Al-Imam Muhammad An-Naqib bin Ali Al-’Uraidhi ra
Nasab :
Al-Imam Muhammad An-Naqib - Ali Al-’Uraidhi - Ja’far Ash-Shodiq - Muhammad Al-Baqir - Ali Zainal Abidin - Husain - Fatimah Az-Zahro - Muhammad SAW
Beliau, Al-Imam Muhammad bin Ali Al-’Uraidhi, dilahirkan di kota Madinah dan dibesarkan disana. Dari semenjak kecil beliau dididik langsung oleh ayahnya sampai ayahnya pindah ke kota ‘Uraidh. Beliau sendiri akhirnya lebih memilih untuk tinggal di kota Basrah.
Beliau adalah seorang yang zuhud terhadap dunia dan menjauhi kepemimpinan. Beliau seorang yang sangat wara’ dan dermawan. Beberapa ulama yang pernah menyebutkan nama beliau di antaranya Ibnu ‘Unbah, Al-’Amri, dan juga para ahli syair banyak memujinya.
Adapun putra beliau, yaitu Isa bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-’Uraidhi, adalah seorang imam yang sempurna, terkumpul pada dirinya berbagai sifat mulia, dan permata bagi Al-Husainiyyin.
Beliau tinggal di Irak. Beliau dijuluki dengan Ar-Rumi, dikarenakan kulitnya yang berwarna kemerahan. Beliau juga dijuluki Al-Azraq, dikarenakan mata beliau yang berwarna biru.
Beliau adalah seorang yang sangat gemar menuntut ilmu, sehingga beliau dapat menguasai berbagai macam keutamaan dan ilmu. Beliau juga adalah seorang yang dermawan, tempat meminta fatwa dan tinggi kedudukannya.
Beliau beberapa kali menikah sehingga dikaruniai banyak anak. Beliau meninggal di kota Basrah. Beliau meninggalkan 30 orang putra dan 5 orang putri.
Radhiyallohu anhu wa ardhah…
[Disarikan dari Syarh Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin Alwi Alhaddad Ba’alawy, karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain Alhabsyi Ba’alawy]
==========================
Imam
Abu Abdillah, Muhammad bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far al-Shodiq bin
Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi
Thalib dilahirkan di kota Madinah al-Munawwarah, dibesarkan dan dididik
oleh ayahnya Ali al-Uraidhi hingga ayahnya wafat. Beliau tidak pernah
berpergian dan berpisah dari ayahnya kecuali setelah ayahnya wafat. Imam
Muhammad bin Ali al-Uraidhi adalah seorang pemimpin yang sempurna. Para
ulama sepakat atas kepemimpinannya, kewibawaannya, ilmunya, amalnya,
kewara’annya, karena itulah Imam Muhammad digelari dengan al-Naqib
(pemimpin)[1]. Beliau orang yang banyak beribadah, dermawan, tidak suka ketenaran.
Penindasan Alawiyin di Madinah.
Gerakan-gerakan
perlawanan kaum Alawiyin membawa konsekuensi perlakuan yang tidak
manusiawi dari penguasa Abbasiyah. Dampak dari gerakan itu, keluarga
Alawiyin banyak menerima gangguan, cobaan dan penindasan. Di Madinah,
akibat yang ditimbulkan dengan terjadinya perlawanan yang dilakukan oleh
Muhammad bin Ja’far al-Shadiq, Harun al-Rasyid sebagai khalifah
Abbasiyah saat itu memerintahkan panglimanya al-Jaludi untuk menghukum
keluarga Abu Thalib dengan memenggal kepala pemimpin Alawiyin yang
melakukan perlawanan, menjarah rumah-rumah keluarga Abu Thalib dan
menjarahi wanita-wanita mereka tanpa menyisakan sepotong pakaian pun
untuk mereka, hingga anting-anting dan peniti-peniti mereka sekalipun.
Juga semua barang yang ada di dalam rumah, yang kecil maupun yang besar,
semuanya diambil oleh pasukan Harun al-Rasyid. Begitulah situasi
penindasan dan petaka yang dialami keluarga Abu Thalib pada masa itu.
Kekerasan Abbasiyah terhadap keluarga Alawiyin mereda, ketika al-Ma’mun
menjadi khalifah Abbasiyah pada tahun 198 hijriyah.
Pada
tahun 199 hijriyah terdapat gerakan perlawanan Alawiyin kepada penguasa
Abbasiyah di pimpin oleh Muhammad bin Ibrahim bin Ismail bin Ibrahim
bin Hasan bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib yang dikenal dengan Ibnu
Thabathaba’. Perlawanannya terus meluas hingga di Iraq dan Kufah, di
mana terdapat banyak pengikut dan simpatisannya. Setelah Ibnu
Thabathaba’ meninggal perjuangannya dilanjutkan oleh Muhammad bin Zaid
bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Kekuatan militer pun
bertambah besar sehingga Basrah dapat dikuasai oleh tentara yang
dipimpin oleh panglima Zaid bin Ja’far yang selanjutnya menjadi Gubernur
kota itu. Di Baghdad, kota itu dikuasai oleh Muhammad bin Sulaiman bin
Daud bin Hasan bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi gerakan
perlawanan Alawiyin kalah di Kufah. Gerakan perlawanan Alawiyin lainnya
dipimpin oleh Ibrahim bin Musa bin Ja’far al-Shadiq yang berhasil
menguasai Yaman.
Masyarakat
mendukung keluarga Alawiyin dan mempercayai mereka karena
keutamaan-keutamaan yang mereka miliki seperti sifat wara’, berilmu,
taqwa, benar dalam perkataan dan perbuatan. Tak heran bila muncul
perlawanan-perlawanan kaum Alawiyin di banyak kawasan seperti Dailam,
Khurasan, Ahwaz, Basrah, Kufah, Madinah, Mekkah, Afrika, Yaman dan
lain-lain dari negeri negeri Islam, yang memperoleh dukungan dan bantuan
rakyat
Dari Madinah ke Basrah
Imam
Muhammad al-Naqib ialah kakek sayid Alawiyin Hadramaut yang pertama
kali pindah dari kota Madinah ke kota Iraq dan menetap di Basrah.
Kemungkinan di tahun 200 hijriyah, bersama rombongan Imam Ali al-Ridha,
beliau mengadakan perjalanan ke Khurasan. Perjalanan tersebut
dikarenakan undangan khalifah al-Ma’mun kepada Imam Ali al-Ridha yang
akan diangkat menjadi putera mahkota. Menurut al-Isfahani, al-Ma’mun
mengundang sekelompok keluarga Abi Thalib dan memerintahkan agar mereka
dibawa menghadapnya dari Madinah. Al-Ma’mun memerintahkan agar mereka dikawal sepanjang jalan menuju Basrah sampai mereka tiba ke hadapannya.[2]
Sampai
di Basrah, Imam Muhammad al-Naqib menetap di kota itu sedangkan Imam
al-Ridha melanjutkan perjalanan ke Ahwaz, Syiraz hingga tiba di Merv,
ibukota Khurasan. Kemudian al-Ma’mun mengundang Imam al-Ridha dan
menyampaikan maksud itu. Imam al-Ridha, dibawah ancaman al-Ma’mun
terpaksa menerima pengangkatan beliau sebagai putera mahkota. Untuk
menghindari keterlibatannya dalam pelaksanaan pemerintahan, beliau
menerima jabatan tersebut dengan syarat bahwa penerimaan beliau hanyalah
bersifat simbolis, tanpa beliau terlibat secara nyata dalam urusan
pemerintahan atau mengemban sesuatu tanggungjawab kenegaraan.
Setelah
itu segera al-Ma’mun memerintahkan wazirnya al-Fadh bin Sahl
mengumumkan kepada masyarakat mengenai ketetapan itu dan pandangannya
terhadap Imam al-Ridha serta niatnya untuk mengangkat beliau sebagai
putera mahkota yang akan menggantikannya sepeninggalannya, dan bahwa dia
telah menamakan beliau dengan al-Ridha. Al-Ma’mun juga
memerintahkan al-Fadh agar mengumumkakan kepada rakyat bahwa dia telah
mengganti lambang Daulat Abbasiyah, yakni pakaian hitam, dengan lambang
berwarna hijau. Pada kesempatan itu dia mengenakan pakaian berwarna
hijau.
Keturunan Imam Muhammad al-Nagib.
Diantara
keturunan Imam Muhammad al-Naqib ialah : Isa digelari dengan al-Rummi,
Yahya, Hasan, Musa, Ja’far, Ibrahim, Ishaq dan Ali[3]. Imam Muhammad al-Naqib wafat pada tahun 234 Hijriyah.
[1] Naqib, kepala, pemimpin atau sesepuh. Istilah itu dalam tarikh Islam pertama kali digunakan pada peristiwa Bai’at al-Aqabah
II. Jumlah peserta bai’at tujuh puluh tiga orang laki-laki dan dua
orang perempuan. Untuk mengefektifkan tugas-tugas pembinaan, Rasulullah
saw mengangkat dua belas orang pemimpin (naqib). Di antara mereka itu
dengan guru utamanya Mush’ab bin Umair. Masing-masing naqib
bertanggungjawab melakukan pembinaan terhadap anggota kelompoknya.
Materi pembinaan adalah alquran dan akhlaq serta pembinaan sikap
kesetiaan untuk membela Rasulullah saw dan ajarannya.
[2] Abu al-Faraj al-Isfahani. Maqat al-Thalibiyin, hal.375.
abdkadiralhamid@2012
0 Response to "Al-Imam Muhammad An-Naqib bin Ali Al-’Uraidhi ra"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip