Tahlil, Bid'ah Yang Dianjurkan
Syubhat
Di kalangan ahlu sunnah telah
menjadi tradisi jika salah satu dari mereka meninggal, mereka berkumpul di
rumah keluarga yang ditinggalkan. Untuk
membaca sebagian Al Quran dan Tahlil kemudian menghadiahkan pahala
bacaan tersebut kepada mayit. Akan tetapi perbuatan ini ternyata menuai kritik
dari sebagian kalangan umat islam. Bahkan mereka
mengatakan bahwa semua perbuatan ini bid`ah yang menyesatkan karena
tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan khulafaur rasyidin.
Kami
menjawab
Jika
kita cermati, Tahlil sebenarnya merupakan salah satu bentuk ihtifal
(perayaan). Semua bentuk ihtifal __semisal perayaan hari ulang
tahun kemerdekaan, perayaan haul, perayaan hari lahir dan lain sebagainya__
memang tidak memiliki dalil khusus
yang datang dari Nabi. Akan tetapi perlu juga ditekankan bahwa tidak ada
dalil yang melarangnya.
Memang
ihtifal adalah hal baru (bid`ah) yang tidak ada di masa Rasul, akan
tetapi tidak semua hal yang tidak dilakukan pada zaman Rasul dipandang sesat.
Buktinya banyak hal baru yang dianggap baik oleh semua ulama dan kaum muslim
meskipun tidak dilakukan oleh Rasul. Seperti pengumpulan Al Quran oleh khalifah
Abu Bakar, anjuran shalat tarawih berjamaah oleh Sayidina Umar, dua adzan
jum`at dan pembukuan Al Quran oleh Sayidina Utsman, pemberian harakat, titik, tanda-tanda ayat, waqaf, rubu`
dan juz pada Al Quran yang baru dilakukan pada masa Dinasti Umayyah,
penyusunan kitab hadits dan pengkodefisikasiannya, penyusunan dan pembukuan
cabang-cabang ilmu-ilmu agama seperti fiqih, tafsir, tauhid, bahasa arab dan
sebagainya. Semua itu tidak pernah dicontohkan oleh Rasul akan tetapi tidak ada
seorangpun dari kita yang berani menyebutnya sesat, bahkan kita semua
menganggapnya sebagai jasa yang sangat besar artinya bagi umat islam.
Oleh
karena itu janganlah kita identikkan
semua hal baru sebagai bid`ah yang sesat, karena para ulama sendiri __ yang
kapasitas keilmuanya jauh melebihi kita__ telah
memilah hal yang baru (bid`ah) menjadi dua, ada yang baik dan ada pula
yang tercela(1). Bahkan sebagian mereka membagi bid`ah menjadi lima
bagian, ada yang wajib, sunah, mubah, makruh dan haram(2). Yang mereka jadikan patokan dalam memilah
hal-hal baru ini adalah Al Quran dan Hadits, Semua hal baru yang menyalahi apa
yang telah ditetapkan hukumnya oleh keduanya, itulah yang dimaksud dengan
bid`ah dalam perkataan Rasul كل
بدعة ضلالة (setiap
bid`ah adalah sesat). Sedangkan hal baru yang tidak menyalahi keduanya maka
tidak bisa dengan gegabah dihukumi sesat bahkan jika memiliki maslahat kita
bisa menggolongkanya pada bid`ah yang baik, sebagaimana yang dikatakan Sayidina
Umar mengenai shalat tarawih berjamaah نعمت
البدعة هذه (Inilah
sebaik-baiknya bid`ah)(3).
Begitulah
juga dalam masalah ihtifal, sebelum kita menghukuminya, kita harus
terlebih dahulu mencermati isi acara-acara tersebut. Jika isinya adalah hal-hal
baik seperti pembacaan Al Quran, nasihat-nasihat, dan semua yang tidak
menyalahi syariat maka tidak boleh kita menghukuminya dengan sesat. Akan tetapi
jika isinya adalah hal-hal yang bertentangan dengan syariat seperti
mabuk-mabukan, ikhtilat (percampuran) antara lelaki dan perempuan,
inilah yang dilarang untuk dilakukan. Akan tetapi, meskipun demikian kita tetap tidak bisa
menghukumi secara mutlak mengenai acara yang baik dengan hukum sunnah.
Karena di dalam Islam, kita tidak
diperbolehkan untuk melakukan tasyri’ (mengada-ada hukum baru).
Setelah
kita memahami hakikat bid`ah, maka tidak tepat
jika kita katakan bahwa acara Tahlil
merupakan bid`ah yang sesat, karena lazimnya isi dari acara
tahlil adalah pembacaan ayat-ayat Quran, macam-macam dzikir, shalawat serta
do`a bagi mayit, Semua ini tidak bertentangan dengan Al Quran dan hadits bahkan
merupakan perbuatan-perbuatan yang dianjurkan Syariat dan bermanfaat baik bagi
yang menghadirinya maupun bagi mayit. justru seharusnya acara ini digolongkan
sebagai bid`ah yang baik atau gagasan baru yang pelakunya pantas untuk
diberikan ganjaran kebaikan seperti yang disabdakan Nabi:
...من سَنَّ في الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً
فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ من عَمِلَ بها بَعْدَهُ من غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ من أُجُورِهِمْ
شَيْءٌ
“ Siapa
yang menciptakan gagasan baik dalam Islam, maka dia akan memperoleh pahalanya
dan pahala orang yang melaksanakanya dengan tanpa dikurangi sedikitpun ...”(HR
Muslim)(4)
Sedangkan mengenai sampainya amalan kebaikan yang
dihadiahkan kepada mayit itu bukan urusan kita, hanya Allah saja yang berhak
untuk menentukanya. Para ulama sendiri sendiri berbeda pendapat mengenainya
terutama mengenai sampainya bacaan Al Quran kepada mayit, Jumhur ulama mengatakan sampainya bacaan Al
Quran tersebut kepada mayit akan tetapi Imam Syafii menyatakan tidak sampai. Meskipun
demikian Beliau tidak melarangnya. Bahkan sebagian ulama Mazhab Syafii sendiri
ada yang berbeda pendapat dengan Imam
Syafii dan menyatakan mengenai sampainya pahala tersebut pada mayit.
Akan tetapi seluruh ulama sepakat mengenai bermanfaatnya
do`a bagi mayyit, berdasarkan ayat al Quran :
وَالَّذِينَ
جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا
الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا
لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ [الحشر/10[
Artinya :
“Dan orang-orang yang
datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb
kami, beri ampunlah kami dan Saudara-saudara kami yang Telah beriman lebih dulu
dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap
orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi
Maha Penyayang “. (QS Al Hasr : 10)
Berdasarkan
kesepakatan ini, jika setelah kita melakukan amalan untuk mayit __termasuk
di dalamnya bacaan Al Quran__ kemudian
kita berdoa agar amalan tersebut disampaikan pada mayit, maka doa tersebut
akan bermanfaat bagi mayit.
Hal
lain yang sering dipermasalahkan dalam tahlil adalah masalah penyuguhan makanan
yang dilakukan keluarga mayit untuk mereka yang menghadiri tahlil. Memang
sebenarnya yang dianjurkan untuk menyediakan makanan adalah para tetangga mayit
bagi keluarga mayit, ini berdasar sabda Nabi ketika wafatnya sahabat Ja`far :
اصْنَعُوا
لآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ
Artinya :
“Buatlah
makanan untuk kelurga Jakfar, karena mereka sedang menghadapi urusan mereka
(musibah)” (HR Abu Dawud) (5)
Akan
tetapi tidak mengapa jika keluarga mayit ingin menghormati tamunya dengan
menyuguhi makanan, bukankah kita diperintah untuk menghormati tamu kita?,
apalagi jika diniatkan sedekah untuk mayit. Lagipula, mereka tidak meyakini
bahwa membuat makanan dan minuman untuk orang yang hadir adalah suatu
kewajiban. Yang dilarang adalah jika terdapat ada unsur takalluf (membebani
diri sendiri) dari keluarga mayit dalam penyuguhan tersebut.
Adapun
mengenai pembacaan tahlil yang dilakukan dengan suara keras, ini tidak
bertentangan dengan ayat :
وَاذْكُرْ
رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ
بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ [الأعراف/205]
Artinya :
“ Dan
sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut,
dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah
kamu termasuk orang-orang yang lalai. “
Karena
ayat ini turun ketika Rasulullah berada di Makkah. Ketika itu Beliau membaca Al
Qur’an dengan mengeraskankan suaranya sehingga membuat orang-orang musyrikin
yang mendengar apa yang dibaca merasa
terganggu dan mulai mencaci Beliau dan tuhannya. Untuk meredakan sekaligus mencegah
terulangnya peristiwa ini, Allah memerintahkan Nabi r
untuk melembutkan suaranya dalam membaca Al-Quran melalui ayat ini.
Maka
bukan pada tempatnya jika kita menjadikan ayat ini sebagai dalil untuk melarang
pembacaan tahlil atau zikir lainnya dengan suara keras. karena kini kejadian
seperti di atas tidak lagi terjadi
walaupun ayat-ayat Alqur’an dibaca dengan jahr (keras). Terlebih jika
kita mengikuti pendapat sebagian mufassirin yang mengatakan bahwa larangan
mengeraskan suara yang dimaksud dalam ayat diatas dikhususkan dalam
sholat-sholat maktubah (fardhu) saja (6).
Sedangkan
mengenai pembacaan tahlil yang dilakukan secara berjamaah, maka karena tidak
ada dalil yang melarang untuk membaca zikir secara berjamaah, berarti hukumnya
adalah boleh. Justru jika kita menghukumi bid`ah (mengada-ada), kitalah
yang lebih layak untuk disebut ahli bid`ah karena kita telah berani mengada –adakan hukum haram kepada sesuatu
yang tidak diharamkan oleh syariat.
Referensi
(2),(1)تفسير
السراج المنير - (ج 1 / ص 4093(
{تنبيه}
البدع والبديع من كل شيء: المبدأ والبدعة؛ ما اخترع مما لم يكن موجوداً قبله. وفي
الحديث «كل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار» قال البقاعي معناه والله أعلم: أنه
يبتدع ما يخالف السنة إذا كانت البدعة ضدّ السنة فإذا أحدث ما يخالفها كان بإحداثه
ضالاً مشركاً وكان وما أحدث في النار. ولم يدخل تحت هذا ما يخترعه الإنسان من
أفعال البّر يسمى بدعة لعدم فعله قبل ذلك فيخرج عما ذكر. ا.ه. وقال ابن عبد
السلام: البدعة منقسمة إلى واجبة ومحرّمة ومندوبة ومكروهة ومباحة: قال والطريق
في ذلك أن تعرض البدعة على قواعد الشريعة؛ فإن دخلت في قواعد الإيجاب فهي واجبة،
كالاشتغال بعلم النحو، أو في قواعد التحريم فمحّرمة، كمذهب القدرية والمجسمة
والرافضة، قال: والردّ على هؤلاء من البدع الواجبة، أوفى قواعد المندوب، فمندوبة
كبناء الربط والمدارس، وكل إحسان لم يحدث في العصر الأوّل كصلاة التراويح، أو في
قواعد المكروه فمكروهة كزخرفة المساجد وتزويق المصاحف أو في قواعد المباح فمباحة،
كالمصافحة عقب الصبح والعصر والتوسع في المآكل والملابس. وروى البيهقي بإسناده
في مناقب الشافعيّ رضى الله تعالى عنه أنه قال: المحدثات ضربان؛ أحدهما: ما خالف
كتاباً أو سنة أو إجماعاً فهو بدعة وضلالة، والثاني: ما أحدث من الخير فهو غير
مذموم.
فتح الباري لابن حجر - (ج 20 / ص 330)
وَقَسَّمَ بَعْض الْعُلَمَاء الْبِدْعَة إِلَى
الْأَحْكَام الْخَمْسَة وَهُوَ وَاضِح ،
وَثَبَتَ عَنْ اِبْن مَسْعُود أَنَّهُ قَالَ : قَدْ أَصْبَحْتُمْ عَلَى الْفِطْرَة
وَإِنَّكُمْ سَتُحْدِثُونَ وَيُحْدَث لَكُمْ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مُحْدَثَة
فَعَلَيْكُمْ بِالْهَدْيِ الْأَوَّل ، فَمِمَّا حَدَثَ تَدْوِين الْحَدِيث ثُمَّ
تَفْسِير الْقُرْآن ثُمَّ تَدْوِين الْمَسَائِل الْفِقْهِيَّة الْمُوَلَّدَة عَنْ
الرَّأْي الْمَحْض ثُمَّ تَدْوِين مَا يَتَعَلَّق بِأَعْمَالِ الْقُلُوب ،
فَأَمَّا الْأَوَّل فَأَنْكَرَهُ عُمَر وَأَبُو مُوسَى وَطَائِفَة وَرَخَّصَ فِيهِ
الْأَكْثَرُونَ وَأَمَّا الثَّانِي فَأَنْكَرَهُ جَمَاعَة مِنْ التَّابِعِينَ
كَالشَّعْبِيِّ ، وَأَمَّا الثَّالِث فَأَنْكَرَهُ الْإِمَام أَحْمَد وَطَائِفَة
يَسِيرَة وَكَذَا اِشْتَدَّ إِنْكَار أَحْمَد لِلَّذِي بَعْده ، وَمِمَّا حَدَثَ
أَيْضًا تَدْوِين الْقَوْل فِي أُصُول الدِّيَانَات فَتَصَدَّى لَهَا الْمُثْبِتَة
وَالنُّفَاة ، فَبَالَغَ الْأَوَّل حَتَّى شَبَّهَ وَبَالِغ الثَّانِي حَتَّى
عَطَّلَ ، وَاشْتَدَّ إِنْكَار السَّلَف لِذَلِكَ كَأَبِي حَنِيفَة وَأَبِي يُوسُف
وَالشَّافِعِيّ ، وَكَلَامُهمْ فِي ذَمّ أَهْل الْكَلَام مَشْهُور ، وَسَبَبه
أَنَّهُمْ تَكَلَّمُوا فِيمَا سَكَتَ عَنْهُ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَأَصْحَابه ، وَثَبَتَ عَنْ مَالِك أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ فِي عَهْد
النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْر وَعُمَر شَيْء مِنْ
الْأَهْوَاء - يَعْنِي بِدَع الْخَوَارِج وَالرَّوَافِض وَالْقَدَرِيَّة - وَقَدْ
تَوَسَّعَ مَنْ تَأَخَّرَ عَنْ الْقُرُون الثَّلَاثَة الْفَاضِلَة فِي غَالِب
الْأُمُور الَّتِي أَنْكَرَهَا أَئِمَّة التَّابِعِينَ وَأَتْبَاعهمْ ، وَلَمْ
يَقْتَنِعُوا بِذَلِكَ حَتَّى مَزَجُوا مَسَائِل الدِّيَانَة بِكَلَامِ الْيُونَان
، وَجَعَلُوا كَلَام الْفَلَاسِفَة أَصْلًا يَرُدُّونَ إِلَيْهِ مَا خَالَفَهُ
مِنْ الْآثَار بِالتَّأْوِيلِ وَلَوْ كَانَ مُسْتَكْرَهًا ، ثُمَّ لَمْ يَكْتَفُوا
بِذَلِكَ حَتَّى زَعَمُوا أَنَّ الَّذِي رَتَّبُوهُ هُوَ أَشْرَفُ الْعُلُوم
وَأَوْلَاهَا بِالتَّحْصِيلِ ، وَأَنَّ مَنْ لَمْ يَسْتَعْمِل مَا اِصْطَلَحُوا
عَلَيْهِ فَهُوَ عَامِّيٌّ جَاهِل ، فَالسَّعِيد مَنْ تَمَسَّكَ بِمَا كَانَ
عَلَيْهِ السَّلَف وَاجْتَنَبَ مَا أَحْدَثَهُ الْخَلَف ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ
مِنْهُ بُدّ فَلْيَكْتَفِ مِنْهُ بِقَدْرِ الْحَاجَة ، وَيَجْعَل الْأَوَّل
الْمَقْصُود بِالْأَصَالَةِ وَاللَّهُ الْمُوَفِّقُ . وَقَدْ أَخْرَجَ أَحْمَد
بِسَنَدٍ جَيِّد عَنْ غُضَيْف بْن الْحَارِث قَالَ بَعَثَ إِلَيَّ عَبْد الْمَلِك
بْن مَرْوَان فَقَالَ : إِنَّا قَدْ جَمَعْنَا النَّاس عَلَى رَفْع الْأَيْدِي
عَلَى الْمِنْبَر يَوْم الْجُمُعَة ، وَعَلَى الْقَصَص بَعْد الصُّبْح وَالْعَصْر
، فَقَالَ : أَمَّا إِنَّهُمَا أَمْثَل بِدَعكُمْ عِنْدِي وَلَسْت بِمُجِيبِكُمْ
إِلَى شَيْء مِنْهُمَا لِأَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
" مَا أَحْدَثَ قَوْمٌ بِدْعَةً إِلَّا رُفِعَ مِنْ السُّنَّة مِثْلُهَا ؛
فَتَمَسُّكٌ بِسَنَةِ خَيْرٌ مِنْ إِحْدَاثِ بِدْعَةٍ " . اِنْتَهَى وَإِذَا
كَانَ هَذَا جَوَاب هَذَا الصَّحَابِيّ فِي أَمْر لَهُ أَصْل فِي السُّنَّة فَمَا
ظَنَّك بِمَا لَا أَصْل لَهُ فِيهَا ، فَكَيْف بِمَا يَشْتَمِل عَلَى مَا
يُخَالِفهَا . وَقَدْ مَضَى فِي " كِتَاب الْعِلْم " أَنَّ اِبْن
مَسْعُود كَانَ يُذَكِّر الصَّحَابَة كُلّ خَمِيس لِئَلَّا يَمَلُّوا وَمَضَى فِي
" كِتَاب الرِّقَاق " أَنَّ اِبْن عَبَّاس قَالَ : حَدِّثْ النَّاس كُلّ
جُمْعَة فَإِنْ أَبَيْت فَمَرَّتَيْنِ ، وَنَحْوه وَصِيَّة عَائِشَة لِعُبَيْدِ
بْن عُمَيْر ، وَالْمُرَاد بِالْقَصَصِ التَّذْكِير وَالْمَوْعِظَة ، وَقَدْ كَانَ
ذَلِكَ فِي عَهْد النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَكِنْ لَمْ يَكُنْ
يَجْعَلهُ رَاتِبًا كَخُطْبَةِ الْجُمُعَة بَلْ بِحَسْب الْحَاجَة ، وَأَمَّا
قَوْله فِي حَدِيث الْعِرْبَاض " فَإِنَّ كُلّ بِدْعَة ضَلَالَة " بَعْد
قَوْله " وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَات الْأُمُور " فَإِنَّهُ يَدُلّ عَلَى
أَنَّ الْمُحْدَث يُسَمَّى بِدْعَة وَقَوْله " كُلّ بِدْعَة ضَلَالَة "
قَاعِدَة شَرْعِيَّة كُلِّيَّة بِمَنْطُوقِهَا وَمَفْهُومهَا ، أَمَّا مَنْطُوقهَا
فَكَأَنْ يُقَال " حُكْم كَذَا بِدْعَة وَكُلّ بِدْعَة ضَلَالَة " فَلَا
تَكُون مِنْ الشَّرْع لِأَنَّ الشَّرْع كُلّه هَدْي ، فَإِنْ ثَبَتَ أَنَّ
الْحَكَم الْمَذْكُور بِدْعَة صَحَّتْ الْمُقَدِّمَتَانِ ، وَأَنْتَجَتَا
الْمَطْلُوب ، وَالْمُرَاد بِقَوْلِهِ " كُلّ بِدْعَة ضَلَالَة " مَا
أُحْدِث وَلَا دَلِيل لَهُ مِنْ الشَّرْع بِطَرِيقِ خَاصّ وَلَا عَامّ . وَقَوْله
فِي آخِر حَدِيث اِبْن مَسْعُود ( إِنَّ مَا تُوعَدُونَ لَآتٍ وَمَا أَنْتُمْ
بِمُعْجِزِينَ ) أَرَادَ خَتْم مَوْعِظَته بِشَيْءٍ مِنْ الْقُرْآن يُنَاسِب الْحَال
. وَقَالَ اِبْن عَبْد السَّلَام : فِي أَوَاخِر " الْقَوَاعِد "
الْبِدْعَة خَمْسَة أَقْسَام " فَالْوَاجِبَة " كَالِاشْتِغَالِ
بِالنَّحْوِ الَّذِي يُفْهَم بِهِ كَلَام اللَّه وَرَسُوله لِأَنَّ حِفْظ
الشَّرِيعَة وَاجِب ، وَلَا يَتَأَتَّى إِلَّا بِذَلِكَ فَيَكُون مِنْ مُقَدَّمَة
الْوَاجِب ، وَكَذَا شَرْح الْغَرِيب وَتَدْوِين أُصُول الْفِقْه وَالتَّوَصُّل
إِلَى تَمْيِيز الصَّحِيح وَالسَّقِيم " وَالْمُحَرَّمَة " مَا
رَتَّبَهُ مَنْ خَالَفَ السُّنَّة مِنْ الْقَدَرِيَّة وَالْمُرْجِئَة
وَالْمُشَبِّهَة " وَالْمَنْدُوبَة " كُلّ إِحْسَان لَمْ يُعْهَد
عَيْنُهُ فِي الْعَهْد النَّبَوِيّ كَالِاجْتِمَاعِ عَلَى التَّرَاوِيح وَبِنَاء
الْمَدَارِس وَالرُّبَط وَالْكَلَام فِي التَّصَوُّف الْمَحْمُود وَعَقْد مَجَالِس
الْمُنَاظَرَة إِنْ أُرِيدَ بِذَلِكَ وَجْه اللَّه " وَالْمُبَاحَة " كَالْمُصَافَحَةِ
عَقِب صَلَاة الصُّبْح وَالْعَصْر ، وَالتَّوَسُّع فِي الْمُسْتَلَذَّات مِنْ
أَكْل وَشُرْب وَمَلْبَس وَمَسْكَن . وَقَدْ يَكُون بَعْض ذَلِكَ مَكْرُوهًا أَوْ
خِلَاف الْأَوْلَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ
(3)تحفة
الأحوذي - (ج 6 / ص 475)
وَفِي رِوَايَةِ أَبِي دَاوُدَ : وَإِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ
ضَلَالَةٌ . قَالَ الْحَافِظُ اِبْنُ رَجَبٍ فِي كِتَابِ جَامِعِ الْعُلُومِ :
وَالْحِكَمِ فِيهِ تَحْذِيرٌ لِلْأُمَّةِ مِنْ اِتِّبَاعِ الْأُمُورِ الْمُحْدَثَةِ
الْمُبْتَدَعَةِ وَأَكَّدَ ذَلِكَ بِقَوْلِهِ : كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ ،
وَالْمُرَادُ بِالْبِدْعَةِ مَا أُحْدِثَ مِمَّا لَا أَصْلَ لَهُ فِي الشَّرِيعَةِ
يَدُلُّ عَلَيْهِ ، وَأَمَّا مَا كَانَ لَهُ أَصْلٌ مِنْ الشَّرْعِ يَدُلُّ
عَلَيْهِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ شَرْعًا وَإِنْ كَانَ بِدْعَةً لُغَةً فَقَوْلُهُ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ مِنْ جَوَامِعِ
الْكَلِمِ لَا يَخْرُجُ عَنْهُ شَيْءٌ وَهُوَ أَصْلٌ عَظِيمٌ مِنْ أُصُولِ
الدِّينِ ، وَأَمَّا مَا وَقَعَ فِي كَلَامِ السَّلَفِ مِنْ اِسْتِحْسَانِ
بَعْضِ الْبِدَعِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ فِي الْبِدَعِ اللُّغَوِيَّةِ لَا
الشَّرْعِيَّةِ ، فَمَنْ ذَلِكَ قَوْلُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي
التَّرَاوِيحِ نِعْمَتْ الْبِدْعَةُ هَذِهِ ، وَرُوِيَ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ إِنْ
كَانَتْ هَذِهِ بِدْعَةً فَنِعْمَتْ الْبِدْعَةُ ، وَمِنْ ذَلِكَ أَذَانُ
الْجُمُعَةِ الْأَوَّلُ زَادَهُ عُثْمَانُ لِحَاجَةِ النَّاسِ إِلَيْهِ
وَأَقَرَّهُ عَلِيٌّ وَاسْتَمَرَّ عَمَلُ الْمُسْلِمِينَ عَلَيْهِ ، وَرُوِيَ عَنْ
اِبْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ هُوَ بِدْعَةٌ وَلَعَلَّهُ أَرَادَ مَا أَرَادَ
أَبُوهُ فِي التَّرَاوِيحِ اِنْتَهَى مُلَخَّصًا وَجَعَلْنَا
مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ [الأنبياء/30]
جامع العلوم والحكم - (ج 28 / ص 25)
فقوله - صلى الله عليه وسلم - : (( كلُّ بدعة
ضلالة )) من جوامع الكلم لا يخرج عنه شيءٌ ، وهو أصلٌ عظيمٌ من أصول الدِّيr ن ،
وهو شبيهٌ بقوله : (( مَنْ أَحْدَثَ في أَمْرِنا ما لَيسَ مِنهُ فَهو رَدٌّ ))
((2)) ، فكلُّ من أحدث شيئاً ، ونسبه إلى الدِّين ، ولم يكن له أصلٌ من الدِّين
يرجع إليه ، فهو ضلالةٌ ، والدِّينُ بريءٌ منه ، وسواءٌ في ذلك مسائلُ الاعتقادات
، أو الأعمال ، أو الأقوال الظاهرة والباطنة .
عمدة القاري شرح صحيح البخاري - (ج 20 / ص 412)
قوله من أحدث في أمرنا هذا الإحداث في أمر النبي
هو اختراع شيء في دينه بما ليس فيه مما لا يوجد في الكتاب والسنة قوله فهو رد أي
مردود ومن باب إطلاق المصدر على اسم المفعول كما يقال هذا خلق الله أي مخلوقه وهذا
نسج فلان أي منسوجه وحاصل معناه أنه باطل غير معتد به وفيه
رد المحدثات وأنها ليست من الدين لأنه ليس عليها أمره والمراد به أمر الدين
التحفة الربانية شرح الأربعين النووية - (ج 6 /
ص 1)
عن أم المؤمنين أم عبد الله عائشة رضي الله عنها
قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم : (( من أحدث في أمرنا هذا ما ليس
منه فهو رد )) رواه البخاري ومسلم . وفي رواية لمسلم (( من عمل عملا ليس عليه
أمرنا فهو رد )) .المفردات : أحدث : أنشأ واخترع . في
أمرنا : ديننا . ما ليس منه : من الدين ، بأن لا يشهد له شيء من
أدلة الشرع و قواعده العامة. فهو : الأمر المحدث . رد :
مردود غير مقبول : من إطلاق المصدر وإرادة إسم المفعول . يستفاد
منه : 1-رد كل محدثة في الدين لا توافق الشرع ، وفي الرواية الثانية
التصريح بترك كل محدثة سواء أحدثها فاعلها أو سبق إليها ، فإنه قد يحتج بعض
المعاندين إذا فعل البدعة يقول : ما أحدثت شيئا ، فيحتج عليه بالرواية الثانية (
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد ) ، وينبغي حفظ هذا الحديث ، واستعماله في رد
المنكرات .2-أن كل ما شهد له شيء من أدلة الشرع أو قواعده العامة ليس يرد
بل هو مقبول .3-إبطال جميع العقود المنهي عنها ، وعدم جود ثمراتها المترتبة
عليها .4-أن النهي يقتضي الفساد ، لأن المنهيات كلها ليست من أمر الدين فيجب ردها
.5-أن حكم الحاكم لا يغير ما في باطن الأمر ، لقوله ( ليس عليه أمرنا ) والمراد به
الدين . أن الصلح الفاسد منتقض ، والمأخوذ عنه مستحق
للرد.
فتح الباري لابن حجر - (ج 20 / ص 330)
وَرَدَ فِي حَدِيث عَائِشَة " مَنْ
أَحْدَثَ فِي أَمَرْنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدّ " كَمَا
تَقَدَّمَ شَرْحه وَمَضَى بَيَان ذَلِكَ قَرِيبًا فِي " كِتَاب الْأَحْكَام
" وَقَدْ وَقَعَ فِي حَدِيث جَابِر الْمُشَار إِلَيْهِ " وَكُلّ بِدْعَة
ضَلَالَة " وَفِي حَدِيث الْعِرْبَاض بْن سَارِيَة " وَإِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَات الْأُمُور فَإِنَّ كُلّ بِدْعَة ضَلَالَة " وَهُوَ حَدِيث
أَوَّله " وَعَظَنَا رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَوْعِظَة بَلِيغَة " فَذَكَرَهُ وَفِيهِ هَذَا أَخْرَجَهُ أَحْمَد وَأَبُو
دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيّ وَصَحَّحَهُ اِبْن مَاجَهْ وَابْن حِبَّان وَالْحَاكِم ، وَهَذَا
الْحَدِيث فِي الْمَعْنَى قَرِيب مِنْ حَدِيث عَائِشَة الْمُشَار إِلَيْهِ وَهُوَ
مِنْ جَوَامِع الْكَلِم قَالَ الشَّافِعِيّ " الْبِدْعَة بِدْعَتَانِ :
مَحْمُودَة وَمَذْمُومَة ، فَمَا وَافَقَ السُّنَّة فَهُوَ مَحْمُود وَمَا
خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوم " أَخْرَجَهُ أَبُو نُعَيْم بِمَعْنَاهُ مِنْ
طَرِيق إِبْرَاهِيم بْن الْجُنَيْد عَنْ الشَّافِعِيّ ، وَجَاءَ عَنْ الشَّافِعِيّ
أَيْضًا مَا أَخْرَجَهُ الْبَيْهَقِيُّ فِي مَنَاقِبه قَالَ " الْمُحْدَثَات
ضَرْبَانِ مَا أُحْدِث يُخَالِف كِتَابًا أَوْ سُنَّة أَوْ أَثَرًا أَوْ
إِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَة الضَّلَال ، وَمَا أُحْدِث مِنْ الْخَيْر لَا يُخَالِف
شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهَذِهِ مُحْدَثَة غَيْر مَذْمُومَة " اِنْتَهَى .
قسم الحديث - (ج 6 / ص -21)
وعن أمِّ المؤمنين أمِّ عبدِ الله عائشةَ رضي
الله عنها قالت: قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم - «مَنْ أَحْدَثَ فِي
أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ» [رواه البخاري مسلم]، وفي رواية
لمسلمٍ: «مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ».[الشرح]هذا
الحديث حديث عظيم جدّا، وعَظَّمَه العلماء، وقالوا إنه أصل في رد كل المحدثات
والبدع والأوضاع المخالفة للشريعة، فهو أصل في ردّ البدع في العبادات، وفي ردّ
العقود المحرمة، وفي ردّ الأوضاع المحدثة على خلاف الشريعة في المعاملات، وفي عقود
النكاح، وما أشبه ذلك، ولهذا جعل كثير من أهل العلم هذا الحديث مستمسكا في ردّ كل
مُحدَث، كل بدعة من البدع التي أحدثت في الدين، ولهذا ينبغي لطالب العلم أن يحرص
على هذا الحديث حرصا عظيما، وأن يحتج به في كل مورد يحتاج إليه فيه في رد البدع
والمحدثات، في الأقوال والأعمال والاعتقادات؛ فإنه أصل في هذا كلِّه.قال رحمه الله
تعالى (عن أمِّ المؤمنين أمِّ عبدِ الله عائشةَ رضي الله عنها قالت: قال رسول الله
- صلى الله عليه وسلم - «مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ
فَهُوَ رَدٌّ» وفي رواية لمسلم -وقد علَّقَها البخاري في الصحيح أيضا- «مَنْ
عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ»)، قال عليه الصلاة
والسلام (مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ)
قال(مَنْ أَحْدَثَ) ولفظ (مَنْ) هذا للاشتراك، وجوابه (فَهُوَ رَدٌّ) والحَدَث في
قوله (أَحْدَثَ) هو كل ما لم يكن على وفق الشريعة، على وفق ما جاء به المصطفى -
صلى الله عليه وسلم - لهذا قال فيه (مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا) والأمر هنا هو
الدين، كقوله جل وعلا { فَلْيَحْذَرْ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ
تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ } [النور:63]. فمن أحدث في
الدين ما ليس منه فهو مردود عليه، وقوله هنا (مَا لَيْسَ مِنْهُ) لأنّه قد يُحْدِث
شيئا باعتبار الناس، ولكنه سنة مهجورة؛ هجرها الناس، فهو قد سَنَّ سنة من الدين،
وذَكَّر بها الناس، كما جاء في الحديث أنه عليه الصلاة والسلام قال«ومن سَنَّ في
الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها إلى يوم القيامة»، فإذن قوله أولا
(مَنْ أَحْدَثَ) هذا فيه المحدثات في الدين، ودل عليها قوله (فِي أَمْرِنَا هَذَا)
يعني في ديننا هذا، وما عليه أمر النبي - صلى الله عليه وسلم - وهو شريعته. قال
(مَا لَيْسَ مِنْهُ) وهذه هي الرواية المشتهِرة في الصحيحين وفي غيرهما، ورُوي في
بعض كتب الحديث (مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ) يعني ما ليس في أمرنا، فهذا يدل
يعني هذه الرواية تدل على اشتراط العمل بذلك الشيء، ولا يُكْتَفَى فيه بالكليات في
الدلالة، قال (فَهُوَ رَدٌّ) يعني فهو مردود عليه كما قال علماء اللغة (ردٌّ) هنا
بمعنى مردود، كسد بمعنى مسدود، ففعل تأتي بمعنى مفعول، يعني من أتى بشيء محدث
في الدين لم يكن عليه النبي - صلى الله عليه وسلم - فهو مردود عليه كائنا من كان،
وهذا فسرته الرواية الأخرى (مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ
رَدٌّ)، فأرجعه إلى الأعمال، والعمل هنا المراد به الدين أيضا، يعني من عملا عملا
يتدين به من الأقوال أو الأعمال أو الاعتقادات ليس عليه أمرنا فهو رد، يعني مردودا
عليه. وهذا فيه إبطال كل المحدثات، وإبطال كل البدع، وذم ذلك، وأنها مردودة على
أصحابها، وهذا الحديث -كما ذكرت لك- أصلٌ في رد البدع في الدين، والأعمال التي في
الدين يعني أمور الدين منقسمة إلى عبادات وإلى معاملات، والمحدثات تكون في
العبادات وتكون في المعاملات، فهذا الحديث دَلَّ على إبطال المحدثات وإبطال البدع؛
لأن كل محدثة بدعة، يعني كل محدثة في الدين بدعة. والعلماء
تكلموا كثيرًا عن البدع والمحدثات، وجعلوا هذا الحديث دليلا على رد المحدثات
والبدع، فالبدع مذمومة في الدين، وهي شر من كبائر الذنوب العملية؛ لأن صاحبها
يستحسنها، ويستقيم عليها تقربا إلى الله جل وعلا. إذا
تبين هذا الشرح العام للحديث، فما المراد بالبدع والمحدثات؟ هذه مما اختلف العلماء
في تفسيرها، والمحدثات والبدع منقسمة إلى محدثات وبدع لغوية، وإلى محدثات وبدع في
الشرع. ¨ أما المحدث في اللغة: هو كل ما كان أُحْدِثَ، سواء أكان في
الدين، أو لم يكن في الدين، وإذا لم يكن في الدين فإنّ هذا معناه أنه لا يدخل في
هذا الحديث، وكذلك البدع، ولهذا قسم بعض أهل العلم المحدثات إلى قسمين: محدثات
ليست في الدين، وهذه لا تُذَم، ومحدثات في الدين، وهذه تذم. مثل
المحدثات التي ليست من الدين: مثل ما حصل من تغير في طرقات المدينة، وتوسعة عمر
الطرقات، أو تجصيص البيوت، أو استخدام أنواع من البُسط فيها، واتخاذ القصور في
المزارع، وما أشبه ذلك مما كان في زمن الصحابة وما بعده، أو اتخاذ الدواوين، أو ما
أشبه ذلك، فهذه أُحدثت في حياة الناس فهي محدثة، ولكنها ليست بمذمومة؛ لأنها لم
تتعلق بالدين. كذلك البدع، منها بدع في اللغة يصح أن تسمى
بدعة، باعتبار أنها ليس لها مثال سابق عليها في حال مَنْ وصفها بالبدعة، وبدع في
الدين، وهذه البدع التي في الدين كان الحال على خلافها، ثم أُحْدِثَتْ. مثاله
قول عمر - رضي الله عنه - لما جمع الناس على إمام واحد، وكانوا يصلون أشتاتا في
رمضان، جمعهم في التراويح على إمام واحد قال "نعمت البدعة هذه"،
فسماها بدعة باعتبار اللغة؛ لأنها في عهده بدعة، يعني لم يكن لها مثال سابق في عهد
عمر، فتعلقت باللغة أولا، ثم بالمتكلم ثانيا. إذا
تبين هذا فالمقصود بهذا الحديث المحدثات والبدع في الدين، والبدعة في الدين دَلَّ
الحديث على ردها، ودل على ذلك آيات كثيرة وأحاديث كثيرة، كما قال جل وعلا { أَمْ
لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنْ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ }
[الشورى:21]، فسماهم شركاء؛ لأنهم شرعوا من الدين شيئا لم يأتِ به محمد عليه
الصلاة والسلام، لم يأذن الله به شرعا، وقد قال جل وعلا { الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ
لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمْ الْإِسْلَامَ
دِينًا } [المائدة:3]، وقال جل وعلا { قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ
فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمْ اللَّهُ } [آل عمران:31]، والآيات في هذا المعنى
كثيرة، ويصلح أن يكون منها قوله جل وعلا { وَمَا آتَاكُمْ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ
وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا } [الحشر:7]، وقد جاء أيضا في الأحاديث ذم
البدع والمحدثات، كما كان عليه الصلاة والسلام يقول في الجمعة وفي غيرها «ألا إن
كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار»، وقد جاء أيضا في السنن من
حديث العرباض بن سارية - رضي الله عنه - أنه قال «وَعَظَنَا رَسُولُ الله - صلى
الله عليه وسلم - ذات يوم مَوْعِظَةً بَلِيغَةً، وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ،
وذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ، فقلنا: يا رسول الله، كأنها مَوْعِظَةُ مُوَدّعٍ»
الحديث. وفيه قال عليه الصلاة والسلام «إِنّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فسيَرَ
اخْتِلاَفَاً كَثِيراً، فَعَلَيْكم بِسُنّتِي وَسُنّةِ الْخُلَفَاءِ الرّاشِدِينَ
المُهْدِيّينَ من بعدي، تمسكوا بها، وعَضّوا عَلَيْهَا بالنّوَاجِذِ؛ فإنّ كل
محدثة بدعة» والعلماء؛ علماء السلف أجمعوا على إبطال البدع، فكل بدعة في الدين
أُجْمِعَ على إبطالها إذا صارت بدعة في الدين، دخل العلماء في تعريف البدعة، ما هي
التي يحكم عليها بأنها رَدّ؟ لأن هذا الحديث دل على أن كل
محدثة ردّ (مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ). فالبدعة
في الدين عُرِّفَتْ بعدة تعريفات، يهمنا منها تعريفان لضيق المقام: أولها:
التعريف المشهور الذي ذكره الشاطبي في الاعتصام، وهذا التعريف جيد؛ لأنه جعل
البدعة طريقة ملتَزَمة، وأن المقصود من السلوك عليها مضاهاة الطريقة الشرعية، وشرح
التعريف والكلام عليه يطول، فتراجعونه في مكانه. لكن
يهمنا من التعريف هذا شيئان: الأول: أن البدعة ملتزم بها؛ لأنه قال طريق في
الدين، والطريقة هي الملتزم بها، يعني: أصبحت طريقة يطرقها الأول والثاني والثالث،
أو تتكرر، فهذه الطريقة يعني ما التُزِم به من هذا الأمر. والثاني:
أنها مُخْتَرَعة، يعني أنها لم تكن على عهد النبي - صلى الله عليه وسلم -. والثالث:
أن هذه الطريقة تُضَاهَى بها الطريقة الشرعية من حيث إن الطريقة الشرعية لها وصف
ولها أثر، أما الوصف فمن جهة الزمان والمكان والعدد، وأما
الأثر فهو طلب الأجر من الله جل وعلا.
جامع العلوم والحكم محقق - (ج 7 / ص 1)
الحديث الخامس
عَنْ عائشةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قالتْ : قَالَ
رسولُ اللهِ - صلى الله عليه وسلم - : (( مَنْ أَحْدَثَ في أَمْرِنا هَذا ما لَيس
مِنهُ فَهو رَدٌّ )) رَواهُ البُخارِيُّ ومُسلِمٌ ، وفي رِوايةٍ لِمُسلِمٍ : (( مَنْ عَمِلَ عَمَلاً
لَيسَ عَلَيهِ أَمرُنا فَهو رَدٌّ )) .هذا الحديث خرّجاه في " الصحيحين
" من حديث القاسم بن محمد ، عن عمته عائشة - رضي الله عنها - ، وألفاظ الحديث
مختلفة ، ومعناها متقارب ، وفي بعض ألفاظه : (( مَنْ أحدث في ديننا ما ليس فيه فهو
ردّ )) . وهذا الحديث أصلٌ عظيم من أُصول الإسلام ، وهو
كالميزان للأعمال في ظاهرها كما أنّ حديث : (( الأعمال بالنيَّات )) ميزان للأعمال
في باطِنها ، فكما أنَّ كل عمل لا يُراد به وجه الله تعالى ، فليس لعامله فيه ثواب
، فكذلك كلُّ عمل لا يكون عليه أمر الله ورسوله ، فهو مردودٌ على عامله، وكلُّ
مَنْ أحدثَ في الدِّين ما لم يأذن به الله ورسوله ، فليس مِنَ الدين في شيء .
(4)صحيح
مسلم - (2 /570(704-
1017 حدثني
محمد بن الْمُثَنَّى الْعَنَزِيُّ أخبرنا محمد بن جَعْفَرٍ حدثنا شُعْبَةُ عن
عَوْنِ بن أبي جُحَيْفَةَ عن الْمُنْذِرِ بن جَرِيرٍ عن أبيه قال كنا عِنْدَ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم في
صَدْرِ النَّهَارِ قالفَجَاءَهُ قَوْمٌ حُفَاةٌ عُرَاةٌ مُجْتَابِي النِّمَارِ أو
الْعَبَاءِ مُتَقَلِّدِي السُّيُوفِ عَامَّتُهُمْ من مُضَرَ بَلْ كلهم من مُضَرَ
فَتَمَعَّرَ وَجْهُ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لِمَا رَأَى بِهِمْ من
الْفَاقَةِ فَدَخَلَ ثُمَّ خَرَجَ فَأَمَرَ بِلَالًا فَأَذَّنَ وَأَقَامَ فَصَلَّى
ثُمَّ خَطَبَ فقال { يا أَيُّهَا الناس اتَّقُوا رَبَّكُمْ الذي خَلَقَكُمْ من
نَفْسٍ وَاحِدَةٍ } إلى آخِرِ الْآيَةِ { إِنَّ اللَّهَ كان عَلَيْكُمْ رَقِيبًا }
وَالْآيَةَ التي في الْحَشْرِ { اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ ما
قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ } تَصَدَّقَ رَجُلٌ من دِينَارِهِ من
دِرْهَمِهِ من ثَوْبِهِ من صَاعِ بُرِّهِ من صَاعِ تَمْرِهِ حتى قال وَلَوْ
بِشِقِّ تَمْرَةٍ قال فَجَاءَ رَجُلٌ من الْأَنْصَارِ بِصُرَّةٍ كَادَتْ كَفُّهُ
تَعْجِزُ عنها بَلْ قد عَجَزَتْ قال ثُمَّ تَتَابَعَ الناس حتى رأيت كَوْمَيْنِ من
طَعَامٍ وَثِيَابٍ حتى رأيت وَجْهَ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَتَهَلَّلُ
كَأَنَّهُ مُذْهَبَةٌ فقال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم من سَنَّ في
الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ من عَمِلَ بها بَعْدَهُ
من غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ من أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ في الْإِسْلَامِ
سُنَّةً سَيِّئَةً كان عليه وِزْرُهَا وَوِزْرُ من عَمِلَ بها من بَعْدِهِ من
غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ من أَوْزَارِهِمْ شَيْ
(5)سنن
أبى داود - (ج 9 / ص 310)
3134 - حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنِى
جَعْفَرُ بْنُ خَالِدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا
فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ ».
(6)تفسير
الطبري - (ج 17 / ص 588)
وأولى الأقوال في ذلك بالصحة، ما ذكرنا عن ابن
عباس في الخبر الذي رواه أبو جعفر، عن سعيد، عن ابن عباس، لأن ذلك أصحّ الأسانيد
التي رُوِي عن صحابيّ فيه قولٌ مخرَّجا، وأشبه الأقوال بما دلّ عليه ظاهر التنزيل،
وذلك أن قوله( وَلا تَجْهَرْ بِصَلاتِكَ وَلا تُخَافِتْ بِهَا ) عقيب قوله( قُلِ
ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الأسْمَاءُ
الْحُسْنَى ) وعقيب تقريع الكفار بكفرهم بالقرآن، وذلك بعدهم منه ومن الإيمان.
فإذا كان ذلك كذلك، فالذي هو أولى وأشبه بقوله( وَلا تَجْهَرْ بِصَلاتِكَ وَلا
تُخَافِتْ بِهَا ) أن يكون من سبب ما هو في سياقه من الكلام، ما لم يأت بمعنى يوجب
صرفه عنه، أو يكون على انصرافه عنه دليل يعلم به الانصراف عما هو في سياقه. فإذا
كان ذلك كذلك، فتأويل الكلام: قل ادعوا الله، أو ادعوا الرحمن، أيا ما تدعوا فله
الأسماء الحسنى، ولا تجهر يا محمد بقراءتك في صلاتك ودعائك فيها ربك ومسألتك
إياه، وذكرك فيها، فيؤذيك بجهرك بذلك المشركون، ولا تخافت بها فلا يسمعها أصحابك(
وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلا ) ولكن التمس بين الجهر والمخافتة طريقا إلى أن
تسمع أصحابك، ولا يسمعه المشركون فيؤذوك. ولولا أن أقوال أهل التأويل مضت بما ذكرت
عنهم من التأويل، وأنا لا نستجير خلافهم فيما جاء عنهم، لكان وجها يحتمله التأويل
أن يقال: ولا تجهر بصلاتك التي أمرناك بالمخافتة بها، وهي صلاة النهار لأنها
عجماء، لا يجهر بها، ولا تخافت بصلاتك التي أمرناك بالجهر بها، وهي صلاة الليل،
فإنها يجهر بها( وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلا ) بأن تجهر بالتي أمرناك بالجهر
بها، وتخافت بالتي أمرناك بالمخافتة بها، لا تجهر بجميعها، ولا تخافت بكلها، فكان
ذلك وجها غير بعيد من الصحة، ولكنا لا نرى ذلك صحيحا لإجماع الحجة من أهل التأويل
على خلافه.
النكت والعيون - (ج 2 / ص 46)
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا
وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ وَلَا
تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ (205) إِنَّ الَّذِينَ عِنْدَ رَبِّكَ لَا
يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَيُسَبِّحُونَهُ وَلَهُ يَسْجُدُونَ (206)
قوله عز وجل : { وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي نَفْسِكَ
} وفي هذا الذكر ثلاثة أوجه :
أحدها : أنه ذكر القرءاة في الصلاة خلف
الإمام سراً في نفسه قاله قتادة .
والثاني : أنه ذكر بالقلب باستدامة الفكر حتى لا
ينسى نعم الله الموجبة لطاعته .
والثالث : ذكره باللسان إما رغبة إليه في دعائه
أو تعظيماً له بالآية . وفي المخاطب بهذا الذكر قولان :
أحدهما : أنه المستمع للقرآن إما في الصلاة أو
الخطبة ، قاله ابن زيد .
والثاني : أنه خطاب للنبي صلى الله عليه وسلم
ومعناه عام في جميع المكلفين .
ثم قال : { تَضَرُّعاً وَخِيفَةً } أما التضرع
فهو التواضع والخشوع ، وأما الخيفة فمعناه مخافة منه .
{ وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ
الْقَوْلِ } يعني أسرَّ القول إما بالقلب أو باللسان على ما تقدم من التأويلين
abdkadiralhamid@2015
0 Response to "Tahlil, Bid'ah Yang Dianjurkan"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip