Segala
puji bagi Allah, yang telah menciptakan manusia dan menyempurnakan bentuknya,
dan menganugerahinya lisan yang bisa digunakan untuk menjelaskan apa yang
dikandung hati dan akal. Saya bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah
selain Allah semata; tiada sekutu bagi-Nya. Saya pun bersaksi bahwa junjungan
kita, Muhammad, adalah hamba dan utusan-Nya. Semoga Allah melimpahkan shalawat
dan salam kepada beliau, keluarganya, para sahabatnya, serta orang-orang yang
membaca takbir dan tahlil kepada Allah.
Sesungguhnya
lisan merupakan salah satu bentuk anugerah dan keindahan ciptaan Allah.
Ukurannya kecil, tetapi pahala dan dosa yang ditimbulkannya besar. Melalui
lisan, kekafiran dan keimanan bisa dibedakan. Dengannya pula seseorang
membicarakan semua yang wujud dan yang tidak wujud, sifat-sifat Sang Pencipta,
dan sifat-sifat makhluk-Nya. Itulah keunikan lisan. Mata hanya bisa
berinteraksi dengan gambar dan warna. Telinga hanya bisa berhubungan dengan
suara. Tangan hanya bisa berurusan dengan benda berwujud. Adapun lisan
mempunyai medan yang luas.
Manusia
sering meremehkan dan tidak membentengi diri dari berbagai penyakit yang
mungkin ditimbulkan oleh lisan. Padahal, lisan adalah senjata setan yang paling
penting dalam memperdaya manusia. Berikut ini akan saya jelaskan
penyakit-penyakit itu secara rinci dan cara untuk menghindarkan diri darinya.
Besarnya
Risiko Lisan dan Keutamaan Diam
Rasulullah
Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam pernah bersabda, “Siapa yang
diam, ia selamat.” Diriwayatkan dari Anas bahwa Luqman pernah berkata, “Diam
itu kebijaksanaan, tetapi sedikit yang melakukannya.”
Uqbah
bin ‘Amir mengisahkan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai
Rasulullah, apakah keselamatan itu?” Rasulullah menjawab, “Jaga lisanmu,
berdiamlah di rumahmu (untuk beribadah), dan tangisi kesalahanmu.” Sahal
bin Sa’ad menuturkan bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi
wa salam pernah bersabda, “Siapa yang menjaga sesuatu di antara kedua
rahangnya (yaitu lisan) dan sesuatu di antara kedua kakinya (yaitu kemaluan),
aku menjaminkan surga baginya.”
Rasulullah
Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam pernah ditanya mengenai
perkara yang paling banyak membuat manusia masuk surga. Beliau menjawab, “Ketakwaan
kepada Allah dan budi pekerti yang baik.” Beliau juga ditanya tentang
perkara yang paling banyak membuat manusia masuk neraka. Beliau menjawab, “Dua
rongga, yaitu mulut dan kemaluan.”
Diriwayatkan
dari Ibnu Mas’ud r.a. bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi
wa salam pernah bersabda, “Kebanyakan dosa anak Adam berasal dari
mulutnya’.’
Rasulullah
juga pernah bersabda, “Siapa yang menahan lisannya, Allah tutupi aibnya.
Siapa yang bisa menguasai emosinya, Allah lindungi dia dari siksa-Nya. Dan
siapayang meminta ampun kepada-Nya, Allah terima permintaan ampunnya”
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa
shahbihi wa salam bersabda, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari
akhir, hendaknya ia berkata yang baik atau diam” Diriwayatkat dari Barra’
bin Azib bahwa seorang badui menemui Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa
shahbihi wa salam dan bertanya, “Tunjukkan kepadaku suatu amal yang bisa
membuatku masuk surga.” Rasulullah menjawab, “Beri makan orang yang lapar,
beri minum orang yang haus, serukan kebaikan, dan cegah kemungkaran. Jika
engkau tidak sanggup, tahan lidahmu kecuali untuk kebaikan.”
Abu Bakar meletakkan kerikil di dalam mulutnya
untuk mencegah dirinya berbicara. Seraya menunjuk pada lisannya, ia menuturkan,
“Inilah yang bisa membawaku pada kebinasaan.” Ibnu Mas’ud mengatakan,
“Hanya lisan yang lebih memerlukan penjara dalam waktu lama.” Hasan Al-Bashri
mengatakan, “Tidaklah memahami agamanya, orang yang tidak sanggup menjaga
lisannya.” Yunus bin Ubaid mengatakan, “Seseorang yang senantiasa memberi
perhatian yang besar pada lisan (ucapannya) niscaya engkau akan melihat
kebaikan pada seluruh amal perbuatannya.” Rabi’ bin Khutsaim tidak pernah
membicarakan urusan dunia selama 20 tahun. Ketika pagi tiba, ia mencatat apa
yang ia bicarakan, lalu mengoreksinya pada sore hari. Mansur bin Al-Mu’tazz
tidak pernah berbicara satu patah kata pun selepas waktu Isya selama 40 tahun.
Mungkin engkau bertanya, “Apa sebabnya sehingga
diam memiliki keutamaan yang begitu besar?” Ketahuilah, sebabnya adalah
banyaknya penyakit yang ditimbulkan oleh banyak bicara. Penyakit itu ada yang
bersumber dari setan dan ada pula yang bersumber dari tabiat seseorang. Dengan
diam, penyakit-penyakit itu tidak akan membebani seorang pendiam. Sementara
itu, dalam diam, seseorang bisa menguatkan niat, senantiasa bersikap tenang,
mempunyai waktu kosong untuk berzikir dan beribadah, dan selamat dari konsekuensi
yang timbul dari ucapan, baik yang terkait dengan dunia maupun akhirat.
Dalam sebuah hadits disebutkan, “Siapa yang
diam, ia selamat!’ Dan sungguh, demi Allah, ia pun mendapat anugerah berupa
permata kebijaksanaan dan kalimat yang berbobot.
Penyakit Pertama: Ucapan yang Tidak Perlu
Maksudnya, engkau mengatakan sesuatu yang tidak
kau perlukan. Akibatnya, waktumu sia-sia dan engkau mengambil sesuatu yang
buruk sebagai ganti dari sesuatu yang baik. Seandainya engkau memanfaatkan
waktu tersebut untuk merenung, mungkin akan terbuka bagimu sebagian dari
percikan rahmat Allah yang besar manfaatnya bagimu. Sekiranya engkau pergunakan
waktu tersebut untuk berzikir kepada Allah, tentu saja itu lebih baik. Dan
barang siapa sanggup untuk mendapatkan emas dan permata, tetapi ia hanya
mengambil tanah yang tidak bermanfaat baginya, sungguh ia benar-benar rugi.
Diam seorang mukmin adalah berpikir, pandangannya adalah mengambil pelajaran,
dan ucapannya adalah zikir.
Modal pokok seorang hamba adalah waktu. Jika
waktunya digunakan untuk hal yang tidak bermanfaat, hilanglah modal pokoknya.
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salampernah bersabda, “Di
antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah ia meninggalkan perkara yang tidak
bermanfaat baginya.” Anas bin Malik menuturkan, “Salah seorang
anak lelaki dari kelompok kami (kaum Anshar) meninggal sebagai syahid
dalam Perang Uhud. Kami menemukan sebongkah batu mengganjal untuk menahan lapar
di perutnya. Lantas ibunya berkata, ‘Selamat menikmati surga, Anakku.’ Lalu
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda, “Engkau
tidak tahu. Boleh jadi ia telah berbicara yang tidak perlu dan mencegah sesuatu
yang tidak membahayakannya.”
Batasan ucapan yang tidak perlu adalah ucapan
yang bila kau ucapkan, engkau tidak mendapatkan pahala; dan bila tidak kau
ucapkan, engkau tidak mendapatkan dosa dan tidak pula membahayakan keadaan
maupun harta.
Penyebab munculnya ucapan yang tidak perlu adalah
hasrat untuk mengetahui sesuatu yang tidak dibutuhkan atau meluangkan waktu
untuk hal yang tidak bermanfaat.
Cara penyembuhannya ada dua. Dari sisi pemahaman,
hendaknya seseorang menyadari bahwa napasnya adalah modal pokoknya,
bahwa ia bertanggung jawab atas setiap perkataannya, bahwa
lisan adalah alat yang bisa ia gunakan untuk mencapai derajat yang tinggi, dan
bahwa menyia-nyiakan lisan adalah suatu kerugian yang nyata. Dari sisi amaliah,
hendaknya seseorang mengharuskan dirinya berdiam diri terhadap sebagian hal
yang berarti baginya agar lisannya terbiasa untuk meninggalkan hal yang tidak
perlu. Kalau mau, ia bisa mengasingkan diri atau menyepi untuk berlatih diam.
Penyakit Kedua: Ucapan yang Berlebihan
Yaitu membicarakan sesuatu yang tidak
berguna atau melebihkan pembicaraan yang berguna dari kadar yang
sepatutnya. Atha’ mengatakan, “Orang-orang sebelum kalian membenci
ucapan yang berlebihan. Mereka menganggap berlebihan semua yang selain
Al-Quran, sunnah Nabi, perintah, larangan, dan ucapan yang diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan pokok.” Diriwayatkan dari sebagian sahabat
Nabi, “Ada lelaki berbicara kepadaku, tetapi jawaban yang akan aku
katakan atas ucapannya lebih menyenangkan daripada air dingin bagi orang
yang kehausan. Maka aku pun meninggalkan jawaban itu karena khawatir
termasuk pembicaraan yang berlebihan.”
Perkataan yang bermakna termaktub dalam Al-Quran. Allah berfirman,
Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali
pembicaraan dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat
kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia (QS Al-Nisa’ [4]: 114).
Penyebab dan cara penyembuhan penyakit ini sama dengan penyakit yang pertama.
Penyakit Keempat: Perdebatan (Mira’ & Jidal)
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda, “Siapa
yang meninggalkan perdebatan (mira’), padahal dia benar, akan
dibangunkan untuknya rumah di bagian tertinggi surga. Dan siapa yang
meninggalkan perdebatan (mira’) dan dia salah, akan dibangunkan untuknya
rumah di bagian terbawah surga!’
Beliau juga bersabda, “Tidak akan
tersesat suatu kaum yang telah diberi petunjuk oleh Allah Swt, kecuali
jika didatangkan kepada mereka perdebatan (jidal).“
Umar r.a. mengatakan, “Jangan kau
pelajari ilmu untuk tiga hal, dan jangan pula kau tinggalkan karena tiga
hal. Jangan kau pelajari ilmu untuk berdebat, membanggakan diri, dan
berlaku riya. Dan jangan kau tinggalkan ilmu karena malu mempelajarinya,
hendak mengabaikannya, dan rela dengan kebodohan.”
Maimun bin Mahran ditanya, “Mengapa
tidak kautinggalkan saja saudaramu padahal ia membencimu? Ia menjawab,
“Karena aku tidak pernah mendebatnya.”
Perdebatan (mira’) adalah pembantahan
terhadap ucapan lawan bicara dengan membeberkan kecacatan ucapannya,
baik redaksinya, maknanya, maupun maksudnya.. Meninggalkan perdebatan
berarti meninggalkan penolakan dan penyanggahan. Jika hal yang engkau
dengarkan benar, katakan itu benar. Namun, jika itu tidak benar atau
dusta yang tidak terkait dengan persoalan agama, diamkan saja.
Adapun perdebatan (jidal) adalah
kesengajaan untuk membungkam lawan bicara, melemahkannya, serta
memperlihatkan dan mencela kekurangan ucapannya. Penyebab perdebatan
adalah [1] keinginan untuk menonjolkan diri dengan memperlihatkan
keilmuan dan kelebihan, dan [2] keinginan untuk menjatuhkan orang lain
dengan menampakkan kekurangannya. Kedua keinginan tersebut termasuk
sifat yang mencelakakan (muhlikat), dan berbahan bakar perdebatan. Siapa
yang gemar berdebat, ia menguatkan sifat yang mencelakakan tersebut.
Cara penyembuhannya adalah dengan
mengekang sifat tinggi hati dan elemen binatang buas (sabu’iyyah), yang
akan saya jelaskan dalam bab “Mencela Kesombongan dan Ujub” dan “Mencela
Kemarahan, Kedengkian, dan Iri Hati”.
Abu Hanifah berkata kepada Dawud
Ath-Tha’i, “Mengapa engkau lebih suka menyendiri?” Dawud menjawab,
“Karena aku sedang berjuang untuk meninggalkan perdebatan.” Lantas Abu
Hanifah mengatakan, “Datanglah (dikeramaian), dengarkan, dan jangan
berbicara.” Kemudian Dawud menceritakan, “Aku sudah melakukan nasihat
Abu Hanifah. Ternyata, tidak ada perjuangan yang lebih sulit bagiku
melebihi nasihatnya tersebut.” Barang siapa terbiasa berdebat, lalu
orang-orang memujinya, lantas ia merasa mulia dan diterima banyak orang,
sesungguhnya sifat-sifat yang mencelakakan itu telah menancap kuat pada
dirinya dan ia tidak mampu mencabutnya.
Penyakit Kelima: Perselisihan (Khushumah)
Penyakit ini adalah dampak dari
perdebatan. Perdebatan adalah upaya melemahkan ucapan orang lain,
sedangkan perselisihan adalah ucapan yang dilakukan terus-menerus untuk
menuntut kekayaan atau hak tertentu. Diriwayatkan dari Aisyah bahwa
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salampernah
bersabda, “Sungguh, orang yang paling dibenci Allah adalah penentang (kebenaran) yang paling keras!’
Mungkin engkau bertanya, “Seandainya
seseorang mempunyai hak ; yang hanya bisa didapatnya dengan cara
berselisih, apakah cara ini juga termasuk hal yang tercela?”
Ketahuilah! Celaan hanya bagi orang yang
berselisih dengan cara yang tidak benar dan tanpa aturan. Celaan juga
diperuntukkan bagi orang yang menuntut suatu hak, tetapi ia melampaui
batas, menampakkan permusuhan dengan maksud menguasai atau menyakiti,
dan mengucapkan kata-kata yang menyakiti yang tidak diperlukan dalam
menampakkan kebenaran. Adapun orang terzalimi yang menyuarakan bukti
kebenarannya dengan cara yang baik, tanpa bermaksud memusuhi maupun
menyakiti, tidak berlebihan, tindakannya tidak diharamkan. Namun, lebih
baik ia menempuh jalan lain, jika masih ada. Meskipun orang terzalimi
tidak dilarang berselisih guna mendapatkan haknya, setidaknya
perselisihan bisa membebani pikirannya. Bahkan saat mengerjakan shalat
pun, ia bisa saja terngiang akan argumen-argumen dari lawannya dalam
perselisihan. Siapa yang berlaku yang seharusnya dalam perselisihan dan
persengketaannya, ia selamat.
Jika orang yang menuntut tidak
membutuhkan apa yang ia tuntut dari lawannya karena ia sudah
berkecukupan, ia tidak berdosa. Hanya saja, ia meninggalkan suatu
keutamaan. Setidaknya ia kehilangan pahala dari perkataan yang baik.
Ath-Thabrani melansir sebuah hadits dari Hani’ dengan isnad baik
(jayyid), bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa
salam pernah bersabda, “Surga dipastikan bagi orang yang memberikan makan dan berbicara baik”
Allah Swt. berfirman, Bertuturlah yang baik kepada manusia (QS Al-Baqarah [2]: 83).
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam juga bersabda, “Sesungguhnya
di surga terdapat beberapa kamar,yang sisi luarnya bisa terlihat dari
dalam dan sisi dalamnya bisa terlihat dari luar. Kamar-kamar itu
disediakan oleh Allah Swt. bagi orang yang mau memberi makan dan
bertutur kata dengan lembut!‘
Diriwayatkan bahwa Nabi Isa a.s.
berpapasan dengan seekor babi. Lalu beliau berkata padanya, “Lewatlah
dengan aman.” Lantas ada yang bertanya kepada beliau, “Wahai Ruh Allah,
apakah engkau mengatakannya kepada babi tadi?” Nabi Isa menjawab, “Aku
tidak suka membiasakan lidahku mengucapkan keburukan.”
Sementara itu, Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam mengatakan, “Ucapan yang baik adalah sedekah.”
Penyakit Keenam: Ucapan yang Dibuat-buat dan difasih-fasihkan
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda, “Sesungguhnya
orang yang paling dibenci Allah dan paling jauh dahku adalah
orang-orang yang bicaranya banyak, dibuat-buat, dan difasih-fasihkan” (hadist diriwayatkan oleh Imam Ahmad)
At-Tirmidzi pun melansir hadits ini dan menilainya hasan, dengan redaksi, “Sesungguhnya orang yang paling kubenci ….” (hadist diriwayatkan oleh AtThirmidzi )
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam juga bersabda, “Ingat! Celakalah orang-orang yang melampaui batas.” Beliau mengulangi sabdanya ini sebanyak tiga kali.
Namun, memperbaiki redaksi pidato dan
ceramah secara wajar dan tidak berlebihan tidak termasuk hal yang
dilarang. Sebab, pidato memang bertujuan untuk menggerakkan hati para
pendengarnya, membuatnya senang terhadap materi pidato, dan
memengaruhinya. Hal seperti itu pantas. Adapun pembicaraan biasa di
antara sesama tidak sepantasnya difasih-fasihkan dan dibuat-buat
sedemikian rupa. Sebab, ucapan yang dibuat-buat seperti itu tentunya
didorong oleh motif memamcrkan kefasihan dan ingin dipuji.
Penyakit Ketujuh: Berkata Kotor dan Mencaci
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda, “Jauhilah kata-kata kotor. Sesungguhnya Allah Swt. tidak menyukai ucapan kotor dan kesengajaan mengucapkan kata kotor’.”
Bahkan Rasulullah Shalallahu alaihi wa
aalihi wa shahbihi wa salam melarang para sahabatnya mencaci orang-orang
musyrik yang terbunuh dalam Perang Badar. Beliau mengatakan, “Jangan
kalian caci mereka karena cacian yang kalian ucapkan tidak akan sampai
kepada mereka. Cacian kalian bisa saja menyakiti orang-orang yang masih
hidup. Ingatlah, mencaci adalah perbuatan yang tercela.”
Beliau Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam juga bersabda, “Orang mukmin bukanlah orang yang suka mencaci, melaknat, melakukan atau mengatakan hal yang keji, maupun suka berkata kotor.”
Diriwayatkan dari Jabir bin Samurah bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam pernah bersabda. “Sesungguhnya
berkata keji dan menampakkan kekejian sama sekali bukan termasuk Islam.
Adapun orang yang paling baik keislamannya adalah orang yang paling
baik budi pekertinya.”
Ahnaf bin Qais mengatakan, “Maukah
kalian kuberitahukan penyakit yang paling ganas? Yaitu lisan yang
senantiasa mencaci dan akhlak yang rendah.”
Yang dimaksud dengan berkata keji
(fuhsy) adalah mengungkapkan sesuatu yang dianggap kotor dengan ungkapan
yang terang— benderang. Orang-orang saleh membersihkan lisan mereka
dari ungkapan kotor dan menyebutnya dengan isyarat. Ibnu Abbas
mengatakan, “Sesungguhnya Allah Maha Malu dan Maha Mulia. Dia suka
memaafkan dan menggunakan bahasa kiasan. Dia menggunakan kata menyentuh
[lams) untuk kata bersetubuh (jima’)” Maka, seyogianya seseorang
menggunakan bahasa kinayah (kiasan) untuk mengungkapkan hal-hal tertentu
seperti menunaikan hajat sebagai ganti buang air kecil dan buang air
besar, untuk istri dikatakan yang ada di kamar atau di balik tirai atau
ibunya anak-anak bukan dengan ungkapan istrimu atau saudarimu.
Al-Ala’ bin Harun mengatakan. “Umar bin
Abdul Aziz sangat berhati-hati dalam berbicara. Suatu ketika ada nanah
keluar dari bawah ketiaknya. Lantas kami mendatanginya untuk mengetahui
apa gerangan yang akan ia katakan. “Dari mana nanah itu keluar?” la
menjawab, “Dari tangan bagian dalam.” Seorang badui berkata kepada
Rasulullah, “Nasihaalah aku.” Rasulullah pun mengatakan, “Hendaknya
engkau bertakwa kepada Allah. Jika ada orang yang mencaci sesuatu yang
ada pada dirimu, janganlah engkau mencaci apa yang ada pada dirinya.
Maka, bagi orang yang mencelamu keburukan, dan bagimu pahala. jangan
pula engkau mencela sesuatu.”
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salampun pernah bersabda, “Mencaci orang Muslim adalah kefasikan, sedangkan membunuhnya adalah kekufuran!
Dalam hadits yang lain dinyatakan. “Terkutuklah orang yang mencaci kedua orang tuanya” Dalam redaksi yang lain, “Salah satu dosa terbesar ialah dosa orang yang memaki orang tuanya.” Beberapa sahabat bertanya, “Wahai Rasul. Bagaimana mungkin seseorang memaki orang tuanya?” Rasulullah menjawab, “la memaki orang tua seseorang, lalu tersebut membalas dengan memaki orang tuanya.”
Penyakit Kedelapan: Melaknat atau Mengutuk
Melaknat termasuk perbuatan yang
tercela, baik melaknat binatang, benda mati, apalagi manusia. Dalam hal
ini, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam
bersabda “Seorang mukmin itu bukan orang yang suka mengutuk”
Hudzaifah berkata,”Kaum yang saling mengutuk pasti akan menanggung akibat ucapannya!”
Imran bin Hushain berkata, “Ketika
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dalam
perjalanan, tiba-tiba beliau bertemu dengan wanita Anshar berada di atas
untanya, karena merasa kesal terhadap untanya, wanita mengutuknya. Lalu
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda. ‘Ambillah sesuatu yang di atas unta itu, lalu lepaskan pelananya, karena unta itu telah terkutuk.
Imran ibn Hushain berkata, “Aku melihat unta itu sedang berjalan-jaian
tengah manusia. tidak ada seorang pun yang mengganggunya!”
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda: “Para pengutuk itu tidak dapat menjadi orang yang bisa memberi syafaat dan menjadi saksi pada Hari Kiamat.
Anas r.a. berkata, “Ada seseorang
bersama Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam
diatas untanya. Tiba-tiba lelaki itu mengutuk untanya. Maka beliau
berkata ‘Wahai hamba Allah! Engkau jangan ikut bersama kami di atas unta
yang terkutuk ini.”
Ada tiga golongan yang pantas
mendapatkan kutukan, yaitu: 1) Pelaku kekufuran, 2). Pelaku bid’ah, 3).
Pelaku kefasikan. Tingkatan kutukan itu juga dibagi atas tiga bagian:
Tingkatan pertama: mengutuk secara umum. Seperti ucapanmu, “Semoga Allah
mengutuk orang-orang kafir, para pelaku bid’ah dan orang-orang fasik!”
Tingkatan kedua: mengutuk dengan sifat
yang lebih khusus. Misalnya, ucapan seseorang, “Semoga Allah mengutuk
orang Yahudi, orang Nasrani, orang Majusi, golongan Khawarij, Rawafidh,
Qadariah, pelaku ke zaliman dan para pemakan riba!” Mengutuk dengan
ucapan yang demikian itu dipcrbolehkan. Tetapi, mengutuk dalam masalah
bid’ah berbahaya. Untuk itu, kutukan dalam bid’ah sebaiknya dihindari
dari orang awam, karena hal itu akan mengundang perlawanan dan
mengobarkan konflik dan kerusakan.
Tingkatan ketiga: mengutuk orang tertentu. Ini amat berbahaya dan dilarang.
Boleh melaknat orang yang dikutuk dengan
tegas oleh syariat Islam. Seperti halnya ucapan, “Semoga Firaun dikutuk
Allah dan semoga Abu Jahal dikutuk Allah!” Karena mereka telah mati
dalam keadaan kufur dan hal itu dijelaskan dalam agama.
Adapun melaknat orang tertentu yang
hidup sezaman, yang tidak ada nash yang menegaskan bahwa ia akan mati
dalam kekufuran, maka hal ini tidak dibolehkan, karena ada kemungkinan
ia akan masuk Islam atau bertobat dan kembali pada Sunnah serta jalan
yang lurus.
Jika engkau sudah mengetahui keharaman melaknat seorang kafir, maka melaknat pelaku fasiq dan bid’ah lebih utama keharamannya.
Tatkala salah seorang sahabat ada yang
beberapa kali dicambuk karena meminum khamar, sebagian sahabat berkata,
“Semoga Allah mengutuknya, banyak sekali kesalahan yang telah
dilakukannya.” Rasulullah lalu bersabda, “Janganlah menjadi penolong
setan terhadap saudara kalian dan janganlah berkata demikian, karena
sesungguhnya ia mencintai Allah dan Rasul-Nya.”
Rasulullah bersabda, “Setiap orang
yang menuduh kufur atau fasiq kepada orang lain, tuduhan itu pasti
kembali kepada dirinya, jika orang yang dituduh tidak seperti apa yang
ia tuduhkan.”
Jika ada orang yang bertanya, “Apakah
boleh mengatakan, ‘Semoga pembunuh si Fulan (seseorang yang saleh dan
baik) begitu pula dengan orang yang menyuruh membunuhnya dikutuk oleh
Allah!’ Maka kami menjawab, “Yang benar adalah mengatakan, ‘Jika
pembunuh si Fulan itu mati sebelum bertobat, mudah-mudahan ia dikutuk
oleh Allah!” Wahsyi ibn Harb telah membunuh Hamzah, paman Rasulullah
Saw, kemudian ia bertobat dari kekufuran. Karena itu, ia tidak boleh
dikutuk.
Seorang mukmin hendaklah tidak
meremehkan kutukan. Karena, orang mukmin itu bukan pcngutuk dan
pcnghujat, lebih baik berzikir kepada Allah.
Makki ibn Ibrahim berkata, “Pada waktu
aku di dekat Ibnu Aun, tiba-tiba ada sekelompok orang menyebut-nyebut
Bilal ibn Abi Burdah dan mengutuknya, sedangkan Ibnu Aun tetap diam.
Mereka lantas bertanya, Hai Ibnu Aun! Aku menyebut-nyebut Bilal ibn Abi
Burdah karena ia telah menyakiti dan berbuat dosa kepadamu!’ Ibnu Aun
menjawab, ‘Sesungguhnya akan keluar dua kalimat dari lembaran catatan
amalku pada Hari Kiamat nanti, yaitu ‘La ilaha illallah (tiada Tuhan
selain Allah)’ dan ‘La’anallahu fulan (terkutuklah fulan)’. Maka,
keluarnya kalimat ‘La ilaha illallah lebih suka daripada keluarnya
kalimat, ‘La’anallahu fulan!” Dan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi
wa shahbihi wa salam bersabda, “Melaknat seorang mukmin sama seperti membunuhnya.”
Mendoakan keburukan untuk seseorang
tidak beda hukumnya dengan melaknatnya, seperti jika seorang berkata,
“Semoga Allah tidak memberi kesehatan pada fisiknya, dan semoga Allah
tidak memberi keselamatan kepadanya.” Dan ucapan-ucapan lain seperti
itu.
Sesuatu yang mendekati kutukan adalah
mendoakan keburukan kepada seseorang. Seperti doa, “Semoga Allah tidak
menyehatkannya dan semoga Allah tidak menyelamatkannya.” Atau doa-doa
yang sejenis dengannya.
Penyakit KesembiIan: Nyanyian dan Syair yang Diharamkan
Syair adalah kata-kata. Yang baiknya
adalah baik, yang buruknya adalah buruk. Rasulullah Shalallahu alaihi wa
aalihi wa shahbihi wa salam bersabda, “Penuhnya perut seseorang di antara kalian dan nanah busuk lebih baik dari pada penuh dengan syair”
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda, “Sesungguhnya sebagian dari syair itu mengandung hikmah”
Aisyah r.a. berkata, “Rasulullah
Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam pernah menambal
sandalnya. Ketika itu aku sedang duduk sambil memintal. Aku memandang
beliau dan dahinya berkeringat dan tampak bercahaya. Aku tercengang
melihatnya. Beliau pun memandangku dan berkata, “Mengapa engkau tercengang?” aku
menjawab, ‘Ya Rasulullah! Aku melihat dahimu berkeringat dan keringatmu
itu tampak bercahaya. Andai Abu Kabir Al-Hudzali melihatmu, niscaya ia
mengerti bahwa engkaulah yang berhak dengan syairnya.’ Rasulullah lantas
bertanya, “Apa yang dikatakan oleh Abu Kabir Al-Hudzali, wahai Aisyah?” Aku menjawab, ‘Abu Kabir Al-Hudzali pernah mendendangkan dua bait syair:
la bersih dari sisa darah haid
Terlindung dari kerusakan wanita yang menyusui
Dan penyakit wanita yang hamil Bila engkau melihat wajahnya
Niscaya wajah itu berkilau laksana kilat yang menyilang
Kemudian RasululiahShalallahu alaihi wa
aalihi wa shahbihi wa salam meletakkan sesuatu yang ada ditangannya,
lalu mendekatiku, seraya berkata. “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, wahai Aisyah. Betapa bahagianya diriku kepadamu, melebihi kebahagiaanmu kepadaku.”
Sumber : Sumber: Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Mukhlikat Ihya ‘Ulum al-Din karya Al Habib Umar bin Hafidz
0 Response to "Amal Pemusnah Kebaikan, bagian 1"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip