//

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a. (bag. 5) - Wafatnya Rasul Allah s.a.w

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a. (bag. 5)

H.M.H. Al Hamid Al Husaini

Aswaja Mengisahkan tokoh kontroversi al imam ali ra dgn begitu objektif dan terukur, semoga dapat mengambil pelajaran dari kisah ini....

========================


Bab 5 Wafatnya Rasul Allah s.a.w


Pada hari-hari terakhir hayatnya Rasul Allah s.a.w., Imam Ali r.a. telah sampai pada puncak kematangannya, baik secara fisik, mental maupun pemikiran. Ketaqwaan dan imannya yang kuat telah teruji dalam pengalaman membela kebenaran Allah dan Rasul-Nya. Ilmu-ilmu Ilahiyah yang diterimanya langsung dari Nabi Muhammad s.a.w. telah cukup untuk menghadapi dan menanggulangi berbagai problem yang akan muncul di kalangan umat Islam. Tentang hal itu Nabi Muhammad s.a.w. sendiri telah menegaskan: "Aku ini adalah kotanya ilmu, sedang Ali adalah pintunya."
Penegasan Nabi Muhammad s.a.w. tentang kecerdasan dan kematangan fikiran Imam Ali r.a. kiranya cukup menjadi ukuran sejauh mana ilmu-ilmu pengetahuan yang telah dituangkan beliau kepada putera pamannya itu.



Pandangan Nubuwwah


Adalah wajar bila Rasul Allah s.a.w. bangga mempunyai seorang keluarga yang telah dibekali syarat-syarat untuk dapat meneruskan kepemimpinannya atas kaum muslimin. Berkat ketajaman pandangan nubuwwahnya, Nabi Muhammad s.a.w. telah melihat akan terjadinya hal-hal yang tidak menggembirakan sepeninggal beliau di masa mendatang.
Mengenai hal yang terakhir ini, Ibnu Abil Hadid dalam bukunya Syarh Nahjil Balaghah, jilid X halaman 182-183 mengatakan: "Pada malam hari setelah mempersiapkan pasukan untuk menghadapi rongrongan Romawi di Balqa --di bawah pimpinan Usamah bin Zaid-- Nabi Muhammad s.a.w. berziarah ke makam Buqai'. Setibanya di makam itu beliau mengucapkan: 'Assalamu 'alaikum, ya ahlal-qubur'. Semoga tempat di mana kalian berada ini lebih tenang daripada yang akan dialami oleh orang-orang yang masih hidup. Suatu malapetaka bakal terjadi seperti datangnya malam yang gelap-gulita dari permulaan sampai akhir."
Setelah memohon pengampunan bagi para ahlil-qubur, beliau memberitahu para sahabat: "Biasanya Jibril menghadapkan Al Qur'an kepadaku tiap tahun satu kali, tetapi tahun ini menghadapkan kepadaku sampai dua kali, kukira itu karena ajalku sudah dekat."
Keesokan harinya Rasul Allah s.a.w. mengucapkan khutbah di hadapan jema'ah para sahabat. Beliau berkata: " Hai orang-orang, sudah tiba saatnya aku akan pergi dari tengah-tengah kalian. Barang siapa mempunyai titipan padaku hendaknya datang kepadaku untuk kuserahkan kembali kepadanya. Barang siapa mempunyai penagihan kepadaku hendaknya ia datang untuk segera kulunasi. Hai orang-orang, antara Allah dan seorang hamba, tidak ada keturunan atau urusan apa pun yang dapat mendatangkan kebajikan atau menolak keburukan, selain amal perbuatan. Janganlah ada orang yang mengaku-aku dan janganlah ada orang yang mengharap-harap. Demi Allah yang mengutusku membawa kebenaran, tidak ada apa pun yang dapat menyelamatkan selain amal perbuatan disertai cinta-kasih. Seandainya aku berbuat durhaka aku pun pasti tergelincir. Ya Allah ..., amanat-Mu telah kusampaikan!"

Dari ucapan-ucapan Rasul Allah s.a.w. malam hari di makam Buqai' dan dari khutbah beliau yang diucapkan keesokan harinya, jelaslah bagi kaum muslimin kesukaran-kesukaran yang bakal dihadapi sepeninggal Rasul Allah s.a.w. Kesukaran-kesukaran yang hanya dapat ditanggulangi dengan amal perbuatan yang disertai cinta-kasih, sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Secara tidak langsung pun beliau memperingatkan, bahwa barang siapa berbuat durhaka, ia pasti akan tergelincir ke jalan yang tidak diridhoi Allah s.w.t.


Jatuh sakit


Canang dan peringatan Rasul Allah s.a.w. kepada ummatnya itu diucapkan di kala kaum muslimin di seluruh jazirah Arab sudah dalam keadaan mantap. Hanya dalam waktu 10 tahun, jazirah yang seluas itu telah bernaung di bawah kibaran panji-panji agama Allah. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, jazirah yang dihuni oleh qabilah-qabilah, suku-suku dan puak-puak yang saling bertentangan, bersaingan dan bercerai-berai itu, kini telah berhasil dipersatukan dalam satu agama, satu aqidah dan satu pimpinan. Agama Islam aqidahnya ialah tauhid dan pimpinannya ialah Rasul Allah s.a.w.
Atas kehendak Allah s.w.t. dan rakhmat-Nya serta berkat kebijaksanaan Rasul-Nya, perjuangan mengakhiri paganisme (agama keberhalaan) telah mencapai prestasi yang luar biasa besarnya. Misi suci menyebarkan agama Islam, praktis telah diselesaikan dengan sukses oleh Nabi Muhammad s.a.w.
Sekembalinya dari ibadah haji wada', Rasul Allah s.a.w. mengangkat Usamah bin Zaid bin Haritsah sebagai panglima pasukan muslimin untuk menghadapi rongrongan Romawi di Balqa, sebelah utara jazirah Arab. Pengangkatan Usamah yang baru berusia 22 tahun itu, menimbulkan kekhawatiran di kalangan para sahabat terkemuka. Sebab, selain Usamah masih terdapat panglima-panglima yang telah banyak makan garam peperangan dan pantas untuk jabatan itu. Namun Rasul Allah s.a.w. tetap berpegang teguh pada kebijaksanaan yang telah ditetapkan.
Secara psikologis pengangkatan Usamah bin Zaid adalah tepat. Ia seorang tokoh muda yang cerdas dan penuh inisiatif. Lagi pula ayahnya, Zaid bin Haritsah, bukan nama yang kecil dalam jajaran pahlawan-pahlawan Islam. Ia gugur di Mu'tah sebagai pahlawan syahid dalam pertempuran melawan pasukan Romawi. Karena itu diharapkan Usamah akan mendapat kesempatan baik untuk menuntut balas atas kematian ayahnya.
Pada waktu Usamah bin Zaid dan pasukannya yang besar itu sudah dalam keadaan siaga, tiba-tiba Rasul Allah s.a.w. jatuh sakit. Baru kali ini beliau mengeluh tentang penyakitnya. Beliau menderita penyakit demam tinggi. Tubuh yang selama hayatnya diabdikan kepada perjuangan di jalan Allah s.w.t., kini tiba-tiba hampir tak bertenaga. Kaum muslimin sangat resah melihat penyakit beliau yang tampak gawat.
Meskipun demikian, banyak juga para sahabat yang tidak percaya, bahwa jasmani seorang manusia utusan Allah yang kekar dan kuat itu bisa dibuat tidak berdaya oleh penyakit. Lebih-lebih karena di masa sakit itu, beliau masih sibuk mengatasi keresahan fikiran sementara sahabat yang kurang bisa menerima pengangkatan Usamah.
Mengenai Usamah ini, Nabi Muhammad s.a.w. cukup tegas. Putusan yang telah beliau ambil tak dapat ditawar-tawar lagi. Usamah beliau perintahkan agar bertindak sebagai pemimpin ekspedisi ke utara. Ketetapan yang beliau ambil itu besar artinya bagi kaum muda. Muhammad Husein Haikal dalam bukunya "Hayat Muhammad" tentang hal itu mengatakan: "Timbul keyakinan di kalangan kaum muda bahwa mereka pun mampu mengemban tugas berat. Kebijaksanaan beliau itu juga merupakan pendidikan bagi mereka agar membiasakan diri memikul beban tanggung jawab yang besar dan berat."
Makin hari penyakit yang diderita-Rasul Allah s.a.w. makin gawat. Semula beliau tetap berusaha agar dapat melaksanakan tugas sehari-hari, seperti mengimami shalat jama'ah. Akan tetapi ketika dirasa penyakitnya bertambah berat, beliau memerintahkan Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. menggantikan beliau melaksanakan tugas yang amat mulia itu. Perintah Nabi Muhammad s.a.w. kepada Abu Bakar Ash Shiddiq ra. itulah yang kemudian diartikan orang sebagai petunjuk, bahwa Abu Bakar r.a. adalah orang yang layak menduduki kepemimpinan ummat Islam sepeninggal Rasul Allah s.a.w.


Wasiyat


Dalam keadaan menderita sakit yang sedang gawat-gawatnya, Rasul Allah s.a.w. menyampaikan pesan kepada para sahabatnya kaum Muhajirin, agar memelihara persaudaraan dan menjaga hubungan baik dengan kaum Anshar. "Mereka itu", yakni kaum Anshar, kata Nabi Muhammad s.a.w., "adalah orang-orang tempat aku menyimpan rahasiaku dan yang telah memberi perlindungan kepadaku. Hendaknya kalian berbuat baik atas kebaikan mereka itu dan memaafkan mereka bila ada yang berbuat salah."
Imam Al Bukhari dalam shahihnya mengetengahkan sebuah hadits, dengan sanad Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah dan berasal dari Ibnu Abbas, bahwa ketika Rasul Allah s.a.w. sedang mendekati ajal, berkata kepada para sahabat yang berada di sekelilingnya. Di antara mereka itu terdapat Umar Ibnul Khattab r.a. Nabi Muhammad s.a.w. berkata:
"Marilah…, akan kutuliskan untuk kalian suatu kitab (secarik surat wasyiat) dengan mana kalian tidak akan sesat sepeninggalku."
Mendengar itu Umar bin Ibnul Khattab r.a. berkata kepada sahabat-sahabat lainnya: "Nabi dalam keadaan sangat payah dan kalian telah mempunyai Al-Qur'an. Cukuplah Kitab Allah itu bagi kita."
Menanggapi perkataan Umar r.a. itu para sahabat berselisih pendapat. Ada yang minta supaya segera disediakan alat tulis agar Rasul Allah s.a.w. menuliskan wasiyatnya yang terakhir. Ada pula yang sependapat dengan Umar r.a. Terjadilah pertengkaran mulut, sehingga Rasul Allah s.a.w. akhirnya menghardik: "Nyahlah kalian!"
Hadits itu tidak perlu lagi dipersoalkan kebenarannya. Sebab Al-Bukhari sendiri meriwayatkan hadits tersebut di berbagai tempat dalam Shaihnya. Juga Muslim dalam Shahihnya pada bagian "Wasiyat terakhir" meriwayatkan hadits tersebut dari Sa'ad bin Zubair yang berasal dari Ibnu Abbas pula.
At-Thabrani dalam "Al-Ausath" mengemukakan: "Pada waktu Rasul Allah s.a.w. menghadapi ajal, beliau berkata: "Bawalah kepadaku lembaran dan tinta. Akan kutuliskan untuk kalian yang dengan itu kalian tidak akan sesat selama-lamanya."
Mendengar ucapan Nabi Muhammd s.a.w. itu, para wanita yang menunggu di belakang tabir (hijab) berkata kepada para sahabat Nabi yang berada di tempat itu: "Tidakkah kalian mendengar apa yang dikatakan oleh Rasul Allah ?"
Umar Ibnul Khattab r.a. segera menyahut: "Kukatakan, kalian itu sama dengan wanita-wanita yang mengelilingi Nabi Yusuf. Jika Rasul Allah sakit kalian mencucurkan air mata dan jika beliau sehat kalian menunggangi lehernya!"
Mendengar ucapan Umar r.a. itu Rasul Allah s.a.w. kemudian berkata mengingatkan: "Biarkan mereka itu, mereka itu lebih baik daripada kalian."
Hadist yang diketengahkan oleh At-Thabrani itu terdapat dalam "Kanzul 'Ummal", jilid III, hlm 138.
Penyakit Rasul Allah s.a.w. mencapai puncaknya ketika beliau berada di kediaman Sitti Maimunah r.a., salah seorang isteri beliau. Atas kesepakatan semua isterinya beliau meminta supaya dibawa ke tempat kediaman Sitti Aisyah r.a. Dengan berikat kepala, beliau keluar dan berjalan sambil bertopang pada Imam Ali r.a. dan pamannya, Abbas. Beliau tiba di tempat kediaman Sitti Aisyah r.a. dalam keadaan lemah sekali.
Beberapa hari kemudian, di saat banyak orang sedang menunaikan shalat jama'ah yang diimami oleh Abu Bakar r.a., tiba-tiba Nabi Muhammad s.a.w. muncul di tengah-tengah mereka dengan bertopang pada Imam Ali r.a. serta Al Fadhl bin Abbas. Shalat subuh berjama'ah itu hampir saja tertunda karena hal yang mengejutkan itu. Hal itu tak sampai terjadi, karena Rasul Allah s.a.w. memerintahkan supaya shalat dilanjutkan.
Abu Bakar r.a. sendiri merasa rikuh, berniat mundur dan hendak menyerahkan imam shalat kepada beliau, tetapi Nabi Muhammad s.a.w. mendorongnya dari belakang sambil berucap setengah berbisik: "Teruskan mengimami shalat". Beliau kemudian mengambil tempat di samping kanan Abu Bakar r.a. dan menunaikan shalat sambil duduk.
Seusai shalat Nabi Muhammad s.a.w. berbalik menghadap kebelakang dan bertatap-muka dengan jama'ah yang memenuhi masjid. Semua bergembira melihat Rasul Allah s.a.w. berangsur sehat. Lebih tertegun lagi tatkala beliau berkata: " Hai kaum muslimin, api neraka sudah bertiup dan fitnahpun akan datang seperti malam gelap-gulita. Demi Allah, aku tidak akan menghalalkan sesuatu selain yang dihalalkan oleh Al Qur'an. Aku pun tidak akan mengharamkan sesuatu selain yang diharamkan oleh Al Qur'an. Terkutuklah orang yang menggunakan pekuburan sebagai tempat bersujud (Masjid)."
Kesehatan Rasul Allah s.a.w. yang secara tiba-tiba tampak pulih kembali dengan cepat tersiar luas dan disambut gembira sekali oleh seluruh kaum muslimin. Usamah bin Zaid, yang semula sudah siap untuk membubarkan pasukan, karena Rasul Allah s.a.w. sakit keras, kemudian menghadap beliau untuk minta izin menggerakkan pasukannya ke Syam. Bahkan Abu Bakar r.a. sendiri pun yakin benar bahwa beliau sudah bisa kembali menjalankan tugas sehari-hari. Begitu pula Umar Ibnul Khattab r.a. dan para sahabat dekat lainnya, sekarang sudah beranjak meninggalkan masjid guna menyelesaikan keperluan masing-masing.


Wafat


Akan tetapi kondisi kesehatan beliau yang seperti itu ternyata hanya semu belaka. Beberapa saat kemudian penyakitnya berubah menjadi gawat kembali. Detik-detik terakhir hayatnya tiba dikala beliau berbaring di pangkuan isterinya, Sitti Aisyah r.a.
Agak lain dari itu, menurut Imam Ahmad bin Hanbal dalam Masnadnya jilid II, halaman 300, dan menurut At-Thabariy dalam Dzakha'irul'Uqba' halaman 73, beliau wafat di atas pangkuan Imam Ali r.a. Ucapan terakhir yang keluar pada detik kemangkatan beliau ialah "Ar Rafiqul A'laa. minal jannah…"
Ada yang mengatakan beliau wafat pada bagian akhir bulan shafar tahun 11 hijriyah. Ada pula sejarawan yang menyebut permulaan Rabi'ul Awwal sebagai hari wafat beliau. Kaum Syi'ah, misalnya, mengatakan bahwa beliau wafat dua hari terakhir bulan shafar. Tetapi banyak penulis sejarah lainnya mengatakan pada permulaan bulan Rabi'ul Awwal tahun 11 Hijriyah, atau tanggal 8 Juni tahun 632 Masehi.
Tentang hari dan tanggal wafatnya Rasul Allah s.a.w. bukanlah suatu masalah yang perlu dipersoalkan. Yang penting dan yang sangat perlu ditekankan, bahwa pada saat-saat terakhir hayatnya, beliau tidak mengatakan siapa yang akan meneruskan kepemimpinan atas ummatnya. Hal ini di belakang hari akan menjadi titik perbedaan pendapat tentang kepemimpinan ummat di kalangan kaum muslimin.
Rasul Allah s.a.w pulang keharibaan Allah Rabbul'alamin hanya meninggalkan Kitab Allah yang berisi firman-firman-Nya, dan ajaran serta tauladan beliau yang kemudian dikenal sebagai Sunnah Rasul Allah s.a.w. Beliau mangkat meninggalkan Islam sebagai buah risalah suci dalam keadaan lengkap dan sempurna, yang kehadirannya di permukaan bumi akan melahirkan peradaban baru dalam kehidupan manusia.
Nabi Muhammad s.a.w. wafat meninggalkan keluarga dan para sahabat, yang ketangguhan Iman dan kesetiaannya kepada Islam bisa diandalkan untuk menjamin kelestarian agama Allah dan mengembang-luaskan manusia pemeluknya. Kebenaran telah tiba dan kebatilan pasti lenyap. Itulah motto perjuangan ummat Islam yang mau tidak mau harus diperhitungkan oleh kekuatan-kekuatan kuffar di Barat dan kekuatan-kekuatan musyrikin di Timur.
Kemangkatan Rasul Allah s.a.w. merupakan peristiwa yang tidak diduga akan secepat itu. Kejadian yang terasa sangat mengejutkan itu, mengakibatkan banyak kaum muslimin terombang-ambing antara percaya dan tidak. Bahkan sahabat terdekat beliau sendiri, yaitu Umar Ibnul Khattab r.a. masih juga tidak mau percaya mendengar berita tentang wafatnya Rasul Allah s.a.w. Hingga saat ia sendiri menyaksikan jenazah suci terbaring di rumah Sitti Aisyah r.a., masih tetap berseru kepada semua orang: "Rasul Allah tidak wafat! Beliau hanya menghilang dan akan kembali lagi!"
Umar Ibnul Khattab r.a. tetap membantah, bahkan mengancam-ancam setiap orang yang mengatakan bahwa Rasul Allah telah wafat. Apa yang diperlihatkan oleh Umar Ibnul Khattab r.a. itu hanya menunjukkan betapa hebatnya goncangan kaum muslimin mendengar berita tentang wafatnya Nabi Muhammad s.a.w.
Seorang sahabat lainnya, Al-Mughirah, berusaha meyakinkan Umar r.a. bahwa Rasul Allah s.a.w. benar-benar wafat. Dengan geram Umar r.a. menuduhnya sebagai pembohong. Umar r.a. menjawab: "Beliau hanya pergi menghadap Allah, sama seperti Musa bin Imran yang menghilang dari tengah-tengah kaumnya selama 40 hari dan akhirnya kembali lagi kepada mereka."
Banyak orang yang dituduh oleh Umar r.a. sebagai munafik, hanya karena memberitakan kemangkatan Rasul Allah s.a:w. Kepada orang-orang yang sedang berkerumun di masjid Nabawi, Umar r.a. meneriakkan ancaman: "Barang siapa berani mengatakan Rasul Allah telah wafat, akan kupotong kaki dan tangannya!" Ancaman Umar r.a. yang seperti itu cukup menambah bingungnya kaum muslimnin yang sedang dirundung duka cita.
Abu Bakar r.a. yang baru saja datang dari Sunh, ketika mendengar Umar r.a. melontarkan kata-kata sekeras itu, berusaha meyakinkan dengan mensitir ayat 144 Surah Ali Imran, yang dalam bahasa Indonesianya: "Muhammad itu tiada lain hanya seorang Rasul, sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau terbunuh kamu berbalik ke belakang? Barangsiapa yang berbalik ke belakang ia tak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur."
Mendengar itu sadarlah Umar Ibnul Khattab atas kekhilafannya.


Pemakaman


Pada saat wafatnya Rasul Allah s.a.w. Imam Ali r.a. adalah orang pertama yang segera turun tangan untuk merawat dan mempersiapkan pemakaman jenazah manusia terbesar di dunia, yang paling dicintai dan dikaguminya. Untuk pertama kali kaum muslimin menghadapi cara pemakaman jenazah orang yang paling mereka hormati dan mereka cintai sebagai pemimpin agung.
Seorang manusia pilihan Allah, Nabi dan Rasul-Nya. Seorang besar yang tak akan pernah ada bandingannya dalam sejarah. Seorang arif bijaksana yang telah berhasil mengubah tata-kehidupan bangsanya. Seorang yang telah menunjukkan kesanggupan merombak secara menyeluruh nilai-nilai lama dan menggantinya dengan nilai-nilai baru yang mulia dan luhur, yaitu Islam. Seorang manusia agung yang jauh lebih mulia dibanding dengan kepala-kepala qabilah, pemimpin-pemimpin golongan, bahkan raja-raja sekalipun. Seorang yang hanya dalam waktu kurang lebih dua dasawarsa sanggup mengubah wajah dunia Arab dan mengangkat derajat satu bangsa yang tadinya dipandang rendah menjadi sangat disegani oleh kekutan-kekuatan raksasa seperti Romawi dan Persia. Jauh lebih besar lagi, karena Nabi Muhammad s.a.w. datang ke tengah-tengah ummat manusia membawa agama besar untuk menegakkan kebenaran dan keadilan di permukaan bumi.
Tata-cara yang direncanakan untuk memakamkan jenazah suci itu ternyata banyak menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin, terutama mengenai problema: siapa yang berhak memandikan, siapa yang berhak menurunkan ke liang lahad dan lain sebagainya.
Tentang di mana jenazah suci akan dikebumikan juga menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para sahabat. Sebagian menuntut supaya jenazah Rasul Allah s.a.w. dimakamkan di Makkah. Sebagai alasan dikatakan, di kota itulah beliau dilahirkan. Sebagian lain menuntut supaya jenazah beliau dimakamkan di Madinah, di pemakaman Buqai', dengan alasan agar beliau bersemayam bersama-sama pahlawan syahid yang gugur dalam perang Uhud. Akhirnya perbedaan pendapat ini dapat disudahi, setelah Abu Bakar r.a. mengumumkan, bahwa ia mendengar sendiri penegasan Rasul Allah s.a.w.: "Semua Nabi dimakamkan di tempat mereka wafat". Berdasarkan itu bulatlah mereka memakamkan jenazah Nabi Muhammad s.a.w. di rumah beliau di Madinah.
Tentang masalah siapa yang akan mengimami shalat jenazah secara berjama'ah juga terdapat pertikaian. Pertikaian itu terjadi karena hal itu dipandang suatu kehormatan yang sangat tinggi bagi seorang yang bertindak selaku Imam shalat jenazah bagi manusia agung seperti Nabi Muhammad s.a.w. Karena tidak tercapai kesepakatan, akhirnya tiap orang melakukan shalat jenazah sendiri-sendiri. Sementara itu terdapat riwayat lain yang mengatakan, bahwa di kala itu Imam Ali r.a. mengusulkan shalat jenazah secara berjema'ah. Usul tersebut diterima oleh kaum muslimin, bahkan disepakati ia bertindak sebagai imam.
Begitu pula, tentang siapa yang akan mendapat kehormatan menurunkan jenazah suci ke liang lahad. Abbas bin Abdul Mutthalib, paman Rasul Allah s.a.w. mengusulkan supaya Abu Ubaidah bin Al Jarrah saja yang menurunkan ke liang lahad. Sebagai alasan dikemukakan, bahwa dia sudah biasa menggali lahad dan mengembumikan orang-orang Makkah. Imam Ali r.a. berpendirian lain. Ia mengusulkan agar Abu Thalhah Al-Anshariy saja yang turun ke liang lahad. Alasannya senada dengan paman Rasul Allah s.a.w. di atas, hanya kotanya lain: "Ia sudah biasa menggali lahad dan memakamkan orang-orang Madinah."
Setelah melalui pertukaran pendapat beberapa lamanya, akhirnya terdapat saling pengertian dan Abu Thalhah mendapat kehormatan menggali liang lahad. Kemudian timbul pula problema baru. Siapa yang akan menyertai Abu Thalhah dalam melaksanakan tugas terhormat itu?
Problema-problema seperti di atas timbul, karena tidak ada seorang pun yang diakui otoritasnya untuk mengatur dan menentukan tata-cara pemakaman. Juga karena tidak ada wasiyat apa pun dari Rasul Allah s.a.w. tentang sesuatu yang perlu dilakukan kaum muslimin pada saat beliau wafat. Soal-soal yang bagi orang zaman sekarang dianggap kurang penting, pada masa itu benar-benar dipandang sebagai satu soal yang besar. Lebih-lebih karena yang dihadapi kaum muslimin ialah jenazah Rasul Allah s.a.w. Hal itu wajar. Rasanya tidak ada kehormatan yang lebih tinggi dari pada memperoleh kesempatan memberikan pelayanan terakhir kepada jenazah suci itu.
Akhirnya Imam Ali r.a. dengan terus terang dan tegas berkata: "Tidak ada orang yang boleh turun ke liang lahad bersama Abu Thalhah selain aku sendiri dan Abbas."
Sungguh pun sudah ada ketegasan seperti itu dari Imam Ali r.a., namun dalam praktek ia membolehkan juga Al-Fadhl bin Abbas dan Usamah bin Zaid turun ke liang lahad. Hal itu menimbulkan rasa kurang enak di kalangan kaum Anshar. Mereka menuntut agar ada seorang dari kaum Anshar yang ikut. Tuntutan yang adil itu akhirnya disepakati dan ditunjuklah orangnya, Aus bin Khauliy. Aus dulu pernah ikut aktif dalam perang Badr melawan kaum musyrikin Qureiys.
Dalam semua kegiatan membenahi pemakaman jenazah Rasul Allah s.a.w., Imam Ali r.a. benar-benar memainkan peranan yang sangat dominan. Bahkan waktu memandikan jenazah beliau, Imam Ali r.a.lah satu-satunya orang yang menjamah jasad manusia agung itu. Hal itu dimungkinkan karena sebelumnya banyak orang yang sudah mendengar, bahwa Rasul Allah s.a.w. sendiri pernah menyatakan, hanya Imam Ali r.a. saja yang boleh melihat aurat beliau.
Kesan Imam Ali r.a. yang sangat mendalam dan selalu terkenang dari peristiwa memandikan jenazah suci itu ialah: "…kubalikkan sedikit saja, jasad beliau sudah menurut. Sama sekali tidak kurasakan berat. Seolah-olah ada tangan lain yang membantuku, bukan lain pasti tangan Malaikat."
Riwayat lain mengatakan, bahwa yang memandikan jenazah Rasul Allah s.a.w. bukan hanya Imam Ali r.a., tetapi juga Abbas bin Abdul Mutthalib serta dibantu oleh dua orang puteranya yang bernama Al-Fadhl dan Qutsam, di samping Usamah bin Zaid. Usamah bin Zaid dan Syukran, yang sampai saat terakhir menjadi pembantu Rasul Allah s.a.w., dua-duanya menuangkan air. Jasad jenazah suci dimandikan tetap dalam mengenakan pakaian. Di saat memandikan Imam Ali r.a. tertegun oleh keharuman bau semerbak dan sambil bergumam mengucapkan: "Demi Allah, alangkah harumnya engkau di waktu hidup dan setelah meninggal!"
Sementara riwayat mengatakan pula, bahwa pemakaman jenazah suci itu dilakukan pada malam hari di bawah cahaya gemerlapan bintang-bintang di langit hening
. Di tengah keheningan malam itu terdengar detak-denting suara orang menggali lahad, bercampur suara saling berbisik, seolah-olah jangan sampai mengusik ketenangan jenazah agung yang sedang menuju ke pembaringan terakhir. Tidak jauh dari tempat pamakaman terdengar suara haru para wanita tertahan mengendap-endap rintihan duka. Innaa Lillahi wa innaa ilaihi raaji'uun…

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a. (bag. 5) - Wafatnya Rasul Allah s.a.w"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip