Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a. (bag. 12)
H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Aswaja Mengisahkan tokoh kontroversi al imam ali ra dgn begitu objektif dan terukur, semoga dapat mengambil pelajaran dari kisah ini....
========================
Bab 14 Keutamaan Imam Ali r.a
Zaman kelahiran Islam dan
pertumbuhannya ditandai oleh ciri khusus dalam suatu kurun waktu tertentu.
Yaitu sepeninggal Rasul Allah s.a.w. ummat Islam dipimpin oleh 4 orang Khalifah
yang sangat terkenal dan diakui serta dihormati oleh segenap kaum muslimin di
dunia. Di antara empat orang Khalifah itu, terdapat seorang yang mempunyai
kedudukan istimewa dalam sejarah, yaitu Imam Ali r.a.
Banyak sekali hal-hal yang memberikan keistimewaan kepadanya. Antara lain sebagian ummat Islam di dunia sampai sekarang ini mengidentifikasikan diri sebagai pengikut Imam Ali bin Abi Thalib r.a., yaitu yang terkenal dengan sebutan kaum Syi'ah.
Selain itu, Imam Ali r.a.memang lebih masyhur disebut "Imam", daripada disebut Khalifah. Sedangkan Khalifah-khalifah lainnya, tak seorang pun yang disebut sebagai Imam. Sudah pasti hal itu disebabkan oleh adanya keistimewaan-keistimewaan yang melatar-belakangi kehidupan Imam Ali r.a., sehingga ia mempunyai identitas tersendiri dalam sejarah kehidupan ummat Islam.
Gelar Imam
Gelar "Imam" adalah khusus bagi Khalifah Ali bin Abi Thalib di samping gelar "Amirul Mukminin" yang lazim dipergunakan orang pada masa itu, untuk menyebut seorang pemangku jabatan sebagai pemimpin tertinggi dan Kepala Negara Islam.
Tentang ta'rif (definisi) dari perkataan "imamah" (keimaman) oleh para ahli ilmu kalam, dirumuskan: "Imamah ialah kepemimpinan umum dalam segala urusan agama dan keduniaan yang ada pada seseorang"
Jadi menurut ta'arif tersebut, maka yang dimaksud dengan "Imam" ialah seorang pemimpin atau seorang ketua yang ditaati dan memiliki kekuasaan yang menyeluruh atas semua orang muslimin dalam segala urusan mereka, baik di bidang keagamaan maupun di bidang keduniaan.
Menurut mazhab "Imamiyah", imamah merupakan keharusan objektif dalam kehidupan masyarakat muslimin, yang dalam keadaan bagaimana pun tak dapat diabaikan. Dengan adanya imamah, semua yang tidak lurus dalam tata pelaksanaan agama dan tata kehidupan dunia, dapat diluruskan. Dengan imamah pula, keadilan yang dikehendaki Allah harus berlaku di muka bumi, dapat diusahakan realisasinya. Sebab terpenting perlunya diadakan imamah, ialah untuk mendorong masyarakat supaya dengan benar menjalankan ibadah kepada Allah s.w.t., untuk menyebar luaskan ajaran agama-Nya, untuk menanamkan jiwa keimanan serta ketakwaan di kalangan anggota-anggota masyarakat.
Dengan demikian manusia akan mampu menghindarkan diri dari hal-hal yang buruk dan menghayati hal-hal yang baik, sebagaimana yang dikehendaki Allah s.w.t. Untuk itu, ummat Islam wajib mentaati seseorang Imam dan melaksanakan perintah-perintahnya selama imam itu taat dan tidak menyimpang dari perintah-perintah Allah s.w.t. Sebab hanya dengan ketaatan kaum muslimin, seorang Imam dapat membereskan keadaan yang tidak beres, mempererat persatuan dan kerukunan ummat, dan memberikan bimbingan ke jalan yang lurus dan benar.
Banyak sekali tugas dan kewajiban yang terpikul di pundak seorang Imam. Antara lain ialah menjaga dan memelihara pelaksanaan perintah serta larangan agama; menjaga keselamatan Islam dan kemurniannya dari perbuatan orang-orang yang mengabaikan nilai-nilai susila dan moral; melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum agama; menjamin pengayoman dan kesentosaan wilayah Islam; menjamin terlaksananya keadilan bagi orang-orang yang teraniaya (madzlum); memimpin ummat dalam perjuangan menegakkan kebenaran Allah dan lain sebagainya.
Untuk dapat menjadi Imam, orang harus memiliki syarat-syarat. Antara lain ia harus mempunyai pengetahuan yang luas; mempunyai rasa keadilan yang tinggi; berani karena benar, mampu memberikan pertolongan dan menanggulangi kesukaran, serta yang terpenting di atas segala-galanya ialah kebersihan pribadi.
Semua kaum muslimin menyadari, bahwa kebersihan pribadi ini merupakan karunia Allah yang dilimpahkan kepada hamba-Nya yang sempurna. Dengan kebersihan dan kesucian pribadi itu orang sanggup menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan dosa dan maksiyat, baik yang mungkin dilakukan dengan sengaja atau tidak. Sifat luhur seperti itu sudah tentu lebih terjamin adanya pada para Imam yang berasal dari Ahlu-Bait Rasul Allah s.aw., yaitu orang-orang yang sanggup menjadi benteng dan pengawal agama Islam, atau orang-orang yang hidup sepenuhnya mendambakan keridhoan Allah semata-mata.
Dalam kaitannya dengan masalah tersebut, Imam Ali r.a. menegaskan: "Barang siapa yang hendak menjadikan diri sebagai Imam di kalangan masayarakat, maka ia harus mengajar dirinya sendiri lebih dulu sebelum mengajar orang lain. Ia harus mendidik dirinya dengan perilaku yang baik lebih dulu sebelum mendidik orang lain dengan ucapan. Orang yang sanggup mengajar dan mendidik diri sendiri lebih berhak dihormati daripada orang yang hanya pandai mengajar dan mendidik orang lain."
Diantara empat orang Khalifah Rasyidun, hanya Khalifah Imam Ali bin Abi Thalib r.a. sajalah yang disandangi gelar "Imam" oleh kaum muslimin. Gelar ini tidak dikenakan kepada orang lain yang menjadi pemimpin kaum muslimin. Mengapa? Bukankah Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. juga seorang Imam seperti Khalifah Ali? Bukankah Umar Ibnul Khattab r.a. juga seorang Imam seperti Ali? Bukankah Utsman bin Affan r.a. juga seorang Imam seperti Khalifah Ali? Bukankah Khalifah-Khalifah itu juga Khalifah Rasyidun seperti Imam Ali? Bukankah juga Khalifah-Khalifah itu penerus kepemimpinan Rasul Allah s.a.w. sepeninggal beliau?
Bila pengertian "imamah" hanya terbatas pada kekhalifahan saja, tentu tiga orang Khalifah itu semuanya adalah Imam-Imam juga seperti Imam Ali r.a. Bahkan mereka memegang "imamah" lebih dulu daripada Imam Ali r.a.
Mengenai hal itu, seorang penulis modern berkebangsaan Mesir, Abbas Al Aqqad, berpendapat, bahwa kalau yang disebut "imamah" pada masa itu hanya terbatas pengertiannya di bidang hukum, tentu persamaan antara empat orang Khalifah itu tidak perlu disangkal lagi. Tetapi, demikian kata Aqqad seterusnya, tiga orang Khalifah Rasyidun di luar Imam Ali r.a., tak ada seorang pun diantara mereka itu mengibarkan bendera imamah untuk menghadapi tantangan kekuasaan duniawi yang muncul di kalangan ummat. Tak ada yang menghadapi adanya dua pasukan bersenjata yang saling berlawanan di dalam satu ummat. Dan tidak ada yang menjadi lambang imamah dalam menghadapi masalah-masalah rumit, yang penuh dengan berbagai problema yang menimbulkan syak dan keraguan di kalangan ummat.
Al Aqqad menambahkan, bahwa dalam keadaan tidak adanya problema-problema seperti itu, tiga orang Khalifah sebelum Imam Ali r.a., boleh saja disebut Imam. Tentu saja pengertian "Imam" itu sangat berlainan dengan gelar "Imam" yang ada pada Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Ia adalah seorang Imam yang menghadapi berbagai kejadian dan peristiwa yang banyak menimbulkan keragu-raguan berfikir di kalangan ummat. Oleh karena itulah gelar Imam diberikan kaum muslimin secara khusus kepada khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. Begitu luasnya gelar itu dikenal orang sampai menjadi buah bibir. Hingga anak-anak pun mengenal Imam Ali lewat sanjungan-sanjungan yang dikumandangkan orang di jalan-jalan, tanpa perlu disebut nama orang yang menyandang gelar itu sendiri.
Seterusnya Al Aqqad menjelaskan, bahwa "kekhususan imamah yang ada pada Ali bin Abi Thalib r.a. ialah bahwa ia seorang Imam yang tidak ada persamaannya dengan Imam-Imam lainnya. Sebab Imam Ali mempunyai kaitan langsung dengan mazhab-mazhab yang ada di kalangan kaum muslimin, bahkan dimulai semenjak kelahiran mazhab-mazhab itu sendiri pada masa pertumbuhan Islam. Jadi sebenarnya Imam Ali adalah pendiri mazhab-mazhab, atau dapat juga disebut sebagai poros di sekitar mana golongan mazhab itu berputar. Hampir tak ada satu golongan madzhab pun yang tidak berguru kepada Imam Ali bin Abi Thalib. Hampir tidak ada satu golongan madzhab pun yang tidak memandang Imam Ali sebagai pusat pembahasan ilmu agama."
Menurut kenyataannya, Imam Ali r.a. adalah Imam yang benar-benar memiliki semua syarat yang diperlukan. Satu keistimewaan yang paling menonjol dan tidak dipunyai oleh Khalifah-khalifah lainnya, ialah penguasaannya di bidang-bidang ilmu agama. Tentang hal ini akan kita bicarakan di bagian lain buku ini.
Di sini kami hanya ingin mengemukakan, bahwa Abdullah bin Abbas, seorang ulama yang terkenal luas ilmu pengetahuannya sampai diberi sebutan "habrul ummah" (pendekar ummat) dan "juru tafsir Al Qur'an," mengatakan dengan jujur, bahwa dibanding dengan ilmu Imam Ali, ilmunya sendiri ibarat setetes air di tengah samudera. Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. juga mengatakan: "Hai Abal Hasan (nama panggilan Imam Ali r.a.) mudah-mudahan Allah s.w.t. tidak membiarkan aku terus hidup di bumi tanpa engkau!"
Banyak sekali hal-hal yang memberikan keistimewaan kepadanya. Antara lain sebagian ummat Islam di dunia sampai sekarang ini mengidentifikasikan diri sebagai pengikut Imam Ali bin Abi Thalib r.a., yaitu yang terkenal dengan sebutan kaum Syi'ah.
Selain itu, Imam Ali r.a.memang lebih masyhur disebut "Imam", daripada disebut Khalifah. Sedangkan Khalifah-khalifah lainnya, tak seorang pun yang disebut sebagai Imam. Sudah pasti hal itu disebabkan oleh adanya keistimewaan-keistimewaan yang melatar-belakangi kehidupan Imam Ali r.a., sehingga ia mempunyai identitas tersendiri dalam sejarah kehidupan ummat Islam.
Gelar Imam
Gelar "Imam" adalah khusus bagi Khalifah Ali bin Abi Thalib di samping gelar "Amirul Mukminin" yang lazim dipergunakan orang pada masa itu, untuk menyebut seorang pemangku jabatan sebagai pemimpin tertinggi dan Kepala Negara Islam.
Tentang ta'rif (definisi) dari perkataan "imamah" (keimaman) oleh para ahli ilmu kalam, dirumuskan: "Imamah ialah kepemimpinan umum dalam segala urusan agama dan keduniaan yang ada pada seseorang"
Jadi menurut ta'arif tersebut, maka yang dimaksud dengan "Imam" ialah seorang pemimpin atau seorang ketua yang ditaati dan memiliki kekuasaan yang menyeluruh atas semua orang muslimin dalam segala urusan mereka, baik di bidang keagamaan maupun di bidang keduniaan.
Menurut mazhab "Imamiyah", imamah merupakan keharusan objektif dalam kehidupan masyarakat muslimin, yang dalam keadaan bagaimana pun tak dapat diabaikan. Dengan adanya imamah, semua yang tidak lurus dalam tata pelaksanaan agama dan tata kehidupan dunia, dapat diluruskan. Dengan imamah pula, keadilan yang dikehendaki Allah harus berlaku di muka bumi, dapat diusahakan realisasinya. Sebab terpenting perlunya diadakan imamah, ialah untuk mendorong masyarakat supaya dengan benar menjalankan ibadah kepada Allah s.w.t., untuk menyebar luaskan ajaran agama-Nya, untuk menanamkan jiwa keimanan serta ketakwaan di kalangan anggota-anggota masyarakat.
Dengan demikian manusia akan mampu menghindarkan diri dari hal-hal yang buruk dan menghayati hal-hal yang baik, sebagaimana yang dikehendaki Allah s.w.t. Untuk itu, ummat Islam wajib mentaati seseorang Imam dan melaksanakan perintah-perintahnya selama imam itu taat dan tidak menyimpang dari perintah-perintah Allah s.w.t. Sebab hanya dengan ketaatan kaum muslimin, seorang Imam dapat membereskan keadaan yang tidak beres, mempererat persatuan dan kerukunan ummat, dan memberikan bimbingan ke jalan yang lurus dan benar.
Banyak sekali tugas dan kewajiban yang terpikul di pundak seorang Imam. Antara lain ialah menjaga dan memelihara pelaksanaan perintah serta larangan agama; menjaga keselamatan Islam dan kemurniannya dari perbuatan orang-orang yang mengabaikan nilai-nilai susila dan moral; melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum agama; menjamin pengayoman dan kesentosaan wilayah Islam; menjamin terlaksananya keadilan bagi orang-orang yang teraniaya (madzlum); memimpin ummat dalam perjuangan menegakkan kebenaran Allah dan lain sebagainya.
Untuk dapat menjadi Imam, orang harus memiliki syarat-syarat. Antara lain ia harus mempunyai pengetahuan yang luas; mempunyai rasa keadilan yang tinggi; berani karena benar, mampu memberikan pertolongan dan menanggulangi kesukaran, serta yang terpenting di atas segala-galanya ialah kebersihan pribadi.
Semua kaum muslimin menyadari, bahwa kebersihan pribadi ini merupakan karunia Allah yang dilimpahkan kepada hamba-Nya yang sempurna. Dengan kebersihan dan kesucian pribadi itu orang sanggup menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan dosa dan maksiyat, baik yang mungkin dilakukan dengan sengaja atau tidak. Sifat luhur seperti itu sudah tentu lebih terjamin adanya pada para Imam yang berasal dari Ahlu-Bait Rasul Allah s.aw., yaitu orang-orang yang sanggup menjadi benteng dan pengawal agama Islam, atau orang-orang yang hidup sepenuhnya mendambakan keridhoan Allah semata-mata.
Dalam kaitannya dengan masalah tersebut, Imam Ali r.a. menegaskan: "Barang siapa yang hendak menjadikan diri sebagai Imam di kalangan masayarakat, maka ia harus mengajar dirinya sendiri lebih dulu sebelum mengajar orang lain. Ia harus mendidik dirinya dengan perilaku yang baik lebih dulu sebelum mendidik orang lain dengan ucapan. Orang yang sanggup mengajar dan mendidik diri sendiri lebih berhak dihormati daripada orang yang hanya pandai mengajar dan mendidik orang lain."
Diantara empat orang Khalifah Rasyidun, hanya Khalifah Imam Ali bin Abi Thalib r.a. sajalah yang disandangi gelar "Imam" oleh kaum muslimin. Gelar ini tidak dikenakan kepada orang lain yang menjadi pemimpin kaum muslimin. Mengapa? Bukankah Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. juga seorang Imam seperti Khalifah Ali? Bukankah Umar Ibnul Khattab r.a. juga seorang Imam seperti Ali? Bukankah Utsman bin Affan r.a. juga seorang Imam seperti Khalifah Ali? Bukankah Khalifah-Khalifah itu juga Khalifah Rasyidun seperti Imam Ali? Bukankah juga Khalifah-Khalifah itu penerus kepemimpinan Rasul Allah s.a.w. sepeninggal beliau?
Bila pengertian "imamah" hanya terbatas pada kekhalifahan saja, tentu tiga orang Khalifah itu semuanya adalah Imam-Imam juga seperti Imam Ali r.a. Bahkan mereka memegang "imamah" lebih dulu daripada Imam Ali r.a.
Mengenai hal itu, seorang penulis modern berkebangsaan Mesir, Abbas Al Aqqad, berpendapat, bahwa kalau yang disebut "imamah" pada masa itu hanya terbatas pengertiannya di bidang hukum, tentu persamaan antara empat orang Khalifah itu tidak perlu disangkal lagi. Tetapi, demikian kata Aqqad seterusnya, tiga orang Khalifah Rasyidun di luar Imam Ali r.a., tak ada seorang pun diantara mereka itu mengibarkan bendera imamah untuk menghadapi tantangan kekuasaan duniawi yang muncul di kalangan ummat. Tak ada yang menghadapi adanya dua pasukan bersenjata yang saling berlawanan di dalam satu ummat. Dan tidak ada yang menjadi lambang imamah dalam menghadapi masalah-masalah rumit, yang penuh dengan berbagai problema yang menimbulkan syak dan keraguan di kalangan ummat.
Al Aqqad menambahkan, bahwa dalam keadaan tidak adanya problema-problema seperti itu, tiga orang Khalifah sebelum Imam Ali r.a., boleh saja disebut Imam. Tentu saja pengertian "Imam" itu sangat berlainan dengan gelar "Imam" yang ada pada Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Ia adalah seorang Imam yang menghadapi berbagai kejadian dan peristiwa yang banyak menimbulkan keragu-raguan berfikir di kalangan ummat. Oleh karena itulah gelar Imam diberikan kaum muslimin secara khusus kepada khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. Begitu luasnya gelar itu dikenal orang sampai menjadi buah bibir. Hingga anak-anak pun mengenal Imam Ali lewat sanjungan-sanjungan yang dikumandangkan orang di jalan-jalan, tanpa perlu disebut nama orang yang menyandang gelar itu sendiri.
Seterusnya Al Aqqad menjelaskan, bahwa "kekhususan imamah yang ada pada Ali bin Abi Thalib r.a. ialah bahwa ia seorang Imam yang tidak ada persamaannya dengan Imam-Imam lainnya. Sebab Imam Ali mempunyai kaitan langsung dengan mazhab-mazhab yang ada di kalangan kaum muslimin, bahkan dimulai semenjak kelahiran mazhab-mazhab itu sendiri pada masa pertumbuhan Islam. Jadi sebenarnya Imam Ali adalah pendiri mazhab-mazhab, atau dapat juga disebut sebagai poros di sekitar mana golongan mazhab itu berputar. Hampir tak ada satu golongan madzhab pun yang tidak berguru kepada Imam Ali bin Abi Thalib. Hampir tidak ada satu golongan madzhab pun yang tidak memandang Imam Ali sebagai pusat pembahasan ilmu agama."
Menurut kenyataannya, Imam Ali r.a. adalah Imam yang benar-benar memiliki semua syarat yang diperlukan. Satu keistimewaan yang paling menonjol dan tidak dipunyai oleh Khalifah-khalifah lainnya, ialah penguasaannya di bidang-bidang ilmu agama. Tentang hal ini akan kita bicarakan di bagian lain buku ini.
Di sini kami hanya ingin mengemukakan, bahwa Abdullah bin Abbas, seorang ulama yang terkenal luas ilmu pengetahuannya sampai diberi sebutan "habrul ummah" (pendekar ummat) dan "juru tafsir Al Qur'an," mengatakan dengan jujur, bahwa dibanding dengan ilmu Imam Ali, ilmunya sendiri ibarat setetes air di tengah samudera. Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. juga mengatakan: "Hai Abal Hasan (nama panggilan Imam Ali r.a.) mudah-mudahan Allah s.w.t. tidak membiarkan aku terus hidup di bumi tanpa engkau!"
Zahid
Sebagai seorang Zahid yang berpegang teguh pada perintah Allah s.w.t. dan
tauladan serta ajaran ajaran Rasul-Nya, Imam Ali r.a. dengan konsekuen berani
menghadapi gangguan besar yang dialami dalam kariernya sebagai pemimpin
masyarakat dari kepala pemerintahan. Berkali-kali ia ditinggalkan oleh para
pendukung dan pengikutnya, tetapi tidak pernah patah hati.
Seperti dikatakan oleh Ali bin Muhammad bin Abi Saif Al Madainiy bahwa tidak sedikit orang Arab yang meninggalkan Imam Ali karena sikap mereka yang terlalu mengharapkan keuntungan-keuntungan material. Demikian juga tokoh-tokoh yang berpamrih ingin mendapat kedudukan, jangan harap mereka itu bisa bersahabat baik dan lama dengan Imam Ali. Seorang pemimpin besar seperti Imam Ali yang taqwanya kepada Allah sedemikian tinggi, dan sedemikian patuhnya bertauladan serta melaksanakan ajaran Rasul Allah s.a.w., tidak mencari teman dengan mengobral harta dan kedudukan. Ia sendiri memandang manusia bukan dari kekayaan dan kedudukan sosialnya, bukan pula dari asal-usul keturunannya, melainkan dari keimanannya kepada Allah s.w.t. dan kesetiaannya kepada ajaran Rasul-Nya.
Imam Ali tidak pernah memberikan perlakuan istimewa kepada seorang karena keturunan, kedudukan atau kekayaannya. Ia selalu memberikan perlakuan yang sama kepada semua orang, kaya atau miskin, orang yang berpangkat ataupun rakyat jelata. Itulah antara lain yang menjadi sebab mengapa setelah ia menjadi Khalifah, dijauhi oleh kepala-kepala qabilah dan tokoh-tokoh masyarakat yang berambisi dan hendak mendahulukan kepentingan pribadi atau golongan.
Tentang mengapa Imam Ali r.a. sampai ditinggal oleh para pengikut dan pendukungnya, Al-Madainiy dalam riwayat yang ditulisnya, antara lain mengemukakan, bahwa Al-Asytar pernah berkata kepada Innam Ali r.a.: "…Anda bertindak adil, baik terhadap mereka yang mempunyai kedudukan terhormat maupun mereka yang tidak mempunyai kedudukan. Di hadapan anda orang-orang yang terhormat itu tidak memperoleh perlakuan istimewa atau lebih dari perlakuan yang anda berikan kepada orang biasa. Akhirnya ada kelompok pengikut yang ribut dan heboh kalau keadilan dan kebenaran diterapkan atas diri mereka. Mereka sakit hati kalau pemerataan keadilan diterapkan atas diri mereka. Mereka lalu membanding-bandingkan betapa enaknya perlakuan Muawiyah terhadap orang-orang kaya dan terkemuka… Mereka lebih senang membeli kebatilan dengan kebenaran dan tergiur oleh kesenangan duniawi."
Setelah mendengar baik-baik ucapan Al Asytar, dengan tenang imam Ali r.a. berkata: "Apa yang kau katakan mengenai perilaku dan keadilanku, bukankah Allah Azza wa Jalla telah berfirman (yang artinya): "Barang siapa berbuat baik, maka pahala bagi dirinya sendiri, dan barang siapa yang berbuat buruk, maka dosanya pun akan menimpa dirinya sendiri. Dan Tuhanmu tidak berlaku dzalim terhadap para hamba-Nya" (S. Fushshilat: 46).
Kemudian Imam Ali r.a. berkata pula: "Sebenarnya Allah mengetahui, bahwa mereka itu menjauhi kami bukan karena kami berlaku dzalim. Mereka menjauhi kami bukan karena hendak mencari perlindungan keadilan. Yang mereka kejar hanyalah dunia, yang akhirnya akan lenyap juga dari mereka. Pada hari kiyamat mereka itu akan ditanya: 'apakah mereka hanya menginginkan dunia? Apakah yang telah mereka perbuat untuk Allah?'…"
Tentang pengobralan harta milik ummat untuk mendapatkan pengikut seperti yang dilakukan Muawiyah di Syam, Imam Ali r.a. berkata: "Kami tidak dapat memberikan pembagian harta ghanimah kepada seseorang melampaui ketentuan yang sudah menjadi haknya…"
Tentang banyak atau sedikitnya pengikut, Imam Ali r.a. mengemukakan contoh kehidupan Rasul Allah s.a.w.: "Allah mengutus Muhammad s.a.w. seorang diri. Kemudian Allah membuat pengikut beliau menjadi banyak, padahal mulanya sangat sedikit. Ummatnya yang pada mulanya hina kemudian diangkat menjadi ummat yang mulia. Jadi jika Allah hendak melimpahkan hal seperti itu kepadaku, semua kesulitan pasti akan dipermudah oleh-Nya, sedang segala yang berat akan diringankannya."
Menurut Hasan Al Bashriy: "Imam Ali r.a. adalah orang rahbaniy (orang suci) dari ummat ini." Orang suci dari ummat ini menghayati kehidupan yang amat sederhana. Ia bersembah sujud kepada Allah seperti para wali atau orang suci lainnya. Ia memikul tanggung jawab atas negara dan ummatnya dengan tekad seperti Nabi.
Di Kufah, Imam Ali r.a. melarang keras orang memaki-maki Muawiyah. Kepada sahabat-sahabatnya ia berkata: "Ucapkanlah: Ya Allah, hindarkanlah kami dari pertumpahan darah dengan mereka, dan perbaikilah hubungan persaudaraan kami dengan mereka!"
Padahal di Syam, Muawiyah mendorong-dorong penduduk supaya mencerca dan mencaci-maki Imam Ali r.a.
Di Kufah Imam Ali r.a. memakai baju seharga tiga dirham, menelan makanan serba kasar dan kering. Kekayaan kaum muslimin dibagi di antara mereka semua berdasarkan keadilan tanpa pilih kasih. Ia hidup taqwa dan zuhud tidak mengenal kesenangan hidup sama sekali!
Padahal di Syam Muawiyah tinggal di istana megah dan menikmati hidup serba mewah. Kekayaan datang dari mana-mana dalam jumlah yang sukar dihitung. Tetapi kekayaan itu dihamburkan untuk tujuan mencapai kepentingan ambisinya.
Di Kufah kepada para utusan muslimin yang datang, baik yang mencari kebenaran untuk dijadikan pegangan hidup, maupun yang mencari kekayaan atau kesempatan memperoleh kedudukan, oleh Imam Ali r.a. diingatkan kepada ayat Al-Qur'an (S. Yunus: 108), yang artinya: "Barang siapa memperoleh hidayat, maka hidayat itu sesungguhnya untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan barang siapa yang sesat, maka kesesatan itu pun akan mencelakakan dirinya sendiri."
Seperti dikatakan oleh Ali bin Muhammad bin Abi Saif Al Madainiy bahwa tidak sedikit orang Arab yang meninggalkan Imam Ali karena sikap mereka yang terlalu mengharapkan keuntungan-keuntungan material. Demikian juga tokoh-tokoh yang berpamrih ingin mendapat kedudukan, jangan harap mereka itu bisa bersahabat baik dan lama dengan Imam Ali. Seorang pemimpin besar seperti Imam Ali yang taqwanya kepada Allah sedemikian tinggi, dan sedemikian patuhnya bertauladan serta melaksanakan ajaran Rasul Allah s.a.w., tidak mencari teman dengan mengobral harta dan kedudukan. Ia sendiri memandang manusia bukan dari kekayaan dan kedudukan sosialnya, bukan pula dari asal-usul keturunannya, melainkan dari keimanannya kepada Allah s.w.t. dan kesetiaannya kepada ajaran Rasul-Nya.
Imam Ali tidak pernah memberikan perlakuan istimewa kepada seorang karena keturunan, kedudukan atau kekayaannya. Ia selalu memberikan perlakuan yang sama kepada semua orang, kaya atau miskin, orang yang berpangkat ataupun rakyat jelata. Itulah antara lain yang menjadi sebab mengapa setelah ia menjadi Khalifah, dijauhi oleh kepala-kepala qabilah dan tokoh-tokoh masyarakat yang berambisi dan hendak mendahulukan kepentingan pribadi atau golongan.
Tentang mengapa Imam Ali r.a. sampai ditinggal oleh para pengikut dan pendukungnya, Al-Madainiy dalam riwayat yang ditulisnya, antara lain mengemukakan, bahwa Al-Asytar pernah berkata kepada Innam Ali r.a.: "…Anda bertindak adil, baik terhadap mereka yang mempunyai kedudukan terhormat maupun mereka yang tidak mempunyai kedudukan. Di hadapan anda orang-orang yang terhormat itu tidak memperoleh perlakuan istimewa atau lebih dari perlakuan yang anda berikan kepada orang biasa. Akhirnya ada kelompok pengikut yang ribut dan heboh kalau keadilan dan kebenaran diterapkan atas diri mereka. Mereka sakit hati kalau pemerataan keadilan diterapkan atas diri mereka. Mereka lalu membanding-bandingkan betapa enaknya perlakuan Muawiyah terhadap orang-orang kaya dan terkemuka… Mereka lebih senang membeli kebatilan dengan kebenaran dan tergiur oleh kesenangan duniawi."
Setelah mendengar baik-baik ucapan Al Asytar, dengan tenang imam Ali r.a. berkata: "Apa yang kau katakan mengenai perilaku dan keadilanku, bukankah Allah Azza wa Jalla telah berfirman (yang artinya): "Barang siapa berbuat baik, maka pahala bagi dirinya sendiri, dan barang siapa yang berbuat buruk, maka dosanya pun akan menimpa dirinya sendiri. Dan Tuhanmu tidak berlaku dzalim terhadap para hamba-Nya" (S. Fushshilat: 46).
Kemudian Imam Ali r.a. berkata pula: "Sebenarnya Allah mengetahui, bahwa mereka itu menjauhi kami bukan karena kami berlaku dzalim. Mereka menjauhi kami bukan karena hendak mencari perlindungan keadilan. Yang mereka kejar hanyalah dunia, yang akhirnya akan lenyap juga dari mereka. Pada hari kiyamat mereka itu akan ditanya: 'apakah mereka hanya menginginkan dunia? Apakah yang telah mereka perbuat untuk Allah?'…"
Tentang pengobralan harta milik ummat untuk mendapatkan pengikut seperti yang dilakukan Muawiyah di Syam, Imam Ali r.a. berkata: "Kami tidak dapat memberikan pembagian harta ghanimah kepada seseorang melampaui ketentuan yang sudah menjadi haknya…"
Tentang banyak atau sedikitnya pengikut, Imam Ali r.a. mengemukakan contoh kehidupan Rasul Allah s.a.w.: "Allah mengutus Muhammad s.a.w. seorang diri. Kemudian Allah membuat pengikut beliau menjadi banyak, padahal mulanya sangat sedikit. Ummatnya yang pada mulanya hina kemudian diangkat menjadi ummat yang mulia. Jadi jika Allah hendak melimpahkan hal seperti itu kepadaku, semua kesulitan pasti akan dipermudah oleh-Nya, sedang segala yang berat akan diringankannya."
Menurut Hasan Al Bashriy: "Imam Ali r.a. adalah orang rahbaniy (orang suci) dari ummat ini." Orang suci dari ummat ini menghayati kehidupan yang amat sederhana. Ia bersembah sujud kepada Allah seperti para wali atau orang suci lainnya. Ia memikul tanggung jawab atas negara dan ummatnya dengan tekad seperti Nabi.
Di Kufah, Imam Ali r.a. melarang keras orang memaki-maki Muawiyah. Kepada sahabat-sahabatnya ia berkata: "Ucapkanlah: Ya Allah, hindarkanlah kami dari pertumpahan darah dengan mereka, dan perbaikilah hubungan persaudaraan kami dengan mereka!"
Padahal di Syam, Muawiyah mendorong-dorong penduduk supaya mencerca dan mencaci-maki Imam Ali r.a.
Di Kufah Imam Ali r.a. memakai baju seharga tiga dirham, menelan makanan serba kasar dan kering. Kekayaan kaum muslimin dibagi di antara mereka semua berdasarkan keadilan tanpa pilih kasih. Ia hidup taqwa dan zuhud tidak mengenal kesenangan hidup sama sekali!
Padahal di Syam Muawiyah tinggal di istana megah dan menikmati hidup serba mewah. Kekayaan datang dari mana-mana dalam jumlah yang sukar dihitung. Tetapi kekayaan itu dihamburkan untuk tujuan mencapai kepentingan ambisinya.
Di Kufah kepada para utusan muslimin yang datang, baik yang mencari kebenaran untuk dijadikan pegangan hidup, maupun yang mencari kekayaan atau kesempatan memperoleh kedudukan, oleh Imam Ali r.a. diingatkan kepada ayat Al-Qur'an (S. Yunus: 108), yang artinya: "Barang siapa memperoleh hidayat, maka hidayat itu sesungguhnya untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan barang siapa yang sesat, maka kesesatan itu pun akan mencelakakan dirinya sendiri."
Selain kalimat tersebut tidak ada harapan atau janji-janji muluk, tidak ada suap, dan tidak ada penghamburan uang milik ummat, betapa pun besarnya akibat yang akan dihadapi oleh Imam Ali r.a.
Sedang di Syam, Muawiyah memberi harapan dan janji-janji muluk serta mengobral harta dan hadiah-hadiah.
Di Kufah Imam Ali r.a. diminta oleh kaum muslimin supaya tinggal di sebuah istana besar dan megah. Waktu melihat istana itu Imam Ali ra. membuang muka sambil berkata: "Itu istana celaka! Sampai kapan pun aku tak sudi tinggal di sana!"
Penduduk Kufah tetap menghimbau dan mendesak supaya Imam Ali r.a. bersedia menempati istana itu, sebab dianggap patut dan sesuai, tetapi Imam Ali r.a. tetap menolak keras: "Aku tidak membutuhkan itu! Umar Ibnul Khattab sendiri dulu tidak menyukainya!"
Di Kufah, Imam Ali r.a. sering berjalan kaki ke pasar-pasar, padahal ia seorang Amirul Mukminin. Di sana ia menunjukan orang yang sesat jalan dan membantu orang yang lemah. Ia berjumpa dengan seorang yang sudah sangat lanjut usia. Segera ia membantu membawakan barang jinjingannya.
Melihat perbuatan Imam Ali r.a. seperti itu ada sahabatnya yang tidak rela, lalu mendekati, kemudian berkata kepadanya: "Ya Amirul Mukminin ....!"
Imam Ali r.a. tidak membiarkan sahabat itu berkata sampai selesai. Segera ia menukas dengan mengucapkan firman Allah, yang artinya: "Kampung akhirat itu kami sediakan bagi orang-orang yang tidak menyombongkan diri di bumi dan tidak berbuat kerusakan. Kesudahan yang baik bagi orang-orang yang bertaqwa." (S. Al-Qishash:83).
Ia membeli kebutuhan-kebutuhan keluarganya dan membawanya sendiri. Jika ada salah seorang dari pengantarnya yang hendak membawakan jinjingannya, ia menjawab sambil tersenyum: "Kepala keluarga lebih berhak membawanya sendiri!"
Walaupun ia seorang Khalifah, ia menunggang keledai dengan dua kaki tergelantung seolah-olah tak ada bedanya lagi dengan seorang badui miskin. Para sahabatnya berusaha mengganti hewan kendaraan itu dengan seekor kuda yang pantas bagi seorang Amirul Mukminin. Tetapi Imam Ali r.a. malah menjawab: "Biarkan aku meremehkan dunia ini!"
Imam Ali r.a. sanggup menaklukkan rayuan kesenangan duniawi dan menundukkan megahnya kekuasaan. Di dunia ini ia hidup untuk menunggu akhirat, dan bukannya takluk kepada dunia.
Nyata benar bedanya antara Imam Ali r.a. di Kufah dengan Muawiyah di Syam. Imam Ali r.a. hidup zuhud dan suci, sedang Muawiyah hidup serba mewah meniru raja-raja Persia dan Romawi. Salah seorang dinasti Bani Umayyah sendiri yang terkenal jujur, Umar bin Abdul Azis, mengakui terus terang: "Ali bin Abi Thalib r.a. adalah orang yang paling zuhud di dunia."
Imam Ali r.a. seperti diketahui pernah berselisih pendapat dengan Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. tentang kekhalifahan. Tetapi sebagai seorang zahid tidak mau mengingkari keutamaan Abu Bakar r.a. Sewaktu menyatakan belasungkawa atas wafatnya Abu Bakar r.a sambil menyeka air mata, Imam Ali r.a. berkata:
"Hai Abu Bakar, Allah telah melimpahkan rahmat kepadamu. Demi Allah, engkau adalah orang Islam pertama dari ummat ini. Orang yang paling ikhlas imannya dan orang yang paling lurus keyakinannya. Engkau adalah orang yang membenarkan dan mempercayai Rasul Allah s.a.w. di saat orang-orang lain mendustakannya. Engkaulah yang membantunya di saat orang-orang lain menggenggamkan tangan (kikir). Engkaulah yang tegak berdiri di sampingnya di saat orang-orang lain duduk berpangku tangan."
"Demi Allah, engkaulah yang menjadi pelindung Islam di saat orang-orang kafir hendak menghancurkannya. Hujahmu (dalam membela Islam) tak pernah lemah, pandanganmu senantiasa tajam, dan engkau tidak pernah berjiwa penakut."
"Demi Allah, engkau adalah seperti yang dikatakan Rasul Allah s.a.w.: badanmu lemah, tetapi agamamu kuat dan selalu bersikap rendah hati. Semoga Allah melimpahkan ganjaran kepadamu, dan semoga pula Allah tidak akan membiarkan aku tersesat sepeninggalmu."
Banyak sekali riwayat yang mengisahkan kezuhudan Imam Ali r.a. Sikapnya yang selalu menolak kekayaan dan harta benda sangat menonjol. Salah seorang tokoh pada zamannya, Asy Syi'biy misalnya, sangat terkesan oleh suatu peristiwa yang disaksikannya sendiri di masa kanak-kanak. Katanya: "Bersama anak-anak lain aku pernah masuk ke sebuah tempat yang sangat luas di Kufah. Di sana aku melihat Imam Ali sedang berdiri di depan dua onggok emas dan perak. Ia memegang sebilah pedang untuk membubarkan orang banyak yang berkerumun di tempat itu. Setelah itu ia kembali menghampiri onggokan emas dan perak untuk menghitungnya. Kemudian memanggil orang-orang supaya mendekat dan kulihat semua emas dan perak habis dibagi-bagikan sampai tak ada lagi sisanya."
"Waktu aku pulang," kata Asy Syi'biy seterusnya, "bertanya kepada ayah: 'Yang kusaksikan hari ini orang yang paling baik ataukah orang yang paling bodoh?' Sambil keheran-heranan ayah balik bertanya: 'Siapa dia, anakku?' Kujawab: 'Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.' Kemudian kuceritakan kepada ayah apa yang kusaksikan tadi. Mendengar ceritaku itu ayah terharu dan sambil melinangkan air mata menjawab: 'Yang kaulihat tadi itu orang yang paling baik, anakku'…"
Riwayat yang membuktikan tentang tidak senangnya Imam Ali r.a. kepada harta kekayaan diceritakan juga oleh Muhammad bin Fudhail, Harun bin Antarah dan Zadan. Ketika itu Muhammad bin Fudhail bepergian bersama pelayan Imam Ali r.a. yang bernama Qanbar. Di tengah jalan mereka bertemu dengan Imam Ali r.a. Kepada tuannya Qanbar memberitahu bahwa ia mempunyai barang simpanan yang khusus disembunyikan untuknya. Pemberitahuan Qanbar itu menimbulkan tanda-tanya di hatinya. Kemudian ia minta penjelasan. Tanpa memberi jawaban apapun Qanbar terus mengajak Imam Ali r.a. pergi ke tempat tinggalnya. Setibanya di rumah, Qanbar menghampiri sebuah tempat dan mengambil sebuah kantong. Waktu kantong dibuka dan dikeluarkan ternyata berisi beberapa piala penuh dengan kepingan-kepingan emas dan perak.
Dengan wajah berseri-seri Qanbar berkata: "Kulihat tuan tak pernah membiarkan barang apa pun yang tidak tuan bagikan kepada orang-orang lain sampai habis. Oleh karena itu semuanya ini kusembunyikan dari Baitul Mal, khusus untuk tuan."
Dengan mata membelalak, Imam Ali membentak: "Celaka engkau, hai Qanbar! Apakah engkau ingin memasukkan kobaran api ke dalam rumahku?" Tanpa banyak bicara lagi Imam Ali segera menghunus pedang lalu dihantamkan kuat-kuat ke kantong yang berisi piala-piala penuh emas dan perak. Piala-piala itu hancur berkeping-keping dan emas serta perak tertebar berhamburan.
Habis itu Imam Ali r.a. mengumpulkan orang banyak. Kepada mereka ia berkata: "Bagilah semuanya itu dengan adil!"
Belum puas dengan sikap yang memukaukan orang banyak itu, Imam Ali r.a. cepat-cepat menuju Baitul Mal. Semua yang tersimpan dalam balai harta kaum muslimin itu dibagi-bagikan begitu saja kepada orang-orang. Setelah terbagi rata, ia masih melihat ada beberapa kerat jarum dan benda-benda kecil lain yang kurang berharga. Kepada orang-orang yang masih tinggal ia menganjurkan supaya benda-benda kecil itu.dibagi juga. Apa jawab mereka: "… Kami tidak membutuhkan itu…!"
Imam Ali r.a. tersenyum meninggalkan Baitul Mal seraya bergumam: "Yang jelek sebenarnya harus diambil juga bersama-sama yang baik!" Ia pergi tanpa sekeping pun melekat di tangannya.
Sikap Hidup
Sikap dan cara hidup Imam Ali r.a. benar-benar telah manunggal dengan kezuhudan
dan ketinggian tingkat taqwanya kepada Allah s.w.t. Pernah terjadi, ada seorang
telah melakukan suatu kesalahan. Untuk menutupi kesalahannya, ia
menyanjung-nyanjung Imam Ali r.a. Sebagai orang yang sudah tahu duduk
persoalannya, Imam Ali r.a. menjawab: "Aku ini sebenarnya tidak setinggi seperti
yang kaukatakan itu, tetapi aku ini sebenarnya memang lebih tinggi daripada apa
yang ada pada dirimu."
Perkataan itu diucapkannya dengan wajar, di samping menunjukkan bahwa ia tidak mabok sanjung-puji, sekaligus pula mengeritik orang yang bersangkutan, bahwa perbuatan buruk berakibat memerosotkan martabat.
Lain contoh lagi tentang kesederhanaan sikapnya. Dalam satu peperangan, lawan-lawan yang dihadapinya semua berseragam tempur, lengkap dengan baju dan topi besi. Tidak dimilikinya seragam tempur seperti itu, tidak membuat Imam Ali r.a. malu dan gentar. Ia terjun ke kancah pertempuran tanpa mengenakan baju besi atau topi pelindung. Sikap Imam Ali r.a. yang seperti itu mencerminkan kewajaran dan kesederhanaannya, walau dalam keadaan menghadapi bahaya menantang. Prinsip kesederhanaan yang tidak dibuat-buat itulah yang melahirkan sikap polos, jujur dan terus terang, baik dalam ucapan maupun perbuatan, dalam keadaan sulit atau pun tidak.
Kepolosan dan kewajaran dalam menghadapi lawan seperti di atas tadi, sering disalah-artikan atau disalah-gunakan orang untuk mengecap Imam Ali r.a. sebagai orang yang sombong dan sok. Benarlah apa yang pernah dikatakan salah seorang sahabatnya: "Ali bin Abi Thalib r.a. adalah orang yang mengenal perang hanya dengan modal keberanian. Ia tidak kenal bagaimana dalam peperangan orang harus mendaya-gunakan tipu-muslihat."
Benarnya ucapan itu tampak jelas pada kata-kata Imam Ali r.a. sendiri, yang dengan gamblang menegaskan: "Bukti keberanian ialah engkau harus mengutamakan kejujuran dan bukannya kebohongan, walau kejujuran itu akan mengakibatkan kerugian, dan kebohongan akan mengakibatkan keberuntungan. Dalam berbicara dengan orang lain hendaknya engkau tetap selalu taqwa dan patuh kepada Allah s.w.t."
Dibanding dengan Khalifah-khalifah sebelumnya, memang tak ada seorang pun yang sedemikian zuhudnya dalam menghindari nikmatnya kekuasaan dan kekayaan atau kesenangan-kesenangan duniawi lainnya. Ia makan roti yang terigunya berasal dari cucuran keringat isterinya sendiri, Sitti Fatimah r.a.
Tiap kali isterinya selesai menumbuk gandum, ia sendirilah yang turun tangan menggaruki ujung antan (alu) dengan jari jemarinya guna mengumpulkan sisa-sisa tepung yang melekat. Sambil mengerjakan hal itu Imam Ali r.a. berkata kepada isterinya: "Aku tak ingin perutku ini dimasuki sesuatu yang aku tak tahu dari mana asalnya…"
Bagaimana lugu dan cara hidupnya yang berada di bawah tingkat sederhana itu diungkapkan oleh Uqbah bin Alqamah, yang mengisahkan pengalaman sendiri, sebagai berikut: "Pada satu hari aku berkunjung ke rumah Ali bin Abi Thalib r.a. Kulihat ia sedang memegang sebuah mangkuk berisi susu yang sudah berbau asam. Bau sengak susu itu sangat menusuk hidungku. Kutanyakan kepadanya: "Ya Amiral Mukminin, mengapa anda sampai makan seperti itu?"
"Hai Abal Janub," jawabnya, "Rasul Allah s.a.w. dulu minum susu yang jauh lebih basi dibanding dengan susu ini. Beliau juga mengenakan pakaian yang jauh lebih kasar daripada bajuku ini (sambil menunjuk kepada baju yang sedang dipakainya). Kalau aku sampai tidak dapat melakukan apa yang sudah dilakukan oleh beliau, aku khawatir tak akan dapat berjumpa dengan beliau di hari kiyamat nanti."
Imam Ali r.a. sebagai seorang shaleh, zuhud, tahan menderita dan sanggup membebaskan diri dari kesenangan duniawi, belum pernah makan sampai merasa kenyang. Makanannya bermutu sangat rendah dan pakaiannya pun hampir tak ada harganya. Abdullah bin Rafi' menceritakan penyaksiannya sendiri sebagai berikut: "Pada suatu hari raya aku datang ke rumah Imam Ali r.a. Ia sedang memegang sebuah kantong tertutup rapat berisi roti yang sudah kering dari remuk. Kulihat roti itu dimakannya. Aku bertanya keheran-heranan: "Ya Amiral Mukminin, bagaimana roti seperti itu sampai anda simpan rapat-rapat"
"Aku khawatir," sahut Imam Ali r.a., "kalau sampai dua orang anakku itu mengolesinya dengan samin atau minyak makan."
Tidak jarang pula Imam Ali r.a. memakai baju robek yang ditambalnya sendiri. Kadang-kadang ia memakai baju katun berwarna putih, tebal dan kasar. Jika ada bagian baju yang ukuran panjangnya lebih dari semestinya, ia potong sendiri dengan pisau dan tidak perlu dijahit lagi.
Bila makan bersama orang lain, ia tetap menahan tangan, sampai daging yang ada di hadapannya habis dimakan orang. Bila makan seorang diri dengan lauk, maka lauknya tidak lain hanyalah cuka dan garam. Selebihnya dari itu ia hanya makan sejenis tumbuh-tumbuhan. Makan yang lebih baik dari itu ialah dengan sedikit susu unta. Ia tidak makan daging kecuali sedikit saja. Kepada orang lain ia sering berkata: "Janganlah perut kalian dijadikan kuburan hewan!"
Sungguh pun tingkat penghidupannya serendah itu, Imam Ali r.a. mempunyai kekuatan jasmani yang luar biasa. Lapar seolah-olah tidak mengurangi kekuatan tenaganya. Ia benar-benar bercerai dengan kenikmatan duniawi. Padahal jika ia mau, kekayaan bisa mengalir kepadanya dari berbagai pelosok wilayah Islam, kecuali Syam. Semuanya itu dihindarinya dan sama sekali tidak menggiurkan seleranya.
Perkataan itu diucapkannya dengan wajar, di samping menunjukkan bahwa ia tidak mabok sanjung-puji, sekaligus pula mengeritik orang yang bersangkutan, bahwa perbuatan buruk berakibat memerosotkan martabat.
Lain contoh lagi tentang kesederhanaan sikapnya. Dalam satu peperangan, lawan-lawan yang dihadapinya semua berseragam tempur, lengkap dengan baju dan topi besi. Tidak dimilikinya seragam tempur seperti itu, tidak membuat Imam Ali r.a. malu dan gentar. Ia terjun ke kancah pertempuran tanpa mengenakan baju besi atau topi pelindung. Sikap Imam Ali r.a. yang seperti itu mencerminkan kewajaran dan kesederhanaannya, walau dalam keadaan menghadapi bahaya menantang. Prinsip kesederhanaan yang tidak dibuat-buat itulah yang melahirkan sikap polos, jujur dan terus terang, baik dalam ucapan maupun perbuatan, dalam keadaan sulit atau pun tidak.
Kepolosan dan kewajaran dalam menghadapi lawan seperti di atas tadi, sering disalah-artikan atau disalah-gunakan orang untuk mengecap Imam Ali r.a. sebagai orang yang sombong dan sok. Benarlah apa yang pernah dikatakan salah seorang sahabatnya: "Ali bin Abi Thalib r.a. adalah orang yang mengenal perang hanya dengan modal keberanian. Ia tidak kenal bagaimana dalam peperangan orang harus mendaya-gunakan tipu-muslihat."
Benarnya ucapan itu tampak jelas pada kata-kata Imam Ali r.a. sendiri, yang dengan gamblang menegaskan: "Bukti keberanian ialah engkau harus mengutamakan kejujuran dan bukannya kebohongan, walau kejujuran itu akan mengakibatkan kerugian, dan kebohongan akan mengakibatkan keberuntungan. Dalam berbicara dengan orang lain hendaknya engkau tetap selalu taqwa dan patuh kepada Allah s.w.t."
Dibanding dengan Khalifah-khalifah sebelumnya, memang tak ada seorang pun yang sedemikian zuhudnya dalam menghindari nikmatnya kekuasaan dan kekayaan atau kesenangan-kesenangan duniawi lainnya. Ia makan roti yang terigunya berasal dari cucuran keringat isterinya sendiri, Sitti Fatimah r.a.
Tiap kali isterinya selesai menumbuk gandum, ia sendirilah yang turun tangan menggaruki ujung antan (alu) dengan jari jemarinya guna mengumpulkan sisa-sisa tepung yang melekat. Sambil mengerjakan hal itu Imam Ali r.a. berkata kepada isterinya: "Aku tak ingin perutku ini dimasuki sesuatu yang aku tak tahu dari mana asalnya…"
Bagaimana lugu dan cara hidupnya yang berada di bawah tingkat sederhana itu diungkapkan oleh Uqbah bin Alqamah, yang mengisahkan pengalaman sendiri, sebagai berikut: "Pada satu hari aku berkunjung ke rumah Ali bin Abi Thalib r.a. Kulihat ia sedang memegang sebuah mangkuk berisi susu yang sudah berbau asam. Bau sengak susu itu sangat menusuk hidungku. Kutanyakan kepadanya: "Ya Amiral Mukminin, mengapa anda sampai makan seperti itu?"
"Hai Abal Janub," jawabnya, "Rasul Allah s.a.w. dulu minum susu yang jauh lebih basi dibanding dengan susu ini. Beliau juga mengenakan pakaian yang jauh lebih kasar daripada bajuku ini (sambil menunjuk kepada baju yang sedang dipakainya). Kalau aku sampai tidak dapat melakukan apa yang sudah dilakukan oleh beliau, aku khawatir tak akan dapat berjumpa dengan beliau di hari kiyamat nanti."
Imam Ali r.a. sebagai seorang shaleh, zuhud, tahan menderita dan sanggup membebaskan diri dari kesenangan duniawi, belum pernah makan sampai merasa kenyang. Makanannya bermutu sangat rendah dan pakaiannya pun hampir tak ada harganya. Abdullah bin Rafi' menceritakan penyaksiannya sendiri sebagai berikut: "Pada suatu hari raya aku datang ke rumah Imam Ali r.a. Ia sedang memegang sebuah kantong tertutup rapat berisi roti yang sudah kering dari remuk. Kulihat roti itu dimakannya. Aku bertanya keheran-heranan: "Ya Amiral Mukminin, bagaimana roti seperti itu sampai anda simpan rapat-rapat"
"Aku khawatir," sahut Imam Ali r.a., "kalau sampai dua orang anakku itu mengolesinya dengan samin atau minyak makan."
Tidak jarang pula Imam Ali r.a. memakai baju robek yang ditambalnya sendiri. Kadang-kadang ia memakai baju katun berwarna putih, tebal dan kasar. Jika ada bagian baju yang ukuran panjangnya lebih dari semestinya, ia potong sendiri dengan pisau dan tidak perlu dijahit lagi.
Bila makan bersama orang lain, ia tetap menahan tangan, sampai daging yang ada di hadapannya habis dimakan orang. Bila makan seorang diri dengan lauk, maka lauknya tidak lain hanyalah cuka dan garam. Selebihnya dari itu ia hanya makan sejenis tumbuh-tumbuhan. Makan yang lebih baik dari itu ialah dengan sedikit susu unta. Ia tidak makan daging kecuali sedikit saja. Kepada orang lain ia sering berkata: "Janganlah perut kalian dijadikan kuburan hewan!"
Sungguh pun tingkat penghidupannya serendah itu, Imam Ali r.a. mempunyai kekuatan jasmani yang luar biasa. Lapar seolah-olah tidak mengurangi kekuatan tenaganya. Ia benar-benar bercerai dengan kenikmatan duniawi. Padahal jika ia mau, kekayaan bisa mengalir kepadanya dari berbagai pelosok wilayah Islam, kecuali Syam. Semuanya itu dihindarinya dan sama sekali tidak menggiurkan seleranya.
Ibadah
Imam Ali r.a. merupakan orang yang paling tekun dan banyak beribadah. Ia pun
paling sering berpuasa. Kepadanya banyak orang yang minta petunjuk tentang
cara-cara yang terbaik dalam menunaikan sembahyang malam, berwirid, berzikir
dan beribadah lainnya. Bila sedang menghadap ke hadhirat Allah 'Azaa wa Jalla,
Imam Ali r.a. sedemikian khusyu' dan khidmatnya, tak ada sesuatu yang dapat
menggoyahkan kebulatan fikiran dan perasaannya.
Dalam situasi sedang berkobarnya pertempuran di Shiffin, habis menunaikan shalat, Imam Ali r.a. tekun berwirid, tidak terpengaruh oleh hiruk-pikuk orang yang sedang mengadu tenaga dan senjata. Di malam yang sangat mengerikan itu, Imam Ali r.a. bersembah sujud di hadapan Allah s.w.t., padahal tidak sedikit anak panah yang beterbangan di kanan-kirinya dan ada pula yang berjatuhan di depannya. Ia tidak gentar sedikit pun dan tidak.bangun meninggalkan tempat ibadah sebelum menyelesaikannya dengan tuntas. Demikian banyaknya ia bersembah sujud setiap hari, siang dan malam, sampai kulit keningnya menebal dan keras kehitam-hitaman.
Ia selalu bermunajat kepada Allah dan mengagungkan-Nya, menyatakan ketundukan dan penyerahan hidup-matinya kepada Allah. Dengan patuh ia melaksanakan semua perintah dan menghindari larangan-Nya. Semuanya itu dilakukan dengan sepenuh hati, jujur dan ikhlas. Hatinya, perbuatannya dan ucapannya sedemikian utuhnya menjadi satu perpaduan yang tak kenal garis pemisah.
Konon Ali bin Al Husein r.a. --cucu Imam Ali r.a.-- pernah ditanya orang tentang "bagaimana perbandingan antara ibadah yang anda lakukan dengan ibadah yang dilakukan datuk anda?"
Ali bin Al Husein r.a. yang terkenal sebagai orang shaleh dan tekun beribadah itu menjawab: "Perbandingan antara ibadahku dengan ibadah datukku, sama seperti perbandingan antara ibadah datukku dengan ibadah Rasul Allah s.a.w."
Tentang ibadah Imam Ali r.a. ini, 'Urwah bin Zubair mengemukakan sebuah riwayat yang berasal dari Abu Darda sebagai berikut:
Pada suatu hari aku menyaksikan Ali bin Abi Thalib r.a. berada di halaman rumah seorang yang penuh dengan pepohonan. Ia mengasingkan diri dari orang lain dan bersembunyi di sela-sela batang kurma yang sangat lebat: "Aku mencari-cari dia sampai agak jauh. Kukira pasti ia sudah berada di rumahnya lagi. Tibatiba aku mendengar suara ratap sedih: 'Ya Allah, Tuhanku, betapa banyaknya dosa yang karena kebijaksanaan-Mu tidak Engkau balas dengan murka-Mu. Betapa pula banyaknya dosa yang karena kemurahan-Mu tidak Engkau gugat. Ya Allah, Tuhanku, bila sepanjang umur aku berbuat dosa kepada-Mu dan sangat banyak dosaku tercatat dalam shuhuf, maka aku tidak mengharap sesuatu selain pengampunan-Mu dan aku tidak mendambakan sesuatu kecuali keridhnan-Mu'…"
"Suara ratap sedih itu sangat menarik perhatianku. Jejaknya kutelusuri. Ternyata suara itu adalah suara Ali bin Abi Thalib r.a. Aku lalu bersembunyi dan menunduk agar jangan sampai diketahui olehnya. Kulihat ia sedang berruku' beberapa kali di tengah kegelapan malam. Kemudian ia berdoa sambil menangis dan mengeluh sedih ke hadhirat Allah s.w.t. Di antara munajat yang diucapkannya ialah: "Ya Allah, Tuhanku, tiap kurenungkan keampunan-Mu, terasa ringanlah kesalahanku. Dan tiap kuingat murka-Mu yang dahsyat, terasa sangat besarlah dosa kesalahanku."
Kata Abu Darda lebih lanjut: "Ia lalu tenggelam di dalam tangis. Makin lama suaranya tidak kudengar lagi. Kufikir mungkin ia tertidur nyenyak karena terlalu banyak bergadang. Dini hari ia hendak kubangunkan untuk shalat subuh. Ia kudekati, ternyata ia tergeletak seperti sebatang kayu. Ia kugerak-gerakkan dan kubalik-balik, tetapi sama sekali tidak berkutik. Kuduga ia wafat. Lalu aku mengucap: Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji'uun. Aku cepat-cepat lari ke rumahnya untuk memberi tahu keluarganya."
Setelah mendengar keteranganku, Sitti Fatimah r.a. hanya bertanya: "Hai Abu Darda, dia kenapa dan bagaimana keadaannya?"
Sesudah kujelaskan keadaan Imam Ali r.a., Sitti Fatiinah r.a. memberitahu kepadaku, bahwa "…dia sedang pingsan, karena sangat takut kepada Allah!"
Keluarganya lantas mendatangi Imam Ali r.a. dengan membawa air, kemudian mengusap-usapkan pada wajahnya. Tak lama setelah itu ia siuman dan sadarkan diri kembali. Ia memandang kepadaku dan aku menangis. Ia bertanya: "Hai Abu Darda, mengapa engkau menangis?"
"Karena melihat sesuatu yang menimpa dirimu," jawabku.
"Hai Abu Darda," ujar Imam Ali r.a. lebih lanjut, "bagaimanakah kiranya kalau engkau melihat aku dipanggil untuk menghadapi perhitungan (hisab), melihat sendiri orang-orang yang berbuat dosa sedang menderita siksa adzab, melihat aku dikelilingi sejumlah Malaikat yang bengis dan keras di hadapan Allah Maha Perkasa, sedang para pencintaku sudah tiada lagi dan para ahli dunia pun sudah meninggalkan diriku. Seandainya engkau melihat itu semua, engkau pasti akan lebih mengasihi diriku di hadapan Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu betapa pun kecilnya."
"Aku tidak pernah melihat hal itu terjadi pada sahabat Rasul Allah s.a.w. yang lain…," sahut Abu Darda.
Itulah keistimewaan Imam Ali r.a. dalam menghadapkan diri kepada Allah s.w.t. dengan kekhusyu'an seluruh jiwa-raganya. Suatu hal yang sudah biasa disaksikan sendiri oleh semua Ahlul Bait. Mereka tidak terkejut ketika diberitahu oleh Abu Darda tentang keadaan Imam Ali r.a. Bahkan Sitti Fatimah r.a. menceritakan, bahwa apa yang disaksikan oleh Abu Darda itu sudah biasa dialami oleh Imam Ali r.a. tiap saat menghadapkan diri kepada Allah s.w.t. di tengah malam.
Mengenai banyaknya ibadah yang dilakukan Imam Ali r.a. di waktu malam, Nauf Al Bikally menceritakan penyaksiannya sebagai berikut:
"Pada satu hari aku menginap di rumah Imam Ali r.a. Sepanjang malam ia bersembahyang. Sebentar-sebentar ia keluar, mengarahkan pandangan ke langit, dan membaca Al-Qur'an. Di malam yang sunyi senyap itu ia bertanya kepadaku: 'Hai Nauf, engkau tidur ataukah melek?'…"
"Aku melek dan melihatmu dengan mataku, ya Amiral Mukminin," jawabku.
"Hai Nauf," ujar Imam Ali r.a. meneruskan, "bahagialah orang yang hidup zuhud di dunia, orang-orang yang merindukan akhirat. Mereka itulah orang-orang yang menjadikan bumi ini sebagai hamparan, menjadikan pasirnya sebagai kasur, menjadikan airnya sebagai nikmat, menjadikan doa sebagai syi'ar, menjadikan Al-Qur'an sebagai selimut, dan meninggalkan dunia ini dengan cara seperti Isa bin Maryam as.!"
Selama hidupnya Imam Ali r.a. tidak pernah putus sembahyang malam. Tentang hal ini, Abu Ya'laa meriwayatkan, bahwa Imam Ali r.a. pernah menegaskan: "Aku tidak pernah meninggalkan shalat malam semenjak kudengar Rasul Allah s.a.w. mengatakan, bahwa shalat malam itu adalah cahaya."
Berdasarkan keterangan yang diterima dari ibunya, Sulaiman bin Al-Mughirah mengatakan: "Bulan Ramadhan atau pun Syawal, bagi Imam Ali r.a. adalah sama saja. Tiap malam ia bergadang untuk beribadah."
Begitu agungnya kedudukkan Allah 'Azza wa Jalla dalam jiwa Imam Ali r.a. Ia beribadah karena dorongan rasa cinta dan rindu kepada-Nya. Ia menyadari sepenuhnya bahwa Allah sajalah yang berhak disembah. Ia bersembah sujud semata-mata hanya karena merasa keterikatan hidupnya dengan Allah. Ia hidup bertauladan kepada Mahagurunya, yaitu Rasul Allah s.a.w.
Suatu ibadah yang lebih besar artinya daripada hanya sekedar berdasar keyakinan, dan lebih mulia daripada hanya sekedar dorongan iman! Dengan ucapannya yang abadi, ia pernah menegaskan: "Orang-orang yang beribadah kepada Allah karena pamrih, sama seperti ibadahnya kaum pedagang. Orang-orang yang beribadah karna takut, sama seperti ibadahnya seorang budak. Orang yang beribadah karena syukur, itulah ibadahnya manusia merdeka!"
Di samping Imam Ali r.a. sendiri selalu menjaga baik-baik kewajiban shalat, ia pun terus-menerus mengingatkan para pengikutnya supaya selalu menunaikan shalat tepat pada waktunya. Shalat itu ibarat sebuah pisau yang dapat mengupas daki dan kotoran manusia. Hanya shalatlah yang dapat membersihkannya sama sekali. Oleh Rasul Allah s.a.w. shalat diibaratkan sebagai mata air panas yang tersedia di depan pintu rumah tiap muslim. Bila tiap sehari semalam seorang muslim mandi dengan air panas itu lima kali, kotoran apakah yang tidak terbuang dari badannya?!
Sekalipun Rasul Allah s.a.w. telah menjanjikan nikmat kepada Imam Ali r.a., namun kewajiban shalat tetap dijaga kuat-kuat olehnya, sesuai dengan perintah Allah s.w.t. dalam firman-Nya yang berarti: "Perintahkanlah keluargamu bersembahyang dan hendaknya bersabar dalam menunaikannya…" (S. Thaha: 132).
Tidaklah aneh kalau orang Zahid seperti Imam Ali r.a. itu pantang diperlakukan lebih daripada orang lain. Walau ia seorang anggota Ahlu Bait Rasul Allah s.a.w. dan seorang ilmuwan, namun tidak menyukai perlakuan istimewa.
Diriwayatkan, bahwa pada suatu hari ada orang mengadukan Imam Ali r.a. kepada Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. tentang suatu perkara. Waktu itu Imam Ali r.a. sudah siap dan duduk. Tak lama kemudian Khalifah Umar r.a. menoleh kepadanya sambil berkata: "Bangunlah, ya Abal Hasan, duduklah bersama lawan perkara anda!"
Imam Ali r.a. bangun, lalu duduk berhadapan dengan orang yang mengadukannya. Setelah perkaranya selesai, orang yang mengadu pergi meninggalkan tempat, Imam Ali r.a. pindah duduk di tempat semula. Ketika itu Khalifah Umar r.a. melihat wajah Imam Ali r.a. berubah, lalu bertanya: "Ya Abal Hasan, mengapa kulihat wajah anda berubah? Apakah anda tidak senang terhadap apa yang baru terjadi?"
"Ya, benar!" jawab Imam Ali r.a. "Sebab anda memanggilku dengan nama kehormatan di depan lawan perkara!"
Mendengar jawaban Imam Ali r.a. yang seperti itu, Khalifah Umar r.a. dengan rasa terharu merangkulnya seraya berkata: "Ya Allah, kalian itu…! Dengan kalian (Ahlul Bait) Allah memberi hidayat kepada kami, dan dengan kalian pula Allah mengeluarkan kami dari kegelapan ke cahaya terang…!"
Kezuhudannya, kesederhanaannya, keshalihannya serta ketaqwaannya kepada Allah s.w.t. tidak membuat Imam Ali r.a. menjadi orang yang berwajah angker. Ia seorang yang anggun, bermuka cerah dan ramah. Bahkan tidak jarang ia bergurau untuk menyenangkan hati orang lain. Ia tidak pernah tampak angkuh, memberengut dan suram.
Sifat Imam Ali r.a. yang ramah, terbuka dan jika perlu dapat bergurau, sering dilebih-lebihkan oleh lawan-lawannya untuk menjatuhkan nama baik dan mengurangi martabatnya. Terutama oleh Amr bin Al-Ash secara berlebih-lebihan disebar-luaskan. Lawan Imam Ali r.a. itu mengatakan kepada penduduk Syam, bahwa Ali bin Abi Thalib seorang yang "gemar bercanda".
Jujur dan Adil
Bukanlah suatu hal yang mengherankan bila seseorang jujur dan adil terhadap sesama kawan. Tetapi bila ada orang yang jujur dan adil terhadap lawan, ini sungguh suatu keluar-biasaan. Justru inilah yang menjadi salah satu sifat istimewa Imam Ali r.a.
Dalam kedudukkannya sebagai Khalifah, pada satu hari Imam Ali r.a. melihat baju besi yang pernah dimilikinya berada di tangan seorang penduduk beragama Nasrani. Karena merasa yakin, bahwa barang itu memang miliknya, untuk mendapatkan kembali secara baik ia mengadu kepada hakim setempat. Dalam sidang khusus untuk menyelesaikan tuntutannya itu, di depan peradilan Imam Ali r.a. mengatakan bahwa baju besi itu benarbenar miliknya. Ia menegaskan: "Belum pernah aku menjual baju besi itu. Sepanjang ingatanku, belum pernah barang itu kuhadiahkan kepada orang lain."
Sungguhpun demikian, orang Nasrani yang menjadi tergugat itu tetap bertahan, bahwa baju besi itu miliknya yang sah. Tanpa ragu-ragu ia menjawab: "Baju besi ini milikku sendiri. Aku yakin Amirul Mukminin tidak akan berbuat bohong."
Mendengar keterangan yang berlawanan itu, hakim menoleh kepada Imam Ali r.a. dan bertanya sekali lagi: "Apakah anda mempunyai keterangan tambahan?"
Beberapa saat lamanya Imam Ali r.a. diam, tidak tahu apa yang harus dikatakan. Namun ia yakin bahwa barang itu memang miliknya. Akhirnya pertanyaan hakim itu dijawab sambil tersenyum: "Apa yang anda tanyakan itu memang perlu, tetapi aku tidak mempunyai keterangan tambahan."
Setelah mengadakan pertimbangan secukupnya, hakim memutuskan bahwa barang yang dipersengketakan itu menjadi milik sah orang Nasrani yang menjadi tergugat dalam perkara itu. Oleh hakim, orang Nasrani yang bersangkutan diperkenankan pulang membawa barang tersebut. Dengan wajah berseri-seri mencerminkan keikhlasan hatinya Imam Ali r.a. melihat orang Nasrani itu beranjak dari tempatnya sambil mengangkat baju besi.
Baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba orang Nasrani itu balik kembali menghampiri Imam Ali r.a. dan hakim yang masih duduk di tempat masing-masing. Kepada Imam Ali r.a. orang Nasrani itu berkata: "Apa yang kusaksikan mengenai diri anda, benar-benar sama seperi hukum yang berlaku bagi para Nabi!" Kemudian dengan khidmat ia berkata lebih lanjut: "Sekarang aku bersaksi, bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasul Allah. Ya Amiral Mukminin, memang benarlah baju besi ini kepunyaan anda. Waktu anda berangkat ke Shiffin dulu, aku mengikuti kafilah anda. Baju besi ini jatuh kemudian diambil oleh salah seorang anggota pasukan yang sedang kekurangan bekal."
Dengan tenang Imam Ali r.a. menjawab pernyataan orang Nasrani yang sudah mengikrarkan syahadat itu: "Karena anda sekarang sudah memeluk agama Islam, barang itu sekarang sudah menjadi kepunyaan anda!"
Percakapan antara dua orang itu disaksikan oleh hakim dan hadirin lainnya. Mereka ramai membicarakan kejadian yang sangat mengesankan itu. Benarlah bahwa hanya orang muslim yang menghayati Islam sepenuhnya sajalah, yang dapat bersikap seperti Imam Ali r.a. Tetapi tak ada orang lain yang lebih terkesan dalam hatinya selain orang Nasrani yang sekarang sudah jadi muslim itu. Kenyataan ini dibuktikan pada hari-hari selanjutnya. Sejarah kemudian mencatat, bahwa bekas Nasrani itu ternyata seorang muslim yang sangat gigih membela Imam Ali r.a. dalam perjuangan menegakkan kebenaran Islam dan menumpas pemberontakan Khawarij di Nehrawan.
Peristiwa tersebut merupakan petunjuk nyata tentang betapa tingginya tingkat ketaqwaan, kejujuran dan keadilan Imam Ali r.a. Semua ibadah jasmaniah dan rohaniyahnya bukan lagi dirasa sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan, melainkan sudah menjadi kenikmatan dan kebahagiaan hidupnya sehari-hari. Semua yang dilakukan semata-mata berdasarkan dorongan cinta kepada Allah 'Azza wa Jalla dan kegairahan melaksanakan tauladan hidup yang diberikan oleh putera pamannya, Nabi Muhammad s.a.w.
Dalam hal melaksanakan keadilan, Imam Ali r.a. benar-benar tidak pandang bulu. Yang benar dinyatakan benar, yang salah dinyatakan salah, tak peduli siapa saja yang dihadapinya. Apakah yang dihadapinya itu orang lain, keluarga sendiri, orang kaya atau miskin, orang yang berkedudukan atau pun tidak. Dalam pandangan Imam Ali r.a. sebagai penegak hukum Allah, semua manusia adalah hamba Allah yang sama derajat.
Dalam suatu kesempatan, Aqil bin Abi Thalib --kakak Imam Ali r.a.-- menceritakan penyaksiannya sendiri tentang keadilan saudara kandungnya itu, sebagai berikut: "Waktu berkunjung ke rumah Imam Ali r.a., Aqil melihat Al Husein r.a. sedang kedatangan seorang tamu. Ia meminjam uang satu dirham untuk membeli beberapa potong roti. Uang itu belum cukup untuk keperluan lauk. Kepada pelayan rumahnya, Qanbar, Al Husein r.a. minta supaya dibukakan kantong kulit berisi madu yang dibawa orang dari Yaman. Qanbar mengambil madu setakar."
"Waktu Imam Ali r.a. datang dan minta supaya Qanbar mengambilkan kantong madu untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berhak, ia melihat madu sudah berkurang. Imam Ali r.a. bertanya: 'Hai Qanbar, kukira sudah terjadi sesuatu dengan wadah
Dalam situasi sedang berkobarnya pertempuran di Shiffin, habis menunaikan shalat, Imam Ali r.a. tekun berwirid, tidak terpengaruh oleh hiruk-pikuk orang yang sedang mengadu tenaga dan senjata. Di malam yang sangat mengerikan itu, Imam Ali r.a. bersembah sujud di hadapan Allah s.w.t., padahal tidak sedikit anak panah yang beterbangan di kanan-kirinya dan ada pula yang berjatuhan di depannya. Ia tidak gentar sedikit pun dan tidak.bangun meninggalkan tempat ibadah sebelum menyelesaikannya dengan tuntas. Demikian banyaknya ia bersembah sujud setiap hari, siang dan malam, sampai kulit keningnya menebal dan keras kehitam-hitaman.
Ia selalu bermunajat kepada Allah dan mengagungkan-Nya, menyatakan ketundukan dan penyerahan hidup-matinya kepada Allah. Dengan patuh ia melaksanakan semua perintah dan menghindari larangan-Nya. Semuanya itu dilakukan dengan sepenuh hati, jujur dan ikhlas. Hatinya, perbuatannya dan ucapannya sedemikian utuhnya menjadi satu perpaduan yang tak kenal garis pemisah.
Konon Ali bin Al Husein r.a. --cucu Imam Ali r.a.-- pernah ditanya orang tentang "bagaimana perbandingan antara ibadah yang anda lakukan dengan ibadah yang dilakukan datuk anda?"
Ali bin Al Husein r.a. yang terkenal sebagai orang shaleh dan tekun beribadah itu menjawab: "Perbandingan antara ibadahku dengan ibadah datukku, sama seperti perbandingan antara ibadah datukku dengan ibadah Rasul Allah s.a.w."
Tentang ibadah Imam Ali r.a. ini, 'Urwah bin Zubair mengemukakan sebuah riwayat yang berasal dari Abu Darda sebagai berikut:
Pada suatu hari aku menyaksikan Ali bin Abi Thalib r.a. berada di halaman rumah seorang yang penuh dengan pepohonan. Ia mengasingkan diri dari orang lain dan bersembunyi di sela-sela batang kurma yang sangat lebat: "Aku mencari-cari dia sampai agak jauh. Kukira pasti ia sudah berada di rumahnya lagi. Tibatiba aku mendengar suara ratap sedih: 'Ya Allah, Tuhanku, betapa banyaknya dosa yang karena kebijaksanaan-Mu tidak Engkau balas dengan murka-Mu. Betapa pula banyaknya dosa yang karena kemurahan-Mu tidak Engkau gugat. Ya Allah, Tuhanku, bila sepanjang umur aku berbuat dosa kepada-Mu dan sangat banyak dosaku tercatat dalam shuhuf, maka aku tidak mengharap sesuatu selain pengampunan-Mu dan aku tidak mendambakan sesuatu kecuali keridhnan-Mu'…"
"Suara ratap sedih itu sangat menarik perhatianku. Jejaknya kutelusuri. Ternyata suara itu adalah suara Ali bin Abi Thalib r.a. Aku lalu bersembunyi dan menunduk agar jangan sampai diketahui olehnya. Kulihat ia sedang berruku' beberapa kali di tengah kegelapan malam. Kemudian ia berdoa sambil menangis dan mengeluh sedih ke hadhirat Allah s.w.t. Di antara munajat yang diucapkannya ialah: "Ya Allah, Tuhanku, tiap kurenungkan keampunan-Mu, terasa ringanlah kesalahanku. Dan tiap kuingat murka-Mu yang dahsyat, terasa sangat besarlah dosa kesalahanku."
Kata Abu Darda lebih lanjut: "Ia lalu tenggelam di dalam tangis. Makin lama suaranya tidak kudengar lagi. Kufikir mungkin ia tertidur nyenyak karena terlalu banyak bergadang. Dini hari ia hendak kubangunkan untuk shalat subuh. Ia kudekati, ternyata ia tergeletak seperti sebatang kayu. Ia kugerak-gerakkan dan kubalik-balik, tetapi sama sekali tidak berkutik. Kuduga ia wafat. Lalu aku mengucap: Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji'uun. Aku cepat-cepat lari ke rumahnya untuk memberi tahu keluarganya."
Setelah mendengar keteranganku, Sitti Fatimah r.a. hanya bertanya: "Hai Abu Darda, dia kenapa dan bagaimana keadaannya?"
Sesudah kujelaskan keadaan Imam Ali r.a., Sitti Fatiinah r.a. memberitahu kepadaku, bahwa "…dia sedang pingsan, karena sangat takut kepada Allah!"
Keluarganya lantas mendatangi Imam Ali r.a. dengan membawa air, kemudian mengusap-usapkan pada wajahnya. Tak lama setelah itu ia siuman dan sadarkan diri kembali. Ia memandang kepadaku dan aku menangis. Ia bertanya: "Hai Abu Darda, mengapa engkau menangis?"
"Karena melihat sesuatu yang menimpa dirimu," jawabku.
"Hai Abu Darda," ujar Imam Ali r.a. lebih lanjut, "bagaimanakah kiranya kalau engkau melihat aku dipanggil untuk menghadapi perhitungan (hisab), melihat sendiri orang-orang yang berbuat dosa sedang menderita siksa adzab, melihat aku dikelilingi sejumlah Malaikat yang bengis dan keras di hadapan Allah Maha Perkasa, sedang para pencintaku sudah tiada lagi dan para ahli dunia pun sudah meninggalkan diriku. Seandainya engkau melihat itu semua, engkau pasti akan lebih mengasihi diriku di hadapan Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu betapa pun kecilnya."
"Aku tidak pernah melihat hal itu terjadi pada sahabat Rasul Allah s.a.w. yang lain…," sahut Abu Darda.
Itulah keistimewaan Imam Ali r.a. dalam menghadapkan diri kepada Allah s.w.t. dengan kekhusyu'an seluruh jiwa-raganya. Suatu hal yang sudah biasa disaksikan sendiri oleh semua Ahlul Bait. Mereka tidak terkejut ketika diberitahu oleh Abu Darda tentang keadaan Imam Ali r.a. Bahkan Sitti Fatimah r.a. menceritakan, bahwa apa yang disaksikan oleh Abu Darda itu sudah biasa dialami oleh Imam Ali r.a. tiap saat menghadapkan diri kepada Allah s.w.t. di tengah malam.
Mengenai banyaknya ibadah yang dilakukan Imam Ali r.a. di waktu malam, Nauf Al Bikally menceritakan penyaksiannya sebagai berikut:
"Pada satu hari aku menginap di rumah Imam Ali r.a. Sepanjang malam ia bersembahyang. Sebentar-sebentar ia keluar, mengarahkan pandangan ke langit, dan membaca Al-Qur'an. Di malam yang sunyi senyap itu ia bertanya kepadaku: 'Hai Nauf, engkau tidur ataukah melek?'…"
"Aku melek dan melihatmu dengan mataku, ya Amiral Mukminin," jawabku.
"Hai Nauf," ujar Imam Ali r.a. meneruskan, "bahagialah orang yang hidup zuhud di dunia, orang-orang yang merindukan akhirat. Mereka itulah orang-orang yang menjadikan bumi ini sebagai hamparan, menjadikan pasirnya sebagai kasur, menjadikan airnya sebagai nikmat, menjadikan doa sebagai syi'ar, menjadikan Al-Qur'an sebagai selimut, dan meninggalkan dunia ini dengan cara seperti Isa bin Maryam as.!"
Selama hidupnya Imam Ali r.a. tidak pernah putus sembahyang malam. Tentang hal ini, Abu Ya'laa meriwayatkan, bahwa Imam Ali r.a. pernah menegaskan: "Aku tidak pernah meninggalkan shalat malam semenjak kudengar Rasul Allah s.a.w. mengatakan, bahwa shalat malam itu adalah cahaya."
Berdasarkan keterangan yang diterima dari ibunya, Sulaiman bin Al-Mughirah mengatakan: "Bulan Ramadhan atau pun Syawal, bagi Imam Ali r.a. adalah sama saja. Tiap malam ia bergadang untuk beribadah."
Begitu agungnya kedudukkan Allah 'Azza wa Jalla dalam jiwa Imam Ali r.a. Ia beribadah karena dorongan rasa cinta dan rindu kepada-Nya. Ia menyadari sepenuhnya bahwa Allah sajalah yang berhak disembah. Ia bersembah sujud semata-mata hanya karena merasa keterikatan hidupnya dengan Allah. Ia hidup bertauladan kepada Mahagurunya, yaitu Rasul Allah s.a.w.
Suatu ibadah yang lebih besar artinya daripada hanya sekedar berdasar keyakinan, dan lebih mulia daripada hanya sekedar dorongan iman! Dengan ucapannya yang abadi, ia pernah menegaskan: "Orang-orang yang beribadah kepada Allah karena pamrih, sama seperti ibadahnya kaum pedagang. Orang-orang yang beribadah karna takut, sama seperti ibadahnya seorang budak. Orang yang beribadah karena syukur, itulah ibadahnya manusia merdeka!"
Di samping Imam Ali r.a. sendiri selalu menjaga baik-baik kewajiban shalat, ia pun terus-menerus mengingatkan para pengikutnya supaya selalu menunaikan shalat tepat pada waktunya. Shalat itu ibarat sebuah pisau yang dapat mengupas daki dan kotoran manusia. Hanya shalatlah yang dapat membersihkannya sama sekali. Oleh Rasul Allah s.a.w. shalat diibaratkan sebagai mata air panas yang tersedia di depan pintu rumah tiap muslim. Bila tiap sehari semalam seorang muslim mandi dengan air panas itu lima kali, kotoran apakah yang tidak terbuang dari badannya?!
Sekalipun Rasul Allah s.a.w. telah menjanjikan nikmat kepada Imam Ali r.a., namun kewajiban shalat tetap dijaga kuat-kuat olehnya, sesuai dengan perintah Allah s.w.t. dalam firman-Nya yang berarti: "Perintahkanlah keluargamu bersembahyang dan hendaknya bersabar dalam menunaikannya…" (S. Thaha: 132).
Tidaklah aneh kalau orang Zahid seperti Imam Ali r.a. itu pantang diperlakukan lebih daripada orang lain. Walau ia seorang anggota Ahlu Bait Rasul Allah s.a.w. dan seorang ilmuwan, namun tidak menyukai perlakuan istimewa.
Diriwayatkan, bahwa pada suatu hari ada orang mengadukan Imam Ali r.a. kepada Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. tentang suatu perkara. Waktu itu Imam Ali r.a. sudah siap dan duduk. Tak lama kemudian Khalifah Umar r.a. menoleh kepadanya sambil berkata: "Bangunlah, ya Abal Hasan, duduklah bersama lawan perkara anda!"
Imam Ali r.a. bangun, lalu duduk berhadapan dengan orang yang mengadukannya. Setelah perkaranya selesai, orang yang mengadu pergi meninggalkan tempat, Imam Ali r.a. pindah duduk di tempat semula. Ketika itu Khalifah Umar r.a. melihat wajah Imam Ali r.a. berubah, lalu bertanya: "Ya Abal Hasan, mengapa kulihat wajah anda berubah? Apakah anda tidak senang terhadap apa yang baru terjadi?"
"Ya, benar!" jawab Imam Ali r.a. "Sebab anda memanggilku dengan nama kehormatan di depan lawan perkara!"
Mendengar jawaban Imam Ali r.a. yang seperti itu, Khalifah Umar r.a. dengan rasa terharu merangkulnya seraya berkata: "Ya Allah, kalian itu…! Dengan kalian (Ahlul Bait) Allah memberi hidayat kepada kami, dan dengan kalian pula Allah mengeluarkan kami dari kegelapan ke cahaya terang…!"
Kezuhudannya, kesederhanaannya, keshalihannya serta ketaqwaannya kepada Allah s.w.t. tidak membuat Imam Ali r.a. menjadi orang yang berwajah angker. Ia seorang yang anggun, bermuka cerah dan ramah. Bahkan tidak jarang ia bergurau untuk menyenangkan hati orang lain. Ia tidak pernah tampak angkuh, memberengut dan suram.
Sifat Imam Ali r.a. yang ramah, terbuka dan jika perlu dapat bergurau, sering dilebih-lebihkan oleh lawan-lawannya untuk menjatuhkan nama baik dan mengurangi martabatnya. Terutama oleh Amr bin Al-Ash secara berlebih-lebihan disebar-luaskan. Lawan Imam Ali r.a. itu mengatakan kepada penduduk Syam, bahwa Ali bin Abi Thalib seorang yang "gemar bercanda".
Jujur dan Adil
Bukanlah suatu hal yang mengherankan bila seseorang jujur dan adil terhadap sesama kawan. Tetapi bila ada orang yang jujur dan adil terhadap lawan, ini sungguh suatu keluar-biasaan. Justru inilah yang menjadi salah satu sifat istimewa Imam Ali r.a.
Dalam kedudukkannya sebagai Khalifah, pada satu hari Imam Ali r.a. melihat baju besi yang pernah dimilikinya berada di tangan seorang penduduk beragama Nasrani. Karena merasa yakin, bahwa barang itu memang miliknya, untuk mendapatkan kembali secara baik ia mengadu kepada hakim setempat. Dalam sidang khusus untuk menyelesaikan tuntutannya itu, di depan peradilan Imam Ali r.a. mengatakan bahwa baju besi itu benarbenar miliknya. Ia menegaskan: "Belum pernah aku menjual baju besi itu. Sepanjang ingatanku, belum pernah barang itu kuhadiahkan kepada orang lain."
Sungguhpun demikian, orang Nasrani yang menjadi tergugat itu tetap bertahan, bahwa baju besi itu miliknya yang sah. Tanpa ragu-ragu ia menjawab: "Baju besi ini milikku sendiri. Aku yakin Amirul Mukminin tidak akan berbuat bohong."
Mendengar keterangan yang berlawanan itu, hakim menoleh kepada Imam Ali r.a. dan bertanya sekali lagi: "Apakah anda mempunyai keterangan tambahan?"
Beberapa saat lamanya Imam Ali r.a. diam, tidak tahu apa yang harus dikatakan. Namun ia yakin bahwa barang itu memang miliknya. Akhirnya pertanyaan hakim itu dijawab sambil tersenyum: "Apa yang anda tanyakan itu memang perlu, tetapi aku tidak mempunyai keterangan tambahan."
Setelah mengadakan pertimbangan secukupnya, hakim memutuskan bahwa barang yang dipersengketakan itu menjadi milik sah orang Nasrani yang menjadi tergugat dalam perkara itu. Oleh hakim, orang Nasrani yang bersangkutan diperkenankan pulang membawa barang tersebut. Dengan wajah berseri-seri mencerminkan keikhlasan hatinya Imam Ali r.a. melihat orang Nasrani itu beranjak dari tempatnya sambil mengangkat baju besi.
Baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba orang Nasrani itu balik kembali menghampiri Imam Ali r.a. dan hakim yang masih duduk di tempat masing-masing. Kepada Imam Ali r.a. orang Nasrani itu berkata: "Apa yang kusaksikan mengenai diri anda, benar-benar sama seperi hukum yang berlaku bagi para Nabi!" Kemudian dengan khidmat ia berkata lebih lanjut: "Sekarang aku bersaksi, bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasul Allah. Ya Amiral Mukminin, memang benarlah baju besi ini kepunyaan anda. Waktu anda berangkat ke Shiffin dulu, aku mengikuti kafilah anda. Baju besi ini jatuh kemudian diambil oleh salah seorang anggota pasukan yang sedang kekurangan bekal."
Dengan tenang Imam Ali r.a. menjawab pernyataan orang Nasrani yang sudah mengikrarkan syahadat itu: "Karena anda sekarang sudah memeluk agama Islam, barang itu sekarang sudah menjadi kepunyaan anda!"
Percakapan antara dua orang itu disaksikan oleh hakim dan hadirin lainnya. Mereka ramai membicarakan kejadian yang sangat mengesankan itu. Benarlah bahwa hanya orang muslim yang menghayati Islam sepenuhnya sajalah, yang dapat bersikap seperti Imam Ali r.a. Tetapi tak ada orang lain yang lebih terkesan dalam hatinya selain orang Nasrani yang sekarang sudah jadi muslim itu. Kenyataan ini dibuktikan pada hari-hari selanjutnya. Sejarah kemudian mencatat, bahwa bekas Nasrani itu ternyata seorang muslim yang sangat gigih membela Imam Ali r.a. dalam perjuangan menegakkan kebenaran Islam dan menumpas pemberontakan Khawarij di Nehrawan.
Peristiwa tersebut merupakan petunjuk nyata tentang betapa tingginya tingkat ketaqwaan, kejujuran dan keadilan Imam Ali r.a. Semua ibadah jasmaniah dan rohaniyahnya bukan lagi dirasa sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan, melainkan sudah menjadi kenikmatan dan kebahagiaan hidupnya sehari-hari. Semua yang dilakukan semata-mata berdasarkan dorongan cinta kepada Allah 'Azza wa Jalla dan kegairahan melaksanakan tauladan hidup yang diberikan oleh putera pamannya, Nabi Muhammad s.a.w.
Dalam hal melaksanakan keadilan, Imam Ali r.a. benar-benar tidak pandang bulu. Yang benar dinyatakan benar, yang salah dinyatakan salah, tak peduli siapa saja yang dihadapinya. Apakah yang dihadapinya itu orang lain, keluarga sendiri, orang kaya atau miskin, orang yang berkedudukan atau pun tidak. Dalam pandangan Imam Ali r.a. sebagai penegak hukum Allah, semua manusia adalah hamba Allah yang sama derajat.
Dalam suatu kesempatan, Aqil bin Abi Thalib --kakak Imam Ali r.a.-- menceritakan penyaksiannya sendiri tentang keadilan saudara kandungnya itu, sebagai berikut: "Waktu berkunjung ke rumah Imam Ali r.a., Aqil melihat Al Husein r.a. sedang kedatangan seorang tamu. Ia meminjam uang satu dirham untuk membeli beberapa potong roti. Uang itu belum cukup untuk keperluan lauk. Kepada pelayan rumahnya, Qanbar, Al Husein r.a. minta supaya dibukakan kantong kulit berisi madu yang dibawa orang dari Yaman. Qanbar mengambil madu setakar."
"Waktu Imam Ali r.a. datang dan minta supaya Qanbar mengambilkan kantong madu untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berhak, ia melihat madu sudah berkurang. Imam Ali r.a. bertanya: 'Hai Qanbar, kukira sudah terjadi sesuatu dengan wadah
madu ini!' Sebagai jawaban Qanbar menjelaskan
bahwa ia disuruh Al Husein mengambilkan madu setakar dari wadah itu. Mendengar
itu bukan main marahnya Imam Ali r.a.: 'Panggil Husein!'…"
Waktu Husein tiba di depannya, Imam Ali r.a. segera mengambil cambuk, tetapi Al Husein cepat-cepat berkata: "Demi hak pamanku, Ja'far!"
Biasanya bila nama Ja'far disebut-sebut, marah Imam Ali r.a. segera menjadi reda. Kepada Husein, Imam Ali r.a. bertanya: "Apa sebab engkau berani mengambil lebih dulu sebelum dibagi?" Puteranya menjawab: "Kami semua mempunyai hak atas madu. Kalau nanti kami menerima bagian, akan kami kembalikan."
Dengan suara melunak Imam Ali r.a. menasehati puteranya: "Ayahmu yang akan mengganti! Tetapi walaupun engkau mempunyai hak, engkau tidak boleh mengambil hakmu lebih dulu sebelum orang-orang muslim lain mengambil hak mereka. Seandainya aku tidak pernah melihat sendiri Rasul Allah s.a.w. mencium mulutmu, engkau sudah kusakiti dengan cambuk ini!"
Imam Ali r.a. menyerahkan uang satu dirham dan diselipkan dalam baju Qanbar sambil berkata: "Belikan dengan uang ini madu yang baik dan yang sama banyaknya dengan yang telah diambil!"
"Demi Allah…, demikian kata Aqil, "…seolah-olah sekarang ini aku sedang melihat tangan Ali memegang mulut kantong madu itu dan Qanbar sedang menuangkan madu ke dalamnya!"
Aqil sendiri pernah mengalami suatu peristiwa pahit dengan saudaranya itu. Menurut penuturannya: "Waktu itu aku sedang mengalami kesulitan penghidupan yang amat berat. Aku minta bantuan kepadanya (Imam Ali r.a.). Semua anakku kukumpulkan dan kuajak ke rumahnya. Anak-anakku itu benar-benar sedang menderita kekurangan makan. Waktu tiba di sana Ali berkata: 'Datanglah nanti malam, engkau akan kuberi sesuatu'…"
Malam hari itu aku datang lagi bersama anak-anakku. Mereka menuntunku bergantian. Setibanya di sana anak-anakku disuruh menyingkir. Kepadaku Ali berkata: "Hanya ini saja untukmu!"
Aku cepat-cepat mengulurkan tangan karena ingin segera menerima pemberiannya, dan kuduga itu sebuah kantong. Ternyata yang kupegang ialah sebatang besi panas yang baru saja dibakar. Besi itu kulemparkan sambil berteriak meraung seperti lembu dibantai. Ali tenang-tenang saja berkata kepadaku: "Itu baru besi yang dibakar dengan api dunia. Bagaimana kalau kelak aku dan engkau dibelenggu dengan rantai neraka jahanam?!"
Setelah ia membaca ayat 71-72 S. Al Mukmin, Imam Ali r.a. berkata meneruskan: "Dariku engkau tidak akan memperoleh lebih dari hakmu yang sudah ditetapkan Allah bagimu… selain yang sudah kau rasakan sendiri itu! Pulanglah kepada keluargamu."
Memang luar biasa. Muawiyah sendiri ketika mendengar cerita tentang peristiwa itu berkomentar: "Terlalu! Terlalu! Kaum wanita akan mandul dan tidak akan melahirkan anak seperti dia!"
Aqil bin Abi Thalib ternyata berusia lebih panjang daripada saudara-saudaranya. Di kalangan orang-orang Qureiys ia terkenal sebagai salah satu di antara empat orang ahli yang dapat dimintai keterangan tentang ilmu silsilah dan sejarah Qureiys. Empat orang itu ialah Aqil bin Abi Thalib, Makramah bin Naufal Azzuhriy, Abul Jaham bin Hudzaifah Al Adwiy, dan Huwairits bin Abdul Uzza Al Amiriy Aqil sanggup memberi keterangan terperinci mengenai soal-soal silsilah dan sejarah Qureiys. Selain itu ia pun seorang periang dan mudah tertawa keras.
Ibnul Atsir meriwayatkan pengalaman Aqil yang lain dengan Imam Ali r.a. Pada suatu hari Aqil datang kepada Imam Ali r.a. untuk meminta sesuatu. Kepada Imam Ali r.a. ia berkata: "Aku ini orang butuh, orang miskin… berilah pertolongan kepadaku."
"Sabarlah dan tunggu sampai tiba waktunya pembagian bersama kaum muslimin lainnya," jawab Imam Ali r.a.: "Engkau pasti kuberi."
Aqil tidak puas dengan jawaban itu. Ia mendesak terus dan merajuk. Akhirnya Imam Ali r.a. memerintahkan seorang: "Bawalah dia pergi ke toko-toko di pasar. Katakan kepadanya supaya mendobrak pintu toko-toko itu dan mengambil barang-barang yang ada di dalamnya!"
Mendengar perintah Imam Ali r.a. yang seperti itu, Aqil menyahut: "Apakah engkau ingin aku menjadi pencuri?"
"Dan engkau, apakah ingin supaya aku mencuri milik kaum muslimin dan memberikannya kepadamu?" jawab Imam Ali r.a.
"Kalau begitu aku mau datang kepada Muawiyah," kata Aqil dengan nada mengancam.
"Terserah," jawab Imam Ali r.a. dengan kontan.
Aqil lalu pergi ke Syam untuk meminta bantuan kepada Muawiyah. Oleh Muawiyah ia diberi uang sebesar 100.000 dirham, dengan syarat Aqil harus bersedia naik ke atas mimbar dan berbicara dengan orang banyak tentang apa yang telah diberikan oleh Imam Ali kepadanya dan tentang apa yang telah diberikan Muawiyah. Dari atas mimbar Aqil berkata dengan lantang: "Hai kaum muslimin, kuberitahukan kepada kalian, bahwa aku telah meminta kepada Ali supaya memilih: 'aku atau agamanya'. Ternyata ia lebih suka memilih agamanya. Kepada Muawiyah aku pun minta seperti itu. Ternyata ia lebih suka memilih aku daripada agamanya!"
Tentang kejujuran dan keadilan Imam Ali r.a. orang tidak segan-segan mengatakan terus terang, sekalipun di depan Muawiyah. Beberapa waktu setelah Imam Ali r.a. wafat, Muawiyah bertanya kepada Khalid bin Muhammad: "Apakah sebab anda lebih menyukai Ali daripada kami?"
"Disebabkan oleh tiga hal," jawab Khalid bin Muhammad dengan terus terang. "Ia sanggup menahan sabar bila sedang marah. Jika berbicara ia selalu berkata benar. Dan jika menetapkan hukum ia selalu adil." Demikian diriwayatkan oleh Ibnu Hajar dalam bukunya Ash Shawa'iqul Muhriqah."
Al Haitsamiy dalam bukunya Majma, jilid IX, halaman 158 menyajikan sebuah riwayat yang berasal dari Rab'iy bin Hurasy sebagai berikut: Pada suatu hari Muawiyah dikerumuni oleh pemuka-pemuka Qureiys, termasuk Sa'id bin Al Ash, yang waktu itu duduk di sebelah kanannya. Tak lama kemudian datanglah ibnu Abbas. Ketika melihat Ibnu Abbas masuk, Muawiyah berkata kepada Sa'id: "demi Allah, aku akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Ibnu Abbas yang kira-kira ia tidak akan mampu menjawabnya."
Menanggapi keinginan Muawiyah itu, Sa'id mengingatkan: "Hai Muawiyah, orang seperti Ibnu Abbas tak mungkin tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaanmu."
Setelah Ibnu Abbas duduk, Muawiyah bertanya: "Apakah kiranya yang dapat kaukatakan tentang Ali bin Abi Thalib?"
Dengan serta merta Ibnu Abbas menjawab: "Abul Hasan rahimahullah adalah panji hidayat; sumber taqwa; tempat kecerdasan berfikir; puncak ketinggian akal; cahaya keutamaan manusiawi di tengah kegelapan; orang yang mengajak manusia ke jalan lurus; mengetahui isi Kitab-kitab suci terdahulu; sanggup menafsirkan dan mentakwilkan dengan berpegang teguh pada hidayat; menjauhkan diri dari perbuatan dzalim yang menyakiti hati orang; menghindari jalan yang sesat; seorang mukmin dan bertakwa yang terbaik; orang yang paling sempurna menunaikan ibadah haji dan ibadah-ibadah lainnya; orang yang paling mempunyai tenggang-rasa serta memperlakukan semua orang secara adil dan sama, orang yang paling pandai berkhutbah di dunia ini…" dan seterusnya sampai kepada kata-kata: "…seorang suami dari wanita yang paling mulia, dan seorang ayah dari dua cucu Rasul Allah s.a.w."
Seterusnya Ibnu Abbas mengatakan: "Mataku belum pernah melihat ada orang seperti dia dan tidak akan pernah melihatnya sampai hari kiyamat. Barang siapa mengutuk dia, orang itu akan dikutuk selama-lamanya oleh Allah dan oleh seluruh ummat manusia sampai hari kiyamat."
Mendengar keterangan itu, tentu saja Muawiyah menjadi beringas, tetapi ia dapat menguasai diri di depan seorang ilmuwan seperti Ibnu Abbas. Harun bin Antarah menceritakan penyaksian ayahnya dengan mengatakan: "Pada suatu hari aku datang ke rumah Imam Ali. Ia sedang duduk di balai-balai berselimut kain kumal. Waktu itu musim dingin. Kukatakan kepadanya: "Ya Amiral Mukminin, Allah telah memberi hak kepada anda dan kepada keluarga anda untuk menerima sebagian dari harta Baitul Mal. Mengapa anda berbuat seperti itu terhadap diri anda sendiri?"
"Demi Allah," sahut Imam Ali r.a., "Aku tidak mau mengurangi hak kalian walau sedikit. Ini adalah selimut yang kubawa sewaktu keluar meninggalkan Madinah."
'Ashim bin Ziyad pernah bertanya kepada Imam Ali r.a.: "Ya Amiral Mukminin, pakaian anda itu terlalu kasar dan makanan anda pun terlampau buruk! Mengapa anda berbuat seperti itu?"
"Celaka benar engkau itu," jawab Imam Ali r.a. "Allah s.w.t. mewajibkan para pemimpin supaya menempatkan dirinya masing-masing di bawah ukuran orang lain, agar tidak sampai memperkosa penderitaan si miskin."
Suwaid bin Ghaflah juga menyaksikan cara hidup Imam Ali r.a. Ia menceritakan penyaksiannya sendiri: "Pada suatu hari aku datang ke rumah Imam Ali. Di dalamnya tidak terdapat perkakas apapun selain selembar tikar yang sudah koyak. Ia sedang duduk di tempat itu. Aku segera bertanya setengah mengingatkan: 'Ya Amiral Mukminin, mengapa rumah anda seperti ini? Anda adalah seorang penguasa kaum muslimin, yang memerintah mereka dan yang menguasai Baitul Mal. Banyak utusan datang menghadap anda, sedang di rumah anda ini tidak ada perkakas selain tikar'…"
"Ya Suwaid," jawab Imam Ali r.a., "dalam rumah yang bersifat sementara ini tidak perlu ada perkakas, sebab di depan kita ada rumah yang kekal. Semua perkakas sudah kami pindahkan ke sana, dan tak lama lagi kami akan kembali ke sana."
Harun bin Sa'id juga menceritakan penyaksiannya, bahwa pada suatu hari Abdullah bin Ja'far bin Abi Thalib datang kepada Imam Ali untuk meminta pertolongan. Abdullah berkata: "Ya Amiral Mukminin, suruhlah orang mengambilkan uang dari Baitul Mal bekal belanja untukku. Demi Allah, aku tidak mempunyai uang sama sekali selain harus menjual ternakku."
"Tidak," jawab Imam Ali r.a., "demi Allah, aku tidak dapat memberi apa-apa kepadamu, kecuali jika engkau menyuruh pamanmu mencuri agar bisa memberi apa yang kau minta."
Imam Ali r.a. memperlakukan semua sanak keluarganya dengan perlakuan sama seperti terhadap orang lain. Ia tidak mengistimewakan mereka dengan pemberian apa pun juga, dan tidak pula memberikan fasilitas khusus betapa pun kecilnya. Olehnya, semua sanak keluarga dilatih dan dipersiapkan mentalnya supaya membiasakan diri berakhlaq seperti dirinya. Bahkan kadang-kadang ia mengambil sikap keras dalam membiasakan mereka hidup menurut cara-cara yang diajarkan.
Muslim bin Shahib Al Hanna meriwayatkan, bahwa seusai perang "Jamal" Imam Ali r.a. pergi ke Kufah. Di sana ia masuk ke dalam Baitul Mal sambil berkata: "Hai dunia, rayulah orang selain aku!" Ia lalu membagi-bagikan semua yang ada di dalamnya kepada orang banyak. Waktu itu datang anak perempuan Al Hasan atau Al Husein r.a. lalu turut mengambil sesuatu dari Baitul Mal. Melihat itu Imam Ali mengikuti cucunya dari belakang, kemudian genggaman anak perempuan itu dibuka dan diambillah barang yang sedang dipegang. Kami katakan kepadanya: "Ya Amiral Mukminin, biarlah! Dia mempunyai hak atas barang itu!" Ternyata Imam Ali menjawab: "Jika ayahnya sendiri yang mengambil hak itu, barulah ia boleh memberikan kepada anak ini sesuka hatinya!"
Sejak sebelum memangku jabatan Khalifah, Imam Ali pada prinsipnya memang tidak suka melihat banyak kekayaan kaum muslimin tertimbun dalam Baitul Mal. Salah sebuah catatan sejarah yang ditulis oleh Abu Ja'far At Thabariy mengatakan, bahwa dalam suatu musyawarah Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. meminta pertimbangan tentang bagaimana sebaiknya yang perlu dilakukan terhadap harta benda yang ada di dalam Baitul Mal. Dalam musyawarah itu Imam Ali r.a. mengemukakan pendapatnya: "Sebaiknya harta yang sudah terkumpul itu dibagikan saja tiap tahun dan tidak usah disisakan sedikitpun."
Kejujuran dan keadilan seorang yang hidup zuhud, taqwa dan tekun beribadah seperti Imam Ali r.a. itu memang sukar sekali dijajagi. Keistimewaan hukum yang berlaku pada masa pemerintahannya ialah persamaan hak dan kewajiban bagi semua orang. Kebijaksanaannya tidak berat sebelah kepada fihak yang kuat dan tidak merugikan fihak yang lemah.
Tanah-tanah garapan yang pada masa pemerintahan sebelumnya dibagi-bagikan kepada sanak famili dan orang-orang terkemuka yang dekat dengan para penguasa Bani Umayyah, dicabut dan dikembalikan kepada status semula sebagai milik umum kaum muslimin. Setelah itu barulah dibagi-bagikan lagi kepada orang-orang yang berhak berdasarkan prinsip persamaan.
Mengenai kekayaan milik umum kaum muslimin, Imam Ali r.a. sendiri dengan tegas menyatakan kebijaksanaannya: "Demi Allah, seandainya ada sebagian dari kekayaan itu yang sudah dipergunakan orang untuk beaya pernikahan atau untuk membeli hamba sahaya perempuan, pasti aku tuntut pengembaliannya!" Dijelaskan pula olehnya: "Sesungguhnya keadilan itu sudah merupakan kesejahteraan. Maka barang siapa masih merasakan kesempitan di dalam suasana adil, ia pasti akan merasa lebih sempit lagi dalam suasana dzalim."
Di antara beberapa pesan yang diamanatkannya kepada para penguasa daerah ialah: "Berlakulah adil terhadap semua orang. Sabarlah dalam menghadapi orang-orang yang hidup kekurangan, sebab mereka itu sesungguhnya adalah juru bicara rakyat. Janganlah kalian menahan-nahan kebutuhan seseorang dan jangan pula sampai menunda-nunda permintaannya. Untuk keperluan melunasi pajak janganlah sampai ada orang yang terpaksa menjual ternak atau hamba sahaya yang diperlukan sebagai pembantu dalam pekerjaan. Janganlah sekali-kali kalian mencambuk seseorang hanya karena dirham!"
Salah satu dari pesan-pesan khusus yang ditujukan kepada para petugas pemungut pajak, zakat dan lain-lainnya, ialah : "Datangilah mereka dengan tenang dan sopan. Jika engkau sudah berhadapan dengan mereka, ucapkanlah salam. Hormatilah mereka itu dan katakanlah: 'Hai para hamba Allah, penguasa Allah dan Khalifah-Nya mengutus aku datang kepada kalian untuk mengambil hak Allah yang ada pada kekayaan kalian. Apakah ada bagian yang menjadi hak Allah itu dalam harta kekayaan kalian? Jika ada, hendaknya hak Allah itu kalian tunaikan kepada Khalifah-Nya'…"
"Jika orang yang bersangkutan menjawab 'tidak', janganlah kalian ulangi lagi. Tetapi jika orang itu menjawab 'ya', pergilah engkau bersama-sama untuk memungut hak Allah itu. Janganlah kalian menakut-nakuti dia, janganlah mengancam-ancam dia, dan jangan pula membentak atau bersikap kasar. Ambillah apa yang diserahkan olehnya kepada kalian, emas atau pun perak. Jika orang yang bersangkutan mempunyai ternak berupa unta atau lainnya, janganlah kalian masuk untuk memeriksa tanpa seizin dia, walaupun orang itu benar-benar mempunyai banyak ternak. Jika orang itu memberi izin kepada kalian untuk memeriksanya, janganlah kalian masuk dengan lagak seperti orang yang berkuasa. Jangan berlaku kasar, jangan menakut-nakuti dan jangan sekali-kali menghardik binatang-binatang itu. Jangan kalian berbuat sesuatu yang akan menyusahkan pemiliknya."
"Kemudian apabila harta kekayaan diperlihatkan kepada kalian, persilakan pemiliknya memilih dan menentukan sendiri mana yang menjadi hak Allah. Jika ia sudah menentukan pilihannya, janganlah kalian menghalang-halangi dia mengambil bagian yang menjadi haknya. Hendaknya kalian tetap bersikap seperti itu, sampai orang yang bersangkutan menetapkan mana yang menjadi hak Allah yang akan ditunaikan. Tetapi ingat, jika kalian diminta supaya meninggalkan orang itu, tinggalkanlah dia!"
Begitu jelasnya Imam Ali r.a. mengemukakan pesan dan amanatnya secara terperinci agar jangan sampai terjadi penyalahgunaan dan perkosaan terhadap kaum muslimin dan rakyatnya.
Sedemikian tingginya rasa keadilan yang menghiasi kehidupan Imam Ali r.a., sampai pernah terjadi, bahwa pada waktu ia menerima setoran pajak dari penduduk Isfahan, ditemukan sepotong roti kering terselip dalam wadah. Roti itu oleh Imam Ali r.a. dipotong-potong menjadi tujuh keping, sama seperti uang setoran itu juga yang dibagi menjadi tujuh bagian. Pada tiap bagian dari uang itu ditaruh sekeping roti kering.
Waktu Husein tiba di depannya, Imam Ali r.a. segera mengambil cambuk, tetapi Al Husein cepat-cepat berkata: "Demi hak pamanku, Ja'far!"
Biasanya bila nama Ja'far disebut-sebut, marah Imam Ali r.a. segera menjadi reda. Kepada Husein, Imam Ali r.a. bertanya: "Apa sebab engkau berani mengambil lebih dulu sebelum dibagi?" Puteranya menjawab: "Kami semua mempunyai hak atas madu. Kalau nanti kami menerima bagian, akan kami kembalikan."
Dengan suara melunak Imam Ali r.a. menasehati puteranya: "Ayahmu yang akan mengganti! Tetapi walaupun engkau mempunyai hak, engkau tidak boleh mengambil hakmu lebih dulu sebelum orang-orang muslim lain mengambil hak mereka. Seandainya aku tidak pernah melihat sendiri Rasul Allah s.a.w. mencium mulutmu, engkau sudah kusakiti dengan cambuk ini!"
Imam Ali r.a. menyerahkan uang satu dirham dan diselipkan dalam baju Qanbar sambil berkata: "Belikan dengan uang ini madu yang baik dan yang sama banyaknya dengan yang telah diambil!"
"Demi Allah…, demikian kata Aqil, "…seolah-olah sekarang ini aku sedang melihat tangan Ali memegang mulut kantong madu itu dan Qanbar sedang menuangkan madu ke dalamnya!"
Aqil sendiri pernah mengalami suatu peristiwa pahit dengan saudaranya itu. Menurut penuturannya: "Waktu itu aku sedang mengalami kesulitan penghidupan yang amat berat. Aku minta bantuan kepadanya (Imam Ali r.a.). Semua anakku kukumpulkan dan kuajak ke rumahnya. Anak-anakku itu benar-benar sedang menderita kekurangan makan. Waktu tiba di sana Ali berkata: 'Datanglah nanti malam, engkau akan kuberi sesuatu'…"
Malam hari itu aku datang lagi bersama anak-anakku. Mereka menuntunku bergantian. Setibanya di sana anak-anakku disuruh menyingkir. Kepadaku Ali berkata: "Hanya ini saja untukmu!"
Aku cepat-cepat mengulurkan tangan karena ingin segera menerima pemberiannya, dan kuduga itu sebuah kantong. Ternyata yang kupegang ialah sebatang besi panas yang baru saja dibakar. Besi itu kulemparkan sambil berteriak meraung seperti lembu dibantai. Ali tenang-tenang saja berkata kepadaku: "Itu baru besi yang dibakar dengan api dunia. Bagaimana kalau kelak aku dan engkau dibelenggu dengan rantai neraka jahanam?!"
Setelah ia membaca ayat 71-72 S. Al Mukmin, Imam Ali r.a. berkata meneruskan: "Dariku engkau tidak akan memperoleh lebih dari hakmu yang sudah ditetapkan Allah bagimu… selain yang sudah kau rasakan sendiri itu! Pulanglah kepada keluargamu."
Memang luar biasa. Muawiyah sendiri ketika mendengar cerita tentang peristiwa itu berkomentar: "Terlalu! Terlalu! Kaum wanita akan mandul dan tidak akan melahirkan anak seperti dia!"
Aqil bin Abi Thalib ternyata berusia lebih panjang daripada saudara-saudaranya. Di kalangan orang-orang Qureiys ia terkenal sebagai salah satu di antara empat orang ahli yang dapat dimintai keterangan tentang ilmu silsilah dan sejarah Qureiys. Empat orang itu ialah Aqil bin Abi Thalib, Makramah bin Naufal Azzuhriy, Abul Jaham bin Hudzaifah Al Adwiy, dan Huwairits bin Abdul Uzza Al Amiriy Aqil sanggup memberi keterangan terperinci mengenai soal-soal silsilah dan sejarah Qureiys. Selain itu ia pun seorang periang dan mudah tertawa keras.
Ibnul Atsir meriwayatkan pengalaman Aqil yang lain dengan Imam Ali r.a. Pada suatu hari Aqil datang kepada Imam Ali r.a. untuk meminta sesuatu. Kepada Imam Ali r.a. ia berkata: "Aku ini orang butuh, orang miskin… berilah pertolongan kepadaku."
"Sabarlah dan tunggu sampai tiba waktunya pembagian bersama kaum muslimin lainnya," jawab Imam Ali r.a.: "Engkau pasti kuberi."
Aqil tidak puas dengan jawaban itu. Ia mendesak terus dan merajuk. Akhirnya Imam Ali r.a. memerintahkan seorang: "Bawalah dia pergi ke toko-toko di pasar. Katakan kepadanya supaya mendobrak pintu toko-toko itu dan mengambil barang-barang yang ada di dalamnya!"
Mendengar perintah Imam Ali r.a. yang seperti itu, Aqil menyahut: "Apakah engkau ingin aku menjadi pencuri?"
"Dan engkau, apakah ingin supaya aku mencuri milik kaum muslimin dan memberikannya kepadamu?" jawab Imam Ali r.a.
"Kalau begitu aku mau datang kepada Muawiyah," kata Aqil dengan nada mengancam.
"Terserah," jawab Imam Ali r.a. dengan kontan.
Aqil lalu pergi ke Syam untuk meminta bantuan kepada Muawiyah. Oleh Muawiyah ia diberi uang sebesar 100.000 dirham, dengan syarat Aqil harus bersedia naik ke atas mimbar dan berbicara dengan orang banyak tentang apa yang telah diberikan oleh Imam Ali kepadanya dan tentang apa yang telah diberikan Muawiyah. Dari atas mimbar Aqil berkata dengan lantang: "Hai kaum muslimin, kuberitahukan kepada kalian, bahwa aku telah meminta kepada Ali supaya memilih: 'aku atau agamanya'. Ternyata ia lebih suka memilih agamanya. Kepada Muawiyah aku pun minta seperti itu. Ternyata ia lebih suka memilih aku daripada agamanya!"
Tentang kejujuran dan keadilan Imam Ali r.a. orang tidak segan-segan mengatakan terus terang, sekalipun di depan Muawiyah. Beberapa waktu setelah Imam Ali r.a. wafat, Muawiyah bertanya kepada Khalid bin Muhammad: "Apakah sebab anda lebih menyukai Ali daripada kami?"
"Disebabkan oleh tiga hal," jawab Khalid bin Muhammad dengan terus terang. "Ia sanggup menahan sabar bila sedang marah. Jika berbicara ia selalu berkata benar. Dan jika menetapkan hukum ia selalu adil." Demikian diriwayatkan oleh Ibnu Hajar dalam bukunya Ash Shawa'iqul Muhriqah."
Al Haitsamiy dalam bukunya Majma, jilid IX, halaman 158 menyajikan sebuah riwayat yang berasal dari Rab'iy bin Hurasy sebagai berikut: Pada suatu hari Muawiyah dikerumuni oleh pemuka-pemuka Qureiys, termasuk Sa'id bin Al Ash, yang waktu itu duduk di sebelah kanannya. Tak lama kemudian datanglah ibnu Abbas. Ketika melihat Ibnu Abbas masuk, Muawiyah berkata kepada Sa'id: "demi Allah, aku akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Ibnu Abbas yang kira-kira ia tidak akan mampu menjawabnya."
Menanggapi keinginan Muawiyah itu, Sa'id mengingatkan: "Hai Muawiyah, orang seperti Ibnu Abbas tak mungkin tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaanmu."
Setelah Ibnu Abbas duduk, Muawiyah bertanya: "Apakah kiranya yang dapat kaukatakan tentang Ali bin Abi Thalib?"
Dengan serta merta Ibnu Abbas menjawab: "Abul Hasan rahimahullah adalah panji hidayat; sumber taqwa; tempat kecerdasan berfikir; puncak ketinggian akal; cahaya keutamaan manusiawi di tengah kegelapan; orang yang mengajak manusia ke jalan lurus; mengetahui isi Kitab-kitab suci terdahulu; sanggup menafsirkan dan mentakwilkan dengan berpegang teguh pada hidayat; menjauhkan diri dari perbuatan dzalim yang menyakiti hati orang; menghindari jalan yang sesat; seorang mukmin dan bertakwa yang terbaik; orang yang paling sempurna menunaikan ibadah haji dan ibadah-ibadah lainnya; orang yang paling mempunyai tenggang-rasa serta memperlakukan semua orang secara adil dan sama, orang yang paling pandai berkhutbah di dunia ini…" dan seterusnya sampai kepada kata-kata: "…seorang suami dari wanita yang paling mulia, dan seorang ayah dari dua cucu Rasul Allah s.a.w."
Seterusnya Ibnu Abbas mengatakan: "Mataku belum pernah melihat ada orang seperti dia dan tidak akan pernah melihatnya sampai hari kiyamat. Barang siapa mengutuk dia, orang itu akan dikutuk selama-lamanya oleh Allah dan oleh seluruh ummat manusia sampai hari kiyamat."
Mendengar keterangan itu, tentu saja Muawiyah menjadi beringas, tetapi ia dapat menguasai diri di depan seorang ilmuwan seperti Ibnu Abbas. Harun bin Antarah menceritakan penyaksian ayahnya dengan mengatakan: "Pada suatu hari aku datang ke rumah Imam Ali. Ia sedang duduk di balai-balai berselimut kain kumal. Waktu itu musim dingin. Kukatakan kepadanya: "Ya Amiral Mukminin, Allah telah memberi hak kepada anda dan kepada keluarga anda untuk menerima sebagian dari harta Baitul Mal. Mengapa anda berbuat seperti itu terhadap diri anda sendiri?"
"Demi Allah," sahut Imam Ali r.a., "Aku tidak mau mengurangi hak kalian walau sedikit. Ini adalah selimut yang kubawa sewaktu keluar meninggalkan Madinah."
'Ashim bin Ziyad pernah bertanya kepada Imam Ali r.a.: "Ya Amiral Mukminin, pakaian anda itu terlalu kasar dan makanan anda pun terlampau buruk! Mengapa anda berbuat seperti itu?"
"Celaka benar engkau itu," jawab Imam Ali r.a. "Allah s.w.t. mewajibkan para pemimpin supaya menempatkan dirinya masing-masing di bawah ukuran orang lain, agar tidak sampai memperkosa penderitaan si miskin."
Suwaid bin Ghaflah juga menyaksikan cara hidup Imam Ali r.a. Ia menceritakan penyaksiannya sendiri: "Pada suatu hari aku datang ke rumah Imam Ali. Di dalamnya tidak terdapat perkakas apapun selain selembar tikar yang sudah koyak. Ia sedang duduk di tempat itu. Aku segera bertanya setengah mengingatkan: 'Ya Amiral Mukminin, mengapa rumah anda seperti ini? Anda adalah seorang penguasa kaum muslimin, yang memerintah mereka dan yang menguasai Baitul Mal. Banyak utusan datang menghadap anda, sedang di rumah anda ini tidak ada perkakas selain tikar'…"
"Ya Suwaid," jawab Imam Ali r.a., "dalam rumah yang bersifat sementara ini tidak perlu ada perkakas, sebab di depan kita ada rumah yang kekal. Semua perkakas sudah kami pindahkan ke sana, dan tak lama lagi kami akan kembali ke sana."
Harun bin Sa'id juga menceritakan penyaksiannya, bahwa pada suatu hari Abdullah bin Ja'far bin Abi Thalib datang kepada Imam Ali untuk meminta pertolongan. Abdullah berkata: "Ya Amiral Mukminin, suruhlah orang mengambilkan uang dari Baitul Mal bekal belanja untukku. Demi Allah, aku tidak mempunyai uang sama sekali selain harus menjual ternakku."
"Tidak," jawab Imam Ali r.a., "demi Allah, aku tidak dapat memberi apa-apa kepadamu, kecuali jika engkau menyuruh pamanmu mencuri agar bisa memberi apa yang kau minta."
Imam Ali r.a. memperlakukan semua sanak keluarganya dengan perlakuan sama seperti terhadap orang lain. Ia tidak mengistimewakan mereka dengan pemberian apa pun juga, dan tidak pula memberikan fasilitas khusus betapa pun kecilnya. Olehnya, semua sanak keluarga dilatih dan dipersiapkan mentalnya supaya membiasakan diri berakhlaq seperti dirinya. Bahkan kadang-kadang ia mengambil sikap keras dalam membiasakan mereka hidup menurut cara-cara yang diajarkan.
Muslim bin Shahib Al Hanna meriwayatkan, bahwa seusai perang "Jamal" Imam Ali r.a. pergi ke Kufah. Di sana ia masuk ke dalam Baitul Mal sambil berkata: "Hai dunia, rayulah orang selain aku!" Ia lalu membagi-bagikan semua yang ada di dalamnya kepada orang banyak. Waktu itu datang anak perempuan Al Hasan atau Al Husein r.a. lalu turut mengambil sesuatu dari Baitul Mal. Melihat itu Imam Ali mengikuti cucunya dari belakang, kemudian genggaman anak perempuan itu dibuka dan diambillah barang yang sedang dipegang. Kami katakan kepadanya: "Ya Amiral Mukminin, biarlah! Dia mempunyai hak atas barang itu!" Ternyata Imam Ali menjawab: "Jika ayahnya sendiri yang mengambil hak itu, barulah ia boleh memberikan kepada anak ini sesuka hatinya!"
Sejak sebelum memangku jabatan Khalifah, Imam Ali pada prinsipnya memang tidak suka melihat banyak kekayaan kaum muslimin tertimbun dalam Baitul Mal. Salah sebuah catatan sejarah yang ditulis oleh Abu Ja'far At Thabariy mengatakan, bahwa dalam suatu musyawarah Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. meminta pertimbangan tentang bagaimana sebaiknya yang perlu dilakukan terhadap harta benda yang ada di dalam Baitul Mal. Dalam musyawarah itu Imam Ali r.a. mengemukakan pendapatnya: "Sebaiknya harta yang sudah terkumpul itu dibagikan saja tiap tahun dan tidak usah disisakan sedikitpun."
Kejujuran dan keadilan seorang yang hidup zuhud, taqwa dan tekun beribadah seperti Imam Ali r.a. itu memang sukar sekali dijajagi. Keistimewaan hukum yang berlaku pada masa pemerintahannya ialah persamaan hak dan kewajiban bagi semua orang. Kebijaksanaannya tidak berat sebelah kepada fihak yang kuat dan tidak merugikan fihak yang lemah.
Tanah-tanah garapan yang pada masa pemerintahan sebelumnya dibagi-bagikan kepada sanak famili dan orang-orang terkemuka yang dekat dengan para penguasa Bani Umayyah, dicabut dan dikembalikan kepada status semula sebagai milik umum kaum muslimin. Setelah itu barulah dibagi-bagikan lagi kepada orang-orang yang berhak berdasarkan prinsip persamaan.
Mengenai kekayaan milik umum kaum muslimin, Imam Ali r.a. sendiri dengan tegas menyatakan kebijaksanaannya: "Demi Allah, seandainya ada sebagian dari kekayaan itu yang sudah dipergunakan orang untuk beaya pernikahan atau untuk membeli hamba sahaya perempuan, pasti aku tuntut pengembaliannya!" Dijelaskan pula olehnya: "Sesungguhnya keadilan itu sudah merupakan kesejahteraan. Maka barang siapa masih merasakan kesempitan di dalam suasana adil, ia pasti akan merasa lebih sempit lagi dalam suasana dzalim."
Di antara beberapa pesan yang diamanatkannya kepada para penguasa daerah ialah: "Berlakulah adil terhadap semua orang. Sabarlah dalam menghadapi orang-orang yang hidup kekurangan, sebab mereka itu sesungguhnya adalah juru bicara rakyat. Janganlah kalian menahan-nahan kebutuhan seseorang dan jangan pula sampai menunda-nunda permintaannya. Untuk keperluan melunasi pajak janganlah sampai ada orang yang terpaksa menjual ternak atau hamba sahaya yang diperlukan sebagai pembantu dalam pekerjaan. Janganlah sekali-kali kalian mencambuk seseorang hanya karena dirham!"
Salah satu dari pesan-pesan khusus yang ditujukan kepada para petugas pemungut pajak, zakat dan lain-lainnya, ialah : "Datangilah mereka dengan tenang dan sopan. Jika engkau sudah berhadapan dengan mereka, ucapkanlah salam. Hormatilah mereka itu dan katakanlah: 'Hai para hamba Allah, penguasa Allah dan Khalifah-Nya mengutus aku datang kepada kalian untuk mengambil hak Allah yang ada pada kekayaan kalian. Apakah ada bagian yang menjadi hak Allah itu dalam harta kekayaan kalian? Jika ada, hendaknya hak Allah itu kalian tunaikan kepada Khalifah-Nya'…"
"Jika orang yang bersangkutan menjawab 'tidak', janganlah kalian ulangi lagi. Tetapi jika orang itu menjawab 'ya', pergilah engkau bersama-sama untuk memungut hak Allah itu. Janganlah kalian menakut-nakuti dia, janganlah mengancam-ancam dia, dan jangan pula membentak atau bersikap kasar. Ambillah apa yang diserahkan olehnya kepada kalian, emas atau pun perak. Jika orang yang bersangkutan mempunyai ternak berupa unta atau lainnya, janganlah kalian masuk untuk memeriksa tanpa seizin dia, walaupun orang itu benar-benar mempunyai banyak ternak. Jika orang itu memberi izin kepada kalian untuk memeriksanya, janganlah kalian masuk dengan lagak seperti orang yang berkuasa. Jangan berlaku kasar, jangan menakut-nakuti dan jangan sekali-kali menghardik binatang-binatang itu. Jangan kalian berbuat sesuatu yang akan menyusahkan pemiliknya."
"Kemudian apabila harta kekayaan diperlihatkan kepada kalian, persilakan pemiliknya memilih dan menentukan sendiri mana yang menjadi hak Allah. Jika ia sudah menentukan pilihannya, janganlah kalian menghalang-halangi dia mengambil bagian yang menjadi haknya. Hendaknya kalian tetap bersikap seperti itu, sampai orang yang bersangkutan menetapkan mana yang menjadi hak Allah yang akan ditunaikan. Tetapi ingat, jika kalian diminta supaya meninggalkan orang itu, tinggalkanlah dia!"
Begitu jelasnya Imam Ali r.a. mengemukakan pesan dan amanatnya secara terperinci agar jangan sampai terjadi penyalahgunaan dan perkosaan terhadap kaum muslimin dan rakyatnya.
Sedemikian tingginya rasa keadilan yang menghiasi kehidupan Imam Ali r.a., sampai pernah terjadi, bahwa pada waktu ia menerima setoran pajak dari penduduk Isfahan, ditemukan sepotong roti kering terselip dalam wadah. Roti itu oleh Imam Ali r.a. dipotong-potong menjadi tujuh keping, sama seperti uang setoran itu juga yang dibagi menjadi tujuh bagian. Pada tiap bagian dari uang itu ditaruh sekeping roti kering.
Ksatria
Kesatriaan dan keperwiraan Imam Ali r.a. bukan dibuat-buat, melainkan sudah
menjadi sifat dan tabiatnya sendiri. Hal itu ditumbuhkan dan diperkuat oleh
lingkungan hidupnya sejak kecil dan oleh ajaran serta tauladan yang diterimanya
langsung dari Rasul Allah s.a.w. Ia bukan orang yang suka mabok kemenangan dan
bukan pula seorang pedendam. Ketangguhan dan ketangkasannya sebagai pelaku
perang-tanding yang banyak disegani orang, sama sekali tidak membuatnya besar
kepala. Ia tidak pernah mulai mengajak berkelahi atau berduel, apalagi menantang-nantang.
Bahkan dalam menghadapi saat-saat gawat, masih tetap berusaha agar pertumpahan
darah dapat dihindarkan.
Ada orang yang menilai sikapnya itu sebagai tanda kelemahan. Ada pula yang menafsirkannya sebagai tanda kegentaran. Penilaian dan penafsiran itu tidak tepat sama sekali. Sikap Imam Ali r.a. semacam itu benar-benar keluar dari hati yang tulus ikhlas. Kemanusiaannya sangat tinggi. Lawan yang ditundukkannya diperlakukan dengan sikap manusiawi dan dihormati sesusi dengan harkat martabatnya sebagai manusia.
Kepada puteranya sendiri, Al Hasan r.a., tidak jemu jemunya ia berpesan agar jangan sekali-kali menantang orang berkelahi atau berperang-tanding. "Tetapi jika orang itu menantang, jawab tantangan itu dan hadapilah. Sebab orang yang berbuat seperti itu ialah orang dzalim, dan tiap orang dzalim wajib dilawan," demikian ujar Imam Ali r.a. dengan tandas.
Sering juga orang tidak dapat memahami sifat keksatriaannya. Bagi para ahli perang modern, pendirian Imam Ali r.a. itu dianggap tidak tepat. Sebab, menurut faham mereka, pertahanan yang terbaik ialah melancarkan serangan mengejutkan terhadap lawan. Tetapi watak keksatriaan Imam Ali r.a. tidak seperti itu. Ia hanya akan menyerang bila benar-benar sudah diserang. Jadi serangan hanya dipandang sebagai langkah mempertahankan diri.
Ketika salah seorang sahabatnya menyaksikan persiapan kaum Khawarij dan kemudian dilaporkannya kepada Imam Ali r.a. dan disertai usul supaya mendahului gerakan musuh dengan suatu serangan kilat; Imam Ali r.a. dengan tegas mengatakan: "Aku tidak mau menyerang mereka sebelum mereka melancarkan serangan lebih dahulu terhadap kita. Biarlah mereka berbuat lebih dulu." Padahal secara normal usul sahabatnya itu tepat dan benar.
Peristiwa yang sama juga terjadi sebelum itu. Ialah dalam "Perang Unta". Demikian juga dalam perang Shiffin. Mengawali pecahnya peperangan antara sesama kaum muslimin itu, Imam Ali r.a. selalu berusaha lebih dulu agar dapat diciptakan perdamaian, selagi masih ada peluang untuk itu, betapa pun kecilnya. Jalan inilah yang menurut Imam Ali r.a. sebaiknya harus ditempuh.
Prinsip ini olehnya dipegang teguh. Tidak pandang apakah yang sedang dihadapinya itu perang terbuka atau terselubung, besar atau kecil. Ia selalu mengajak lawan untuk memecahkan persengketaan dan pertikaian melalui jalan damai. Kepada pasukannya ia pun memerintahkan supaya tidak mengambil tindakan lebih dulu yang akan mengakibatkan bencana jatuhnya banyak korban.
Pada dasarnya ia tidak menghunus pedang sebelum menyerukan perdamaian kepada lawan lebih dulu. Tetapi sikapnya yang seperti itu bukannya tidak dilandasi dengan kesiap-siagaan di kalangan pasukannya. Inilah rupanya yang menjadi rahasia keunggulannya dalam menghadapi peperangan demi peperangan.
Satu contoh tentang keksatriaannya yang sangat menarik ialah pada waktu menghadapi kaum Khawarij. Orang-orang Khawarij yang terkenal sangat benci kepada Imam Ali r.a., pada satu ketika berteriak mengkafirkan dan memaki-maki dirinya. Imam Ali r.a. tetap tenang dan dengan lapang dada menghadapi semuanya itu. Sedangkan pasukannya sudah tak tahan lagi mendengar pimpinannya dihina orang. Mereka bangkit hendak melancarkan serangan serentak. Tetapi dengan cepat Imam Ali r.a. berteriak untuk menghentikan niat mereka: "Jangan! Itu hanya sekedar makian! Kita harus menjawab mereka dengan memberi maaf!" Demikian perintahnya.
Kebijaksanaan seperti itu ada kalanya menimbulkan salah faham dan gerutu dalam pasukannya sendiri. Ya, itulah Imam Ali r.a., seorang pemimpin yang berjiwa besar lagi arif bijaksana.
Imam Ali r.a. tersohor sebagai pendekar perang dan tangkas dalam perang-tanding. Namun ia benar-benar baru mau mengangkat senjata bila telah terpaksa harus mempertahankan diri. Bila sudah sampai ke tingkat itu, maka tinggal dua pilihan saja bagi dirinya, ia mati di tangan lawan, atau lawan yang harus mati di tangannya. Berlandaskan ketenangan dan kemantapan tekadnya itulah ia tak pernah terkalahkan dalam tiap peperangan, besar atau pun kecil.
Keberanian Imam Ali r.a sebagai seorang ksatria dan perwira tidak identik dengan kekejaman dan haus darah. Ini dibuktikan dalam berbagai peperangan. Salah satu larangan keras yang dikeluarkan Imam Ali r.a kepada anggota pasukannya ialah menyimpan rasa dendam terhadap lawan atau bekas lawan. Dan "jangan menggunakan tipu-daya dalam menghadapi lawan!", itulah perintahnya. Ini juga merupakan keistimewaan bagi seorang Panglima Tertinggi Angkatan Perang Islam.
Dalil umum peperangan atau pertempuran yang menghalalkan segala cara untuk menghancurkan lawan, tidak berlaku bagi Imam Ali r.a. Inilah yang memberi identitas khas kepada pribadinya, dan sekaligus menunjukkan betapa dominannya keimanan dan kemanusiaan di atas norma-norma lainnya. Padahal menurut kebiasaan, untuk mengalahkan lawan, justru strategi, taktik, muslihat, gerak tipu dan pengelabuan merupakan cara-cara yang sangat penting ditempuh.
Tiga belas abad lebih sebelum konvensi Geneva lahir akhir perang dunia ke I (permulaan abad ke-20) tentang perlakuan wajar dan manusiawi terhadap tawanan perang, ketentuan ini sudah diletakkan oleh Imam Ali r.a. empat belas abad yang silam. Dengan keras ia melarang pasukannya menganiaya atau menyiksa anggota pasukan lawan yang sudah menyerah atau yang dalam keadaan luka parah. Mereka harus diperlakukan sebagai mana dirawat dan luka-lukanya pun harus diobati. la mengikuti jejak Rasul Allah s.a.w. secara konsekuen dan dengan keras melarang kaum muslimin merampas serta menjarahi harta benda penduduk daerah lawan yang sudah menyerah. Ini merupakan tindakan disiplin yang berat.
Seperti diketahui, sebelum itu sudah merupakan tradisi kalangan bangsa-bangsa atau qabilah-qabilah, bahwa fihak yang menang mempunyai hak merampas harta benda, bahkan juga isteri dan anggota-anggota keluarga lain yang telah dikalahkan. Kebiasaan seperti itu, terutama sekah berlaku di kalangan suku-suku pengembara, yang motivasi peperangan mereka bukan hanyalah semata-mata untuk menjarabi harta-benda dan keluarga musuh-musuh mereka.
Sebagai seorang Panglima Tertinggi Angkatan Perang Muslimin dalam perang "Unta" Imam Ali ra. memperlihatkan kejutan yang luar biasa bagi lawannya. Seusai pertempuran ia tidak hanya menyembahyangi jenazah-jenazah kawan, tetapi juga mayat lawannya yang gugur di medan tempur.
Waktu mendengar berita tentang kematian anaknya dalam perang "Unta", Shafiyah, ibu Thalhah bin Ubaidillah, mencaci-maki Imam Ali r.a. habis-habisah dan menyumpahinya: "Allah akan membuat anak-anakmu menjadi yatim seperti yang telah kau lakukan terhadap anak-anak Thalhah!"
Imam Ali r.a. tidak menanggapi sama sekali caci-maki wanita itu. Walaupun ia tetap diberondong dengan umpatan-umpatan yang sangat histeris di saat berjalan meninggalkan kemah Shafiyah. Seorang anggota pasukannya yang tidak tahan lagi mendengar pimpinannya dicerea dan dimaki, bertanya: "Ya Amiral Mukminin, mengapa anda diam saja menghadapi perempuan nyap-nyap seperti itu?"
"Mengapa engkau menjadi sebodoh itu?!", jawab Imam Ali r.a. dengan tenangnya kepada anggota pasukan yang bertanya itu. "Bukankah kita sudah diperintahkan oleh Rasul Allah s.a.w. supaya jangan sampai menyerang wanita, walau wanita itu seorang musyrik! Jadi apakah kami harus menyerang dia (Shafiyah)? Bukankah ia seorang wanita muslim?!"
Alangkah tingginya akhlaq seorang manusia yang hidup dipimpin oleh imannya! Alangkah tingginya budi pekerti seorang manusia yang hidup menghayati sepenuhnya ajaran Al Quran!
Hanya fikiran yang naif sajalah yang memandang Imam Ali ra. bersikap terlalu lunak! Imam Ali r.a. hidup dan mati bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk meraih keridhoan Allah dan RasulNya!
Rendah Hati
Imam Ali r.a. telah mengembangkan, kaidah-kaidah yang baru sama sekali dalam kehidupan seorang besar dan panglima perang terkemuka. Ratusan tahun sebelumnya, telah berlaku norma-norma tertentu tentang seorang prajurit kebanggaan, terutama dikalangan anggota-anggota pasukan berkuda. Pada zaman itu pasukan yang paling terpandang dan disebut sebagai elitenya kekuatan bersenjata ialah pasukan berkuda, lebih-lebih komandannya.
Untuk menambah keperwiraan, keanggunan, penampilan dan kewibawaan, seorang pemimpin pasukan berkuda harus tidak boleh segan-segan menepuk dada, membanggakan diri dan menonjolkan jasa-jasa yang pernah diperbuat. Membeberkan prestasi diri sendiri dan sekaligus mengejek serta meremehkan lawan merupakan kebiasaan yang sudah lazim. Sikap seperti itu dipandang umum sebagai tanda kepercayaan kepada diri sendiri, dan besar pengaruhnya terhadap lawan.
Tetapi norma seperti itu tidak berlaku sama sekali bagi Imam Ali r.a. la menolak kebiasaan seperti itu. Dikatakannya: "Kebesaran dan keanggunan semacam itu sebenarnya tidak wajar dan tidak perlu ada, lagi pula tidak ada manfaatnya. Hal semacam itu hanya bentuk penipuan terhadap diri sendiri. Bukankah tidak hanya orang kuat saja yang bisa bertingkah seperti itu, orang lemah pun dapat juga berbuat menonjol-nonjolkan diri supaya tampak kuat".
Tepat sekali apa yang dikatakan Imam Ali ra. itu. Memang, tidak sedikit jumlah pengecut yang memamerkan diri sebagai pemberani. Itu hanyalah suatu cara dan siasat untuk menakut-nakuti lawan. Kebesaran dan keanggunan yang biasanya diucapkan dengan syair-syair, seperti yang lazim berlaku di zaman itu, tidak ada kaitannya dengan keberanian yang benar-benar dibutuhkan untuk berhadapan muka lawan muka. Jadi, hanya kebesaran dan keanggunan yang lahir dari kegagah-beranian sejati sajalah yang dapat meningkatkan bobot kewibawaan seseorang, dan yang dapat mengecutkan hati lawan.
Menurut Imam Ali r.a. tidaklah layak bagi pejuang sejati membanggakan diri atau menonjol-nonjolkan jasa atau prestasi. Bobot seorang pejuang tidak ditentukan oleh omongannya, tetapi oleh perbuatan nyata yang telah dan yang sedang dilakukan. Kecongkakan dan kesombongan pada hakekatnya bukan sifat pejuang sejati. Bukan para penyair dan penggubah lagu yang dapat membuat seseorang menjadi pahlawan, tetapi karena seorang itu pahlawan besar maka orang menggubah syair dan menciptakan lagu untuk mengagungkannya. Sanjung puji tidak melahirkan kegagahberanian dan keperwiraan.
Sebaliknya kegagah-perwiraan itulah yang melahirkan sanjung puji orang banyak. Bukan karena ayam jantan berkokok lalu matahari terbit, tetapi karena matahari terbit itulah ayam jantan berkokok. Satu hal lagi yang memberi identitas kepada Imam Ali ra. sebagai seorang gagah-berani yang melebihi orang lain. Ia bukan sekedar pemberani, tetapi keberaniannya didasarkan atas prinsip keimanannya yang murni dan mantap. la sendiri menganggap apa yang telah dilakukan selama ini bukan suatu yang luar biasa, dan bukan pula hal yang patut dibanggakan atau dipamerkan. Semua yang telah diperbuat dirasa sebagai suatu hal yang memang harus diperbuat oleh setiap orang yang bertaqwa kepada Allah s.w.t. dan patuh kepada ajaran-ajaran Rasul-Nya. la berani dan yakin kepada kebenaran. la sangat takut melanggar ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Berpegang pada prinsip seperti itulah maka Imam Ali ra. bersikap rendah hati, bukan karena ia lemah, melainkan kerana setia kepada perintah Allah dan Rasul-Nya.
Keberanian yang wajar itu sudah dimiliki oleh Imam Ali r.a. sejak ia masih kanak-kanak. Di depan 40 orang pemuka Qureiys, termasuk Abu Lahab, yang selalu menolok da'wah Rasul Allah s.a.w., Imam Ali ra. yang masib remaja tanggung itu, sudah berani menyatakan kepada putera pamannya: "Ya Rasul Allah, jalankan teruskan apa yang diperintahkan Allah kepada anda. Demi Allah, aku senantiasa tetap berada di samping anda dan menjaga keselamatan anda!"
Pada usia dewasa, keberanian Imam Ali ra. yanng tersembunyi di bawah sikap rendah hati dan keramahannya, ternyata bukan hanya didukung oleh kekuatan rohani dan iman yang membaja, melainkan juga didukung oleh kekuatan jasmani yang jarang ada tandingannya. Kekuatan tenaganya banyak dijadikan pepatah oleh orang-orang Arab. Ibnu Qutaibah dalam bukunya "Al Ma-'arij" mengatakan: "Tak seorang pun tidak jatuh tersungkur bila disorong olehnya".
Benar, memang Imam Ali r.a. sendirilah yang menjebol pintu gerbang Khaibar. la jugalah yang mencabut berhala raksasa "Hilbal" dari atas Ka'bah dan dibantingnya ke tanah. Bagi lawan bertanding, menangkis ayunan pedang Imam A li r.a. sudah merupakan resiko tersendiri. Ini diakui oleh semua lawannya.
Sifat pemberani yang dimiliki oleh Imam Ali ra. bukan sekedar ditunjang oleh mental yang tangguh, tetapi juga oleh fisik yang sangat memadai. Tetapi kalau hanya itu saja mungkin belum seberapa menyegankan lawan. Keistimewaannya yang sulit dicari ialah karena ia sanggup menutupi keberanian dan fisiknya yang luar biasa itu dengan sikap rendah hati. Pemberani yang sombong banyak didapati di muka bumi. Tetapi orang yang kuat, berani dan rendah hati, barangkali hanya bisa dihitung dengan jari.
Sebelum menghunus pedang biasanya Imam Ali ra. dipandang remeh oleh lawan-lawannya. Karena pada dirinya tidak terdapat tanda-tanda kesombongan dan kecongkakan. Tetapi pada saat pedang Dzul Fiqar sudah ditarik dari sarungnya, barulah lawan menyaksikan bahwa yang dihadapinya itu benar-benar singa jantan, benar-benar Haidarah! Pada zaman itu tiap orang yang mempunyai keberanian bertempur melawan musuh yang kuat selalu diidentikkan dengan nama Ali bin Abi Thalib. Identiti seperti itu sampai sekarang masih tetap hidup dan menjadi buah bibir di kalangan kaum muslimin di mana-mana.
Pada masa hidupnya, ketangkasan, keberanian dan ketangguhan Imam Ali r.a. menghadapi lawan, diakui baik oleh kawan-kawan sendiri maupun oleh musuh-musuhnya. Musuh sendiri tidak merasa malu, bahkan merasa bangga, kalau dalam satu pertempuran ia kalah melawan Imam Ali r.a. Hanya karena merasa telah berhadapan dengan seorang tokoh perang besar, tenar, ternama dan pemberani. Kalau mereka berhasil melukai Imam Ali r.a. itu sudah merupakan puncak tertinggi dari keberanian dan kehebatan. Tetapi jika kalah atau tewas di tangan Imam Ali ra., maka keluarganya yang ditinggal, merasa puas dan terhormat. Sebab semua qabilah akan dengan bangga mengatakan, bahwa anggota qabdahnya yang bernama si Anu dan si Badu mati dalam pertempuran melawan Imam Ali r.a.
Sebagai contoh kami kemukakan saja sebuah syair yang didendangkan setiap kali teringat oleh kakak perempuan Amr bin Abdu Wudd, si pendekar Qureiys yang mati di ujung pedang Imam Ali r.a. dalam perang "Ahzab":
Andaikan pembunuhnya bukan dia
Akan kutangisi sepanjang hayatku.
Tetapi pembunuhnya ........
Orang yang tiada tolak bandingnya.
Keberanian seorang kuat yang sangat rendah hati itu sampai melahirkan sanjungan dan pujaan masyarakat. Banyak sekah syair yang disenandungkan orang tentang keunggulan Imam Ali r.a. Bahkan sampai pedangnya yang masyhur dan dinamai "Dzul Fiqar" itu sudah dijadikan pusaka yang mengandung daya magic sangat tinggi. Sementara itu terdapat juga suatu pomeo terkenal luas, yaitu dua bait yang melukiskan kemanunggalan Imam. Ali r.a. dengan pedangnya:
Tiada pedang selain Dzul Fiqar Dan tiada ksatria selain Ali!
Kharisma Imam Ali r.a. dengan pedangnya sedemikian mempesona, sampai orang-orang yang menyanjungnya mengatakan, bahwa nyanyian berupa dua bait syair di atas, mereka dengar didendangkan oleh suara Malaikat dari langit pada waktu perang "Uhud". Tidak sedikit pula para pendekar perang dan prajurit yang membangga-banggakan pedangnya masing-masing laksana pedang Dzul Fiqar. Beberapa abad kemudian banyak sekali para panglima perang yang menggoreskan lukisan Imam Ali r.a. pada pedang mereka, terutama orang-orang Turki Ottoman, dalam peperangan-peperangan mereka melawan kaum salib yang menyerbu dari Eropah.
Ada orang yang menilai sikapnya itu sebagai tanda kelemahan. Ada pula yang menafsirkannya sebagai tanda kegentaran. Penilaian dan penafsiran itu tidak tepat sama sekali. Sikap Imam Ali r.a. semacam itu benar-benar keluar dari hati yang tulus ikhlas. Kemanusiaannya sangat tinggi. Lawan yang ditundukkannya diperlakukan dengan sikap manusiawi dan dihormati sesusi dengan harkat martabatnya sebagai manusia.
Kepada puteranya sendiri, Al Hasan r.a., tidak jemu jemunya ia berpesan agar jangan sekali-kali menantang orang berkelahi atau berperang-tanding. "Tetapi jika orang itu menantang, jawab tantangan itu dan hadapilah. Sebab orang yang berbuat seperti itu ialah orang dzalim, dan tiap orang dzalim wajib dilawan," demikian ujar Imam Ali r.a. dengan tandas.
Sering juga orang tidak dapat memahami sifat keksatriaannya. Bagi para ahli perang modern, pendirian Imam Ali r.a. itu dianggap tidak tepat. Sebab, menurut faham mereka, pertahanan yang terbaik ialah melancarkan serangan mengejutkan terhadap lawan. Tetapi watak keksatriaan Imam Ali r.a. tidak seperti itu. Ia hanya akan menyerang bila benar-benar sudah diserang. Jadi serangan hanya dipandang sebagai langkah mempertahankan diri.
Ketika salah seorang sahabatnya menyaksikan persiapan kaum Khawarij dan kemudian dilaporkannya kepada Imam Ali r.a. dan disertai usul supaya mendahului gerakan musuh dengan suatu serangan kilat; Imam Ali r.a. dengan tegas mengatakan: "Aku tidak mau menyerang mereka sebelum mereka melancarkan serangan lebih dahulu terhadap kita. Biarlah mereka berbuat lebih dulu." Padahal secara normal usul sahabatnya itu tepat dan benar.
Peristiwa yang sama juga terjadi sebelum itu. Ialah dalam "Perang Unta". Demikian juga dalam perang Shiffin. Mengawali pecahnya peperangan antara sesama kaum muslimin itu, Imam Ali r.a. selalu berusaha lebih dulu agar dapat diciptakan perdamaian, selagi masih ada peluang untuk itu, betapa pun kecilnya. Jalan inilah yang menurut Imam Ali r.a. sebaiknya harus ditempuh.
Prinsip ini olehnya dipegang teguh. Tidak pandang apakah yang sedang dihadapinya itu perang terbuka atau terselubung, besar atau kecil. Ia selalu mengajak lawan untuk memecahkan persengketaan dan pertikaian melalui jalan damai. Kepada pasukannya ia pun memerintahkan supaya tidak mengambil tindakan lebih dulu yang akan mengakibatkan bencana jatuhnya banyak korban.
Pada dasarnya ia tidak menghunus pedang sebelum menyerukan perdamaian kepada lawan lebih dulu. Tetapi sikapnya yang seperti itu bukannya tidak dilandasi dengan kesiap-siagaan di kalangan pasukannya. Inilah rupanya yang menjadi rahasia keunggulannya dalam menghadapi peperangan demi peperangan.
Satu contoh tentang keksatriaannya yang sangat menarik ialah pada waktu menghadapi kaum Khawarij. Orang-orang Khawarij yang terkenal sangat benci kepada Imam Ali r.a., pada satu ketika berteriak mengkafirkan dan memaki-maki dirinya. Imam Ali r.a. tetap tenang dan dengan lapang dada menghadapi semuanya itu. Sedangkan pasukannya sudah tak tahan lagi mendengar pimpinannya dihina orang. Mereka bangkit hendak melancarkan serangan serentak. Tetapi dengan cepat Imam Ali r.a. berteriak untuk menghentikan niat mereka: "Jangan! Itu hanya sekedar makian! Kita harus menjawab mereka dengan memberi maaf!" Demikian perintahnya.
Kebijaksanaan seperti itu ada kalanya menimbulkan salah faham dan gerutu dalam pasukannya sendiri. Ya, itulah Imam Ali r.a., seorang pemimpin yang berjiwa besar lagi arif bijaksana.
Imam Ali r.a. tersohor sebagai pendekar perang dan tangkas dalam perang-tanding. Namun ia benar-benar baru mau mengangkat senjata bila telah terpaksa harus mempertahankan diri. Bila sudah sampai ke tingkat itu, maka tinggal dua pilihan saja bagi dirinya, ia mati di tangan lawan, atau lawan yang harus mati di tangannya. Berlandaskan ketenangan dan kemantapan tekadnya itulah ia tak pernah terkalahkan dalam tiap peperangan, besar atau pun kecil.
Keberanian Imam Ali r.a sebagai seorang ksatria dan perwira tidak identik dengan kekejaman dan haus darah. Ini dibuktikan dalam berbagai peperangan. Salah satu larangan keras yang dikeluarkan Imam Ali r.a kepada anggota pasukannya ialah menyimpan rasa dendam terhadap lawan atau bekas lawan. Dan "jangan menggunakan tipu-daya dalam menghadapi lawan!", itulah perintahnya. Ini juga merupakan keistimewaan bagi seorang Panglima Tertinggi Angkatan Perang Islam.
Dalil umum peperangan atau pertempuran yang menghalalkan segala cara untuk menghancurkan lawan, tidak berlaku bagi Imam Ali r.a. Inilah yang memberi identitas khas kepada pribadinya, dan sekaligus menunjukkan betapa dominannya keimanan dan kemanusiaan di atas norma-norma lainnya. Padahal menurut kebiasaan, untuk mengalahkan lawan, justru strategi, taktik, muslihat, gerak tipu dan pengelabuan merupakan cara-cara yang sangat penting ditempuh.
Tiga belas abad lebih sebelum konvensi Geneva lahir akhir perang dunia ke I (permulaan abad ke-20) tentang perlakuan wajar dan manusiawi terhadap tawanan perang, ketentuan ini sudah diletakkan oleh Imam Ali r.a. empat belas abad yang silam. Dengan keras ia melarang pasukannya menganiaya atau menyiksa anggota pasukan lawan yang sudah menyerah atau yang dalam keadaan luka parah. Mereka harus diperlakukan sebagai mana dirawat dan luka-lukanya pun harus diobati. la mengikuti jejak Rasul Allah s.a.w. secara konsekuen dan dengan keras melarang kaum muslimin merampas serta menjarahi harta benda penduduk daerah lawan yang sudah menyerah. Ini merupakan tindakan disiplin yang berat.
Seperti diketahui, sebelum itu sudah merupakan tradisi kalangan bangsa-bangsa atau qabilah-qabilah, bahwa fihak yang menang mempunyai hak merampas harta benda, bahkan juga isteri dan anggota-anggota keluarga lain yang telah dikalahkan. Kebiasaan seperti itu, terutama sekah berlaku di kalangan suku-suku pengembara, yang motivasi peperangan mereka bukan hanyalah semata-mata untuk menjarabi harta-benda dan keluarga musuh-musuh mereka.
Sebagai seorang Panglima Tertinggi Angkatan Perang Muslimin dalam perang "Unta" Imam Ali ra. memperlihatkan kejutan yang luar biasa bagi lawannya. Seusai pertempuran ia tidak hanya menyembahyangi jenazah-jenazah kawan, tetapi juga mayat lawannya yang gugur di medan tempur.
Waktu mendengar berita tentang kematian anaknya dalam perang "Unta", Shafiyah, ibu Thalhah bin Ubaidillah, mencaci-maki Imam Ali r.a. habis-habisah dan menyumpahinya: "Allah akan membuat anak-anakmu menjadi yatim seperti yang telah kau lakukan terhadap anak-anak Thalhah!"
Imam Ali r.a. tidak menanggapi sama sekali caci-maki wanita itu. Walaupun ia tetap diberondong dengan umpatan-umpatan yang sangat histeris di saat berjalan meninggalkan kemah Shafiyah. Seorang anggota pasukannya yang tidak tahan lagi mendengar pimpinannya dicerea dan dimaki, bertanya: "Ya Amiral Mukminin, mengapa anda diam saja menghadapi perempuan nyap-nyap seperti itu?"
"Mengapa engkau menjadi sebodoh itu?!", jawab Imam Ali r.a. dengan tenangnya kepada anggota pasukan yang bertanya itu. "Bukankah kita sudah diperintahkan oleh Rasul Allah s.a.w. supaya jangan sampai menyerang wanita, walau wanita itu seorang musyrik! Jadi apakah kami harus menyerang dia (Shafiyah)? Bukankah ia seorang wanita muslim?!"
Alangkah tingginya akhlaq seorang manusia yang hidup dipimpin oleh imannya! Alangkah tingginya budi pekerti seorang manusia yang hidup menghayati sepenuhnya ajaran Al Quran!
Hanya fikiran yang naif sajalah yang memandang Imam Ali ra. bersikap terlalu lunak! Imam Ali r.a. hidup dan mati bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk meraih keridhoan Allah dan RasulNya!
Rendah Hati
Imam Ali r.a. telah mengembangkan, kaidah-kaidah yang baru sama sekali dalam kehidupan seorang besar dan panglima perang terkemuka. Ratusan tahun sebelumnya, telah berlaku norma-norma tertentu tentang seorang prajurit kebanggaan, terutama dikalangan anggota-anggota pasukan berkuda. Pada zaman itu pasukan yang paling terpandang dan disebut sebagai elitenya kekuatan bersenjata ialah pasukan berkuda, lebih-lebih komandannya.
Untuk menambah keperwiraan, keanggunan, penampilan dan kewibawaan, seorang pemimpin pasukan berkuda harus tidak boleh segan-segan menepuk dada, membanggakan diri dan menonjolkan jasa-jasa yang pernah diperbuat. Membeberkan prestasi diri sendiri dan sekaligus mengejek serta meremehkan lawan merupakan kebiasaan yang sudah lazim. Sikap seperti itu dipandang umum sebagai tanda kepercayaan kepada diri sendiri, dan besar pengaruhnya terhadap lawan.
Tetapi norma seperti itu tidak berlaku sama sekali bagi Imam Ali r.a. la menolak kebiasaan seperti itu. Dikatakannya: "Kebesaran dan keanggunan semacam itu sebenarnya tidak wajar dan tidak perlu ada, lagi pula tidak ada manfaatnya. Hal semacam itu hanya bentuk penipuan terhadap diri sendiri. Bukankah tidak hanya orang kuat saja yang bisa bertingkah seperti itu, orang lemah pun dapat juga berbuat menonjol-nonjolkan diri supaya tampak kuat".
Tepat sekali apa yang dikatakan Imam Ali ra. itu. Memang, tidak sedikit jumlah pengecut yang memamerkan diri sebagai pemberani. Itu hanyalah suatu cara dan siasat untuk menakut-nakuti lawan. Kebesaran dan keanggunan yang biasanya diucapkan dengan syair-syair, seperti yang lazim berlaku di zaman itu, tidak ada kaitannya dengan keberanian yang benar-benar dibutuhkan untuk berhadapan muka lawan muka. Jadi, hanya kebesaran dan keanggunan yang lahir dari kegagah-beranian sejati sajalah yang dapat meningkatkan bobot kewibawaan seseorang, dan yang dapat mengecutkan hati lawan.
Menurut Imam Ali r.a. tidaklah layak bagi pejuang sejati membanggakan diri atau menonjol-nonjolkan jasa atau prestasi. Bobot seorang pejuang tidak ditentukan oleh omongannya, tetapi oleh perbuatan nyata yang telah dan yang sedang dilakukan. Kecongkakan dan kesombongan pada hakekatnya bukan sifat pejuang sejati. Bukan para penyair dan penggubah lagu yang dapat membuat seseorang menjadi pahlawan, tetapi karena seorang itu pahlawan besar maka orang menggubah syair dan menciptakan lagu untuk mengagungkannya. Sanjung puji tidak melahirkan kegagahberanian dan keperwiraan.
Sebaliknya kegagah-perwiraan itulah yang melahirkan sanjung puji orang banyak. Bukan karena ayam jantan berkokok lalu matahari terbit, tetapi karena matahari terbit itulah ayam jantan berkokok. Satu hal lagi yang memberi identitas kepada Imam Ali ra. sebagai seorang gagah-berani yang melebihi orang lain. Ia bukan sekedar pemberani, tetapi keberaniannya didasarkan atas prinsip keimanannya yang murni dan mantap. la sendiri menganggap apa yang telah dilakukan selama ini bukan suatu yang luar biasa, dan bukan pula hal yang patut dibanggakan atau dipamerkan. Semua yang telah diperbuat dirasa sebagai suatu hal yang memang harus diperbuat oleh setiap orang yang bertaqwa kepada Allah s.w.t. dan patuh kepada ajaran-ajaran Rasul-Nya. la berani dan yakin kepada kebenaran. la sangat takut melanggar ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Berpegang pada prinsip seperti itulah maka Imam Ali ra. bersikap rendah hati, bukan karena ia lemah, melainkan kerana setia kepada perintah Allah dan Rasul-Nya.
Keberanian yang wajar itu sudah dimiliki oleh Imam Ali r.a. sejak ia masih kanak-kanak. Di depan 40 orang pemuka Qureiys, termasuk Abu Lahab, yang selalu menolok da'wah Rasul Allah s.a.w., Imam Ali ra. yang masib remaja tanggung itu, sudah berani menyatakan kepada putera pamannya: "Ya Rasul Allah, jalankan teruskan apa yang diperintahkan Allah kepada anda. Demi Allah, aku senantiasa tetap berada di samping anda dan menjaga keselamatan anda!"
Pada usia dewasa, keberanian Imam Ali ra. yanng tersembunyi di bawah sikap rendah hati dan keramahannya, ternyata bukan hanya didukung oleh kekuatan rohani dan iman yang membaja, melainkan juga didukung oleh kekuatan jasmani yang jarang ada tandingannya. Kekuatan tenaganya banyak dijadikan pepatah oleh orang-orang Arab. Ibnu Qutaibah dalam bukunya "Al Ma-'arij" mengatakan: "Tak seorang pun tidak jatuh tersungkur bila disorong olehnya".
Benar, memang Imam Ali r.a. sendirilah yang menjebol pintu gerbang Khaibar. la jugalah yang mencabut berhala raksasa "Hilbal" dari atas Ka'bah dan dibantingnya ke tanah. Bagi lawan bertanding, menangkis ayunan pedang Imam A li r.a. sudah merupakan resiko tersendiri. Ini diakui oleh semua lawannya.
Sifat pemberani yang dimiliki oleh Imam Ali ra. bukan sekedar ditunjang oleh mental yang tangguh, tetapi juga oleh fisik yang sangat memadai. Tetapi kalau hanya itu saja mungkin belum seberapa menyegankan lawan. Keistimewaannya yang sulit dicari ialah karena ia sanggup menutupi keberanian dan fisiknya yang luar biasa itu dengan sikap rendah hati. Pemberani yang sombong banyak didapati di muka bumi. Tetapi orang yang kuat, berani dan rendah hati, barangkali hanya bisa dihitung dengan jari.
Sebelum menghunus pedang biasanya Imam Ali ra. dipandang remeh oleh lawan-lawannya. Karena pada dirinya tidak terdapat tanda-tanda kesombongan dan kecongkakan. Tetapi pada saat pedang Dzul Fiqar sudah ditarik dari sarungnya, barulah lawan menyaksikan bahwa yang dihadapinya itu benar-benar singa jantan, benar-benar Haidarah! Pada zaman itu tiap orang yang mempunyai keberanian bertempur melawan musuh yang kuat selalu diidentikkan dengan nama Ali bin Abi Thalib. Identiti seperti itu sampai sekarang masih tetap hidup dan menjadi buah bibir di kalangan kaum muslimin di mana-mana.
Pada masa hidupnya, ketangkasan, keberanian dan ketangguhan Imam Ali r.a. menghadapi lawan, diakui baik oleh kawan-kawan sendiri maupun oleh musuh-musuhnya. Musuh sendiri tidak merasa malu, bahkan merasa bangga, kalau dalam satu pertempuran ia kalah melawan Imam Ali r.a. Hanya karena merasa telah berhadapan dengan seorang tokoh perang besar, tenar, ternama dan pemberani. Kalau mereka berhasil melukai Imam Ali r.a. itu sudah merupakan puncak tertinggi dari keberanian dan kehebatan. Tetapi jika kalah atau tewas di tangan Imam Ali ra., maka keluarganya yang ditinggal, merasa puas dan terhormat. Sebab semua qabilah akan dengan bangga mengatakan, bahwa anggota qabdahnya yang bernama si Anu dan si Badu mati dalam pertempuran melawan Imam Ali r.a.
Sebagai contoh kami kemukakan saja sebuah syair yang didendangkan setiap kali teringat oleh kakak perempuan Amr bin Abdu Wudd, si pendekar Qureiys yang mati di ujung pedang Imam Ali r.a. dalam perang "Ahzab":
Andaikan pembunuhnya bukan dia
Akan kutangisi sepanjang hayatku.
Tetapi pembunuhnya ........
Orang yang tiada tolak bandingnya.
Keberanian seorang kuat yang sangat rendah hati itu sampai melahirkan sanjungan dan pujaan masyarakat. Banyak sekah syair yang disenandungkan orang tentang keunggulan Imam Ali r.a. Bahkan sampai pedangnya yang masyhur dan dinamai "Dzul Fiqar" itu sudah dijadikan pusaka yang mengandung daya magic sangat tinggi. Sementara itu terdapat juga suatu pomeo terkenal luas, yaitu dua bait yang melukiskan kemanunggalan Imam. Ali r.a. dengan pedangnya:
Tiada pedang selain Dzul Fiqar Dan tiada ksatria selain Ali!
Kharisma Imam Ali r.a. dengan pedangnya sedemikian mempesona, sampai orang-orang yang menyanjungnya mengatakan, bahwa nyanyian berupa dua bait syair di atas, mereka dengar didendangkan oleh suara Malaikat dari langit pada waktu perang "Uhud". Tidak sedikit pula para pendekar perang dan prajurit yang membangga-banggakan pedangnya masing-masing laksana pedang Dzul Fiqar. Beberapa abad kemudian banyak sekali para panglima perang yang menggoreskan lukisan Imam Ali r.a. pada pedang mereka, terutama orang-orang Turki Ottoman, dalam peperangan-peperangan mereka melawan kaum salib yang menyerbu dari Eropah.
Dermawan
Jika ada orang kaya gemar memberi pertolongan kepada kaum fakir miskin, ini
bukan suatu keanehan. Tetapi kalau seorang yang hanya mempunyai sepotong roti,
lalu diberikan kepada fakir miskin yang kelaparan, itu sungguh suatu
keluar-biasaan. Imam Ali r.a. berkali-kali menyerahkan beberapa potong roti
yang siap hendak dimakannya kepada orang fakir miskin yang datang ke rumah. la
lebih suka berpuasa dan lapar daripada menolak permintaan orang lapar. Isteri
dan putera-puteranya pun dilatih sedemikian kerasnya untuk bisa hidup seperti
hidupnya.
Asy-Syi'biy mengatakan dalam salah satu riwayat yang ditulisnya, bahwa ia seorang dermawan. Ia benar-benar berakhlaq seperti yang dikehendaki oleh Allah s.w.t., yaitu dermawan dan murah hati. la sama sekali belum pernah mengucapkan kata-kata "tidak" kepada orang yang minta pertolongan.
Sementara para ahli tafsir Al Qur'an banyak yang meriwayatkan, bahwa pada suatu hari Imam Ali r.a. dan keluarganya tidak mempunyai bahan makanan apa pun di rumah. Sedang uang yang tinggal di kantong tidak lebih dari 4 dirham. la bertekad hendak puasa sambil berusaha mendapatkan rizki. Semua anggota keluarganya pun diminta untuk berbuat seperti itu. Sedangkan uang yang 4 dirham itu, 1 dirham disedekahkan pada malam hari, 1 dirham disedekahkan pada siang hari. 1 dirham disedekahkan tanpa setahu orang lain, sedang yang 1 dirham lainnya disedekahkan di depan mata orang banyak.
Tidak keliru kalau Muawiyah sendiri mengatakan kepada Abu Mihfan, bahwa "seandainya Ali bin Abi Thalib mempunyai dua buah rumah, yang satu terbuat dari emas dan yang satunya lagi terbuat dari kayu, tentu ia akan menghabiskan yang dari emas lebih dulu!"
Imam Ali r.a. adalah seorang pemimpin besar yang sering bekerja memburuh sebagai tukang siram tanaman kurma kepada orang-orang Yahudi di Madinah. Dengan perut diganjal batu untuk menahan lapar dan dengan tapak tangan yang kasar menebal, ia menerima upah beberapa dirham, bahkah kadang-kadang hanya beberapa buah kurma. Hasil yang diperolehnya dari memburuh itu, bukannya dibawa pulang untuk anak isterinya, bukan dimakan untuk mengenyangkan perutnya sendiri, tetapi ... disedekahkan kepada fakir miskin yang tidak sanggup berkasab, orang-orang jompo, anak-anak yatim dan lain sebagainya.
Demikianlah kedermawanan seorang pemimpin ummat yang berasal dari Ahlul Bait Rasul Allah sa.w.
Asy-Syi'biy mengatakan dalam salah satu riwayat yang ditulisnya, bahwa ia seorang dermawan. Ia benar-benar berakhlaq seperti yang dikehendaki oleh Allah s.w.t., yaitu dermawan dan murah hati. la sama sekali belum pernah mengucapkan kata-kata "tidak" kepada orang yang minta pertolongan.
Sementara para ahli tafsir Al Qur'an banyak yang meriwayatkan, bahwa pada suatu hari Imam Ali r.a. dan keluarganya tidak mempunyai bahan makanan apa pun di rumah. Sedang uang yang tinggal di kantong tidak lebih dari 4 dirham. la bertekad hendak puasa sambil berusaha mendapatkan rizki. Semua anggota keluarganya pun diminta untuk berbuat seperti itu. Sedangkan uang yang 4 dirham itu, 1 dirham disedekahkan pada malam hari, 1 dirham disedekahkan pada siang hari. 1 dirham disedekahkan tanpa setahu orang lain, sedang yang 1 dirham lainnya disedekahkan di depan mata orang banyak.
Tidak keliru kalau Muawiyah sendiri mengatakan kepada Abu Mihfan, bahwa "seandainya Ali bin Abi Thalib mempunyai dua buah rumah, yang satu terbuat dari emas dan yang satunya lagi terbuat dari kayu, tentu ia akan menghabiskan yang dari emas lebih dulu!"
Imam Ali r.a. adalah seorang pemimpin besar yang sering bekerja memburuh sebagai tukang siram tanaman kurma kepada orang-orang Yahudi di Madinah. Dengan perut diganjal batu untuk menahan lapar dan dengan tapak tangan yang kasar menebal, ia menerima upah beberapa dirham, bahkah kadang-kadang hanya beberapa buah kurma. Hasil yang diperolehnya dari memburuh itu, bukannya dibawa pulang untuk anak isterinya, bukan dimakan untuk mengenyangkan perutnya sendiri, tetapi ... disedekahkan kepada fakir miskin yang tidak sanggup berkasab, orang-orang jompo, anak-anak yatim dan lain sebagainya.
Demikianlah kedermawanan seorang pemimpin ummat yang berasal dari Ahlul Bait Rasul Allah sa.w.
Pemimpin
Ada satu lagi keistimewaan Imam Ali bin Abi Thalib. Yaitu tentang kedudukannya
sebagai pemimpin. Mengenai hal ini Imam Abu Ishaq Ats-Tsa'labiy dalam tafsirnya
mengemukakan keterangan Abu Sufyan bin 'Uyainah yang mengatakan, bahwa pada
suatu had Al Kadzim ditanya oleh seseorang tentang riwayat turunnya firman
Allah s.w.t., seperti yang termuat dalam S. Al Ma'aarij: 1 - 3. Isi firman itu,
ialah tentang suatu adzab yang telah terjadi, di mana orang-orang kafir tidak
dapat menolaknya, karena adzab itu datang dari Allah Penguasa langit.
Menjawab pertanyaan itu Al Kadzim mengatakan: "Anda bertanya kepadaku tentang suatu masalah yang tidak pernah ditanyakan oleh orang lain sebelumnya. Kepadaku Abu Jafar bin Muhammad menyampaikan sebuah riwayat berasal dari para orang-tuanya bahwa Rasul Allah mengumpulkan para sahabatnya di Ghadir Kham. Sambil memegang tangan Imam Ali ra., Rasul Allah s.a.w. berkata: "Barang siapa aku ini menjadi pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpin orang itu".
Sabda Rasul Allah s.a.w. itu tersiar luas di seluruh negeri. Mendengar berita tentang itu, Al Harits bin Nu'man Al Fihriy dengan berkendaraan unta pergi menemui Rasul Allah sa.w. Setibanya di tempat beliau ia menghentikan untanya, lalu turun. Kepada beliau ia berkata: "Hai Muhammad, engkau telah menyampaikan perintah Allah kepada kami, supaya kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Dia dan engkau adalah utusan Allah. Itu sudah kami terima. Engkau memerintahkan kami bersembahyang lima kali sehari, itu sudah kami terima. Engkau memerintahkin kami berpuasa di bulan Ramadhan, juga sudah kami terima. Engkau memerintahkan kami supaya menunaikan ibadah haji, juga kami terima. Tetapi engkau belum puas dengan semua itu, dan sekarang engkau menjunjung putera pamanmu lebih tinggi di atas kami. Lalu engkau mengatakan, barang siapa aku ini pemimpinnya, Ali adalah pemimpin orang itu! Itu dari engkau sendiri ataukah dari Allah 'Azza wa Jalla?"
"Demi Allah yang tiada tuhan selain Dia, itu dari Allah 'Azza wa Jalla", jawab Rasul Allah s.a.w.
Nu'man lalu pergi menghampiri hewan kenderaannya sambil berkata: "Ya Allah, jika apa yang dikatakan olehnya itu sungguh benar, hujanilah kami dengan batu-batu dari langit, atau timpakanlah adzab yang pedih atas kami!"
Ketika Nu'man tiba dekat untanya, sebuah batu jatuh mengenai ubun-ubunnya dan menembus keluar dari duburnya. Seketika itu juga ia tewas.
Dari riwayat ini jelaslah, bahwa Numan tidak yakin kalau apa yang dikatakan Rasul Allah s.a.w. itu benar. Bagi Nu'man nampaknya ia lebih rela menerima adzab yang pedih daripada mengakui Imam Ali r.a. sebagai pemimpin. Apa yang dinyatakan Rasul Allah s.a.w. itu adalah kehendak Allah, tetapi Nu'man mengingkarinya. Oleh karena itu sesuai dengan permintaannya sendiri, Allah menjatuhkan adzabNya selagi ia masih hidup di dunia.
Menjawab pertanyaan itu Al Kadzim mengatakan: "Anda bertanya kepadaku tentang suatu masalah yang tidak pernah ditanyakan oleh orang lain sebelumnya. Kepadaku Abu Jafar bin Muhammad menyampaikan sebuah riwayat berasal dari para orang-tuanya bahwa Rasul Allah mengumpulkan para sahabatnya di Ghadir Kham. Sambil memegang tangan Imam Ali ra., Rasul Allah s.a.w. berkata: "Barang siapa aku ini menjadi pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpin orang itu".
Sabda Rasul Allah s.a.w. itu tersiar luas di seluruh negeri. Mendengar berita tentang itu, Al Harits bin Nu'man Al Fihriy dengan berkendaraan unta pergi menemui Rasul Allah sa.w. Setibanya di tempat beliau ia menghentikan untanya, lalu turun. Kepada beliau ia berkata: "Hai Muhammad, engkau telah menyampaikan perintah Allah kepada kami, supaya kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Dia dan engkau adalah utusan Allah. Itu sudah kami terima. Engkau memerintahkan kami bersembahyang lima kali sehari, itu sudah kami terima. Engkau memerintahkin kami berpuasa di bulan Ramadhan, juga sudah kami terima. Engkau memerintahkan kami supaya menunaikan ibadah haji, juga kami terima. Tetapi engkau belum puas dengan semua itu, dan sekarang engkau menjunjung putera pamanmu lebih tinggi di atas kami. Lalu engkau mengatakan, barang siapa aku ini pemimpinnya, Ali adalah pemimpin orang itu! Itu dari engkau sendiri ataukah dari Allah 'Azza wa Jalla?"
"Demi Allah yang tiada tuhan selain Dia, itu dari Allah 'Azza wa Jalla", jawab Rasul Allah s.a.w.
Nu'man lalu pergi menghampiri hewan kenderaannya sambil berkata: "Ya Allah, jika apa yang dikatakan olehnya itu sungguh benar, hujanilah kami dengan batu-batu dari langit, atau timpakanlah adzab yang pedih atas kami!"
Ketika Nu'man tiba dekat untanya, sebuah batu jatuh mengenai ubun-ubunnya dan menembus keluar dari duburnya. Seketika itu juga ia tewas.
Dari riwayat ini jelaslah, bahwa Numan tidak yakin kalau apa yang dikatakan Rasul Allah s.a.w. itu benar. Bagi Nu'man nampaknya ia lebih rela menerima adzab yang pedih daripada mengakui Imam Ali r.a. sebagai pemimpin. Apa yang dinyatakan Rasul Allah s.a.w. itu adalah kehendak Allah, tetapi Nu'man mengingkarinya. Oleh karena itu sesuai dengan permintaannya sendiri, Allah menjatuhkan adzabNya selagi ia masih hidup di dunia.
Bersambung ...................
Silahkan Klik Lanjutan Kisahnya :
0 Response to "Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a. (bag. 12) - Keutamaan & Sikap Hidup Imam Ali r.a"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip