Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a. (bag. 9)
H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Aswaja Mengisahkan tokoh kontroversi al imam ali ra dgn begitu objektif dan terukur, semoga dapat mengambil pelajaran dari kisah ini....
========================Perang Unta
Imam Ali r.a. berusaha bertemu muka dengan dua tokoh bekas sahabatnya, yang saat itu telah mengangkat senjata untuk menentangnya. Pada pertemuan muka dengan Thalhah, Imam Ali r.a. berkata: "Sahabatku Thalhah! Engkau menyimpan isterimu sendiri di rumahmu, tetapi engkau datang ke tempat ini membawa isteri Rasul Allah s.a.w. Dengan mempergunakan diakah engkau berperang?"
Pertanyaan Imam Ali r.a. ini nampaknya sangat mengenai hati Thalhah. Ia tak bisa menjawabnya sama sekali dan hanya dapat menundukkan kepala untuk kemudian pelan-pelan menarik diri dari barisan yang dipimpinnya.
Ketika Marwan bin Al-Hakam melihat Thalhah memisahkan diri dari pasukan dan meninggalkan medan pertempuran (ia tergabung dalam pasukan Thalhah), segera mengikuti sambil berkata: "Demi Allah, aku tak akan melepaskan tekadku untuk menebus darah Utsman. Aku tidak akan membiarkan dia (Thalhah) lolos. Akan kubunuh dia, karena dia juga turut membunuh Utsman!"
Beberapa saat kemudian ia membidikkan anak panahnya ke arah Thalhah. Ketika anak panah itu lepas dari busurnya, lambung Thalhah menjadi sasaran. Gugurlah salah seorang sahabat Rasul Allah s.a.w. tertembus panah yang dilepaskan oleh anggota pasukannya sendiri.
Sementara itu ketika Imam Ali r.a. berhasil bertemu muka dengan Zubair, ia bertanya: "Hai Abdullah, apakah yang mendorongmu sampai datang ke tempat ini?"
"Untuk menuntut balas atas kematian Utsman," jawab Zubair dengan terus terang.
"Engkau menuntut balas atas kematian Utsman?" tanya Imam Ali r.a. menanggapi jawaban Zubair tadi. "Allah mengutuk orang yang membunuhnya! Hai Zubair, engkau kuingatkan. Ingatkah dahulu ketika engkau berjalan bersama Rasul Allah s.a.w. waktu itu beliau bertopang pada tanganmu, melewati aku, kemudian beliau tersenyum padaku, lalu menoleh kepadamu sambil berkata: "Hai Zubair, engkau kelak akan memerangi Ali secara dzalim!"
"Oh, ya," jawab Zubair, setelah beberapa saat mengingat-ingat.
"Mengapa engkau sekarang memerangi aku?" tanya Imam Ali r.a. pula.
"Demi Allah," sahut Zubair, "aku lupa. Seandainya aku ingat aku tidak akan keluar untuk memerangimu."
Selesai mengucapkan kata-kata itu, Zubair cepat-cepat keluar meninggalkan pasukan dengan air mata membasahi pipi. Tetapi malang bagi Zubair. Salah seorang anggota pasukan Imam Ali yang bernama Ammar bin Jarmuz ketika melihat Zubair terpisah dari pasukannya, segera diikuti dan kemudian dibunuh.
Perang Unta, atau Waq'atul Jamal, antara sesama kaum muslimin, sudah tak dapat dihindarkan lagi. Dalam tulisannya tentang Waq'atul Jamal, Al-Madainiy dan Al-Waqidiy antara lain mengatakan, bahwa dua pasukan saling berhadapan, pasukan Thalhah dan penduduk Bashrah, terus menerus dibakar semangatnya dengan syair-syair agitasi. Mereka dikerahkan untuk mengarungi pertempuran sengit melawan Imam Ali r.a. dan pasukannya.
Di tengah-tengah pertempuran sedang berlangsung sengit, muncul Auf bin Qhatan Adh Dhabiy. Ia berteriak: "Tidak ada fihak yang harus dituntut atas kematian Utsman selain Ali bin Abi Thalib dan anak-anaknya!" Sejalan dengan itu ia menarik tali kekang unta yang dikendarai Sitti Aisyah r.a. sambil bersyair:
Hai ibu…, hai ibu, tanah air telah lepas dariku Aku tak ingin kuburan dan tak ingin kain kafan Disinilah medan laga bagi Auf bin Qhatan Jika Ali lepas dari tangan, matilah aku Atau jika dua anaknya, Hasan dan Husein, lepas... Baiklah aku mati merintih bagaikan pahlawan!
Dengan pedang teracung di tangan ia maju menerjang. Belum sempat pedangnya menjatuhkan korban di fihak lawan, ia sendiri sudah tersungkur terbelah setengah badan dan menggelepar bergumul dengan pasir. Tali kekang yang lepas dari tangannya, segera diambil oleh Abdullah bin Abza. Ketika itu barang siapa yang benar-benar berani bertempur sampai mati, ia pasti maju mendekati unta Sitti Aisyah r.a. dan memegang tali kekangnya. Sambil mendendangkan syair Abdullah bin Abza tampil menghunus pedang dan mulai menyerang pasukan Imam Ali r.a. Dengan syair juga ia menantang Imam Ali r.a. :
Mereka kuserang, tetapi tak kulihat ayah si Hasan Aduhai....itu merupakan kesedihan di atas kesedihan
Mendengar tantangan Abdullah bin Abza, Imam Ali r.a. segera keluar dari barisan untuk melakukan serangan dengan tombak. Beberapa saat perang tanding berlangsung. Setelah beberapa kali ayunan pedang Abdullah bin Abza gagal menyentuh tubuh Imam Ali r.a., tiba-tiba ujung tombak yang runcing mengkilat sudah menancap di tengah-tengah dada Abdullah bin Abza. Ia jatuh tersungkur. Beberapa detik sebelum Abdullah menarik nafas terakhir, Imam Ali r.a. menghampirinya sambil bertanya: "Sudahkah engkau melihat ayah si Hasan? Bagaimana engkau lihat dia?" Habis mengucapkan pertanyaan itu Imam Ali r.a. kembali ke pasukan.
Sementara pasukan kedua belah fihak sedang bergulat mengadu senjata, banyak kepala dan tangan berjatuhan terpisah dari batang tubuhnya, Sitti Aisyah r.a. turun dari unta. Ia mengambil segenggam kerikil, lalu dicampakkan kepada pengikut-pengikut Imam Ali r.a. seraya berteriak: "Hancurlah muka kalian!" Hal semacam itu dilakukan Sitti Aisyah r.a., meniru perbuatan Rasul Allah s.a.w. dalam perang Hunain.
Melihat peperangan semakin dahsyat, bersama regu pasukan yang mengenakan serban hijau, terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar, Imam Ali r.a. maju memimpin serangan. Ia diapit oleh tiga orang puteranya: Al Hasan, Al Husein dan Muhammad Al Hanafiyah. Sebelum tampil sendiri memimpin serangan, Imam Ali r.a. bermaksud hendak menguji ketangguhan puteranya yang bernama Muhammad Al Hanafiyah. Sambil menyerahkan panji pasukan, Imam Ali r.a. berkata kepada puteranya itu: "Majulah dengan panji ini dan pancangkanlah di depan mata unta itu! Jangan berhenti di tempat lain!"
Baru saja Muhammad mengayunkan kaki beberapa langkah, ia sudah dihujani anak-panah yang beterbangan dari arah lawan. Melihat itu, ia memerintahkan regunya supaya berhenti sejenak: "Tunggu dulu, sampai mereka kehabisan anak-panah!"
Mengetahui hal itu, Imam Ali r.a. segera menyuruh orang lain guna mendekati puteranya. Kepada orang yang disuruhnya itu, dipesan agar mendorong Muhammad Al Hanafiyah maju terus melancarkan serangan terbuka dan besar-besaran. Karena gerak Muhammad lamban, Imam Ali menghampirinya sendiri dari belakang. Sambil menepukkan tangan kiri ke bahu puteranya, Ia membentak: "Hayo maju!"
Meskipun sudah dibentak ayahnya agar maju terus, namun Muhammad Al Hanafiyah masih juga lamban bergerak. Sebagai seorang ayah, Imam Ali r.a. merasa kasihan. Kemudian panji yang di tangan puteranya diambil kembali dengan tangan kiri, sedang pedang yang terkenal dengan nama "Dzul Fiqar" terhunus di tangan kanannya. Tanpa membuang-buang waktu Imam Ali r.a. memimpin serbuan ke tengah pasukan "Jamal". Setelah melakukan serangan beberapa saat lamanya, menangkis dan memukul musuh, Imam Ali r.a. kembali ke induk pasukan. Sahabat-sahabat dan putera-puteranya berkerumun.
"Ya Amirul Mukminin," desak Al Asytar, "cukuplah kami saja yang melaksanakan tugas itu!"
Desakan Al Asytar itu tak ditanggapi oleh Imam Ali r.a. Menoleh saja pun tidak, darahnya masih mendidih. Sedemikian meluapnya sampai semua orang yang ada di sekitarnya ketakutan. Pandangan matanya yang berapi-api tetap mengarah ke pasukan musuh. Tak lama kemudian ia menyerahkan kembali panji pasukan kepada puteranya, Muhammad A1 Hanafiyah.
Segera ia maju lagi menyerang musuh untuk kedua kalinya. Dengan gagah berani Imam Ali r.a. menerjang pasukan lawan sambil memainkan pedang dengan gesit dan cekatan. Anggota-anggota pasukan Thalhah yang menjadi sasaran serangannya lari terbirit-birit menyelamatkan diri. Banyak yang mati terbunuh di ujung pedangnya. Tanah menjadi merah dibasahi darah. Selesai melancarkan serangan kedua, Imam Ali r.a. kembali lagi ke induk pasukan.
"Kalau anda sampai gugur," puji sahabatnya, setelah Imam Ali r.a. berada di tengah barisannya, "barangkali akan lenyap agama Islam. Berhentilah, cukup kami saja yang menyerang dan bertempur!"
"Demi Allah," jawab Imam Ali r.a. atas pujian sahabat-sahabatnya itu. "Aku sangat tidak setuju dengan fikiran kalian.
Yang kuinginkan bukan lain hanyalah keridhoan Allah dan kampung akhirat!"
Selanjutnya kepada Muhammad Al Hanafiyah ia berkata: "Seperti akulah seharusnya engkau berbuat!"
Muhammad Al Hanfiyah tidak menjawab sepatah kata pun ucapan ayahnya itu. Dari orang-orang yang berkerumun di sekitar Imam Ali r.a. terdengar sura bergumam: "Siapa orangnya yang sanggup berbuat seperti Amirul Mukminin!"
Ketika sedang sengit-sengitnya pertempuran, unta yang di kendarai Sitti Aisyah r.a. terputar-putar sedemikian rupa seperti penggilingan gandum. Pasukan kedua belah fihak berjubel dan saling mendesak beradu senjata di sekitarnya. Unta sampai meringkik-ringkik keras sekali karena tali kekangnya ditarik ke sana ke mari.
Pasukan Imam Ali r.a. makin maju menerjang untuk lebih mendekat kepada unta. Gerakan pasukan Imam Ali r.a. terhambat tumpukan manusia yang berada di sekelilingnya. Setiap anggota pasukan yang mati, penggantinya datang berlipat ganda.
Melihat situasi itu Imam Ali r.a. berteriak memberi perintah: "Celakalah kalian! Tembak saja unta itu dengan panah! Bantailah unta celaka itu!"
Unta yang dikendarai Sitti Aisyah r.a. itu segera dihujani anak-panah. Tetapi tak sebuah pun anak-panah yang menembus, karena di sekujur badannya dipasang tijfaf. Semua anak panah menancap pada tijfaf sampai unta itu kelihatan seperti seekor landak raksasa.
Terdengar lagi suara orang berteriak: "Hai penuntut balas darah Utsman!" Yang berteriak ialah Al Azd dan Dhabbah. Kalimat itu diulang-ulang dan akhirnya menjadi semboyan yang diteriakkan pasukan Thalhah.
Semboyan pasukan Thalhah itu dijawab Imam Ali r.a. dengan semboyan: "Hai Muhammad!" Nama putera Imam Ali r.a. yang memegang panji pasukan. Pasukan Imam Ali r.a. segera mengikuti semboyan yang diserukan Imam Ali r.a.
Pasukan kedua belah fihak sekarang makin tambah bergumul mengadu senjata.
Peristiwa tersebut terjadi pada hari kedua perang Unta. Semboyan yang diserukan Imam Ali r.a. ternyata besar sekali pengaruhnya di kalangan pasukannya, sehingga mereka berhasil menggoyahkan sendi-sendi kekuatan lawan.
Pasukan Thalhah makin payah menghadapi tekanan-tekanan berat yang terus-menerus dilancarkan pasukan Imam Ali r.a. Namun demikian mereka samasekali tidak berusaha melarikan diri atau meletakkan senjata. Pasukan yang makin lama makin mengecil itu kemudian bergerak memusat di sekitar unta yang ditunggangi Sitti Aisyah r.a. Mereka telah bertekad, pasukan Imam Ali r.a. baru akan berhasil merebut Sitti Aisyah r.a. sesudah melewati mayat-mayat mereka.
Perlawanan yang diberikan oleh pasukan Makkah dan Bashrah itu sungguh dahsyat sekali. Nyawa, sudah tidak mereka pedulikan. Dengan semangat berkobar-kobar penuh fanatisme mereka rela menghadapi maut. Demikian banyaknya korban sehingga di sekitar unta yang besar itu bergelimpangan tumpuk-menumpuk manusia yang luka dan mati. Padang pasir yang kering menjadi basah oleh darah dan bau anyir menyengat hidung.
Melihat keadaan yang mengerikan itu, Imam Ali r.a. mengambil suatu keputusan cepat untuk merobohkan unta tersebut. Pelaksanaan keputusan dipercayakan kepada Al Asytar dan Ammar. Kepada kedua orang sahabatnya itu, Imam Ali r.a. memerintahkan: "Cepat bantai unta itu! Peperangan belum selesai, apinya masih berkobar. Unta itulah yang dijadikan semacam kiblat oleh mereka!"
Dua orang yang diperintah itu segera maju bersama beberapa orang lainnya dari Bani Murad. Seorang di antaranya bernama Umar bin Abdullah. Bersama Umar binAbdullah Al Muradiy mereka mendekati unta, lalu ponok dekat lehernya dipukul dengan pedang oleh Al Muradiy. Unta itu meronta-ronta, meringkik keras-keras, dan akhirnya rebah.
Pendukung-pendukung Sitti Aisyah r.a. melihat gelagat itu cepat lari menjauhkan diri. Imam Ali r.a. berteriak memberi perintah: "Potong tali pengikat Haudaj!"
Setelah itu Imam Ali r.a. menyuruh Muhammad bin Abu bakar Ash Shiddiq (saudara Sitti Aisyah r.a.): "Ambillah saudara perempuanmu!" Sitti Aisyah kemudian dibawa oleh Muhammad bin Abu Bakar dan dimasukkan ke dalam sebuah rumah milik Abdullah bin Khalaf Al Khuza'iy.
Selanjutnya Imam Ali r.a. memerintahkan Abdullah bin Abbas supaya menemui Sitti Aisyah dan memintanya agar bersedia pulang ke Madinah. Mengenai hal ini Abdullah bin Abbas menceritakan pengalamannya sebagai berikut:
Aku datang menemui Sitti Aisyah. Aku tidak diberi sesuatu untuk duduk. Kuambil saja sebuah bantal yang dibawa olehnya selama perjalanan, lalu duduk di atasnya. Kepadaku ia berkata: "Hai Ibnu Abbas, engkau sudah menyalahi peraturan. Engkau berani duduk di atas bantalku dan dalam rumahku tanpa seizin aku?!"
"Ini bukan rumah bunda," jawabku, "bukan rumah yang oleh Allah bunda diperintahkan supaya tetap tinggal di dalamnya. Jika ini rumah bunda, aku tidak berani duduk di atas bantal bunda tanpa seizin bunda"
"Melalui aku," kataku meneruskan, "Amirul Mukminin minta supaya bunda berangkat pulang ke Madinah."
Tiba-tiba ia menyahut: "Mana ada Amirul Mukminin?"
"Dulu memang Abu Bakar," jawabku dengan sabar dan hormat, "kemudian Umar lalu Utsman dan sekarang Ali!"
"Tidak, aku tidak mau!" sahut Sitti Aisyah.
"Bunda sekarang bukan lagi orang yang dapat memerintah atau melarang," kataku terpaksa menegaskan, "Tidak bisa mengambil dan tidak bisa memberi."
Sitti Aisyah kemudian menangis, sampai suaranya kedengaran dari luar rumah. Lalu ia berkata: "Aku akan segera pulang ke tempat kediamanku, insyaa Allah Ta'aalaa. Demi Allah, tidak ada suatu negeri yang kubenci seperti negeri di mana kalian berada sekarang ini."
"Mengapa begitu?" tanyaku. "Demi Allah, kami tetap memandang bunda sebagai Ummul Mukminin. Kami tetap memandang ayahnya bunda, Abu Bakar, sebagai seorang shiddiq."
Sehabis pertemuan dengan Ummul mukminin aku segera menghadap Amirul Mukminin. Kepadanya kulaporkan semua yang kukatakan kepada Sitti Aisyah dan apa yang dikatakannya kepadaku. Mendengar laporanku itu, Amirul Mukminin merasa lega. Menanggapi laporanku ia berucap: "Waktu aku menyuruhmu sudah kuduga ia akan memberi jawaban jawaban seperti itu."
Sudah lazim terjadi, tiap kelompok masyarakat atau pasukan, sesusai menghadapi peperangan muncul anasir-anasir ekstrim. Demikian juga pasukan Imam Ali r.a. Ada yang menuntut agar semua orang yang terlibat dalam pasukan lawan yang sudah kalah itu dijadikan tawanan, diperlakukan sebagai budak dan dibagi-bagikan.
Menjawab tuntutan ekstrim itu dengan tegas Imam Ali r.a. mengatakan: "Tidak!"
"Mengapa anda melarang kami?" tanya fihak ekstrim itu, "untuk menjadikan mereka sebagai hamba-hamba sahaya, padahal anda dalam peperangan menghalalkan darah mereka?!"
"Bagaimana kalian boleh berbuat seperti itu," ujar Imam Ali r.a. menjelaskan. "Mereka itu dalam keadaan tidak berdaya, lagi pula mereka itu berada di dalam daerah hijrah dan daerah Islam. Bukankah mereka itu juga kaum muslimin seperti kalian? Adapun tentang apa saja yang dipergunakan pasukan musuh untuk melawan kalian, boleh kalian rampas sebagai barang ghanimah. Tetapi semua yang berada di dalam rumah penduduk Bahsrah, apalagi yang pintunya tertutup rapat, semua itu adalah milik mereka sendiri. Kalian tidak mempunyai hak apa pun atas kesemuanya itu!"
Anasir-anasir ekstrim tidak puas dengan penjelasan itu. Mereka tetap bersitegang leher dalam mendesakkan tuntutannya. Malahan berani mengucapkan kata-kata yang bernada menggertak. Tetapi Imam Ali r.a. tidak mau tunduk kepada hukum yang batil. Dengan muka merah padam dan mata membelalak, Imam Ali r.a. menjawab dengan tantangan: "Coba, siapa dari kalian yang berani merampas Sitti Aisyah…? Coba, siapa yang berani merampas dia dan berani menjadikannya hamba sahaya?! Ayoh, jawab… Dia akan kuserahkan!"
Mendengar tantangan Imam Ali r.a. yang sekeras itu mereka mundur sambil minta maaf dan beristighfar kepada Allah s.w.t.
Di saat Abdullah Ibnu Abbas sedang melaksanakan perintah menghubungi Sitti Aisyah r.a., Imam Ali r.a. menerima laporan dari salah seorang anggota pasukan yang baru saja melihat jenazah Thalhah bin Ubaidillah tergeletak di tempat terjadinya pertempuran. Bersama beberapa orang sahabat Imam Ali r.a keluar untuk membuktikannya sendiri dengan hati tersayat-sayat sedih.
Benar, bahwa pada akhir hidupnya Thalhah mengambil sikap permusuhan, tetapi bagaimana pun juga ia adalah sahabat Rasul Allah s.a.w dan termasuk pejuang yang gigih menegakkan Islam bersama para sahabat Nabi yang lain. Tidak jarang di mana Imam Ali r.a berjuang bahu-membahu dalam berbagai peperangan melawan kaum musyrikin.
Imam Ali r.a bukan seorang pembalas dendam dan bukan pula orang yang tidak mengenal perikemanusiaan. Ia mempunyai rasa keadilan yang sangat tinggi. Oleh kerana itu tidak sukar baginya menilai seseorang dengan ukuran yg objektif. Thalhah memang dipandang telah berbuat salah, tetapi kesalahannya tidak menghilangkan kebajikan-kebajikan dan jasa-jasanya bagi Islam dan kaum Muslimin. Fikiran-fikiran seperti itu layak dimiliki oleh seorang pemimpin ummat yang hidup penuh taqwa dan zuhud. Sekelumit pun Imam Ali r.a tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam menghadapi perlawanan Thalhah. Hanya kebenaran dan keridhoan Allah sajalah yang didambakan sepanjang hidupnya.
Setibanya di depan jenazah Thalhah bin Ubaidillah, ia menundukkan kepala. Kemudian jongkok untuk membersihkan jenazah dari lumuran debu bercampur darah. Imam Ali r.a tidak sanggup membendung derasnya airmata dan menangislah ia tersedu-sedu. Ia berdiri menengadah ke langit sambil mengangkat kedua belah tangan, memohon pengampunan kepada Allah s.w.t bagi Thalhah, bagi dirinya sendiri dan bagi segenap kaum muslimin. Selesai berdoa, Imam Ali r.a memerintahkan beberapa orang sahabat supaya membenahi Thalhah dengan sebaik-baiknya.
Kembali ke Tempat Kediamannya
Perang Unta atau Perang Jamal telah selesai. Tibalah saat yang tepat segera
mengembalikan Ummul Mukminin Siti Aisyah r.a ke Madinah. Untuk keperluan itu Imam
Ali r.a mempersiapkan segala sesuatu yang dipandang perlu guna menjamin
keamanan dan keselamatan Ummul Mukminin selama dalam perjalanan pulang.
Persiapan dilakukan dengan sebaik-baiknya kerana ia mengetahui, bahwa di kalangan pasukannya terdapat anasir-anasir ekstrem, yang jika tidak diadakan tindakan-tindakan pencegahan dapat berbuat onar dan mengganggu perjalanan Siti Aisyah r.a. Bagaimana pun juga Ummul Mukminin harus dihormati dan dilindungi.
Tak mungkin Ummul Mukminin dilepas seorang diri menempuh perjalanan jarak jauh di tengah padang pasir belantara. Ia harus dikawal. Tetapi siapakah yang harus mengawalnya? Apakah seregu pasukan dapat diserahi tugas pengawalan Ummul Mukminin? Tentu saja dapat. Tetapi kemungkinan risikonya pun ada. Lebih-lebih mengingat Ummul Mukminin itu baru saja dianggap sebagai salah seorang pemimpin. Setelah ia gagal dan keluar dari peperangan sebagai pihak yang kalah, kemudian dipulangkan ke Madinah dengan pengawalan pasukan yang baru saja berhenti memusuhinya, kemungkinan apakah yang bisa terjadi di tengah perjalanan?
Sebagai seorang pemimpin yang sudah biasa berkecimpung dalam peperangan menghadapi tipu muslihat musuh, Imam Ali r.a tidak kehilangan akal. Sejumlah wanita dari Bani Qies diajak bermusyawarah dan diberi petunjuk tentang apa yang harus dilakukan dalam melaksanakan tugas. Mereka diminta kesediaannya untuk bertindak sebagai regu pengawal Ummul Mukminin.
Imam Ali r.a juga mengerti, bahwa kerana mereka itu semuanya wanita mungkin tidak akan disegani atau ditakuti oleh orang-orang yang hendak berbuat jahat di perjalanan. Agar tidak sampai dipandang "remeh" oleh orang lain, mereka harus berpakaian seperti pria. Lengkap dengan jubah dan serban serta pedang tersandang di pinggang. Para pengawal khusus ini harus dapat bertindak seperti pria selama dalam perjalanan.
Selain wanita-wanita yang bertugas itu sendiri, seorang pun tidak boleh mengetahui rencana itu. Perahasiaannya dilakukan dengan ketat.
Setelah semua persiapan selesai, dibawah lindungan Ilahi Ummul Mukminin diberangkatkan pulang ke Madinah. Selama dalam perjalanan, Siti Aisyah r.a yang berada di dalam haudaj, sama sekali tidak mengetahui, bahwa para pengawalnya terdiri dari kaum wanita. Segala yang diperlukan selama perjalanan sudah disediakan dalam haudaj, sehingga Siti Aisyah r.a tidak perlu turun untuk suatu keperluan. Begitu juga "para prajurit", tak seorang pun dari mereka yang berhadapan muka dengan Siti Aisyah r.a dan tak seorang pun yang bercakap-cakap dengan suara yang bisa di dengar dari haudaj. Semuanya diatur sedemikian rapi dan sempurna.
Sepanjang perjalanan Ummul Mukminin bersungut-sungut, kerana dikiranya Imam Ali r.a mempercayakan pengawalan atas dirinya kepada orang-orang pria. Bukankah itu tidak sesuai dengan tatakrama yang semestinya? Ia bersungut-sungut dan terus bersungut-sungut kerana tidak menduga sama sekali, bahwa rombongan pengawal yang tampak gagah itu semuanya terdiri dari kaum wanita!
Baru setelah tiba di Madinah, iaitu setelah Ummul Mukminin turun dari haudaj, ia melihat sendiri semua prajurit pengawalannya menganggalkan jubah, serban dan sabuk gantungan pedang. Ia terpukau keheran-heranan, mengapa semuanya itu tidak diketahuinya, padahal perjalanan sedemikian jauh? Sambil menganggalkan pakaian pria "prajurit-prajurit" itu terkekeh-kekeh dan berkata kepada Ummul Mukminin: "Lihatlah, kami ini semuanya wanita!".
Ummul Mukminin Siti Aisyah r.a kini telah kembali ke tempat kediamannya semula dengan penuh kenangan pahit. Sejak itu sampai akhir hayatnya, ia tidak lagi melibatkan diri dalam kegiatan politik apa pun. Seluruh sisa hidupnya yang masih panjang itu dipergunakan sebaik-baiknya untuk menekuni kehidupan taqwa kepada Allah s.w.t dan patuh kepada pesan-pesan suaminya, Nabi Muhammad s.a.w.
Persiapan dilakukan dengan sebaik-baiknya kerana ia mengetahui, bahwa di kalangan pasukannya terdapat anasir-anasir ekstrem, yang jika tidak diadakan tindakan-tindakan pencegahan dapat berbuat onar dan mengganggu perjalanan Siti Aisyah r.a. Bagaimana pun juga Ummul Mukminin harus dihormati dan dilindungi.
Tak mungkin Ummul Mukminin dilepas seorang diri menempuh perjalanan jarak jauh di tengah padang pasir belantara. Ia harus dikawal. Tetapi siapakah yang harus mengawalnya? Apakah seregu pasukan dapat diserahi tugas pengawalan Ummul Mukminin? Tentu saja dapat. Tetapi kemungkinan risikonya pun ada. Lebih-lebih mengingat Ummul Mukminin itu baru saja dianggap sebagai salah seorang pemimpin. Setelah ia gagal dan keluar dari peperangan sebagai pihak yang kalah, kemudian dipulangkan ke Madinah dengan pengawalan pasukan yang baru saja berhenti memusuhinya, kemungkinan apakah yang bisa terjadi di tengah perjalanan?
Sebagai seorang pemimpin yang sudah biasa berkecimpung dalam peperangan menghadapi tipu muslihat musuh, Imam Ali r.a tidak kehilangan akal. Sejumlah wanita dari Bani Qies diajak bermusyawarah dan diberi petunjuk tentang apa yang harus dilakukan dalam melaksanakan tugas. Mereka diminta kesediaannya untuk bertindak sebagai regu pengawal Ummul Mukminin.
Imam Ali r.a juga mengerti, bahwa kerana mereka itu semuanya wanita mungkin tidak akan disegani atau ditakuti oleh orang-orang yang hendak berbuat jahat di perjalanan. Agar tidak sampai dipandang "remeh" oleh orang lain, mereka harus berpakaian seperti pria. Lengkap dengan jubah dan serban serta pedang tersandang di pinggang. Para pengawal khusus ini harus dapat bertindak seperti pria selama dalam perjalanan.
Selain wanita-wanita yang bertugas itu sendiri, seorang pun tidak boleh mengetahui rencana itu. Perahasiaannya dilakukan dengan ketat.
Setelah semua persiapan selesai, dibawah lindungan Ilahi Ummul Mukminin diberangkatkan pulang ke Madinah. Selama dalam perjalanan, Siti Aisyah r.a yang berada di dalam haudaj, sama sekali tidak mengetahui, bahwa para pengawalnya terdiri dari kaum wanita. Segala yang diperlukan selama perjalanan sudah disediakan dalam haudaj, sehingga Siti Aisyah r.a tidak perlu turun untuk suatu keperluan. Begitu juga "para prajurit", tak seorang pun dari mereka yang berhadapan muka dengan Siti Aisyah r.a dan tak seorang pun yang bercakap-cakap dengan suara yang bisa di dengar dari haudaj. Semuanya diatur sedemikian rapi dan sempurna.
Sepanjang perjalanan Ummul Mukminin bersungut-sungut, kerana dikiranya Imam Ali r.a mempercayakan pengawalan atas dirinya kepada orang-orang pria. Bukankah itu tidak sesuai dengan tatakrama yang semestinya? Ia bersungut-sungut dan terus bersungut-sungut kerana tidak menduga sama sekali, bahwa rombongan pengawal yang tampak gagah itu semuanya terdiri dari kaum wanita!
Baru setelah tiba di Madinah, iaitu setelah Ummul Mukminin turun dari haudaj, ia melihat sendiri semua prajurit pengawalannya menganggalkan jubah, serban dan sabuk gantungan pedang. Ia terpukau keheran-heranan, mengapa semuanya itu tidak diketahuinya, padahal perjalanan sedemikian jauh? Sambil menganggalkan pakaian pria "prajurit-prajurit" itu terkekeh-kekeh dan berkata kepada Ummul Mukminin: "Lihatlah, kami ini semuanya wanita!".
Ummul Mukminin Siti Aisyah r.a kini telah kembali ke tempat kediamannya semula dengan penuh kenangan pahit. Sejak itu sampai akhir hayatnya, ia tidak lagi melibatkan diri dalam kegiatan politik apa pun. Seluruh sisa hidupnya yang masih panjang itu dipergunakan sebaik-baiknya untuk menekuni kehidupan taqwa kepada Allah s.w.t dan patuh kepada pesan-pesan suaminya, Nabi Muhammad s.a.w.
Sebuah Penilaian
Selesai Perang Unta, Imam Ali r.a bersama pasukannya menuju ke sebuah dusun di
Basrah, Dzi-qar. Di dusun itu dulu pernah terjadi pertempuraan seru antara
pasukan muslimin melawan pasukan Persia.
Abu Minhaf menyajikan keterangan Zaid bin Shuhan, sahabat Imam Ali r.a yang menyaksikan dan mendengarkan sendiri apa yang dikatakan olehnya dalam khutbah yang diucapkan di dusun Dzi-qar sehabis Perang Unta.
Dengan serban berwarna hitam terlilit di sekitar kepala, kata Zaid bin Shuhan, Imam Ali r.a mengucapkan sebuah Khutbah yang berisi penilaian tentang Perang Unta:
"Alhamdulillah dalam segala hal dan segala keadaan, sepanjang hari dan sepanjang malam. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah serta hamba-Nya. Beliau diutus sebagai rahmat kepada segenap manusia hamba Allah. Pada saat bumi ini penuh dengan fitnah, goyah ikatan peraturan penghuninya, di mana setan-setan disembah dan dipuja, iblis musuh Allah menyelinap ke dalam aqidah semua penduduk.
"Pada saat seperti itulah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthallib s.a.w memadamkan kobaran apinya dan memudarkan percikan baranya. Dengan Rasul-Nya itu Allah s.w.t mencabut tongak-tongak penghalang dan menegakkan semua yang miring serba bengkok. Beliau s.a.w adalah pembimbing ke jalan hidayat, seorang nabi pilihan Allah s.w.t. Beliau telah menunaikan apa yang diperintahkan Allah kepadanya dan telah pula menyampaikan risalah Tuhannya kepada ummat manusia. Dengan Rasul-Nya itu Allah s.a.w memperbaiki semua yang rusak, mengamankan semua jalan menuju ke arah kebenaran, memulihkan kerukunan dan mempersatukan semua orang yang dahulu dadanya dibakar oleh perasaan dendam dan dengki.
"Setelah semuanya itu terwujud menjadi kenyataan yang benar, Allah s.w.t memanggil beliau s.a.w kembali kesisi-Nya, dalam keadaan beliau selalu bersyukur. Sepeninggal beliau s.a.w kaum muslimin membai'at Abu Bakar As-Shiddiq sebagai Khalifah. Abu Bakar telah bekerja tanpa menghemat tenaga. Setelah wafat ia diganti dengan Umar, Umar pun telah bekerja dengan sepenuh tenaga. Setelah wafat, kaum muslimin menggantinya dengan membai'at Utsman sebagai khalifah. Ia telah mendapatkan sesuatu dari kalian dan kalian pun telah memperoleh sesuatu dari dia, sampai akhirnya terjadi apa yang telah terjadi.
"Kemudian sesudah itu kalian datang kepadaku untuk menyatakan bai'at, padahal aku sama sekali tidak pernah membutuhkan hal itu. Waktu itu kalian kutinggal masuk ke dalam rumah, tetapi kalian mendesak supaya aku keluar. Aku menahan tangan, tetapi kalian menarik-narik dan berdesak-desakan memperebutkan tanganku, sampai kukira kalian akan membunuhku atau hendak saling bunuh di antara kalian sendiri. Namun ternyata kalian membai'at diriku, sedang aku sendiri tidak merasa senang atau gembira.
'Allah s.w.t mengetahui bahwa aku tidak suka memimpin pemerintahan atau memegang kekuasaan di kalangan ummat Muhammad s.a.w. Sebab aku mendengar sendiri, beliau s.a.w pernah menyatakan: "Tidak ada seorang penguasa pun yang memerintahkan ummatku, yang kelak tidak akan dihadapkan kepada rakyatnya, untuk diperlihatkan cacatan-cacatan tentang perbuatannya. Jika ia seorang yang berlaku adil, akan selamatlah. Tetapi jika ia seorang yang berlaku zalim, akan tergelincirlah ke dalan neraka".
"Kalian bersama orang banyak membai'atku. Begitu juga Thalhah dan Zubair. Dua orang itu pun menyatakan bai'atnya masing-masing kepadaku. Waktu itu ku lihat ada tanda-tanda lain yang memperlihatkan niat cidera dalam pandangan mata mereka. Tak lama kemudian dua orang itu minta izin kepadaku untuk melakukan umrah. Mereka berdua kuberitahukan terus terang, bahwa sebenarnya mereka itu tidak berniat melakukan umrah. Tetapi mereka berangkat juga. Lalu secara diam-diam menghubungi Siti Aisyah. Bersama orang lain yang mau mengikuti kedua orang itu, Siti Aisyah dikelabui. Pengikut-pengikut mereka itu terdiri dari orang-orang Makkah yang baru memeluk Islam setelah kota Makkah dibebaskan oleh Rasul Allah s.a.w dari kekuasaan kaum musyrikin.
"Kemudian mereka semua berangkat menuju Bashrah. Di sanalah mereka melakukan perbuatan tercela dan merugikan kaum muslimin. Alangkah anehnya dua orang itu. Dulu mereka bersikap loyal (setia) kepada Abu Bakar dan Umar, tetapi kepadaku mereka bersikap membangkang dan memberontak. Padahal mereka tahu benar, bahwa aku ini tidak kurang dibandingkan dengan Abu Bakar dan Umar. Jika aku mau, tentu hal itu sudah kukatakan sejak dulu.
"Yang pasti ialah bahwa Muawiyah bin Abi Sufyan telah menulis surat kepada dua orang tersebut dari Syam untuk berusaha membujuk. Dua orang itu merahsiakan surat Muawiyah terhadapku, lalu keluarlah mereka mengelabui orang banyak dengan alasan seolah-olah dua orang itu hendak menuntut balas atas terbunuhnya Khalifah Utsman. Demi Allah, dua orang itu tidak mau bersikap adil terhadap diriku dan terhadap diri para pembunuh Utsman.
"Sebenarnya dua orang itulah yang langsung terlibat dalam penumpahan darah Utsman, dan dua orang itulah yang seharusnya dimintai pertanggungjawap. Alangkah kosongnya tuduhan mereka itu! Demi Allah, dua orang itu benar-benar sesat dan tidak dapat mendengar, tidak mau mengerti dan tidak dapat melihat. Hanya setan-setan sajalah yang telah menggiring pasukan berkuda dan pejalan kaki di belakang dua orang itu untuk mengembalikan kezaliman kepada tempatnya dan mengembalikan kebatilan kepada asal mulanya".
Abu Minhaf menyajikan keterangan Zaid bin Shuhan, sahabat Imam Ali r.a yang menyaksikan dan mendengarkan sendiri apa yang dikatakan olehnya dalam khutbah yang diucapkan di dusun Dzi-qar sehabis Perang Unta.
Dengan serban berwarna hitam terlilit di sekitar kepala, kata Zaid bin Shuhan, Imam Ali r.a mengucapkan sebuah Khutbah yang berisi penilaian tentang Perang Unta:
"Alhamdulillah dalam segala hal dan segala keadaan, sepanjang hari dan sepanjang malam. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah serta hamba-Nya. Beliau diutus sebagai rahmat kepada segenap manusia hamba Allah. Pada saat bumi ini penuh dengan fitnah, goyah ikatan peraturan penghuninya, di mana setan-setan disembah dan dipuja, iblis musuh Allah menyelinap ke dalam aqidah semua penduduk.
"Pada saat seperti itulah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthallib s.a.w memadamkan kobaran apinya dan memudarkan percikan baranya. Dengan Rasul-Nya itu Allah s.w.t mencabut tongak-tongak penghalang dan menegakkan semua yang miring serba bengkok. Beliau s.a.w adalah pembimbing ke jalan hidayat, seorang nabi pilihan Allah s.w.t. Beliau telah menunaikan apa yang diperintahkan Allah kepadanya dan telah pula menyampaikan risalah Tuhannya kepada ummat manusia. Dengan Rasul-Nya itu Allah s.a.w memperbaiki semua yang rusak, mengamankan semua jalan menuju ke arah kebenaran, memulihkan kerukunan dan mempersatukan semua orang yang dahulu dadanya dibakar oleh perasaan dendam dan dengki.
"Setelah semuanya itu terwujud menjadi kenyataan yang benar, Allah s.w.t memanggil beliau s.a.w kembali kesisi-Nya, dalam keadaan beliau selalu bersyukur. Sepeninggal beliau s.a.w kaum muslimin membai'at Abu Bakar As-Shiddiq sebagai Khalifah. Abu Bakar telah bekerja tanpa menghemat tenaga. Setelah wafat ia diganti dengan Umar, Umar pun telah bekerja dengan sepenuh tenaga. Setelah wafat, kaum muslimin menggantinya dengan membai'at Utsman sebagai khalifah. Ia telah mendapatkan sesuatu dari kalian dan kalian pun telah memperoleh sesuatu dari dia, sampai akhirnya terjadi apa yang telah terjadi.
"Kemudian sesudah itu kalian datang kepadaku untuk menyatakan bai'at, padahal aku sama sekali tidak pernah membutuhkan hal itu. Waktu itu kalian kutinggal masuk ke dalam rumah, tetapi kalian mendesak supaya aku keluar. Aku menahan tangan, tetapi kalian menarik-narik dan berdesak-desakan memperebutkan tanganku, sampai kukira kalian akan membunuhku atau hendak saling bunuh di antara kalian sendiri. Namun ternyata kalian membai'at diriku, sedang aku sendiri tidak merasa senang atau gembira.
'Allah s.w.t mengetahui bahwa aku tidak suka memimpin pemerintahan atau memegang kekuasaan di kalangan ummat Muhammad s.a.w. Sebab aku mendengar sendiri, beliau s.a.w pernah menyatakan: "Tidak ada seorang penguasa pun yang memerintahkan ummatku, yang kelak tidak akan dihadapkan kepada rakyatnya, untuk diperlihatkan cacatan-cacatan tentang perbuatannya. Jika ia seorang yang berlaku adil, akan selamatlah. Tetapi jika ia seorang yang berlaku zalim, akan tergelincirlah ke dalan neraka".
"Kalian bersama orang banyak membai'atku. Begitu juga Thalhah dan Zubair. Dua orang itu pun menyatakan bai'atnya masing-masing kepadaku. Waktu itu ku lihat ada tanda-tanda lain yang memperlihatkan niat cidera dalam pandangan mata mereka. Tak lama kemudian dua orang itu minta izin kepadaku untuk melakukan umrah. Mereka berdua kuberitahukan terus terang, bahwa sebenarnya mereka itu tidak berniat melakukan umrah. Tetapi mereka berangkat juga. Lalu secara diam-diam menghubungi Siti Aisyah. Bersama orang lain yang mau mengikuti kedua orang itu, Siti Aisyah dikelabui. Pengikut-pengikut mereka itu terdiri dari orang-orang Makkah yang baru memeluk Islam setelah kota Makkah dibebaskan oleh Rasul Allah s.a.w dari kekuasaan kaum musyrikin.
"Kemudian mereka semua berangkat menuju Bashrah. Di sanalah mereka melakukan perbuatan tercela dan merugikan kaum muslimin. Alangkah anehnya dua orang itu. Dulu mereka bersikap loyal (setia) kepada Abu Bakar dan Umar, tetapi kepadaku mereka bersikap membangkang dan memberontak. Padahal mereka tahu benar, bahwa aku ini tidak kurang dibandingkan dengan Abu Bakar dan Umar. Jika aku mau, tentu hal itu sudah kukatakan sejak dulu.
"Yang pasti ialah bahwa Muawiyah bin Abi Sufyan telah menulis surat kepada dua orang tersebut dari Syam untuk berusaha membujuk. Dua orang itu merahsiakan surat Muawiyah terhadapku, lalu keluarlah mereka mengelabui orang banyak dengan alasan seolah-olah dua orang itu hendak menuntut balas atas terbunuhnya Khalifah Utsman. Demi Allah, dua orang itu tidak mau bersikap adil terhadap diriku dan terhadap diri para pembunuh Utsman.
"Sebenarnya dua orang itulah yang langsung terlibat dalam penumpahan darah Utsman, dan dua orang itulah yang seharusnya dimintai pertanggungjawap. Alangkah kosongnya tuduhan mereka itu! Demi Allah, dua orang itu benar-benar sesat dan tidak dapat mendengar, tidak mau mengerti dan tidak dapat melihat. Hanya setan-setan sajalah yang telah menggiring pasukan berkuda dan pejalan kaki di belakang dua orang itu untuk mengembalikan kezaliman kepada tempatnya dan mengembalikan kebatilan kepada asal mulanya".
Bab 11 Perang Shiffin
Selesai menumpas pemberontakan Thalhah dalam perang "Jamal" di
Bashrah, Imam Ali r.a. tidak berniat pulang ke Madinah. Ia hendak memanfaatkan
ketinggian mental pasukannya yang baru menang perang guna menghadapi pasukan
Muawiyah (Syam) yang sudah mulai memusatkan kekuatan di Shiffin, yang letaknya
tak seberapa jauh dari Kufah.
Kufah pada waktu itu berada di bawah seorang penguasa daerah yang dahulu diangkat oleh Khalifah Utsman bin Affan r.a., yaitu Abu Musa Al-Asy'ariy. Untuk mengerahkan dukungan dari penduduk Kufah, diperlukan usaha-usaha meyakinkan lebih dahulu. Sebab, bagaimana pun juga kota itu tak mungkin dapat dijadikan tempat pemusatan pasukan Imam Ali r.a., selama penduduknya belum benar-benar meyakini benarnya perjuangan menumpas kaum pemberontak yang digerakkan dari Syam.
Kufah pada waktu itu berada di bawah seorang penguasa daerah yang dahulu diangkat oleh Khalifah Utsman bin Affan r.a., yaitu Abu Musa Al-Asy'ariy. Untuk mengerahkan dukungan dari penduduk Kufah, diperlukan usaha-usaha meyakinkan lebih dahulu. Sebab, bagaimana pun juga kota itu tak mungkin dapat dijadikan tempat pemusatan pasukan Imam Ali r.a., selama penduduknya belum benar-benar meyakini benarnya perjuangan menumpas kaum pemberontak yang digerakkan dari Syam.
Sikap Kufah
Setibanya dekat perbatasan Kufah, Imam Ali r.a. mengutus Ammar bin Yasir dan
Muhammad bin Abu Bakar menemui Abu Musa Al-Asy'ariy, penguasa daerah Kufah.
Perutusan itu bertugas mengajak penduduk berjuang bersama Imam Ali r.a. dan
pasukannya dalam menumpas pemberontakan Muawiyah.
Sore harinya, setelah mengadakan pembicaraan dengan perutusan Imam Ali r.a., Abu Musa dihujani pertanyaan oleh sejumlah penduduk yang masih bingung. Mereka bertanya-tanya tentang sikap apa yang harus diambil. Mendukung perjuangan Imam Ali r.a. atau tidak.
Jawaban yang diberikan Abu Musa atas pertanyaan sejumlah penduduk itu secara kebetulan didengar oleh perutusan Imam Ali r.a. Perutusan Imam Ali r.a. menegor Abu Musa karena jawabannya yang tidak jelas kepada rakyat. Abu Musa tidak menyerah begitu saja atas tegoran perutusan Imam Ali r.a., sehingga terjadi perdebatan. Abu Musa dalam membela pendiriannya mengatakan:
"Hai saudara-saudara, kalian adalah para sahabat Rasul Allah s.a.w. yang sering menemani beliau dalam berbagai kejadian. Kalian tentu lebih tahu kehendak Allah dan Rasul-Nya dibanding dengan orang-orang lain yang tidak pernah menemani Rasul Allah s.a.w. Aku wajib menyampaikan sabda Rasul Allah, bahwa fitnah akan datang, orang yang tidur lebih baik dari yang melek, orang yang duduk lebih baik dari pada yang berdiri, orang yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan, dan orang yang berjalan lebih baik daripada yang menunggang kuda! Oleh karena itu masukkanlah pedang-pedang kalian ke dalam sarung, dan tunggu dulu sampai fitnah itu meletus dengan jelas!"
Karena kata-kata Abu Musa itu juga didengar oleh sejumlah penduduk Kufah, maka Ammar bin Yasir segera mengatakan: "Hai saudara-saudara. Abu Musa melarang kalian mencampuri urusan dua fihak yang sedang bertikai. Demi Allah, apa yang dikatakan olehnya itu sama sekali tidak bisa dibenarkan. Allah tidak akan ridho terhadap hamba-Nya yang mengikuti perkataan Abu Musa! Allah telah berfirman, (artinya): "Jika ada dua golongan dari kaum muslimin berperang, maka damaikanlah dua-duanya. Jika salah satu dari dua golongan itu berbuat dzalim terhadap yang lain, maka perangilah fihak yang berbuat dzalim itu sampai mereka kembali patuh kepada perintah Allah. Bila fihak itu sudah mematuhi perintah Allah, maka damaikanlah dua-duanya dengan adil, dan hendaknya kalian benar-benar berlaku adil. Sesungguhnyalah bahwa Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (S. Al-Hujurat:9).
Seterusnya Ammar bin Yasir berkata pula: "Juga Allah telah berfirman, (artinya) "Dan perangilah mereka agar jangan sampai terjadi suatu bencana, dan supaya agama itu semata-mata hanya untuk Allah. Jika mereka telah berhenti, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat." (S. Al Anfal:39).
"Jelaslah," kata Ammar bin Yasir, "bahwa Allah tidak akan meridhoi para hamba-Nya tetap duduk berpangku tangan di rumah, memencilkan diri dan membiarkan kaum muslimin saling menumpahkan darah. Oleh karena itu hai saudara-saudara, keluarlah mendatangi orang-orang yang sedang bertikai, dan dengarkan sendiri apa yang menjadi alasan mereka masing-masing. Lalu pertimbangkanlah baik-baik fihak mana yang harus dibela dan diikuti. Jika mereka sudah berdamai, kalian dapat pulang ke rumah masing-masing membawa pahala, sebab kalian sudah memenuhi kewajiban Allah. Tetapi jika ada fihak yang berlaku dzalim terhadap fihak lain, perangilah fihak yang dzalim itu, sampai mereka patuh kembali kepada Allah. Itulah yang diperintahkan Allah kepada kalian."
Setelah perdebatan itu selesai Ammar bin Yasir dan Muhammad bin Abu Bakar pergi menghadap Imam Ali r.a. untuk menyampaikan laporan tentang apa yang telah dikatakan Abu Musa. Seterimanya laporan itu Imam Ali r.a. menulis surat panjang lebar ditujukan kepada penduduk Kufah. Surat itu akan dibawa langsung oleh 4 orang utusan yang terdiri dari Al Hasan bin Ali r.a., Abdullah bin Abbas, Ammar bin Yasir dan Qies bin Sa'ad. Surat itu antara lain berbunyi:
"…kuberitahukan kepada kalian tentang persoalan Utsman bin Affan, agar orang yang mendengar dapat berfikir seperti orang menyaksikan sendiri terjadinya peristiwa itu. Aku adalah seorang muhajir yang paling jarang menyalahkan Utsman dan bahkan paling banyak memberi nasehat kepadanya."
Selanjutnya dalam surat tersebut dijelaskan tentang proses terjadinya pemberontakan terhadap Khalifah Utsman, proses pembai'atan dirinya sebagai Khalifah, dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan Thalhah dan Zubair yang pergi ke Makkah lalu mengajak Ummul Mukminin Sitti Aisyah r.a. untuk dijadikan alat pengobar fitnah dan bencana.
Empat orang utusan Imam Ali r.a. itu kemudian menemui Abu Musa Al Asy'ariy. Kepadanya surat Imam Ali r.a. itu diserahkan dan Abu Musa sendiri diminta membai'at Imam Ali r.a. dan memberikan dukungan. Setelah membaca surat Imam Ali r.a. dan mengadakan pertukaran fikiran beberapa saat lamanya, akhirnya Abu Musa menyatakan bai'atnya kepada Imam Ali r.a. di depan para utusan. Setelah itu ia berseru kepada penduduk Kufah supaya memberikan dukungan dan berjuang bersama-sama Imam Ali r.a. Untuk lebih memantapkan keyakinan penduduk Kufah, Al Hasan r.a., Ammar bin Yasir dan Qeis bin Sa'ad berbicara sesudah Abu Musa.
Sebagai sambutan atas pembicaraan-pembicaraan di atas, maka Syarih bin Hani, atas nama kaum muslimin kota Kufah menyatakan: "Kami sebenarnya sudah berniat hendak berangkat ke Madinah untuk dapat mengetahui bagaimana sebenarnya persoalan terbunuhnya Utsman bin Affan. Tetapi sekarang kita telah menerima berita langsung dari Imam Ali, dan kami percaya berita itu benar. Oleh karena itu, hai saudara-saudara, janganlah kalian menolak seruan dan ajakannya. Demi Allah, seandainya ia tidak minta dukungan pun kami akan membela dan taat kepadanya."
Sikap penduduk Kufah yang pada mulanya ragu-ragu mendukung perjuangan Imam Ali r.a., dan baru bersedia setelah menerima penjelasan yang meyakinkan, hal itu mudah dimengerti, mengingat:
1. Mereka berada di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan, Madinah. Dengan begitu ada kemungkinan berita-berita yang mereka dengar tentang tragedi yang menimpa Khalifah Utsman r.a. agak bersimpang siur.
2. Mereka tidak menyaksikan sendiri proses pembai'atan kaum muslimin Madinah kepada Imam Ali r.a. Dengan demikian mereka mudah dikacaukan fikirannya oleh berita-berita yang sengaja dilancarkan dari Damsyik.
3. Mereka adalah penduduk satu daerah kaya dan subur. Mempunyai syarat-syarat penghidupan yang jauh lebih baik dibanding dengan kaum Muslimin yang bertempat tinggal di Madinah, Makkah atau daerah-daerah Hijaz lainnya. Mau tidak mau, kebiasaan hidup senang dan berkecukupan bisa mengakibatkan orang lamban dalam memenuhi panggilan perjuangan.
Dalam rangka persiapan menghadapi perlawanan pasukan Syam di Shiffin, Imam Ali r.a. berseru kepada penduduk Kufah agar siap-siaga untuk tiap waktu berangkat ke Shiffin. Dalam salah satu khutbahnya Imam Ali r.a. antara lain menyerukan: "Saudarasaudara, siap-siaplah untuk berangkat melanjutkan perjuangan melawan musuh, sebagai ibadah mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. dan sebagai wasilah untuk dapat diterima di sisi-Nya. Siapkanlah kekuatan sebatas kesanggupan kalian seperti kuda-kuda perang dan lain sebagainya. Kemudian bertawakkallah kalian kepada Allah dan serahkan segera sesuatu kepada-Nya."
Sore harinya, setelah mengadakan pembicaraan dengan perutusan Imam Ali r.a., Abu Musa dihujani pertanyaan oleh sejumlah penduduk yang masih bingung. Mereka bertanya-tanya tentang sikap apa yang harus diambil. Mendukung perjuangan Imam Ali r.a. atau tidak.
Jawaban yang diberikan Abu Musa atas pertanyaan sejumlah penduduk itu secara kebetulan didengar oleh perutusan Imam Ali r.a. Perutusan Imam Ali r.a. menegor Abu Musa karena jawabannya yang tidak jelas kepada rakyat. Abu Musa tidak menyerah begitu saja atas tegoran perutusan Imam Ali r.a., sehingga terjadi perdebatan. Abu Musa dalam membela pendiriannya mengatakan:
"Hai saudara-saudara, kalian adalah para sahabat Rasul Allah s.a.w. yang sering menemani beliau dalam berbagai kejadian. Kalian tentu lebih tahu kehendak Allah dan Rasul-Nya dibanding dengan orang-orang lain yang tidak pernah menemani Rasul Allah s.a.w. Aku wajib menyampaikan sabda Rasul Allah, bahwa fitnah akan datang, orang yang tidur lebih baik dari yang melek, orang yang duduk lebih baik dari pada yang berdiri, orang yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan, dan orang yang berjalan lebih baik daripada yang menunggang kuda! Oleh karena itu masukkanlah pedang-pedang kalian ke dalam sarung, dan tunggu dulu sampai fitnah itu meletus dengan jelas!"
Karena kata-kata Abu Musa itu juga didengar oleh sejumlah penduduk Kufah, maka Ammar bin Yasir segera mengatakan: "Hai saudara-saudara. Abu Musa melarang kalian mencampuri urusan dua fihak yang sedang bertikai. Demi Allah, apa yang dikatakan olehnya itu sama sekali tidak bisa dibenarkan. Allah tidak akan ridho terhadap hamba-Nya yang mengikuti perkataan Abu Musa! Allah telah berfirman, (artinya): "Jika ada dua golongan dari kaum muslimin berperang, maka damaikanlah dua-duanya. Jika salah satu dari dua golongan itu berbuat dzalim terhadap yang lain, maka perangilah fihak yang berbuat dzalim itu sampai mereka kembali patuh kepada perintah Allah. Bila fihak itu sudah mematuhi perintah Allah, maka damaikanlah dua-duanya dengan adil, dan hendaknya kalian benar-benar berlaku adil. Sesungguhnyalah bahwa Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (S. Al-Hujurat:9).
Seterusnya Ammar bin Yasir berkata pula: "Juga Allah telah berfirman, (artinya) "Dan perangilah mereka agar jangan sampai terjadi suatu bencana, dan supaya agama itu semata-mata hanya untuk Allah. Jika mereka telah berhenti, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat." (S. Al Anfal:39).
"Jelaslah," kata Ammar bin Yasir, "bahwa Allah tidak akan meridhoi para hamba-Nya tetap duduk berpangku tangan di rumah, memencilkan diri dan membiarkan kaum muslimin saling menumpahkan darah. Oleh karena itu hai saudara-saudara, keluarlah mendatangi orang-orang yang sedang bertikai, dan dengarkan sendiri apa yang menjadi alasan mereka masing-masing. Lalu pertimbangkanlah baik-baik fihak mana yang harus dibela dan diikuti. Jika mereka sudah berdamai, kalian dapat pulang ke rumah masing-masing membawa pahala, sebab kalian sudah memenuhi kewajiban Allah. Tetapi jika ada fihak yang berlaku dzalim terhadap fihak lain, perangilah fihak yang dzalim itu, sampai mereka patuh kembali kepada Allah. Itulah yang diperintahkan Allah kepada kalian."
Setelah perdebatan itu selesai Ammar bin Yasir dan Muhammad bin Abu Bakar pergi menghadap Imam Ali r.a. untuk menyampaikan laporan tentang apa yang telah dikatakan Abu Musa. Seterimanya laporan itu Imam Ali r.a. menulis surat panjang lebar ditujukan kepada penduduk Kufah. Surat itu akan dibawa langsung oleh 4 orang utusan yang terdiri dari Al Hasan bin Ali r.a., Abdullah bin Abbas, Ammar bin Yasir dan Qies bin Sa'ad. Surat itu antara lain berbunyi:
"…kuberitahukan kepada kalian tentang persoalan Utsman bin Affan, agar orang yang mendengar dapat berfikir seperti orang menyaksikan sendiri terjadinya peristiwa itu. Aku adalah seorang muhajir yang paling jarang menyalahkan Utsman dan bahkan paling banyak memberi nasehat kepadanya."
Selanjutnya dalam surat tersebut dijelaskan tentang proses terjadinya pemberontakan terhadap Khalifah Utsman, proses pembai'atan dirinya sebagai Khalifah, dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan Thalhah dan Zubair yang pergi ke Makkah lalu mengajak Ummul Mukminin Sitti Aisyah r.a. untuk dijadikan alat pengobar fitnah dan bencana.
Empat orang utusan Imam Ali r.a. itu kemudian menemui Abu Musa Al Asy'ariy. Kepadanya surat Imam Ali r.a. itu diserahkan dan Abu Musa sendiri diminta membai'at Imam Ali r.a. dan memberikan dukungan. Setelah membaca surat Imam Ali r.a. dan mengadakan pertukaran fikiran beberapa saat lamanya, akhirnya Abu Musa menyatakan bai'atnya kepada Imam Ali r.a. di depan para utusan. Setelah itu ia berseru kepada penduduk Kufah supaya memberikan dukungan dan berjuang bersama-sama Imam Ali r.a. Untuk lebih memantapkan keyakinan penduduk Kufah, Al Hasan r.a., Ammar bin Yasir dan Qeis bin Sa'ad berbicara sesudah Abu Musa.
Sebagai sambutan atas pembicaraan-pembicaraan di atas, maka Syarih bin Hani, atas nama kaum muslimin kota Kufah menyatakan: "Kami sebenarnya sudah berniat hendak berangkat ke Madinah untuk dapat mengetahui bagaimana sebenarnya persoalan terbunuhnya Utsman bin Affan. Tetapi sekarang kita telah menerima berita langsung dari Imam Ali, dan kami percaya berita itu benar. Oleh karena itu, hai saudara-saudara, janganlah kalian menolak seruan dan ajakannya. Demi Allah, seandainya ia tidak minta dukungan pun kami akan membela dan taat kepadanya."
Sikap penduduk Kufah yang pada mulanya ragu-ragu mendukung perjuangan Imam Ali r.a., dan baru bersedia setelah menerima penjelasan yang meyakinkan, hal itu mudah dimengerti, mengingat:
1. Mereka berada di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan, Madinah. Dengan begitu ada kemungkinan berita-berita yang mereka dengar tentang tragedi yang menimpa Khalifah Utsman r.a. agak bersimpang siur.
2. Mereka tidak menyaksikan sendiri proses pembai'atan kaum muslimin Madinah kepada Imam Ali r.a. Dengan demikian mereka mudah dikacaukan fikirannya oleh berita-berita yang sengaja dilancarkan dari Damsyik.
3. Mereka adalah penduduk satu daerah kaya dan subur. Mempunyai syarat-syarat penghidupan yang jauh lebih baik dibanding dengan kaum Muslimin yang bertempat tinggal di Madinah, Makkah atau daerah-daerah Hijaz lainnya. Mau tidak mau, kebiasaan hidup senang dan berkecukupan bisa mengakibatkan orang lamban dalam memenuhi panggilan perjuangan.
Dalam rangka persiapan menghadapi perlawanan pasukan Syam di Shiffin, Imam Ali r.a. berseru kepada penduduk Kufah agar siap-siaga untuk tiap waktu berangkat ke Shiffin. Dalam salah satu khutbahnya Imam Ali r.a. antara lain menyerukan: "Saudarasaudara, siap-siaplah untuk berangkat melanjutkan perjuangan melawan musuh, sebagai ibadah mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. dan sebagai wasilah untuk dapat diterima di sisi-Nya. Siapkanlah kekuatan sebatas kesanggupan kalian seperti kuda-kuda perang dan lain sebagainya. Kemudian bertawakkallah kalian kepada Allah dan serahkan segera sesuatu kepada-Nya."
Mesir Sebagai Imbalan
Sehabis pasukan "Jamal" terkalahkan, kini komplotan anti Imam Ali
r.a. memusat ke Syam. Gembong Bani Umayyah, Muawiyah bin Abi Sufyan, lebih
meningkatkan kegiatannya dalam usaha mencari dukungan dan mengerahkan
orang-orang dalam rangka rencana perlawanan bersenjata yang hendak dilancarkan
terhadap Imam Ali r.a. di Kufah. Tidak sedikit dana dan tenaga yang dikeluarkan
untuk kepentingan itu.
Semangat mengejar kekayaan dan kedudukan yang sedang menguasai fikiran orang banyak, oleh Muawiyah dimanfaatkan sebaik-baiknya. Tanpa menghitung-hitung berapa banyaknya harta Baitul Mal yang harus dikeluarkan, dan tanpa memandang cakap atau tidaknya seseorang yang akan diangkat sebagai pejabat bawahan, Muawiyah menggunakan terus kekuasaannya sebagai penguasa daerah Syam, untuk menghimpun pengikut sebanyak mungkin. Ia sangat menginginkan rencana perlawanannya terhadap Imam Ali r.a. segera berhasil.
Kepada Amr bin Al-Ash, Muawiyah menulis surat mengajak bekerjasama merebut kekuasaan dari tangan Imam Ali r.a. Setelah Amr bin Al Ash membaca surat Muawiyah itu, ia tampak berfikir-fikir menghitung untung rugi. Ia memanggil dua orang anak lelakinya yang bernama Abdullah dan Muhammad untuk diminta pendapatnya.
Terhadap persoalan yang diajukan ayahnya, Abdullah menyarankan: "Ayah, Rasul Allah s.a.w. wafat dalam keadaan ridho terhadap ayah. Begitu juga Abu Bakar dan Umar, dua-duanya wafat dalam keadaan ridho terhadap ayah. Jika hanya karena ingin mendapat sedikit keutungan duniawi lalu ayah hendak merusak agama ayah sendiri, kelak ayah akan berbaring bersama Muawiyah dalam neraka!"
Dengan hati kecut, Amr menoleh kepada Muhammad sambil bertanya: "Bagaimana pendapatmu?"
"Ayah jangan sampai ketinggalan dalam urusan itu. Jadilah kepala lebih dulu sebelum menjadi ekor!" jawab Muhammad.
Amr tampak belum puas mendengar pendapat dua orang anaknya yang saling bertentangan itu. Ia masih bingung. Keesokan harinya ia memanggil maulanya yang bernama Wardan, dan diperintahkan supaya mempersiapkan bekal perjalanan dan memuatkannya ke punggung unta. Tetapi baru saja selesai disiapkan, Wardan diperintahkan menurunkannya kembali. Ini terjadi berulang kali. Akhirnya Wardan memberanikan diri untuk berbicara: "Hai Abu Abdullah, anda tampak bingung sekali! Jika anda membolehkan, aku bisa menebak apa yang sedang anda fikirkan."
"Baik, cobalah!" sahut Amr.
"Dunia dan akhirat sekarang dua-duanya sedang dihadapkan di depan hati anda," kata Wardan. "Tetapi rupanya hati anda menyatakan: Ali mendapat akhirat tanpa dunia, sedangkan Muawiyah mendapat dunia tanpa akhirat. Pendapat yang tepat ialah sebaiknya anda tinggal saja di rumah. Jika para pembela agama yang menang, anda akan hidup di bawah naungan mereka. Tetapi jika para pembela dunia yang menang, anda akan tetap dibutuhkan!"
Akan tetapi karena janji-janji yang telah diberikan Muawiyah untuk mengangkatnya kembali menjadi Gubernur Mesir, apabila kemenangan dapat diraih dalam perjuangan melawan Imam Ali r.a. sangat menggiurkan hati Amr bin Al Ash, maka akhirnya ia bertekad memenuhi ajakan Muawiyah dan orang-orang Bani Umayyah lainnya.
Amr bin Al Ash sebenarnya lebih cerdik, lebih tangkas serta lebih cermat berfikir dibanding dengan Muawiyah. Ia bekas panglima di masa Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. Ia juga bekas penguasa daerah Mesir dan ia sendirilah yang memimpin perlawanan pasukan muslimin mengusir kekuasaan Byzantium dari negeri itu. Ia seorang ahli strategi dan taktik menurut ukuran zamannya. Dengan sendirinya ia seorang politikus dan diplomat. Jadi tidaklah aneh, kalau bagi Imam Ali r.a., Amr bin Al Ash, sebenarnya lebih berbahaya dibanding dengan Muawiyah.
Menjadi pertanyaan: apakah ada faktor lain yang mendorong Amr bin Al Ash mau bekerjasama dengan Muawiyah?
Dilihat dari kecenderungannya sejak dulu, ia memang dekat sekali hubungannya dengan para penguasa. Bani Umayyah, terutama pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan r.a. Benar, bahwa ia digeser dari kedudukannya sebagai penguasa Mesir oleh Khalifah Utsman r.a. dan digantikan dengan Abdullah bin Abi Sarah, tetapi Khalifah Utsman r.a. masih bertindak bijaksana terhadap Amr. Ia diberi kedudukan sebagai salah seorang penasehat dan memperoleh fasilitas-fasilitas tertentu.
Ketika itu memang ia agak jengkel terhadap Khalifah, tetapi ia tahu benar, bahwa tetap dekat dengan para penguasa Bani Umayyah akan lebih menguntungkan daripada menjauhi mereka. Harapan untuk bisa menjadi orang penting masih bisa digantungkan kepada orang-orang Bani Umayyah.
Itulah pamrih keduniaan yang menyelinap di dalam benak Amr bin Al Ash, dan yang mendorongnya giat membantu Muawiyah melawan Imam Ali r.a. Tetapi selain itu, masih ada hal lagi yang membuat Amr dekat kepada Muawiyah khususnya dan tokoh-tokoh Bani Umayyah pada umumnya. Yaitu adanya hubungan kekeluargaan yang misterius. Siapa sebenarnya Amr bin Al Ash itu?
Tentang siapa sebenarnya Amr bin Al Ash, Zamakhsyariy dalam bukunya Rabi'ul Abrar memberikan keterangan terperinci sebagai berikut:
Ibu Amr yang bernama Nabighah dahulunya adalah seorang hamba sahaya milik seorang dari qabilah Anazah. Dalam suatu peperangan perempuan itu dirampas, dan tetap budak, Kemudian dibeli oleh Abdullah bin Jud'an di Makkah. Karena ia seorang perempuan yang diragukan kejujurannya, akhirnya dimerdekakan oleh tuannya. Setelah merdeka ia mempunyai hubungan "gelap" dengan Abu Lahab bin Abdul Mutthalib, Umayyah bin Khalaf Al Jamhiy, Hisyam bin Mughirah Al Makhzumiy, Abu Sufyan bin Harb dan Ash bin Wail. Lama-lama ia hamil dan melahirkan Amr.
Lelaki-lelaki yang mengadakan hubungan dengan Nabighah itu semuanya mengaku, bahwa Amr adalah anaknya. Tetapi Nabighah sendiri memutuskan, bahwa Amr adalah anak hasil hubungannya dengan Ash bin Wail. Nabighah mengambil keputusan seperti itu, karena Ash bin Wail merupakan lelaki yang paling banyak memberi nafkah kepadanya untuk penghidupan sehari-hari. Walaupun begitu, semua lelaki itu mengatakan bahwa Amr sangat mirip dengan Abu Sufyan bin Harb. Abu Sufyan sendiri dalam salah satu bait dari syair-syairnya mengatakan:
"Tak diragukan, ayahmu ialah Abu Sufyan banyak tanda yang jelas tampak pada dirimu!"
Itulah keterangan yang diberikan oleh Zamakhsyariy. Akan tetapi Abu Umar dalam bukunya Al Isti'ab mengemukakan versi yang sama dengan sedikit perbedaan variasi. Abu Umar mengatakan, bahwa pada satu peristiwa ada seorang dijanjikan hadiah sebesar 1.000 dirham jika ia berani menanyakan kepada Amr bin Al Ash di saat ia sedang berada di atas mimbar, tentang siapa sebenarnya ibu Amr itu.
Untuk memperoleh hadiah sebesar itu, orang yang bersangkutan memberanikan diri bertanya kepada Amr. Dari atas mimbar pertanyaan itu dijawab oleh Amr: "Ibuku ialah Salma binti Harmalah, mempunyai nama julukan Nabighah, berasal dari Bani Anazah dan dari seorang Bani Jillan. Dalam satu peperangan ia dirampas, dijadikan budak, dibawa pergi oleh orang-orang Arab, lantas dijual di pasar 'Ukadz (di Makkah). Yang membeli Fakih bin Al Mughirah. Kemudian oleh Fakih dijual lagi kepada Abdullah bin Jud'an. Selanjutnya ia jatuh ke tangan Ash bin Wail. Lalu melahirkan aku."
Setelah menjelaskan seperti itu, kepada orang yang bertanya Amr mengatakan: "Jika engkau dijanjikan sesuatu, ambillah!" Tampaknya Amr sudah tahu tentang maksud dan tujuan orang yang bertanya.
Abu Ubaidh Muamamar bin Al Mutsanna dalam bukunya Al Ansab mengemukakan, bahwa pada waktu Amr lahir terjadi pertengkaran antara Ash bin Wail dengan Abu Sufyan bin Harb. Akhirnya ada orang yang memberi nasehat biarlah ibunya saja yang memutuskan. Akhirnya ibu Amr mengatakan: "Dia dari Ash bin Wail!"
Setelah ada penegasan dari ibunya, Abu Sufyan berkata: "Tidak diragukan lagi, aku inilah yang menempatkan dia dalam rahim ibunya, tetapi ibunya menolak selain Ash bin Wail."
Pernah ada yang berkata kepada Nabighah, bahwa silsilah Abu Sufyan sebenarnya lebih terhormat. Tetapi perkataan orang itu ditanggapi Nabighah dengan penjelasan: "Ash bin Wail banyak memberi nafkah kepadaku, sedang Abi Sufyan, kikir!"
Dari beberapa catatan riwayat di atas dapat diambil kesimpulan pokok sebagai berikut: Menurut pengakuan Abu Sufyan bin Harb, Amr adalah anak lelakinya sendiri hasil hubungan "gelap" dengan Nabighah. Menurut Nabighah, Amr adalah anak lelaki Ash bin Wail, dengan keterangan, ia mengambil keputusan itu karena Ash bin Wail banyak memberi nafkah. Berdasarkan nada pengakuan Nabighah, seandainya Abu Sufyan, tidak kikir tentu akan disebut sebagai ayah Amr yang sebenarnya. Memang Amr sendiri tidak pernah menyebut Abu Sufyan sebagai ayahnya. Yang disebut sebagai ayahnya ialah Ash bin Wail. Ini sesuai dengan keputusan yang diambil oleh ibunya pada waktu Amr lahir.
Jadi kalau Abu Sufyan sendiri ngotot dalam pengakuan bahwa Amr itu anak lelakinya sendiri, bukankah berarti ia mengatakan bahwa Amr itu saudara seayah dengan Muawiyah? Kalau memang benar demikian, apakah masih perlu diherankan bila Amr sangat dekat hubungannya dengan orang-orang Bani Umayyah, terutama Muawiyah bin Abu Sufyan?
Semangat mengejar kekayaan dan kedudukan yang sedang menguasai fikiran orang banyak, oleh Muawiyah dimanfaatkan sebaik-baiknya. Tanpa menghitung-hitung berapa banyaknya harta Baitul Mal yang harus dikeluarkan, dan tanpa memandang cakap atau tidaknya seseorang yang akan diangkat sebagai pejabat bawahan, Muawiyah menggunakan terus kekuasaannya sebagai penguasa daerah Syam, untuk menghimpun pengikut sebanyak mungkin. Ia sangat menginginkan rencana perlawanannya terhadap Imam Ali r.a. segera berhasil.
Kepada Amr bin Al-Ash, Muawiyah menulis surat mengajak bekerjasama merebut kekuasaan dari tangan Imam Ali r.a. Setelah Amr bin Al Ash membaca surat Muawiyah itu, ia tampak berfikir-fikir menghitung untung rugi. Ia memanggil dua orang anak lelakinya yang bernama Abdullah dan Muhammad untuk diminta pendapatnya.
Terhadap persoalan yang diajukan ayahnya, Abdullah menyarankan: "Ayah, Rasul Allah s.a.w. wafat dalam keadaan ridho terhadap ayah. Begitu juga Abu Bakar dan Umar, dua-duanya wafat dalam keadaan ridho terhadap ayah. Jika hanya karena ingin mendapat sedikit keutungan duniawi lalu ayah hendak merusak agama ayah sendiri, kelak ayah akan berbaring bersama Muawiyah dalam neraka!"
Dengan hati kecut, Amr menoleh kepada Muhammad sambil bertanya: "Bagaimana pendapatmu?"
"Ayah jangan sampai ketinggalan dalam urusan itu. Jadilah kepala lebih dulu sebelum menjadi ekor!" jawab Muhammad.
Amr tampak belum puas mendengar pendapat dua orang anaknya yang saling bertentangan itu. Ia masih bingung. Keesokan harinya ia memanggil maulanya yang bernama Wardan, dan diperintahkan supaya mempersiapkan bekal perjalanan dan memuatkannya ke punggung unta. Tetapi baru saja selesai disiapkan, Wardan diperintahkan menurunkannya kembali. Ini terjadi berulang kali. Akhirnya Wardan memberanikan diri untuk berbicara: "Hai Abu Abdullah, anda tampak bingung sekali! Jika anda membolehkan, aku bisa menebak apa yang sedang anda fikirkan."
"Baik, cobalah!" sahut Amr.
"Dunia dan akhirat sekarang dua-duanya sedang dihadapkan di depan hati anda," kata Wardan. "Tetapi rupanya hati anda menyatakan: Ali mendapat akhirat tanpa dunia, sedangkan Muawiyah mendapat dunia tanpa akhirat. Pendapat yang tepat ialah sebaiknya anda tinggal saja di rumah. Jika para pembela agama yang menang, anda akan hidup di bawah naungan mereka. Tetapi jika para pembela dunia yang menang, anda akan tetap dibutuhkan!"
Akan tetapi karena janji-janji yang telah diberikan Muawiyah untuk mengangkatnya kembali menjadi Gubernur Mesir, apabila kemenangan dapat diraih dalam perjuangan melawan Imam Ali r.a. sangat menggiurkan hati Amr bin Al Ash, maka akhirnya ia bertekad memenuhi ajakan Muawiyah dan orang-orang Bani Umayyah lainnya.
Amr bin Al Ash sebenarnya lebih cerdik, lebih tangkas serta lebih cermat berfikir dibanding dengan Muawiyah. Ia bekas panglima di masa Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. Ia juga bekas penguasa daerah Mesir dan ia sendirilah yang memimpin perlawanan pasukan muslimin mengusir kekuasaan Byzantium dari negeri itu. Ia seorang ahli strategi dan taktik menurut ukuran zamannya. Dengan sendirinya ia seorang politikus dan diplomat. Jadi tidaklah aneh, kalau bagi Imam Ali r.a., Amr bin Al Ash, sebenarnya lebih berbahaya dibanding dengan Muawiyah.
Menjadi pertanyaan: apakah ada faktor lain yang mendorong Amr bin Al Ash mau bekerjasama dengan Muawiyah?
Dilihat dari kecenderungannya sejak dulu, ia memang dekat sekali hubungannya dengan para penguasa. Bani Umayyah, terutama pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan r.a. Benar, bahwa ia digeser dari kedudukannya sebagai penguasa Mesir oleh Khalifah Utsman r.a. dan digantikan dengan Abdullah bin Abi Sarah, tetapi Khalifah Utsman r.a. masih bertindak bijaksana terhadap Amr. Ia diberi kedudukan sebagai salah seorang penasehat dan memperoleh fasilitas-fasilitas tertentu.
Ketika itu memang ia agak jengkel terhadap Khalifah, tetapi ia tahu benar, bahwa tetap dekat dengan para penguasa Bani Umayyah akan lebih menguntungkan daripada menjauhi mereka. Harapan untuk bisa menjadi orang penting masih bisa digantungkan kepada orang-orang Bani Umayyah.
Itulah pamrih keduniaan yang menyelinap di dalam benak Amr bin Al Ash, dan yang mendorongnya giat membantu Muawiyah melawan Imam Ali r.a. Tetapi selain itu, masih ada hal lagi yang membuat Amr dekat kepada Muawiyah khususnya dan tokoh-tokoh Bani Umayyah pada umumnya. Yaitu adanya hubungan kekeluargaan yang misterius. Siapa sebenarnya Amr bin Al Ash itu?
Tentang siapa sebenarnya Amr bin Al Ash, Zamakhsyariy dalam bukunya Rabi'ul Abrar memberikan keterangan terperinci sebagai berikut:
Ibu Amr yang bernama Nabighah dahulunya adalah seorang hamba sahaya milik seorang dari qabilah Anazah. Dalam suatu peperangan perempuan itu dirampas, dan tetap budak, Kemudian dibeli oleh Abdullah bin Jud'an di Makkah. Karena ia seorang perempuan yang diragukan kejujurannya, akhirnya dimerdekakan oleh tuannya. Setelah merdeka ia mempunyai hubungan "gelap" dengan Abu Lahab bin Abdul Mutthalib, Umayyah bin Khalaf Al Jamhiy, Hisyam bin Mughirah Al Makhzumiy, Abu Sufyan bin Harb dan Ash bin Wail. Lama-lama ia hamil dan melahirkan Amr.
Lelaki-lelaki yang mengadakan hubungan dengan Nabighah itu semuanya mengaku, bahwa Amr adalah anaknya. Tetapi Nabighah sendiri memutuskan, bahwa Amr adalah anak hasil hubungannya dengan Ash bin Wail. Nabighah mengambil keputusan seperti itu, karena Ash bin Wail merupakan lelaki yang paling banyak memberi nafkah kepadanya untuk penghidupan sehari-hari. Walaupun begitu, semua lelaki itu mengatakan bahwa Amr sangat mirip dengan Abu Sufyan bin Harb. Abu Sufyan sendiri dalam salah satu bait dari syair-syairnya mengatakan:
"Tak diragukan, ayahmu ialah Abu Sufyan banyak tanda yang jelas tampak pada dirimu!"
Itulah keterangan yang diberikan oleh Zamakhsyariy. Akan tetapi Abu Umar dalam bukunya Al Isti'ab mengemukakan versi yang sama dengan sedikit perbedaan variasi. Abu Umar mengatakan, bahwa pada satu peristiwa ada seorang dijanjikan hadiah sebesar 1.000 dirham jika ia berani menanyakan kepada Amr bin Al Ash di saat ia sedang berada di atas mimbar, tentang siapa sebenarnya ibu Amr itu.
Untuk memperoleh hadiah sebesar itu, orang yang bersangkutan memberanikan diri bertanya kepada Amr. Dari atas mimbar pertanyaan itu dijawab oleh Amr: "Ibuku ialah Salma binti Harmalah, mempunyai nama julukan Nabighah, berasal dari Bani Anazah dan dari seorang Bani Jillan. Dalam satu peperangan ia dirampas, dijadikan budak, dibawa pergi oleh orang-orang Arab, lantas dijual di pasar 'Ukadz (di Makkah). Yang membeli Fakih bin Al Mughirah. Kemudian oleh Fakih dijual lagi kepada Abdullah bin Jud'an. Selanjutnya ia jatuh ke tangan Ash bin Wail. Lalu melahirkan aku."
Setelah menjelaskan seperti itu, kepada orang yang bertanya Amr mengatakan: "Jika engkau dijanjikan sesuatu, ambillah!" Tampaknya Amr sudah tahu tentang maksud dan tujuan orang yang bertanya.
Abu Ubaidh Muamamar bin Al Mutsanna dalam bukunya Al Ansab mengemukakan, bahwa pada waktu Amr lahir terjadi pertengkaran antara Ash bin Wail dengan Abu Sufyan bin Harb. Akhirnya ada orang yang memberi nasehat biarlah ibunya saja yang memutuskan. Akhirnya ibu Amr mengatakan: "Dia dari Ash bin Wail!"
Setelah ada penegasan dari ibunya, Abu Sufyan berkata: "Tidak diragukan lagi, aku inilah yang menempatkan dia dalam rahim ibunya, tetapi ibunya menolak selain Ash bin Wail."
Pernah ada yang berkata kepada Nabighah, bahwa silsilah Abu Sufyan sebenarnya lebih terhormat. Tetapi perkataan orang itu ditanggapi Nabighah dengan penjelasan: "Ash bin Wail banyak memberi nafkah kepadaku, sedang Abi Sufyan, kikir!"
Dari beberapa catatan riwayat di atas dapat diambil kesimpulan pokok sebagai berikut: Menurut pengakuan Abu Sufyan bin Harb, Amr adalah anak lelakinya sendiri hasil hubungan "gelap" dengan Nabighah. Menurut Nabighah, Amr adalah anak lelaki Ash bin Wail, dengan keterangan, ia mengambil keputusan itu karena Ash bin Wail banyak memberi nafkah. Berdasarkan nada pengakuan Nabighah, seandainya Abu Sufyan, tidak kikir tentu akan disebut sebagai ayah Amr yang sebenarnya. Memang Amr sendiri tidak pernah menyebut Abu Sufyan sebagai ayahnya. Yang disebut sebagai ayahnya ialah Ash bin Wail. Ini sesuai dengan keputusan yang diambil oleh ibunya pada waktu Amr lahir.
Jadi kalau Abu Sufyan sendiri ngotot dalam pengakuan bahwa Amr itu anak lelakinya sendiri, bukankah berarti ia mengatakan bahwa Amr itu saudara seayah dengan Muawiyah? Kalau memang benar demikian, apakah masih perlu diherankan bila Amr sangat dekat hubungannya dengan orang-orang Bani Umayyah, terutama Muawiyah bin Abu Sufyan?
Usaha mendamaikan
Sekarang pasukan kedua belah fihak telah sama memusatkan kubu-kubu
pertahanannya masing-masing di lembah Shiffin. Jalan damai nampaknya sudah
buntu. Mengkompro-mikan dua pendirian yang berlawanan sangat sulit. Dua belah
fihak sama berkeyakinan, bahwa satu-satunya jalan penyelesaian yang bisa di
tempuh ialah perang. Yang satu berjuang untuk kekuasaaan dan
keduniaan dan yang lainnya berjuang untuk kepentingan agama dan kehidupan
akhirat.
Keadaan yang sangat tragis itu benar-benar membingungkan kaum muslimin dalam memilih fihak. Mereka sudah pasti menghendaki kebahagiaan dunia dan akhirat. Tentang kebahagiaan akhirat sudah tidak menjadi persoalan lagi, karena Islam telah memberikan penjelasan dengan gamblang. Yang sulit ialah bagaimana menetapkan definisi (pembatasan-pembatasan) tentang kebahagiaan dunia. Fihak Syam berusaha meraihnya lewat jalan kekuasaan dan kekayaan. Sedang fihak Kufah berusaha mencapainya melalui jalan taqwa kepada Allah s.w.t. dan patuh kepada tauladan RasulNya.
Bagaimana menserasikan dua jalan itu tidak ditemukan pemecahannya oleh kaum muslimin pada zaman yang sedang kita bicarakan. Tetapi bagaimana pun juga, semua kaum muslimin adalah saudara. Semua ingin hidup rukun tentram, damai dan sejahtera.
Fikiran seperti itu tetap menjiwai kehidupan kaum muslimin sepanjang zaman, tetapi realisasinya tidak semudah seperti yang didambakan. Namun usaha ke arah itu tak boleh berhenti. Pegangan pokok sudah diletakkan oleh Islam, yaitu Kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya. Siapa yang teguh berpegang pada dua-duanya pasti selamat, dan siapa yang meninggalkan dua-duanya pasti sesat.
Itulah rupanya yang menjadi pemikiran Abu Hurairah dan Abu Darda untuk mencoba mendamaikan dua fihak yang berhadapan siap perang.
Diriwayatkan, bahwa Abu Hurairah dan Abu Darda sengaja datang dari Himsh untuk bertemu dengan Muawiyah di Shiffin. Kepada Muawiyah dua orang itu mengingatkan: "Hai Muawiyah, mengapa anda memerangi Ali bin Abi Thalib, padahal engkau tahu ia lebih berhak memegang kekhalifahan daripada anda, baik disebabkan karena keutamaan pribadinya, maupun oleh kediniannya memeluk Islam. Ia seorang dari kaum Muhajirin yang pertama, dan terdahulu pula dalam hal iman dan ihsan. Sedang anda seorang dari kaum thulaqa, dan ayah anda pun dulu seorang pemimpin kaum musyrikin dalam perang Ahzab melawan kaum muslimin. Demi Allah, aku ingin berkata terus terang kepada anda, bahwa kami ini lebih menyukai Iraq daripada Syam. Tetapi kelestarian hidup, lebih kami sukai daripada kehancuran, dan kebaikan lebih kami sukai daripada kerusakan."
Terhadap pernyataan yang serba blak-blakan dari dua orang sahabat Rasul Allah s.a.w. itu, Muawiyah memberikan tanggapan: "Aku tidak menganggap diriku lebih berhak daripada Ali untuk memegang kekhalifahan. Aku memerangi dia hanya supaya ia mau meyerahkan orang-orang yang membunuh Utsman bin Affan kepadaku!"
"Seandainya Ali bin Abi Thalib mau menyerahkan mereka kepada anda," tanya Abu Hurairah dan Abu Darda, "lantas apakah yang kira-kira akan anda lakukan?"
"Aku akan bersikap seperti kaum muslimin yang lain," jawab Muawiyah." Cobalah kalian datang kepada Ali bin Abi Thalib. Jika ia menyerahkan para pembunuh Utsman itu kepada kalian, masalah kekhalifahan akan kuserahkan kepada kaum muslimin!"
Abu Hurairah dan Abu Darda memang bukan diplomat dan bukan pula orang-orang politik seperti Muawiyah atau Amr bin Al Ash. Mereka berdua itu orang-orang bertaqwa, lugu dan polos. Tampaknya mereka tidak dapat meraba apa-apa yang ada dibalik ucapan Muawiyah. Mungkin dua orang itu menganggap Muawiyah sama dengan diri mereka, jujur, terus terang dan tidak bermain lidah.
Pergilah dua orang itu meninggalkan kubu-kubu pertahanan Muawiyah menuju ke kubu-kubu pertahanan Imam Ali r.a. Setibanya di sana, mereka diterima oleh Al Asytar, yang ketika itu bertindak selaku Panglima pasukan Kufah.
Setelah Abu Hurairah dan Abu Darda menjelaskan maksud kedatangan mereka dan menyampaikan apa yang menjadi pendirian Muawiyah dan pendirian mereka sendiri, Al Asytar memberi jawaban: "Hai Abu Hurairah dan Abu Darda, kalian datang kepada orang-orang Syam bukan karena kalian menyukai Muawiyah. Kalian mengatakan Muawiyah hanya menuntut diserahkannya pembunuh-pembunuh Utsman. Dari siapa kalian bisa mengetahui para pembunuh itu? Apakah dari mereka yang melakukan pembunuhan itu sendiri, ataukah dari mereka yang memberi bantuan dalam pembunuhan? Atau kalian mendapat keterangan dari mereka yang memisahkan diri dari Utsman karena mereka tahu dosanya Utsman? Atau kalian mencari penjelasan dari Muawiyah yang menuduh bahwa pembunuh Utsman ialah Ali?"
"Wahai kawan-kawan," kata Al Asytar lebih lanjut, "bertaqwalah kalian kepada Allah. Kami inilah yang menyaksikan sendiri, sedang kalian tidak mengetahui terjadinya peristiwa itu. Kamilah yang lebih dapat menetapkan hukumnya dibanding dengan orang-orang lain yang tidak menyaksikan sendiri terjadinya peristiwa itu!"
Setelah menerima penjelasan panjang lebar dari Al Asytar, keesokan harinya mereka bertemu dengan Imam Ali r.a. Kepada Imam Ali r.a., Abu Hurairah dan Abu Darda menerangkan: "Anda memang mempunyai keutamaan yang tidak dapat disangkal oleh siapa pun. Anda telah menempuh cara gagah berani dalam menghadapi orang-orang yang buruk perangai. Muawiyah minta supaya anda mau menyerahkan para pembunuh Utsman kepadanya. Jika anda sudah berbuat itu dan Muawiyah masih tetap memerangi anda, kami akan bersama-sama anda melawan dia."
"Apakah engkau tahu siapa-siapa yang membunuh Utsman?" tanya Imam Ali r.a. sambil tersenyum.
"Ya," jawab kedua orang itu dengan tak ragu-ragu.
"Silakan ambil mereka itu!" sahut Imam Ali r.a. melanjutkan.
Mereka keluar. Lalu menghampiri Muhammad bin Abu Bakar, Ammar bin Yasir dan Al Asytar yang sedang duduk bersama. Kepada mereka, dua orang itu berkata dengan lantang: "Kalian termasuk orang-orang yang membunuh Utsman. Aku mendapat perintah untuk mengambil kalian!"
Pada saat itu lebih 1.000 orang datang berduyun-duyun mengerumuni Abu Hurairah dan Abu Darda sambil berteriak-teriak: "Kami semua inilah yang membunuh Utsman!"
Karena semuanya mengaku membunuh Utsman, dua orang itu kebingungan. Abu Hurairah dan Abu Darda mencoba mencari keterangan siapa-siapa sebenarnya yang telah membunuh Utsman. Tetapi tiap-tiap bertanya selalu dijawab: "Kami inilah yang membunuh Utsman!"
Dua orang itu tak dapat berbuat apa-apa. Cepat-cepat minta diri, lalu masing-masing pulang ke rumahnya di Himsh.
Keadaan yang sangat tragis itu benar-benar membingungkan kaum muslimin dalam memilih fihak. Mereka sudah pasti menghendaki kebahagiaan dunia dan akhirat. Tentang kebahagiaan akhirat sudah tidak menjadi persoalan lagi, karena Islam telah memberikan penjelasan dengan gamblang. Yang sulit ialah bagaimana menetapkan definisi (pembatasan-pembatasan) tentang kebahagiaan dunia. Fihak Syam berusaha meraihnya lewat jalan kekuasaan dan kekayaan. Sedang fihak Kufah berusaha mencapainya melalui jalan taqwa kepada Allah s.w.t. dan patuh kepada tauladan RasulNya.
Bagaimana menserasikan dua jalan itu tidak ditemukan pemecahannya oleh kaum muslimin pada zaman yang sedang kita bicarakan. Tetapi bagaimana pun juga, semua kaum muslimin adalah saudara. Semua ingin hidup rukun tentram, damai dan sejahtera.
Fikiran seperti itu tetap menjiwai kehidupan kaum muslimin sepanjang zaman, tetapi realisasinya tidak semudah seperti yang didambakan. Namun usaha ke arah itu tak boleh berhenti. Pegangan pokok sudah diletakkan oleh Islam, yaitu Kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya. Siapa yang teguh berpegang pada dua-duanya pasti selamat, dan siapa yang meninggalkan dua-duanya pasti sesat.
Itulah rupanya yang menjadi pemikiran Abu Hurairah dan Abu Darda untuk mencoba mendamaikan dua fihak yang berhadapan siap perang.
Diriwayatkan, bahwa Abu Hurairah dan Abu Darda sengaja datang dari Himsh untuk bertemu dengan Muawiyah di Shiffin. Kepada Muawiyah dua orang itu mengingatkan: "Hai Muawiyah, mengapa anda memerangi Ali bin Abi Thalib, padahal engkau tahu ia lebih berhak memegang kekhalifahan daripada anda, baik disebabkan karena keutamaan pribadinya, maupun oleh kediniannya memeluk Islam. Ia seorang dari kaum Muhajirin yang pertama, dan terdahulu pula dalam hal iman dan ihsan. Sedang anda seorang dari kaum thulaqa, dan ayah anda pun dulu seorang pemimpin kaum musyrikin dalam perang Ahzab melawan kaum muslimin. Demi Allah, aku ingin berkata terus terang kepada anda, bahwa kami ini lebih menyukai Iraq daripada Syam. Tetapi kelestarian hidup, lebih kami sukai daripada kehancuran, dan kebaikan lebih kami sukai daripada kerusakan."
Terhadap pernyataan yang serba blak-blakan dari dua orang sahabat Rasul Allah s.a.w. itu, Muawiyah memberikan tanggapan: "Aku tidak menganggap diriku lebih berhak daripada Ali untuk memegang kekhalifahan. Aku memerangi dia hanya supaya ia mau meyerahkan orang-orang yang membunuh Utsman bin Affan kepadaku!"
"Seandainya Ali bin Abi Thalib mau menyerahkan mereka kepada anda," tanya Abu Hurairah dan Abu Darda, "lantas apakah yang kira-kira akan anda lakukan?"
"Aku akan bersikap seperti kaum muslimin yang lain," jawab Muawiyah." Cobalah kalian datang kepada Ali bin Abi Thalib. Jika ia menyerahkan para pembunuh Utsman itu kepada kalian, masalah kekhalifahan akan kuserahkan kepada kaum muslimin!"
Abu Hurairah dan Abu Darda memang bukan diplomat dan bukan pula orang-orang politik seperti Muawiyah atau Amr bin Al Ash. Mereka berdua itu orang-orang bertaqwa, lugu dan polos. Tampaknya mereka tidak dapat meraba apa-apa yang ada dibalik ucapan Muawiyah. Mungkin dua orang itu menganggap Muawiyah sama dengan diri mereka, jujur, terus terang dan tidak bermain lidah.
Pergilah dua orang itu meninggalkan kubu-kubu pertahanan Muawiyah menuju ke kubu-kubu pertahanan Imam Ali r.a. Setibanya di sana, mereka diterima oleh Al Asytar, yang ketika itu bertindak selaku Panglima pasukan Kufah.
Setelah Abu Hurairah dan Abu Darda menjelaskan maksud kedatangan mereka dan menyampaikan apa yang menjadi pendirian Muawiyah dan pendirian mereka sendiri, Al Asytar memberi jawaban: "Hai Abu Hurairah dan Abu Darda, kalian datang kepada orang-orang Syam bukan karena kalian menyukai Muawiyah. Kalian mengatakan Muawiyah hanya menuntut diserahkannya pembunuh-pembunuh Utsman. Dari siapa kalian bisa mengetahui para pembunuh itu? Apakah dari mereka yang melakukan pembunuhan itu sendiri, ataukah dari mereka yang memberi bantuan dalam pembunuhan? Atau kalian mendapat keterangan dari mereka yang memisahkan diri dari Utsman karena mereka tahu dosanya Utsman? Atau kalian mencari penjelasan dari Muawiyah yang menuduh bahwa pembunuh Utsman ialah Ali?"
"Wahai kawan-kawan," kata Al Asytar lebih lanjut, "bertaqwalah kalian kepada Allah. Kami inilah yang menyaksikan sendiri, sedang kalian tidak mengetahui terjadinya peristiwa itu. Kamilah yang lebih dapat menetapkan hukumnya dibanding dengan orang-orang lain yang tidak menyaksikan sendiri terjadinya peristiwa itu!"
Setelah menerima penjelasan panjang lebar dari Al Asytar, keesokan harinya mereka bertemu dengan Imam Ali r.a. Kepada Imam Ali r.a., Abu Hurairah dan Abu Darda menerangkan: "Anda memang mempunyai keutamaan yang tidak dapat disangkal oleh siapa pun. Anda telah menempuh cara gagah berani dalam menghadapi orang-orang yang buruk perangai. Muawiyah minta supaya anda mau menyerahkan para pembunuh Utsman kepadanya. Jika anda sudah berbuat itu dan Muawiyah masih tetap memerangi anda, kami akan bersama-sama anda melawan dia."
"Apakah engkau tahu siapa-siapa yang membunuh Utsman?" tanya Imam Ali r.a. sambil tersenyum.
"Ya," jawab kedua orang itu dengan tak ragu-ragu.
"Silakan ambil mereka itu!" sahut Imam Ali r.a. melanjutkan.
Mereka keluar. Lalu menghampiri Muhammad bin Abu Bakar, Ammar bin Yasir dan Al Asytar yang sedang duduk bersama. Kepada mereka, dua orang itu berkata dengan lantang: "Kalian termasuk orang-orang yang membunuh Utsman. Aku mendapat perintah untuk mengambil kalian!"
Pada saat itu lebih 1.000 orang datang berduyun-duyun mengerumuni Abu Hurairah dan Abu Darda sambil berteriak-teriak: "Kami semua inilah yang membunuh Utsman!"
Karena semuanya mengaku membunuh Utsman, dua orang itu kebingungan. Abu Hurairah dan Abu Darda mencoba mencari keterangan siapa-siapa sebenarnya yang telah membunuh Utsman. Tetapi tiap-tiap bertanya selalu dijawab: "Kami inilah yang membunuh Utsman!"
Dua orang itu tak dapat berbuat apa-apa. Cepat-cepat minta diri, lalu masing-masing pulang ke rumahnya di Himsh.
Meletus
Sama seperti di medan-medan tempur lainnya, tiap tempat strategis pasti menjadi
incaran pertama dari suatu gerakan militer. Dalam perang Shiffin, sungai Al
Furat mempunyai nilai strategi yang sangat vital. Lebih-lebih dalam peperangan
di zaman itu, di mana peperangan benar-benar merupakan adu tenaga dan
kelincahan bermain senjata. Bukan hanya anggota-anggota pasukan saja yang
membutuhkan air, melainkan ternak-ternak kendaraan seperti unta-unta dan
kuda-kuda perang bahkan lebih banyak menghabiskan air daripada manusia. Dalam
perang Shiffin fihak yang menguasai sungai Al Furat pasti akan dapat bertahan
lebih lama dibanding dengan fihak yang tidak memperoleh air cukup.
Oleh karena itu pasukan Muawiyah yang datang lebih dulu di Shiffin, segera berusaha menduduki dan memperkuat posisi di daerah-daerah sekitar sungai Al Furat. Dengan tujuan untuk menguasai perbekalan air.
Dengan berhasil menguasai sungai itu, pasukan Syam yang berjumlah puluhan ribu orang tidak hanya terjamin kebutuhan airnya, tetapi sekaligus juga mereka akan dapat membuat pasukan lawan mati kehausan.
Setelah pasukan Syam menguasai sungai Al Furat, Muawiyah memerintahkan kepada semua anggota pasukan supaya jangan membiarkan ada seorang pun dari pasukan Imam Ali r.a. mengambil air dari sungai itu.
Dugaan memang tidak meleset. Pasukan Imam Ali r.a. yang belum lama tiba dari Kufah sudah mulai kekurangan air minum. Mereka berusaha mendapatkan perbekalan air dari sungai. Alangkah terkejutnya mereka, karena pasukan Syam dengan ketat sekali menjaganya agar pasukan Imam Ali r.a. tidak menginjakkan kaki di sepanjang tepi sungai itu.
Ketika melihat ada beberapa orang pasukan Kufah mendekati sungai untuk mengambil air, pasukan Syam yang mengawal sungai itu berteriak-teriak melarang: "Tidak! Demi Allah, kalian takkan kami biarkan mengambil air barang setetes pun. Biarlah kalian mampus kehausan!" Sambil berkata seperti itu ia menyiapkan busur dan anak panahnya. Anak buah Imam Ali r.a. segera mundur, kembali ke induk pasukan, dan melapor kepada Imam Ali r.a.
Imam Ali r.a. menyadari benar, bahwa air sungai Al Furat sangat dibutuhkan oleh pasukannya dan hewan-hewan tunggangan. Jika pasukannya sampai tidak mendapat air berarti sudah kalah sebelum bertempur dan semua hewan tunggangan akan mati kehausan.
Cepat-cepat Imam Ali r.a. mempersiapkan pasukan untuk melancarkan serangan kilat dan terbatas guna merebut lokasi yang sangat strategis itu. Tak berapa lama kemudian terjadi pertempuran sengit antara kedua pasukan memperebutkan sungai Al-Furat. Dengan serangan kilat pasukan Syam terusir dari posisinya yang strategis dan pasukan Kufah bersama hewan tunggangannya dapat minum sepuas-puasnya.
Pasukan Syam kini menghadapi keadaan sebaliknya. Sekarang mereka menderita kepanasan dan kehausan setengah mati. Beberapa sahabat Imam Ali r.a. mengusulkan supaya pasukan Syam jangan diberi kesempatan sama sekali mengambil air sungai: "Biar mereka mampus digorok kehausan! Kita tidak perlu susah-susah memerangi mereka."
Menanggapi usul tersebut Imam Ali r.a. berkata: "Demi Allah, tidak! Aku tak akan membalas dengan perbuatan seperti yang mereka lakukan terhadap kita. Berilah mereka kesempatan mengambil air minum. Keberanian kita mengadu pedang tidak membutuhkan perbuatan semacam itu!"
Orang-orang yang mendengar jawaban Imam Ali r.a. setegas itu merasa kagum terhadap sifat ksatriaannya.
Sewaktu pasukan Syam datang mengambil air dari sungai, dengan penuh disiplin tak ada seorang pun dari pasukan Imam Ali r.a. yang menghalang-halangi. Pasukan Imam Ali r.a. yang bertugas mengawal tepi sungai, sama sekali tidak memperlihatkan kesombongan karena menang. Banyak di antara anggota-anggota pasukan Muawiyah karena rasa kagumnya ingin menyeberang ke fihak Imam Ali r.a. Hanya saja mereka tidak mempunyai keberanian untuk melakukannya. Khawatir, kalau-kalau para anggota keluarga yang ditinggalkan di Syam akan mengalami tekanan dan berbagai kesulitan.
Pada tahap pertama pertempuran antara kedua pasukan itu hanya berlangsung secara kecil-kecilan saja, yaitu satu lawan satu, kelompok lawan kelompok. Pertempuran belum melibatkan seluruh pasukan.
Beberapa ahli sejarah menaksir pasukan yang berada dibawah pimpinan Imam Ali r.a. berjumlah kurang lebih 100.000 orang. Pasukan ini dikenal sebagai "pasukan Iraq". Sedang pasukan Muawiyah yang disebut sebagai "pasukan Syam" berjumlah kurang lebih 75.000 orang. Jadi di medan perang Shiffin pada akhir tahun 36 Hijriyah itu telah terkumpul tidak kurang 175.000 orang prajurit Islam.
Yang menarik bukan hanya karena besarnya jumlah pasukan tersebut. Sebab, sebelum itu pasukan Islam yang besar jumlahnya telah pernah bergerak dalam pertempuran menghadapi pasukan musuh, yang bukan Islam. Sedang kali ini 175.000 orang pasukan muslimin itu saling bertempur di antara mereka sendiri.
Sampai pada akhir bulan Haji tahun itu, di medan perang Shiffin hanya terjadi pertempuran kecil-kecil. Sedang pada bulan Muharram --bulan suci-- sebagai sesama pasukan muslimin, kedua pasukan itu dengan kesadaran masing-masing hanya saling berhadapan tanpa melakukan pertempuran. Setelah bulan Safar tiba berkobar lagi pertempuran kecil-kecilan.
Melihat hal ini Imam Ali r.a. tidak bisa bersabar lagi. Keadaan ini hanya mengulur-ulur waktu dan bisa berlarut-larut. Yang untung hanya Muawiyah, yang mempergunakan kesempatan itu guna menyebar fitnah untuk mematahkan semangat pasukan Imam Ali r.a.
Imam Ali r.a. segera mengeluarkan perintah serangan umum. Muawiyah yang juga telah menyiapkan pasukan segera bangkit menghadapi serangan besar itu. Pertengahan bulan Syafar tahun 37 Hijriyah ditandai oleh suatu pertempuran dahsyat antara dua pasukan yang berlangsung penuh sepanjang hari. Pada hari keduanya terjadi pertempuran yang paling hebat, yang sebelumnya tak pernah dikenal dalam sejarah Islam. Menurut kebiasaan bila senja tiba, pertempuran dihentikan, tetapi kali ini pertempuran diteruskan di kegelapan malam. Darah membasahi bumi Shiffin. Prajurit dan komandan berguguran. Bapak melawan anak, saudara bertempur melawan saudara, muslim membunuh muslim. Malam dilewatkan dengan pertumpahan darah yang tiada hentinya hingga fajar menyingsing.
Setelah beberapa hari bertempur dan Muawiyah melihat pasukannya mulai kewalahan, ia berpaling kepada Amr bin Al Ash selaku penasehatnya agar dapat memberikan saran-saran. Amr bin Al Ash muncul dengan tipu muslihatnya. Ia perintahkan kepada semua anggota pasukan supaya menancapkan lembaran-lembaran Al Qur'an di ujung senjata masing-masing dan mengangkatnya setinggi mungkin agar mudah diketahui oleh pasukan Kufah. Sejalan dengan itu terdengarlah mereka berseru:
"Inilah Kitab Allah. Inilah Al Qur'an yang dari awal hingga akhir tetap berada di antara kita. Allah, Allah, jaga dan lindungilah bangsa Arab. Allah, Allah, jaga dan lindungilah agama Islam. Allah, Allah, lindungilah negeri kami. Siapakah yang akan menjaga Syam dari serangan musuh (Romawi) apabila tentara Syam binasa? Dan siapa pulakah yang akan melindungi Iraq apabila tentaranya musnah?"
Tujuan dari gerak-tipu itu ialah agar pasukan Kufah mengira, bahwa pasukan Syam sekarang telah bersedia menerima penyelesaian secara damai berdasarkan hukum Allah.
Oleh karena itu pasukan Muawiyah yang datang lebih dulu di Shiffin, segera berusaha menduduki dan memperkuat posisi di daerah-daerah sekitar sungai Al Furat. Dengan tujuan untuk menguasai perbekalan air.
Dengan berhasil menguasai sungai itu, pasukan Syam yang berjumlah puluhan ribu orang tidak hanya terjamin kebutuhan airnya, tetapi sekaligus juga mereka akan dapat membuat pasukan lawan mati kehausan.
Setelah pasukan Syam menguasai sungai Al Furat, Muawiyah memerintahkan kepada semua anggota pasukan supaya jangan membiarkan ada seorang pun dari pasukan Imam Ali r.a. mengambil air dari sungai itu.
Dugaan memang tidak meleset. Pasukan Imam Ali r.a. yang belum lama tiba dari Kufah sudah mulai kekurangan air minum. Mereka berusaha mendapatkan perbekalan air dari sungai. Alangkah terkejutnya mereka, karena pasukan Syam dengan ketat sekali menjaganya agar pasukan Imam Ali r.a. tidak menginjakkan kaki di sepanjang tepi sungai itu.
Ketika melihat ada beberapa orang pasukan Kufah mendekati sungai untuk mengambil air, pasukan Syam yang mengawal sungai itu berteriak-teriak melarang: "Tidak! Demi Allah, kalian takkan kami biarkan mengambil air barang setetes pun. Biarlah kalian mampus kehausan!" Sambil berkata seperti itu ia menyiapkan busur dan anak panahnya. Anak buah Imam Ali r.a. segera mundur, kembali ke induk pasukan, dan melapor kepada Imam Ali r.a.
Imam Ali r.a. menyadari benar, bahwa air sungai Al Furat sangat dibutuhkan oleh pasukannya dan hewan-hewan tunggangan. Jika pasukannya sampai tidak mendapat air berarti sudah kalah sebelum bertempur dan semua hewan tunggangan akan mati kehausan.
Cepat-cepat Imam Ali r.a. mempersiapkan pasukan untuk melancarkan serangan kilat dan terbatas guna merebut lokasi yang sangat strategis itu. Tak berapa lama kemudian terjadi pertempuran sengit antara kedua pasukan memperebutkan sungai Al-Furat. Dengan serangan kilat pasukan Syam terusir dari posisinya yang strategis dan pasukan Kufah bersama hewan tunggangannya dapat minum sepuas-puasnya.
Pasukan Syam kini menghadapi keadaan sebaliknya. Sekarang mereka menderita kepanasan dan kehausan setengah mati. Beberapa sahabat Imam Ali r.a. mengusulkan supaya pasukan Syam jangan diberi kesempatan sama sekali mengambil air sungai: "Biar mereka mampus digorok kehausan! Kita tidak perlu susah-susah memerangi mereka."
Menanggapi usul tersebut Imam Ali r.a. berkata: "Demi Allah, tidak! Aku tak akan membalas dengan perbuatan seperti yang mereka lakukan terhadap kita. Berilah mereka kesempatan mengambil air minum. Keberanian kita mengadu pedang tidak membutuhkan perbuatan semacam itu!"
Orang-orang yang mendengar jawaban Imam Ali r.a. setegas itu merasa kagum terhadap sifat ksatriaannya.
Sewaktu pasukan Syam datang mengambil air dari sungai, dengan penuh disiplin tak ada seorang pun dari pasukan Imam Ali r.a. yang menghalang-halangi. Pasukan Imam Ali r.a. yang bertugas mengawal tepi sungai, sama sekali tidak memperlihatkan kesombongan karena menang. Banyak di antara anggota-anggota pasukan Muawiyah karena rasa kagumnya ingin menyeberang ke fihak Imam Ali r.a. Hanya saja mereka tidak mempunyai keberanian untuk melakukannya. Khawatir, kalau-kalau para anggota keluarga yang ditinggalkan di Syam akan mengalami tekanan dan berbagai kesulitan.
Pada tahap pertama pertempuran antara kedua pasukan itu hanya berlangsung secara kecil-kecilan saja, yaitu satu lawan satu, kelompok lawan kelompok. Pertempuran belum melibatkan seluruh pasukan.
Beberapa ahli sejarah menaksir pasukan yang berada dibawah pimpinan Imam Ali r.a. berjumlah kurang lebih 100.000 orang. Pasukan ini dikenal sebagai "pasukan Iraq". Sedang pasukan Muawiyah yang disebut sebagai "pasukan Syam" berjumlah kurang lebih 75.000 orang. Jadi di medan perang Shiffin pada akhir tahun 36 Hijriyah itu telah terkumpul tidak kurang 175.000 orang prajurit Islam.
Yang menarik bukan hanya karena besarnya jumlah pasukan tersebut. Sebab, sebelum itu pasukan Islam yang besar jumlahnya telah pernah bergerak dalam pertempuran menghadapi pasukan musuh, yang bukan Islam. Sedang kali ini 175.000 orang pasukan muslimin itu saling bertempur di antara mereka sendiri.
Sampai pada akhir bulan Haji tahun itu, di medan perang Shiffin hanya terjadi pertempuran kecil-kecil. Sedang pada bulan Muharram --bulan suci-- sebagai sesama pasukan muslimin, kedua pasukan itu dengan kesadaran masing-masing hanya saling berhadapan tanpa melakukan pertempuran. Setelah bulan Safar tiba berkobar lagi pertempuran kecil-kecilan.
Melihat hal ini Imam Ali r.a. tidak bisa bersabar lagi. Keadaan ini hanya mengulur-ulur waktu dan bisa berlarut-larut. Yang untung hanya Muawiyah, yang mempergunakan kesempatan itu guna menyebar fitnah untuk mematahkan semangat pasukan Imam Ali r.a.
Imam Ali r.a. segera mengeluarkan perintah serangan umum. Muawiyah yang juga telah menyiapkan pasukan segera bangkit menghadapi serangan besar itu. Pertengahan bulan Syafar tahun 37 Hijriyah ditandai oleh suatu pertempuran dahsyat antara dua pasukan yang berlangsung penuh sepanjang hari. Pada hari keduanya terjadi pertempuran yang paling hebat, yang sebelumnya tak pernah dikenal dalam sejarah Islam. Menurut kebiasaan bila senja tiba, pertempuran dihentikan, tetapi kali ini pertempuran diteruskan di kegelapan malam. Darah membasahi bumi Shiffin. Prajurit dan komandan berguguran. Bapak melawan anak, saudara bertempur melawan saudara, muslim membunuh muslim. Malam dilewatkan dengan pertumpahan darah yang tiada hentinya hingga fajar menyingsing.
Setelah beberapa hari bertempur dan Muawiyah melihat pasukannya mulai kewalahan, ia berpaling kepada Amr bin Al Ash selaku penasehatnya agar dapat memberikan saran-saran. Amr bin Al Ash muncul dengan tipu muslihatnya. Ia perintahkan kepada semua anggota pasukan supaya menancapkan lembaran-lembaran Al Qur'an di ujung senjata masing-masing dan mengangkatnya setinggi mungkin agar mudah diketahui oleh pasukan Kufah. Sejalan dengan itu terdengarlah mereka berseru:
"Inilah Kitab Allah. Inilah Al Qur'an yang dari awal hingga akhir tetap berada di antara kita. Allah, Allah, jaga dan lindungilah bangsa Arab. Allah, Allah, jaga dan lindungilah agama Islam. Allah, Allah, lindungilah negeri kami. Siapakah yang akan menjaga Syam dari serangan musuh (Romawi) apabila tentara Syam binasa? Dan siapa pulakah yang akan melindungi Iraq apabila tentaranya musnah?"
Tujuan dari gerak-tipu itu ialah agar pasukan Kufah mengira, bahwa pasukan Syam sekarang telah bersedia menerima penyelesaian secara damai berdasarkan hukum Allah.
Imam Ali r.a. Ditekan
Melihat pasukan Syam mengacung-acungkan lembaran Al Qur'an, fikiran pasukan
Imam Ali r.a. terpecah dalam berbagai pendapat. Yang tinggi kewaspadaan
politiknya memperkirakan bahwa itu hanya tipu-muslihat belaka. Guna mengelabui
pasukan Imam Ali r.a. sehingga situasi buruk yang mereka alami dapat diubah
menjadi baik. Sedang yang dangkal pengertian politiknya menganggap, bahwa
perbuatan pasukan Syam itu bukan tipu muslihat, melainkan benar-benar bermaksud
jujur, mengajak kembali kepada ajaran dan perintah agama. Karena itu harus
disambut dengan jujur. Ini jauh lebih baik daripada perang berkobar terus
sesama kaum muslimin.
Selain itu ada pula kelompok yang hendak menunggangi situasi itu agar peperangan cepat dihentikan. Mereka sudah jemu dengan peperangan dan sangat merindukan perdamaian.
Tidak selang berapa lama datanglah berduyun-duyun sejumlah orang kepada Imam Ali r.a. Mereka menuntut supaya peperangan segera dihentikan. Tuntutan mereka itu ditolak oleh Imam Ali r.a., karena ia yakin, bahwa apa yang diperbuat oleh orang-orang Syam itu hanya tipu-muslihat. Karena itu kepada mereka yang menuntut dihentikannya peperangan, Imam Ali r.a. menegaskan:
"Itu hanya tipu-daya dan pengelabuan! Aku ini lebih mengenal mereka daripada kalian! Mereka itu bukan pembela-pembela Al-Qur'an dan agama Islam. Aku sudah lama mengenal mereka dan mengetahui soal-soal mereka, mulai dari yang kecil-kecil sampai yang besar-besar. Aku tahu mereka itu meremehkan agama dan sedang meluncur ke arah kepentingan duniawi. Oleh sebab itu janganlah kalian terpengaruh oleh perbuatan mereka yang mengibarkan lembaran-lembaran Al-Qur'an. Bulatkanlah tekad kalian untuk berperang terus sampai tuntas. Kalian sudah berhasil mematahkan kekuatan mereka. Mereka sekarang sudah loyo dan tidak lama lagi akan hancur!"
Mereka tetap tidak mau mengerti, bahwa itu hanya tipu-muslihat. Mereka mendesak terus agar perang dihentikan dan mengancam tidak mau mendukung Imam Ali r.a. lagi bila perang diteruskan. Mereka bukan hanya sekedar menggertak dan mengintimidasi, bahkan mereka sampai berani "memerintahkan" Imam Ali r.a. supaya mengeluarkan instruksi penghentian perang dan menarik semua sahabatnya yang masih berkecimpung di medan tempur.
Benar-benar terlalu! Imam Ali r.a. sampai "diperintah" supaya cepat-cepat menarik .Al-Asytar yang sedang memimpin pertempuran! Lebih dari itu. Mereka juga mengancam akan menangkap dan menyerahkan Imam Ali r.a. kepada Muawiyah, jika ia tidak mau memenuhi tuntutan mereka! Tidak sedikit jumlah pasukan Imam Ali r.a. yang berbuat sejauh itu. Mereka bersumpah tidak akan meninggalkan Imam Ali r.a. dan akan terus mengepungnya, sebelum Imam Ali r.a. melaksanakan "perintah" mereka.
Kedudukan Imam Ali r.a. benar-benar sulit, bahkan rawan dan gawat. Melanjutkan peperangan berarti membuka lubang perpecahan. Menghentikan peperangan juga berarti membangkitkan perlawanan kelompok yang lain, yang tidak percaya kepada tipumuslihat musuh. Ini juga berarti perpecahan. Imam Ali r.a. benar-benar "tergiring" ke posisi sulit akibat muslihat politik "tahkim" yang dilancarkan Muawiyah dan Amr.
Setelah kaum pembelot tak dapat diyakinkan lagi, Imam Ali r.a. terpaksa memanggil Al Asytar dan memerintahkan supaya menghentikan peperangan. Pada mulanya Al Asytar menolak, karena ia tidak mengerti sebabnya Imam Ali r.a. sampai bertindak sejauh itu. Kepada suruhan Imam Ali r.a., Al Asytar berkata: "Bagaimana aku harus kembali dan bagaimana peperangan harus kuhentikan, sedangkan tanda-tanda kemenangan sudah tampak jelas! Katakan saja kepada Imam Ali, supaya ia memberi waktu kepadaku barang satu atau dua jam saja!"
Al Asytar membantah, sebab suruhan Imam Ali r.a. tidak menerangkan sama sekali sebab-sebabnya Imam Ali r.a. mengeluarkan perintah seperti itu dan tidak dijelaskan juga bagaimana keadaan yang sedang dihadapi Imam Ali r.a. di markas-besarnya.
Waktu suruhan Imam Ali r.a. kembali dan melaporkan jawaban Al Asytar, orang-orang yang sedang mengepungnya marah, gaduh, ribut dan berniat buruk terhadap Imam Ali r.a. Mereka berprasangka jelek. Kemudian mereka bertanya kepada Imam Ali r.a.: "Apakah engkau memberi perintah rahasia kepada Al Asytar supaya tetap meneruskan peperangan dan melarang dia berhenti? Jika engkau tidak segera dapat mengembalikan Al Asytar, engkau akan kami bunuh seperti dulu kami membunuh Utsman!"
Suruhan itu diperintahkan kembali untuk menemui Al Asytar. Agar ia cepat kembali, suruhan itu melebih-lebihkan keterangan kepada Al Asytar: "Apakah engkau mau menang dalam kedudukanmu ini, sedang Ali sekarang lagi dikepung 50.000 pedang?"
"Apa sebab sampai terjadi seperti itu?" tanya Al Asytar yang ingin mendapat keterangan lebih jauh.
"Karena mereka melihat lembaran-lembaran Al Qur'an dikibarkan oleh pasukan Syam," jawab suruhan.
Sambil bersiap-siap untuk kembali menghadap Imam Ali r.a., Al Asytar berkata: "Demi Allah, aku sudah menduga akan terjadi perpecahan dan malapetaka pada waktu aku melihat lembaran-lembaran Al Qur'an dikibarkan orang!"
Al Asytar segera pulang. Setiba di markas-besar ia melihat Imam Ali r.a. dalam keadaan bahaya. Anggota-anggota pasukan yang mengepung sedang mempertimbangkan apakah Imam Ali r.a. dibunuh saja atau diserahkan kepada Muawiyah. Saat itu tidak ada orang lain yang memberi perlindungan kepada Imam Ali r.a. kecuali dua orang puteranya sendiri Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. serta Abdullah Ibnu Abbas dan beberapa orang lain, yang jumlah kesemuanya tak lebih dari 10 orang.
Ketika melihat situasi yang sangat kritis itu, A1 Asytar segera menerobos kepungan sambil memaki-maki mereka yang sedang mengancam-ancam: "Celaka kalian! Apakah setelah mencapai kemenangan dan keberhasilan lantas kalian mau menghentikan dukungan dan menciptakan perpecahan. Sungguh impian yang sangat kerdil. Kalian itu memang perempuan! Sungguh busuk kalian itu!"
Datanglah Al Asy'ats bin Qeis kepada Imam Ali r.a. lantas berkata : "Ya Amiral Mukminin, aku melihat orang-orang sudah menerima dan menyambut baik ajakan mereka (pasukan Syam) untuk mengadakan penyelesaian damai berdasarkan hukum Al Qur'an. Kalau engkau setuju, aku akan datang kepada Muawiyah untuk menanyakan apa sesungguhnya yang dimaksud dan apa yang diminta olehnya."
"Pergilah, kalau engkau mau…!" jawab Imam Ali r.a.
Dalam pertemuannya dengan Muawiyah, Al Asy'ats bertanya: "Untuk apa engkau mengangkat lembaran-lembaran Al Qur' an pada ujung-ujung senjata pasukanmu?"
Muawiyah menerangkan: "Supaya kami dan kalian semuanya kembali kepada apa yang diperintahkan Allah dalam Al-Qur' an. Oleh karena itu utuslah seorang yang kalian percayai, dan dari fihak kami pun akan mengutus seorang juga. Kepada kedua orang itu kita tugaskan supaya bekerja atas dasar Kitab Allah dan jangan sampai melanggarnya. Kemudian, apa yang disepakati oleh dua orang itu kita taati bersama…"
Al Asy'ats menanggapi keterangan Muawiyah itu dengan ucapan: "Itu adalah kebenaran!"
Setelah itu Al Asy'ats dan beberapa orang ulama Al-Qur'an berkata kepada Imam Ali r.a.: "Kita telah menerima baik tahkim berdasar Kitab Allah…, dan kami sepakat untuk memilih Abu Musa Al Asy'ariy sebagai utusan!"
Imam Ali r.a. menolak: "Aku tidak setuju Abu Musa ditetapkan sebagai utusan. Aku tidak mau mengangkat dia!"
Al Asy'ats menyanggah: "Kami tidak bisa menerima orang selain dia. Dialah yang telah mengingatkan kita mengenai kejadian yang sedang kita hadapi sekarang ini, yakni peperangan…"
Imam Ali r.a. masih tetap menolak: "Ya, tetapi aku tidak dapat menyetujui dia. Ia dulu meninggalkan aku dan berusaha mencegah orang supaya tidak membantuku. Kemudian ia lari, tetapi sebulan setelah itu ia kembali dan kujamin keselamatannya. Inilah Ibnu Abbas, orang yang akan kuangkat sebagai utusan!"
Al Asy'ats menolak sambil berdalih: "Demi Allah, kami tidak peduli. Kami menginginkan seorang yang netral, tidak condong kepadamu dan tidak condong kepada Muawiyah!"
Imam Ali r.a. mengajukan usul lain: "Kalau begitu, aku akan mengangkat Al Asytar!"
Dengan sinis Al Asy'ats bertanya: "Apakah bumi ini akan terbakar jika bukan Al Asytar yang kau angkat? Apakah kami hendak kau tempatkan di bawah kekuasaan Al Asytar?"
Imam Ali r.a. ingin mendapat penjelasan, lalu bertanya: "Kekuasaan yang bagaimana?"
Al Asy'ats menyahut: "Kekuasaan dia ialah hendak mendorong kaum muslimin terus menerus mengadu pedang sampai terlaksana apa yang diinginkan olehmu dan olehnya!"
Imam Ali r.a. masih berusaha menyakinkan: "Muawiyah tidak menyerahkan tugas itu kepada siapa pun selain orang yang dipercaya benar-benar olehnya, yaitu Amr bin Al Ash. Bagi orang Qureisy itu (Muawiyah) memang tidak ada yang paling baik baginya kecuali orang seperti Amr…! Kalian akan diwakili oleh Abdullah bin Abbas. Biarlah dia yang menghadapi Amr. Abdullah mampu mengatasi kesulitan yang akan dihadapkan oleh Amr kepadanya, sedangkan Amr tidak akan sanggup mengatasi kesulitan yang akan dihadapkan oleh Abdullah kepadanya. Abdullah mampu menangkis hujjah-hujjah yang diajukan oleh Amr, sedangkan Amr tidak akan mampu menangkis hujjah-hujjah yang diajukan oleh Abdullah!"
Al Asy'ats tetap berkeras kepala. Ia berganti dalih: "Demi Allah, tidak…! Sampai kiyamat pun masalah tahkim itu tidak boleh dirundingkan oleh dua orang sama-sama berasal dari Bani Mudhar. Angkatlah orang yang dari Yaman (Abu Musa), sebab mereka sudah mengangkat orang dari Mesir (Amr)…!"
Imam Ali mengingatkan: "Aku khawatir kalu-kalau kalian akan terkelabui. Sebab kalau Amr sudah menuruti hawa nafsunya dalam urusan tahkim itu, ia sama sekali tidak takut kepada Allah!"
Dengan bersitegang leher Al Asy'ats berkata: "Demi Allah, kalau salah seorang dari dua perunding itu berasal dari Yaman, lalu mengambil beberapa keputusan yang tidak menyenangkan kita, itu lebih baik bagi kita daripada kalau dua orang perunding itu sama-sama berasal dari Bani Mudhar, walau mereka ini mengambil beberapa keputusan yang menyenangkan kita!"
Imam Ali r.a. minta ketegasan terakhir: "Jadi…, kalian tidak menghendaki selain Abu Musa?"
"Ya!" jawab Al Asy'ats.
"Kalau begitu, kerjakanlah apa yang kalian inginkan!" kata Imam Ali r.a. dengan hati masgul.
Beberapa orang pengikut Imam Ali r.a. kemudian berangkat untuk menemui Muawiyah guna mengadakan persetujuan tertulis mengenai prinsip disetujuinya tahkim oleh kedua belah fihak. Wakil fihak Kufah (Imam Ali r.a.) menuliskan dalam teks perjanjian sebuah kalimat: "Inilah yang telah disetujui oleh Amirul Mukminin…"
Baru sampai di situ Muawiyah cepat-cepat memotong: "Betapa jeleknya aku ini, kalau aku mengakui dia sebagai Amirul Mukminin tetapi aku memerangi dia!"
Amr bin Al Ash menyambung: "Tuliskan saja namanya dan nama ayahnya. Dia itu Amir (penguasa) kalian dan bukan Amir kami!"
Wakil-wakil fihak Kufah kembali menghadap Imam Ali r.a. untuk minta pendapat mengenai penghapusan sebutan "Amirul Mukminin". Ternyata Imam Ali r.a. memerintahkan supaya sebutan itu dihapus saja dari teks perjanjian. Tetapi Al Ahnaf cepat-cepat mengingatkan: "Sebutan Amirul Mukminin jangan sampai dihapus. Kalau sampai dihapus, aku khawatir pemerintahan (imarah) tak akan kembali lagi kepadamu untuk selama-lamanya. Jangan..., jangan dihapus, walau peperangan akan berkecamuk terus!"
Setelah mendengar naselat Al Ahnaf itu untuk beberapa saat lamanya Imam Ali r.a. berfikir hendak mempertahankan sebutan "Amirul Mukminin" dalam teks perjanjian, tetapi keburu Al Asy'ats datang lagi dan mendesak supaya sebutan itu dihapuskan saja.
Dengan perasaan amat kecewa Imam Ali r.a. berucap: "Laa llaaha Illahllaah . . . Allaahu Akbar! Sunnah yang dulu sekarang disusul lagi dengan sunnah baru. Demi Allah, bukankah persoalan seperti itu dahulu pernah juga kualami? Yaitu waktu diadakan perjanjian Hudaibiyyah?!
"Waktu itu atas perintah Rasul Allah s.a.w. aku menulis dalam teks perjanjian "Inilah perjanjian yang dibuat oleh Muhammad Rasul Allah dan Suhail bin Amr." Ketika itu Suhail berkata: "Aku tidak mau menerima teks yang berisi tulisan 'Rasul Allah'. Sebab kalau aku percaya bahwa engkau itu Rasul Allah, tentu aku tidak akan memerangimu! Adalah perbuatan dzalim kalau aku melarangmu bertawaf di Baitullah, padahal engkau itu adalah Rasul Allah! Tidak, tuliskan saja 'Muhammad bin Abdullah', baru aku mau menerimanya…!"
"Waktu itu Rasul Allah memberi perintah kepadaku: 'Hai Ali, aku ini adalah Rasul Allah dan aku pun Muhammad bin Abdullah. Teks perjanjian dengan mereka yang hanya menyebutkan Muhammad bin Abdullah tidak akan menghapuskan kerasulanku. Oleh karena itu tulis saja Muhammad bin Abdullah !' Waktu itu beberapa saat lamanya aku dibuat bingung oleh kaum musyrikin. Tetapi sekarang, di saat aku sendiri membuat perjanjian dengan anak-anak mereka, pun mengalami hal-hal yang sama seperti yang dahulu dialami oleh Rasul Allah s.a.w.…"
Teks perjanjian itu akhirnya ditulis juga tanpa menyebut kedudukan Imam Ali r.a. sebagai Amirul Mukminin. Al Asytar kemudian dipanggil untuk menjadi saksi. Sebagai reaksi Al Asytar berkata pada Imam Ali: "Anda akan kehilangan segala-galanya bila perjanjian ditulis seperti itu. Bukankah anda ini berdiri di atas kebenaran Allah? Bukankah anda ini benar-benar yakin bahwa musuhmu itu orang yang memang sesat? Kemudian ia berkata kepada mereka: "Apakah kalian tidak melihat kemenangan sudah diambang pintu seandainya kalian tidak berteriak minta belas kasihan kepada musuh?!"
Al Asy'ats menyahut: "Demi Allah, aku tidak melihat kemenangan dan tidak pula meminta belas kasihan kepada musuh. Ayohlah berjanji, bahwa engkau akan taat! Akuilah apa yang tertulis dalam teks perjanjian ini!"
Al Asytar menjawab: "Demi Allah, dengan pedangku ini Allah telah menumpahkan darah orang-orang yang menurut penilaianku lebih baik daripada engkau, dan aku tidak menyesali darah mereka! Aku hanya mau mengikuti apa yang dilakukan oleh Amirul Mukminin. Apa yang diperintahkan, akan kulaksanakan, dan apa yang dilarang akan kuhindari, sebab perintahnya selalu benar dan tepat!"
Pada saat itu datanglah Sulaiman bin Shirid menghadap Amirul Mukminin, sambil membawa seorang yang luka parah akibat pukulan pedang. Waktu Imam Ali r.a. menoleh kepada orang yang luka parah itu, Sulaiman berkata mengancam: "Ada orang yang sudah menjalani nasibnya dan ada pula yang sedang menunggu nasib! Dan... engkau termasuk orang-orang yang sedang menunggu nasib seperti orang ini!"
Ada lagi yang datang menghadap, lalu berkata: "Ya Amirul Mukminin, seandainya engkau masih mempunyai orang-orang yang mendukungmu, tentu engkau tidak akan menulis teks perjanjian seperti itu. Demi Allah, aku sudah berkeliling ke sana dan ke mari untuk mengerahkan orang-orang supaya mau melanjutkan peperangan. Tetapi ternyata hanya tinggal beberapa gelintir saja yang masih sanggup melanjutkan peperangan!"
Ada orang lain lagi datang menghadap, lalu berkata: "Ya Amirul Mukminin, apakah tidak ada jalan untuk membatalkan perjanjian itu? Demi Allah, aku sangat khawatir kalau-kalau perjanjian itu akan membuat kita hina dan nista!"
Imam Ali r.a. menjawab: "Apakah kita akan membatalkan perjanjian yang sudah ditulis itu? Itu tidak boleh terjadi!"
Imam Ali r.a. terpaksa menyetujui adanya perjanjian dengan Muawiyah mengenai prinsip penyelesaian damai berdasarkan hukum Al Qur'an. Banyak di antara pengikutnya yang merasa kecewa dan menyesal, tetapi sikap tersebut sudah terlambat.
Karena sangat kecewa dan menyesal, mereka lalu berteriak kepada semua orang di mana saja: "Tiada hukum selain hukum Allah! Hukum di tangan Allah dan bukan di tanganmu, hai Ali! Kami tidak rela ada orang-orang yang akan menetapkan hukum terhadap agama Allah! Hukum Allah bagi Muawiyah dan pengikut-pengikutnya sudah jelas, yaitu mereka harus kita perangi atau harus kita tundukkan kepada pemerintahan kita! Kita telah terperosok dan tergelincir pada saat kita menyetujui tahkim! Sekarang kita telah bertaubat dan tidak mau lagi mengakui perjanjian itu! Dan engkau, hai Ali, tinggalkanlah perjanjian itu dan bertaubatlah kepada Allah seperti yang sudah kita lakukan. Kalau tidak, kita tidak turut bertanggung jawab!"
Imam Ali r.a. bukanlah orang yang biasa menciderai perjanjian, walau perjanjian itu akan mengakibatkan dirinya harus menanggung resiko kedzaliman orang lain. Kepada orang-orang yang menuntut supaya ia menciderai perjanjian dan segera bertaubat, ia menjawab:
"Celakalah kalian! Apakah setelah kita sendiri mau menyetujui perjanjian itu lantas sekarang harus berbuat cidera? Bukankah Allah telah memerintahkan supaya kita menjaga baik-baik dan memenuhi perjanjian? Bukankah Allah telah berfirman (yang artinya):
"Tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpahmu sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat" (S. An Nahl: 91).
Beberapa hari setelah peperangan berhenti, dalam salah satu khutbahnya Imam Ali r.a. berkata: "Perintahku masih kalian ikuti terus seperti yang kuinginkan sampai saat kalian dilanda perpecahan fikiran. Demi Allah, kalian tahu bahwa peperangan itu sama sekali tidak menghilangkan kekhalifahanku. Itu masih tetap ada. Bahkan peperangan itu sebenarnya lebih memporak-porandakan musuh kalian. Di tengah-tengah kalian, kemarin aku masih memerintah, tetapi hari ini aku sudah menjadi orang yang diperintah. Kemarin aku masih menjadi orang yang bisa melarang, tetapi hari ini aku menjadi orang yang dilarang. Kalian ternyata sudah menjadi orang-orang yang lebih menyukai hidup, dan aku tidak dapat lagi mengajak kalian kepada apa yang tidak kalian sukai…"
Selain itu ada pula kelompok yang hendak menunggangi situasi itu agar peperangan cepat dihentikan. Mereka sudah jemu dengan peperangan dan sangat merindukan perdamaian.
Tidak selang berapa lama datanglah berduyun-duyun sejumlah orang kepada Imam Ali r.a. Mereka menuntut supaya peperangan segera dihentikan. Tuntutan mereka itu ditolak oleh Imam Ali r.a., karena ia yakin, bahwa apa yang diperbuat oleh orang-orang Syam itu hanya tipu-muslihat. Karena itu kepada mereka yang menuntut dihentikannya peperangan, Imam Ali r.a. menegaskan:
"Itu hanya tipu-daya dan pengelabuan! Aku ini lebih mengenal mereka daripada kalian! Mereka itu bukan pembela-pembela Al-Qur'an dan agama Islam. Aku sudah lama mengenal mereka dan mengetahui soal-soal mereka, mulai dari yang kecil-kecil sampai yang besar-besar. Aku tahu mereka itu meremehkan agama dan sedang meluncur ke arah kepentingan duniawi. Oleh sebab itu janganlah kalian terpengaruh oleh perbuatan mereka yang mengibarkan lembaran-lembaran Al-Qur'an. Bulatkanlah tekad kalian untuk berperang terus sampai tuntas. Kalian sudah berhasil mematahkan kekuatan mereka. Mereka sekarang sudah loyo dan tidak lama lagi akan hancur!"
Mereka tetap tidak mau mengerti, bahwa itu hanya tipu-muslihat. Mereka mendesak terus agar perang dihentikan dan mengancam tidak mau mendukung Imam Ali r.a. lagi bila perang diteruskan. Mereka bukan hanya sekedar menggertak dan mengintimidasi, bahkan mereka sampai berani "memerintahkan" Imam Ali r.a. supaya mengeluarkan instruksi penghentian perang dan menarik semua sahabatnya yang masih berkecimpung di medan tempur.
Benar-benar terlalu! Imam Ali r.a. sampai "diperintah" supaya cepat-cepat menarik .Al-Asytar yang sedang memimpin pertempuran! Lebih dari itu. Mereka juga mengancam akan menangkap dan menyerahkan Imam Ali r.a. kepada Muawiyah, jika ia tidak mau memenuhi tuntutan mereka! Tidak sedikit jumlah pasukan Imam Ali r.a. yang berbuat sejauh itu. Mereka bersumpah tidak akan meninggalkan Imam Ali r.a. dan akan terus mengepungnya, sebelum Imam Ali r.a. melaksanakan "perintah" mereka.
Kedudukan Imam Ali r.a. benar-benar sulit, bahkan rawan dan gawat. Melanjutkan peperangan berarti membuka lubang perpecahan. Menghentikan peperangan juga berarti membangkitkan perlawanan kelompok yang lain, yang tidak percaya kepada tipumuslihat musuh. Ini juga berarti perpecahan. Imam Ali r.a. benar-benar "tergiring" ke posisi sulit akibat muslihat politik "tahkim" yang dilancarkan Muawiyah dan Amr.
Setelah kaum pembelot tak dapat diyakinkan lagi, Imam Ali r.a. terpaksa memanggil Al Asytar dan memerintahkan supaya menghentikan peperangan. Pada mulanya Al Asytar menolak, karena ia tidak mengerti sebabnya Imam Ali r.a. sampai bertindak sejauh itu. Kepada suruhan Imam Ali r.a., Al Asytar berkata: "Bagaimana aku harus kembali dan bagaimana peperangan harus kuhentikan, sedangkan tanda-tanda kemenangan sudah tampak jelas! Katakan saja kepada Imam Ali, supaya ia memberi waktu kepadaku barang satu atau dua jam saja!"
Al Asytar membantah, sebab suruhan Imam Ali r.a. tidak menerangkan sama sekali sebab-sebabnya Imam Ali r.a. mengeluarkan perintah seperti itu dan tidak dijelaskan juga bagaimana keadaan yang sedang dihadapi Imam Ali r.a. di markas-besarnya.
Waktu suruhan Imam Ali r.a. kembali dan melaporkan jawaban Al Asytar, orang-orang yang sedang mengepungnya marah, gaduh, ribut dan berniat buruk terhadap Imam Ali r.a. Mereka berprasangka jelek. Kemudian mereka bertanya kepada Imam Ali r.a.: "Apakah engkau memberi perintah rahasia kepada Al Asytar supaya tetap meneruskan peperangan dan melarang dia berhenti? Jika engkau tidak segera dapat mengembalikan Al Asytar, engkau akan kami bunuh seperti dulu kami membunuh Utsman!"
Suruhan itu diperintahkan kembali untuk menemui Al Asytar. Agar ia cepat kembali, suruhan itu melebih-lebihkan keterangan kepada Al Asytar: "Apakah engkau mau menang dalam kedudukanmu ini, sedang Ali sekarang lagi dikepung 50.000 pedang?"
"Apa sebab sampai terjadi seperti itu?" tanya Al Asytar yang ingin mendapat keterangan lebih jauh.
"Karena mereka melihat lembaran-lembaran Al Qur'an dikibarkan oleh pasukan Syam," jawab suruhan.
Sambil bersiap-siap untuk kembali menghadap Imam Ali r.a., Al Asytar berkata: "Demi Allah, aku sudah menduga akan terjadi perpecahan dan malapetaka pada waktu aku melihat lembaran-lembaran Al Qur'an dikibarkan orang!"
Al Asytar segera pulang. Setiba di markas-besar ia melihat Imam Ali r.a. dalam keadaan bahaya. Anggota-anggota pasukan yang mengepung sedang mempertimbangkan apakah Imam Ali r.a. dibunuh saja atau diserahkan kepada Muawiyah. Saat itu tidak ada orang lain yang memberi perlindungan kepada Imam Ali r.a. kecuali dua orang puteranya sendiri Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. serta Abdullah Ibnu Abbas dan beberapa orang lain, yang jumlah kesemuanya tak lebih dari 10 orang.
Ketika melihat situasi yang sangat kritis itu, A1 Asytar segera menerobos kepungan sambil memaki-maki mereka yang sedang mengancam-ancam: "Celaka kalian! Apakah setelah mencapai kemenangan dan keberhasilan lantas kalian mau menghentikan dukungan dan menciptakan perpecahan. Sungguh impian yang sangat kerdil. Kalian itu memang perempuan! Sungguh busuk kalian itu!"
Datanglah Al Asy'ats bin Qeis kepada Imam Ali r.a. lantas berkata : "Ya Amiral Mukminin, aku melihat orang-orang sudah menerima dan menyambut baik ajakan mereka (pasukan Syam) untuk mengadakan penyelesaian damai berdasarkan hukum Al Qur'an. Kalau engkau setuju, aku akan datang kepada Muawiyah untuk menanyakan apa sesungguhnya yang dimaksud dan apa yang diminta olehnya."
"Pergilah, kalau engkau mau…!" jawab Imam Ali r.a.
Dalam pertemuannya dengan Muawiyah, Al Asy'ats bertanya: "Untuk apa engkau mengangkat lembaran-lembaran Al Qur' an pada ujung-ujung senjata pasukanmu?"
Muawiyah menerangkan: "Supaya kami dan kalian semuanya kembali kepada apa yang diperintahkan Allah dalam Al-Qur' an. Oleh karena itu utuslah seorang yang kalian percayai, dan dari fihak kami pun akan mengutus seorang juga. Kepada kedua orang itu kita tugaskan supaya bekerja atas dasar Kitab Allah dan jangan sampai melanggarnya. Kemudian, apa yang disepakati oleh dua orang itu kita taati bersama…"
Al Asy'ats menanggapi keterangan Muawiyah itu dengan ucapan: "Itu adalah kebenaran!"
Setelah itu Al Asy'ats dan beberapa orang ulama Al-Qur'an berkata kepada Imam Ali r.a.: "Kita telah menerima baik tahkim berdasar Kitab Allah…, dan kami sepakat untuk memilih Abu Musa Al Asy'ariy sebagai utusan!"
Imam Ali r.a. menolak: "Aku tidak setuju Abu Musa ditetapkan sebagai utusan. Aku tidak mau mengangkat dia!"
Al Asy'ats menyanggah: "Kami tidak bisa menerima orang selain dia. Dialah yang telah mengingatkan kita mengenai kejadian yang sedang kita hadapi sekarang ini, yakni peperangan…"
Imam Ali r.a. masih tetap menolak: "Ya, tetapi aku tidak dapat menyetujui dia. Ia dulu meninggalkan aku dan berusaha mencegah orang supaya tidak membantuku. Kemudian ia lari, tetapi sebulan setelah itu ia kembali dan kujamin keselamatannya. Inilah Ibnu Abbas, orang yang akan kuangkat sebagai utusan!"
Al Asy'ats menolak sambil berdalih: "Demi Allah, kami tidak peduli. Kami menginginkan seorang yang netral, tidak condong kepadamu dan tidak condong kepada Muawiyah!"
Imam Ali r.a. mengajukan usul lain: "Kalau begitu, aku akan mengangkat Al Asytar!"
Dengan sinis Al Asy'ats bertanya: "Apakah bumi ini akan terbakar jika bukan Al Asytar yang kau angkat? Apakah kami hendak kau tempatkan di bawah kekuasaan Al Asytar?"
Imam Ali r.a. ingin mendapat penjelasan, lalu bertanya: "Kekuasaan yang bagaimana?"
Al Asy'ats menyahut: "Kekuasaan dia ialah hendak mendorong kaum muslimin terus menerus mengadu pedang sampai terlaksana apa yang diinginkan olehmu dan olehnya!"
Imam Ali r.a. masih berusaha menyakinkan: "Muawiyah tidak menyerahkan tugas itu kepada siapa pun selain orang yang dipercaya benar-benar olehnya, yaitu Amr bin Al Ash. Bagi orang Qureisy itu (Muawiyah) memang tidak ada yang paling baik baginya kecuali orang seperti Amr…! Kalian akan diwakili oleh Abdullah bin Abbas. Biarlah dia yang menghadapi Amr. Abdullah mampu mengatasi kesulitan yang akan dihadapkan oleh Amr kepadanya, sedangkan Amr tidak akan sanggup mengatasi kesulitan yang akan dihadapkan oleh Abdullah kepadanya. Abdullah mampu menangkis hujjah-hujjah yang diajukan oleh Amr, sedangkan Amr tidak akan mampu menangkis hujjah-hujjah yang diajukan oleh Abdullah!"
Al Asy'ats tetap berkeras kepala. Ia berganti dalih: "Demi Allah, tidak…! Sampai kiyamat pun masalah tahkim itu tidak boleh dirundingkan oleh dua orang sama-sama berasal dari Bani Mudhar. Angkatlah orang yang dari Yaman (Abu Musa), sebab mereka sudah mengangkat orang dari Mesir (Amr)…!"
Imam Ali mengingatkan: "Aku khawatir kalu-kalau kalian akan terkelabui. Sebab kalau Amr sudah menuruti hawa nafsunya dalam urusan tahkim itu, ia sama sekali tidak takut kepada Allah!"
Dengan bersitegang leher Al Asy'ats berkata: "Demi Allah, kalau salah seorang dari dua perunding itu berasal dari Yaman, lalu mengambil beberapa keputusan yang tidak menyenangkan kita, itu lebih baik bagi kita daripada kalau dua orang perunding itu sama-sama berasal dari Bani Mudhar, walau mereka ini mengambil beberapa keputusan yang menyenangkan kita!"
Imam Ali r.a. minta ketegasan terakhir: "Jadi…, kalian tidak menghendaki selain Abu Musa?"
"Ya!" jawab Al Asy'ats.
"Kalau begitu, kerjakanlah apa yang kalian inginkan!" kata Imam Ali r.a. dengan hati masgul.
Beberapa orang pengikut Imam Ali r.a. kemudian berangkat untuk menemui Muawiyah guna mengadakan persetujuan tertulis mengenai prinsip disetujuinya tahkim oleh kedua belah fihak. Wakil fihak Kufah (Imam Ali r.a.) menuliskan dalam teks perjanjian sebuah kalimat: "Inilah yang telah disetujui oleh Amirul Mukminin…"
Baru sampai di situ Muawiyah cepat-cepat memotong: "Betapa jeleknya aku ini, kalau aku mengakui dia sebagai Amirul Mukminin tetapi aku memerangi dia!"
Amr bin Al Ash menyambung: "Tuliskan saja namanya dan nama ayahnya. Dia itu Amir (penguasa) kalian dan bukan Amir kami!"
Wakil-wakil fihak Kufah kembali menghadap Imam Ali r.a. untuk minta pendapat mengenai penghapusan sebutan "Amirul Mukminin". Ternyata Imam Ali r.a. memerintahkan supaya sebutan itu dihapus saja dari teks perjanjian. Tetapi Al Ahnaf cepat-cepat mengingatkan: "Sebutan Amirul Mukminin jangan sampai dihapus. Kalau sampai dihapus, aku khawatir pemerintahan (imarah) tak akan kembali lagi kepadamu untuk selama-lamanya. Jangan..., jangan dihapus, walau peperangan akan berkecamuk terus!"
Setelah mendengar naselat Al Ahnaf itu untuk beberapa saat lamanya Imam Ali r.a. berfikir hendak mempertahankan sebutan "Amirul Mukminin" dalam teks perjanjian, tetapi keburu Al Asy'ats datang lagi dan mendesak supaya sebutan itu dihapuskan saja.
Dengan perasaan amat kecewa Imam Ali r.a. berucap: "Laa llaaha Illahllaah . . . Allaahu Akbar! Sunnah yang dulu sekarang disusul lagi dengan sunnah baru. Demi Allah, bukankah persoalan seperti itu dahulu pernah juga kualami? Yaitu waktu diadakan perjanjian Hudaibiyyah?!
"Waktu itu atas perintah Rasul Allah s.a.w. aku menulis dalam teks perjanjian "Inilah perjanjian yang dibuat oleh Muhammad Rasul Allah dan Suhail bin Amr." Ketika itu Suhail berkata: "Aku tidak mau menerima teks yang berisi tulisan 'Rasul Allah'. Sebab kalau aku percaya bahwa engkau itu Rasul Allah, tentu aku tidak akan memerangimu! Adalah perbuatan dzalim kalau aku melarangmu bertawaf di Baitullah, padahal engkau itu adalah Rasul Allah! Tidak, tuliskan saja 'Muhammad bin Abdullah', baru aku mau menerimanya…!"
"Waktu itu Rasul Allah memberi perintah kepadaku: 'Hai Ali, aku ini adalah Rasul Allah dan aku pun Muhammad bin Abdullah. Teks perjanjian dengan mereka yang hanya menyebutkan Muhammad bin Abdullah tidak akan menghapuskan kerasulanku. Oleh karena itu tulis saja Muhammad bin Abdullah !' Waktu itu beberapa saat lamanya aku dibuat bingung oleh kaum musyrikin. Tetapi sekarang, di saat aku sendiri membuat perjanjian dengan anak-anak mereka, pun mengalami hal-hal yang sama seperti yang dahulu dialami oleh Rasul Allah s.a.w.…"
Teks perjanjian itu akhirnya ditulis juga tanpa menyebut kedudukan Imam Ali r.a. sebagai Amirul Mukminin. Al Asytar kemudian dipanggil untuk menjadi saksi. Sebagai reaksi Al Asytar berkata pada Imam Ali: "Anda akan kehilangan segala-galanya bila perjanjian ditulis seperti itu. Bukankah anda ini berdiri di atas kebenaran Allah? Bukankah anda ini benar-benar yakin bahwa musuhmu itu orang yang memang sesat? Kemudian ia berkata kepada mereka: "Apakah kalian tidak melihat kemenangan sudah diambang pintu seandainya kalian tidak berteriak minta belas kasihan kepada musuh?!"
Al Asy'ats menyahut: "Demi Allah, aku tidak melihat kemenangan dan tidak pula meminta belas kasihan kepada musuh. Ayohlah berjanji, bahwa engkau akan taat! Akuilah apa yang tertulis dalam teks perjanjian ini!"
Al Asytar menjawab: "Demi Allah, dengan pedangku ini Allah telah menumpahkan darah orang-orang yang menurut penilaianku lebih baik daripada engkau, dan aku tidak menyesali darah mereka! Aku hanya mau mengikuti apa yang dilakukan oleh Amirul Mukminin. Apa yang diperintahkan, akan kulaksanakan, dan apa yang dilarang akan kuhindari, sebab perintahnya selalu benar dan tepat!"
Pada saat itu datanglah Sulaiman bin Shirid menghadap Amirul Mukminin, sambil membawa seorang yang luka parah akibat pukulan pedang. Waktu Imam Ali r.a. menoleh kepada orang yang luka parah itu, Sulaiman berkata mengancam: "Ada orang yang sudah menjalani nasibnya dan ada pula yang sedang menunggu nasib! Dan... engkau termasuk orang-orang yang sedang menunggu nasib seperti orang ini!"
Ada lagi yang datang menghadap, lalu berkata: "Ya Amirul Mukminin, seandainya engkau masih mempunyai orang-orang yang mendukungmu, tentu engkau tidak akan menulis teks perjanjian seperti itu. Demi Allah, aku sudah berkeliling ke sana dan ke mari untuk mengerahkan orang-orang supaya mau melanjutkan peperangan. Tetapi ternyata hanya tinggal beberapa gelintir saja yang masih sanggup melanjutkan peperangan!"
Ada orang lain lagi datang menghadap, lalu berkata: "Ya Amirul Mukminin, apakah tidak ada jalan untuk membatalkan perjanjian itu? Demi Allah, aku sangat khawatir kalau-kalau perjanjian itu akan membuat kita hina dan nista!"
Imam Ali r.a. menjawab: "Apakah kita akan membatalkan perjanjian yang sudah ditulis itu? Itu tidak boleh terjadi!"
Imam Ali r.a. terpaksa menyetujui adanya perjanjian dengan Muawiyah mengenai prinsip penyelesaian damai berdasarkan hukum Al Qur'an. Banyak di antara pengikutnya yang merasa kecewa dan menyesal, tetapi sikap tersebut sudah terlambat.
Karena sangat kecewa dan menyesal, mereka lalu berteriak kepada semua orang di mana saja: "Tiada hukum selain hukum Allah! Hukum di tangan Allah dan bukan di tanganmu, hai Ali! Kami tidak rela ada orang-orang yang akan menetapkan hukum terhadap agama Allah! Hukum Allah bagi Muawiyah dan pengikut-pengikutnya sudah jelas, yaitu mereka harus kita perangi atau harus kita tundukkan kepada pemerintahan kita! Kita telah terperosok dan tergelincir pada saat kita menyetujui tahkim! Sekarang kita telah bertaubat dan tidak mau lagi mengakui perjanjian itu! Dan engkau, hai Ali, tinggalkanlah perjanjian itu dan bertaubatlah kepada Allah seperti yang sudah kita lakukan. Kalau tidak, kita tidak turut bertanggung jawab!"
Imam Ali r.a. bukanlah orang yang biasa menciderai perjanjian, walau perjanjian itu akan mengakibatkan dirinya harus menanggung resiko kedzaliman orang lain. Kepada orang-orang yang menuntut supaya ia menciderai perjanjian dan segera bertaubat, ia menjawab:
"Celakalah kalian! Apakah setelah kita sendiri mau menyetujui perjanjian itu lantas sekarang harus berbuat cidera? Bukankah Allah telah memerintahkan supaya kita menjaga baik-baik dan memenuhi perjanjian? Bukankah Allah telah berfirman (yang artinya):
"Tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpahmu sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat" (S. An Nahl: 91).
Beberapa hari setelah peperangan berhenti, dalam salah satu khutbahnya Imam Ali r.a. berkata: "Perintahku masih kalian ikuti terus seperti yang kuinginkan sampai saat kalian dilanda perpecahan fikiran. Demi Allah, kalian tahu bahwa peperangan itu sama sekali tidak menghilangkan kekhalifahanku. Itu masih tetap ada. Bahkan peperangan itu sebenarnya lebih memporak-porandakan musuh kalian. Di tengah-tengah kalian, kemarin aku masih memerintah, tetapi hari ini aku sudah menjadi orang yang diperintah. Kemarin aku masih menjadi orang yang bisa melarang, tetapi hari ini aku menjadi orang yang dilarang. Kalian ternyata sudah menjadi orang-orang yang lebih menyukai hidup, dan aku tidak dapat lagi mengajak kalian kepada apa yang tidak kalian sukai…"
Penyimpangan Abu Musa
Beberapa bulan kemudian, bertemulah dua orang perunding di sebuah tempat
yang letaknya tidak jauh dari Shiffin. Amr bin Al Ash mewakili Muawiyah, dan Abu
Musa Al Asy'ariy mewakili Imam Ali r.a. Dalam perundingan itu Amr dengan
gigih bertahan membela Muawiyah, sedangkan Abu Musa berpendirian "asal
damai" dan "asal selamat". Dengan berbagai siasat dan muslihat,
akhirnya Amr berhasil menyeret Abu Musa kepada suatu konsepsi yang meniadakan
kekhalifahan Imam Ali r.a.
Berdasarkan prinsip "asal damai" dan "asal selamat", Abu Musa mengusulkan supaya fihak Amr bersedia menerima Abdullah bin Umar Ibnul Khattab sebagai calon Khalifah yang akan menggantikan Imam Ali. Usul Abu Musa itu dijawab oleh Amr: "mengapa anda tidak mengusulkan anak lelakiku yang bernama Abdullah? Anda kan tahu sendiri anakku itu seorang yang shaleh!"
Pembicaraan berlangsung terus. Setelah lama berunding akhirnya dua orang itu sepakat untuk memberhentikan Imam Ali r.a. sebagai Khalifah dan memberhentikan Muawiyah sebagai pemimpin di Syam dan menyerahkan kepada ummat Islam untuk memilih Khalifah lain yang disukainya.
Begitu licinnya Amr mengelabui Abu Musa, sampai Abu Musa sendiri merasa adil dalam melaksanakan tugas sebagai wakil Imam Ali r.a. Selain itu Abu Musa sedikit pun tidak mempunyai kecurigaan bahwa Amr akan menyimpang dari kesepakatan.
Selesai berunding, Amr dan Abu Musa sepakat akan mengumumkan hasil perundingan itu di depan khalayak ramai. Untuk merealisasinya, oleh Amr diminta kepada Abu Musa supaya lebih dulu mengumumkan pemberhentian Imam Ali, kemudian barulah Amr akan mengumumkan pemberhentian Muawiyah. Seperti orang terkena sihir Abu Musa mengiakan saja apa yang diminta oleh Amr, kendatipun ia telah diperingatkan oleh Ibnu Abbas agar jangan bicara lebih dulu.
Di depan orang banyak Abu Musa mengumumkan, bahwa dua orang perunding telah bersepakat untuk memberhentikan imam Ali dan Muawiyah, demi kerukunan dan perdamaian di antara kaum muslimin. Setelah memberi penjelasan sedikit, dengan lantang Abu Musa berkata: "Sekarang aku menyatakan pemberhentian Ali sebagai Khalifah!"
Selesai Abu Musa, tampillah Amr bin Al Ash. Ia tidak berbicara seperti Abu Musa. Ia tidak mengumumkan bahwa dua orang perunding telah sepakat memberhentikan Imam Ali dan Muawiyah. Amr hanya mengatakan: "Abu Musa tadi telah menyatakan dengan resmi pemberhentian Ali bin Abi Thalib dari kedudukannya sebagai Khalifah. Mulai saat ini ia tidak lagi menjadi Khalifah! Sekarang aku mengumumkan bahwa aku mengukuhkan kedudukan Muawiyah sebagai Khalifah, pemimpin kaum muslimin!"
Mendengar kata-kata Amr, Abu Musa sangat marah. Ia tak mungkin lagi menjilat ludah yang suda jatuh. Abu Musa pergi meninggalkan tempat perundingan. Sejak itu namanya tidak pernah disebut-sebut lagi dalam sejarah.
Beberapa waktu sebelum Abu Musa menghilang, ia masih menerima sepucuk surat dari Abdullah bin Umar Ibnul Khattab, sebagai reaksi terhadap usul pencalonannya, yang diucapkan Abu Musa dalam perundingan. Surat Abdullah tersebut sebagai berikut:
"Hai Abu Musa, engkau membawa-bawa diriku ke dalam persoalan yang engkau sendiri tidak mengetahui bagaimana fikiranku mengenai hal itu. Apakah engkau mengira bahwa aku akan bersedia mencampuri urusan yang engkau mengira aku ini lebih terkemuka dibanding Ali bin Abi Thalib? Bukankah sudah sangat jelas bahwa ia jauh lebih baik daripada diriku? Engkau sungguh sia-sia, dengan begitu engkau sendirilah yang menderita rugi. Aku sama sekali bukan orang yang mengambil sikap permusuhan. Engkau benar-benar telah membuat marah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah karena ucapanmu mengenai diriku.
"Lebih-lebih Ali bin Abi Thalib, karena melihat engkau telah tertipu oleh Amr. Padahal engkau itu seorang pengajar Al Qur'an, seorang yang pernah menjadi utusan penduduk Yaman untuk menghadap Rasul Allah s.a.w., seorang yang pernah diberi kepercayaan membagi-bagikan ghanimah pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar. Ternyata sekarang telah tertipu oleh ucapan-ucapan Amr bin Al Ash, sampai engkau lancang dan memecat Ali sebelum memecat Muawiyah!"
Menanggapi surat Abdullah bin Umar Ibnul Khattab tersebut, Abu Musa menulis:
Berdasarkan prinsip "asal damai" dan "asal selamat", Abu Musa mengusulkan supaya fihak Amr bersedia menerima Abdullah bin Umar Ibnul Khattab sebagai calon Khalifah yang akan menggantikan Imam Ali. Usul Abu Musa itu dijawab oleh Amr: "mengapa anda tidak mengusulkan anak lelakiku yang bernama Abdullah? Anda kan tahu sendiri anakku itu seorang yang shaleh!"
Pembicaraan berlangsung terus. Setelah lama berunding akhirnya dua orang itu sepakat untuk memberhentikan Imam Ali r.a. sebagai Khalifah dan memberhentikan Muawiyah sebagai pemimpin di Syam dan menyerahkan kepada ummat Islam untuk memilih Khalifah lain yang disukainya.
Begitu licinnya Amr mengelabui Abu Musa, sampai Abu Musa sendiri merasa adil dalam melaksanakan tugas sebagai wakil Imam Ali r.a. Selain itu Abu Musa sedikit pun tidak mempunyai kecurigaan bahwa Amr akan menyimpang dari kesepakatan.
Selesai berunding, Amr dan Abu Musa sepakat akan mengumumkan hasil perundingan itu di depan khalayak ramai. Untuk merealisasinya, oleh Amr diminta kepada Abu Musa supaya lebih dulu mengumumkan pemberhentian Imam Ali, kemudian barulah Amr akan mengumumkan pemberhentian Muawiyah. Seperti orang terkena sihir Abu Musa mengiakan saja apa yang diminta oleh Amr, kendatipun ia telah diperingatkan oleh Ibnu Abbas agar jangan bicara lebih dulu.
Di depan orang banyak Abu Musa mengumumkan, bahwa dua orang perunding telah bersepakat untuk memberhentikan imam Ali dan Muawiyah, demi kerukunan dan perdamaian di antara kaum muslimin. Setelah memberi penjelasan sedikit, dengan lantang Abu Musa berkata: "Sekarang aku menyatakan pemberhentian Ali sebagai Khalifah!"
Selesai Abu Musa, tampillah Amr bin Al Ash. Ia tidak berbicara seperti Abu Musa. Ia tidak mengumumkan bahwa dua orang perunding telah sepakat memberhentikan Imam Ali dan Muawiyah. Amr hanya mengatakan: "Abu Musa tadi telah menyatakan dengan resmi pemberhentian Ali bin Abi Thalib dari kedudukannya sebagai Khalifah. Mulai saat ini ia tidak lagi menjadi Khalifah! Sekarang aku mengumumkan bahwa aku mengukuhkan kedudukan Muawiyah sebagai Khalifah, pemimpin kaum muslimin!"
Mendengar kata-kata Amr, Abu Musa sangat marah. Ia tak mungkin lagi menjilat ludah yang suda jatuh. Abu Musa pergi meninggalkan tempat perundingan. Sejak itu namanya tidak pernah disebut-sebut lagi dalam sejarah.
Beberapa waktu sebelum Abu Musa menghilang, ia masih menerima sepucuk surat dari Abdullah bin Umar Ibnul Khattab, sebagai reaksi terhadap usul pencalonannya, yang diucapkan Abu Musa dalam perundingan. Surat Abdullah tersebut sebagai berikut:
"Hai Abu Musa, engkau membawa-bawa diriku ke dalam persoalan yang engkau sendiri tidak mengetahui bagaimana fikiranku mengenai hal itu. Apakah engkau mengira bahwa aku akan bersedia mencampuri urusan yang engkau mengira aku ini lebih terkemuka dibanding Ali bin Abi Thalib? Bukankah sudah sangat jelas bahwa ia jauh lebih baik daripada diriku? Engkau sungguh sia-sia, dengan begitu engkau sendirilah yang menderita rugi. Aku sama sekali bukan orang yang mengambil sikap permusuhan. Engkau benar-benar telah membuat marah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah karena ucapanmu mengenai diriku.
"Lebih-lebih Ali bin Abi Thalib, karena melihat engkau telah tertipu oleh Amr. Padahal engkau itu seorang pengajar Al Qur'an, seorang yang pernah menjadi utusan penduduk Yaman untuk menghadap Rasul Allah s.a.w., seorang yang pernah diberi kepercayaan membagi-bagikan ghanimah pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar. Ternyata sekarang telah tertipu oleh ucapan-ucapan Amr bin Al Ash, sampai engkau lancang dan memecat Ali sebelum memecat Muawiyah!"
Menanggapi surat Abdullah bin Umar Ibnul Khattab tersebut, Abu Musa menulis:
"Aku
bukannya hendak mendekatimu dengan jalan mendudukkan dirimu atau membai'atmu
sebagai Khalifah. Yang kuinginkan hanyalah keridhoan Allah s.w.t. Kesediaanku
memikul tugas ummat ini bukan suatu hal yang buruk atau tercela. Sebab ummat
ini seolah-olah sedang berada di ujung pedang. Selama hidup sampai mati aku
akan tetap mengatakan, bahwa yang
kuinginkan ialah agar ummat ini selalu damai. Sebab jika tidak, ummat ini
tidak akan dapat kembali kepada kebesaran semula."
Seterusnya Abu Musa mengatakan: "Adapun mengenai ucapanku tentang dirimu yang dapat membuat marah Ali dan Muawiyah, sebenarnya dua orang itu sudah lebih dulu marah kepadaku. Tentang tipu muslihat Amr terhadap diriku, demi Allah, tipu muslihatnya itu tidak merugikan Ali bin Abi Thalib dan juga tidak menguntungkan Muawiyah. Sebab syarat yang sudah kami tetapkan bersama ialah, bahwa kami hanya terikat oleh apa yang sudah disepakati bersama, dan bukan terikat oleh apa yang kami perselisihkan. Adapun mengenai apa yang engkau dilarang melakukannya oleh ayahmu, demi Allah, seandainya persoalan ini dapat diselesaikan, engkau akan terpaksa menerimanya!"
Dari surat jawaban Abu Musa kepada Abdullah itu jelaslah, bahwa Abu Musa benar-benar fikirannya dicekam rasa rindu perdamaian. Dan demi perdamaian ia tidak segan-segan menyimpang jauh dari tugas yang dipikulnya dan rela menjebloskan pemimpinnya sendiri.
Dari sumber lain :
Seterusnya Abu Musa mengatakan: "Adapun mengenai ucapanku tentang dirimu yang dapat membuat marah Ali dan Muawiyah, sebenarnya dua orang itu sudah lebih dulu marah kepadaku. Tentang tipu muslihat Amr terhadap diriku, demi Allah, tipu muslihatnya itu tidak merugikan Ali bin Abi Thalib dan juga tidak menguntungkan Muawiyah. Sebab syarat yang sudah kami tetapkan bersama ialah, bahwa kami hanya terikat oleh apa yang sudah disepakati bersama, dan bukan terikat oleh apa yang kami perselisihkan. Adapun mengenai apa yang engkau dilarang melakukannya oleh ayahmu, demi Allah, seandainya persoalan ini dapat diselesaikan, engkau akan terpaksa menerimanya!"
Dari surat jawaban Abu Musa kepada Abdullah itu jelaslah, bahwa Abu Musa benar-benar fikirannya dicekam rasa rindu perdamaian. Dan demi perdamaian ia tidak segan-segan menyimpang jauh dari tugas yang dipikulnya dan rela menjebloskan pemimpinnya sendiri.
Dari sumber lain :
Perdebatan Abu Musa Al Asy’ari dan Amr bin Ash
Orang-orang sesat dari kelompok Syi’ah sangat membenci Abu Musa (Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Qais) karena dia tidak ikut berperang bersama Ali. Ketika terjadi pertentangan antara Khalifah Ali dan Muawiyah, yang kemudian berakhir dengan perang Shiffin, Abu Musa memilih untuk tidak terlibat dalam kedua belah pihak, sebagaimana sikap beberapa orang sahabat. Ia melihat, penolakan Muawiyah atas kekhalifahan Ali telah berkembang menjadi pertentangan antara dua wilayah Islam, penduduk Syam yang mendukung Muawiyah dan penduduk Irak yang mendukung Ali bin Abi Thalib. Memang, sejak diangkat menjadi khalifah, Ali memindahkan ibukota Islam dari Madinah ke Kufah di Irak.
Perang Shiffin berakhir dengan peristiwa
Tahkim, Muawiyah
mengirimkan Amr bin Ash sebagai wakilnya, dan Ali mengirimkan Abu Musa al
Asy'ari untuk melakukan perundingan. Sebenarnya Ali ingin mengirimkan Abdullah
bin Abbas sebagai wakilnya dalam perundingan, karena ia sangat mengenal tipikal
Muawiyah dan Amr bin Ash yang suka sekali bersiasat, sementara Abu Musa adalah
tipikal sahabat saleh yang tulus ikhlas dan tidak pernah berprasangka buruk
kepada sesama muslim. Tetapi karena mayoritas pendukungnya memilih Abu Musa
dalam tahkim tersebut, Ali menerimanya, walaupun ia bisa menduga kesudahannya.
Pada dasarnya Abu Musa mengetahui
bahwa Ali berada di pihak yang benar, tetapi perkembangan situasi mengarah pada perpecahan umat, karena itu ia
menginginkan agar umat Islam kembali bersatu dan meninggalkan pertentangan
antara Ali dan Muawiyah. Biarlah mereka memilih kembali pemimpinnya secara
demokratis. Tetapi sebaliknya dengan Amr bin Ash, ia hanya punya tujuan agar
Muawiyah tetap menjadi khalifah.
Dengan kelicinan siasatnya, Amr
berhasil "memanfaatkan" kesalehan dan ketulusan Abu Musa untuk
mencapai tujuannya tersebut. Wakil dari dua kubu tersebut, Abu Musa dan Amr bin
Ash bersepakat bahwa Ali dan Muawiyah harus melepaskan jabatan masing-masing,
setelah itu melakukan ‘pemilihan langsung’, siapakah khalifah yang dikehendaki
oleh mayoritas. Amr bin Ash meminta Abu Musa untuk terlebih dahulu ‘melucuti’
jabatan Ali, baru dirinya ‘melucuti’ jabatan Muawiyah. Tetapi ternyata, setelah
Abu Musa melakukannya, Amr bin Ash bukannya melucuti, bahkan menetapkan dan
mengukuhkan Muawiyah sebagai khalifah kaum muslimin. Tentu saja Abu Musa tidak
berkutik, dan tidak mungkin baginya ‘menjilat kembali’ perkataannya kepada kaum
muslimin, walau dicurangi seperti itu.
Ia hanya bisa mendebat Amr bin Ash,
tetapi tidak mungkin membalikkan keadaan. Inilah petikan apa yang dikatakan Abu
Musa dalam peristiwa tahkim tersebut. Ketika Amr bin Ash berkata bahwa Muawiyah
berhak atas kekhalifahan karena ia orang yang mulia, dan pewaris serta penuntut
balas yang tepat atas terbunuhnya Khalifah Utsman, Abu Musa berkata,
"Mengenai kemuliaan Muawiyah, kalau kekhalifahan bisa diperoleh karena
kemuliaan, maka yang paling berhak adalah Abrahah bin Shabah, karena ia
keturunan dari Raja-raja Yaman Attababiah, yang menguasai bagian barat dan
timur dari bumi ini. Dan, apalah artinya kemuliaan Muawiyah dibandingkan dengan
Ali bin Abi Thalib…Dan, mengenai Muawiyah sebagai wali Utsman, tentulah lebih
utama puteranya sendiri, Amr bin Utsman…!!"
Abu Musa terus melakukan bantahan
dan kata-kata sengit, yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan untuk
diucapkannya, atau oleh kaum Asy'ariyyin lainnya yang berhati lembut, kepada
Amr bin Ash. Setelah itu ia meninggalkan
tempat tersebut dan mengasingkan diri ke Makkah. Ia tinggal di dekat
Masjidil Haram dan menghabiskan sisa usianya dengan ibadah demi ibadah hingga
maut menjemputnya, masih di masa pemerintahan Muawiyah ini.
Di saat-saat terakhir kehidupannya,
ia berpesan, “Jika aku telah meninggal, janganlah ada tangisan yang
mengiringiku, dan dalamkanlah ruang kuburku!!”
Diriwayatkan dari Abu Musa, dia mengatakan bahwa Mu’awiyah pernah
menulis surat kepadanya, dia berkata, “Amma ba’du, sungguh Amr bin Al
Ash telah membai’atku seperti yang aku inginkan, dan jika kamu
membai’atku sebagaimana halnya dia membai’atku, maka aku akan mengangkat
salah seorang putramu sebagai pejabat di Kufah, sedangkan yang lain di
Bashrah. Pintu akan selalu terbuka untukmu dan semua kebutuhanmu akan
tercukupi. Aku juga telah menulis surat ini dengan tulisanku sendiri,
maka tulislah kepadaku dengan tulisanmu sendiri.”
Abu Musa lalu membalas surat tersebut yang isinya, “Amma ba’du, engkau
telah menulis surat kepadaku dalam masalah umat yang sangat penting,
tapi apa yang akan aku katakan kepada Tuhanku saat aku menghadap-Nya?
Aku tidak membutuhkan tawaranmu. Wassalam alaika.”
Abu Burdah berkata, “Ketika Mu’awiah menjabat sebagai khalifah, aku
mendatanginya. Ketika itu pintunya tidak pernah terkunci bagiku dan jika
aku mempunyai hajat, dia selalu dicukupi.”
Menurut aku, Abu Musa adalah sosok sahabat yang suka berpuasa, bangun
malam, rabbani, ahli zahud, ahli ibadah, orang yang memadukan antara
ilmu, amal, dan jihad, hatinya tulus, tidak tergoda dengan kekuasaan,
dan tidak tertipu oleh dunia.
Beliau meninggal tahun 42 Hijriyah.
Bersambung ........................
abdkadiralhamid@2014
Silahkan Klik Lanjutan Kisahnya :
0 Response to "Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a. (bag. 9) - Perang Unta & Shiffin"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip