatam Al Quran," ujar Habib Alwi.
Lokasi : https://goo.gl/maps/j6WBopPKVC188tA47
Salah satu alasan ramainya jemaah, karena masjid ini mempertahankan tradisi dzikir yang mungkin tidak didapatkan di tempat lain. Termasuk di bulan Ramadan. Biasanya, jelang waktu Isya, digelar puji-pujian qasidah bersama para jemaah. Demikian juga sebelum masuk dan setelah waktu tarawih. Terdapat sejumlah wirid panjang dipimpin imam.
"Di malam ke 27 kita gelar buka puasa besar-besaran dan menyajikan makanan khas Timur Tengah. Sekaligus menggelar doa bakti kedua orang tua (Birrul Walidain) dan khatam Al Quran," ujar Habib Alwi.
Lokasi : https://goo.gl/maps/j6WBopPKVC188tA47
abdkadiralhamid@2019
0 Response to "Mencari Keberkahan Para Habaib di Masjid Arab Assaid Makassar"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip