Sayyidina Husein Bin Ali Bin Abi Thalib ra
Satu tahun sesudah kelahiran Al-Hasan, cucu Rasulullah SAW, tanggal 3 Sya’ban tahun keempat Hijriah, Rasulullah SAW menerima kabar gembira dengan kelahiran Al-Husain. Maka, beliau pun segera menuju rumah Sayyidina Ali dan Sayyidah Zahra, dan berkata kepada Asma binti ‘Umais, “Hai Asma, tolong bawa kemari anakku itu.” Asma pun lalu membawa bayi yang terbungkus kain putih itu dan memberikannya kepada Rasulullah SAW. Beliau begitu gembira lalu mendekapnya. Dibacakannya adzan di telinga kanan bayi itu, dan iqamat di telinga kirinya. Kemudian ditidurkannya cucunya itu di kamarnya, lalu beliau menangis tersedu-sedu.
Mendengar tangis Rasulullah SAW itu, bertanyalah Asma, “Demi ayah dan ibuku, siapa yang engkau tangisi ya Rasulullah?” “Anakku ini,” jawab beliau. “Dia anak zaman,” kata Asma. “Wahai Asma, dia kelak akan dibunuh oleh sekelompok pembangkang sesudahku, yang syafaatku tidak akan sampai kepada mereka,” kata Rasulullah menjelaskan. Kemudian beliau berkata pula, “Wahai Asma, jangan engkau sampaikan apa yang kukatakan tadi kepada Fatimah, dia baru saja melahirkan.”
Kemudian Rasulullah SAW bertanya kepada Ali, “Engkau beri nama siapa anakku ini?” “Saya tidak berani mendahului Anda, ya Rasulullah,”
jawab Ali. Allah SWT kemudian menurunkan wahyu yang suci kepada
kekasih-Nya Muhammad SAW, dengan membawa nama yang diberikan-Nya untuk
anak itu. Dan ketika beliau telah menerima perintah untuk memberi nama
anaknya tersebut, beliau menatap Ali dan berkata, “Namai dia Husain.”
Pada hari yang ketujuh, Rasulullah SAW bergegas datang ke rumah Az-Zahra, lalu menyembelih seekor domba sebagai aqiqah
untuk Husain, mencukur rambutnya, dan bersedekah dengan perak seberat
timbangan rambut itu, lantas menyuruh agar cucunya itu dikhitan.
Begitulah, telah dilakukan untuk Al-Husain upacara sebagaimana yang
dilakukan Rasulullah SAW untuk kakaknya Al-Hasan.
Kedudukan Al-Husain
Kedudukan Sayyidina Husain mempunyai kedudukan yang
luhur yang tak mungkin dicapai kecuali oleh ayahnya, ibunya, kakaknya
serta para imam yang merupakan putera-puteranya. Dalam kesempatan yang
terbatas ini, kami akan mencoba mengemukakan hal-hal penting yang akan
memperlihatkan kedudukan Al-Husain dalam pandangan syariat Islam.
Al-Quran Al-Karim, dokumen Ilahi yang agung yang
tidak mengandung kebatilan di dalamnya, mengungkapkan dalam banyak
ayatnya sebagian besar dari derajat luhur di sisi Allah yang diraih
Al-Husain. Beberapa di antara ayat-ayat tersebut adalah :
1. Ayat Tathhir : “Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait, dan menyucikan kamu sesuci-sucinya.”(QS. Al-Ahzab : 33).
Para
penyusun kitab-kitab hadis shahih menuturkan, sebab yang
melatarbelakangi turunnya ayat ini adalah, bahwa suatu kali Nabi SAW
meminta diambilkan kain lalu muncullah Ali, Fatimah, Hasan dan Husain.
Maka Nabi SAW pun berdoa, “Allahumma, ya Allah, mereka ini adalah
Ahlul Baitku, karena itu hilangkanlah dosa dari mereka, dan sucikanlah
mereka sesuci-sucinya.” Maka turunlah ayat ini dalam hubungannya
dengan peristiwa tersebut. Ayat ini merupakan kesaksian dari Allah
tentang kesucian Ahlul Bait dan tingginya kedudukan mereka di sisi
Allah, dan bahwa mereka itu adalah orang-orang yang memiliki kepribadian
paling luhur dalam Islam.
2.Ayat Mubahalah : “Barangsiapa
yang membantahmu tentang Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan
kamu), maka katakanlah kepadanya, marilah kita memanggil anak-anak kami
dan anak-anak kamu, wanita-wanita kami dan wanita-wanita kamu, diri kami
dan diri kamu, kemudian marilah kita ber-mubahalah kepada Allah dan
kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang
berdusta.” (QS. Ali Imran : 61).
Tentang
sebab turunnya ayat ini, para ahli tafsir dan orang-orang yang berilmu
berpendapat, ayat ini diturunkan ketika orang-orang Nasrani Najran
bersepakat dengan Nabi SAW untuk bermubahalah. Masing-masing
pihak bersaksi kepada Allah agar barangsiapa yang berdusta dalam
pengakuannya, hendaknya ditimpa bencana (mati). Di tempat mubahalah
yang dijanjikan, Rasulullah SAW datang dengan membawa Ahlul Baitnya.
Nabi menggendong Al-Husain dan menggandeng Al-Hasan, Fatimah berjalan di
belakang beliau, kemudian Ali menyusul berjalan di belakang mereka.
Lalu Nabi SAW berkata, “Apabila nanti aku berdoa, aminkanlah ….” Akan
tetapi orang-orang Nasrani, ketika melihat wajah-wajah yang suci dan
mulia yang sedang mereka hadapi itu, segera meminta maaf kepada
Rasulullah SAW dan membatalkan mubahalah. Mereka lalu tunduk kepada kekuasaan Negara beliau dan membayar jizyah.
Disini bisa dilihat bahwa ayat yang mulia ini mengakui Al-Hasan dan
Al-Husain sebagai “anak-anak kami”, sedangkan diri beliau sendiri dan
diri Ali dinyatakan sebagai “diri kami”, sedangkan Fatimah yang mewakili
seluruh wanita kaum mukminin yang ada saat itu dinyatakan sebagai
“wanita-wanita kami” – suatu hal yang secara jelas dan tegas
mengungkapkan bahwa apa yang dilakukan oleh Ahlul Bait tersebut
mempunyai kedudukan yang mulia di sisi Allah, yang tak mungkin bisa
dicapai oleh orang lain. Sebab, kalau tidak demikian, niscaya saat itu
Rasulullah SAW membawa orang-orang lain selain mereka untuk bermubahalah.
3. Ayat Mawaddah : “Katakanlah, aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku, kecuali kasih saying terhadap keluargaku.”(QS. As-Syura : 23).
Para
ahli tafsir mengatakan bahwa, ayat tersebut diturunkan mengenai Ali,
Fatimah, Al-Hasan dan Al-Husain. Jabir bin Abdullah mengatakan, “Ada seorang Arab dusun datang kepada Nabi SAW dan berkata, “Wahai Muhammad, tuturkan kepadaku tentang Islam.” Nabi berkata, “Hendaknya
engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, yang Maha Esa dan tanpa
sekutu, dan bahwasanya Muhammad itu hamba dan utusan-Nya.” “Apakah
untuk ini engkau meminta upah?” Tanya orang itu pula. “Tidak,” jawab Nabi, “Kecuali kasih sayang terhadap keluarga (mawaddah fi al-qurba).” “Kasih sayang terhadap keluargaku atau keluargamu?” tanya orang itu pula. “Keluargaku,” jawab Nabi SAW. Orang Arab itu lalu berkata, “Baik,
mari sekarang aku baiat engkau, dan kepada orang yang tidak mencintaimu
dan keluargamu, hendaknya laknat Allah ditimpakan kepadanya.” “Amin,” kata Nabi.
Dari
ayat-ayat tersebut diatas, tampak jelaslah kedudukan Al-Husain dan
Ahlul Bait Rasul, serta kedudukan mereka yang tinggi di sisi Allah SWT.
Selain itu, perlu ditambahkan di sini sebagian nash yang diterima dari Rasulullah SAW mengenai Al-Husain yang tercermin dalam risalah dan umat, antara lain adalah :
1. Dalam Shahih Al-Turmudzi diriwayatkan hadis dari Ya’la bin Murrah, katanya, Nabi bersabda, “Husain
merupakan bagian dariku, dan aku merupakan bagian darinya. Allah akan
mencintai orang yang mencintai Husain, dan Husain adalah cucu di antarav
segala cucu.” [Fadha’il Al-Khamsah]
2. Dari Salman Al-Farisi, “Aku
mendengar Rasulullah SAW berkata, Al-Hasan dan Al-Husain adalah dua
orang anakku. Barangsiapa yang mencintai mereka berdua berarti
mencintaiku, dan barangsiapa mencintaiku, pasti Allah mencintainya, dan
barangsiapa dicintai Allah, niscaya Dia memasukkannya ke dalam surga.
Barangsiapa membenci mereka berdua, berarti membenciku, dan barangsiapa
membenciku, pasti Allah membencinya, dan barangsiapa dibenci Allah, niscaya Dia memasukkannya ke dalam neraka dengan mukanya terlebih dahulu.” [Al-Thibrisi, I’lam Al-Wara]
3. Dari Al-Barra’ bin ‘Azib, “Aku
melihat Rasulullah SAW menggendong Husain bin Ali di atas pundaknya,
seraya berdoa, “Ya Allah, aku sungguh mencintainya, karena itu cintailah
dia.” [Ibn Al-Shabagh, Al-Fushul Al-Muhimmah]
4. Dari Abdullah bin Mas’ud, “Rasulullah
SAW berkata tentang Al-Hasan dan Al-Husain, mereka berdua adalah dua
orang anakku. Barangsiapa mencintai mereka berdua, berarti mencintai
aku, dan barangsiapa membenci mereka berdua, berarti membenciku.”
5. Dari Ali ibn Al-Hasan, dari ayahnya, dari kakeknya, “Rasulullah
SAW menggandeng tangan Al-Hasan dan Al-Husain, dan berkata, barangsiapa
mencintai aku dan mencintai kedua anak ini dan kedua orangtua mereka,
niscaya berada bersamaku di dalam surga.” [Ibn Al-Jauzi, Tadzkirat Al-Khawwash]
Al-Husain dan Peristiwa Karbala
Ketika Sayyidina Ali ditunjuk sebagai Khalifah setelah terbunuhnya Utsman, ia berusaha
untuk menegakkan kembali keadilan Islam. Ia mendapat perlawanan yang
tidak terhenti dari para penguasa Bani Umayyah. Para pengikutnya
mengkhianatinya. Seorang demi seorang dari sahabatnya yang setia
dipanggil Tuhan. Sementara itu, para tiran menggunakan kekayaan dan
kekerasan untuk menguasai rakyat banyak. Dan menjelang akhir Ramadhan 40
H, di dalam relung mihrabnya, Ali dibunuh ketika shalat subuh.
Hasan
bin Ali, anak lelaki pertama Ali bin Abi Thalib, diangkat menjadi
Khalifah. Ia melihat ketakutan dan kezaliman telah menyelimuti Madinah,
Kufah, Basrah dan kota-kota besar dunia Islam. Kaum muslimin yang shaleh
tidak henti-hentinya mendapat penganiayaan. Muawiyah juga terus menerus
memfitnah keluarga Nabi dan menyebarkan keresahan. Setelah berunding
dengan saudaranya Al-Husain, ia memutuskan untuk menghentikan semua
derita umat ini melalui perjanjian damai dengan Muawiyah.
Segera setelah perjanjian damai itu, Muawiyah masuk ke Kufah. Ia berkata: “Hai,
penduduk Kufah. Adakah kamu mengira aku memerangi kalian agar shalat,
zakat dan haji. Aku tahu kalian sudah melakukan shalat, zakat dan haji.
Kuperangi kalian untuk menguasai kalian. Untuk itu, aku akan tumpahkan
darah, dan seluruh perjanjian yang telah aku buat akan aku letakkan di
bawah injakan kakiku.” Ia melanggar perjanjian itu, Pertama, membunuh Sayyidina Hasan dengan racun. Hasan syahid pada 50 H. Kedua, ia meneruskan pembantaian dan penganiayaan pada para pengikut Imam Ali. Ketiga, ia dan para pejabatnya menggunakan harta umat (Baytul Mal) untuk kepentingan pribadi dan keempat, ia mengangkat anaknya Yazid sebagai putra mahkota dan memerintahkan dengan paksa agar rakyat menerimanya.
“Yazid
manusia yang selalu berbuat dosa dan maksiat, peminum khamar, pembunuh
orang yang tidak bersalah. Ia lakukan kefasikan dan kemaksiatannya
secara terbuka. Orang sepertiku tidak mungkin berbaiat kepada orang
seperti Yazid,”
kata Husain. Cucu Rasulullah SAW itu akhirnya memutuskan untuk
melakukan perlawanan terhadap Yazid. Orang yang menghabiskan malam dalam
beribadat kepada Tuhan, dan siang dalam berkhidmat kepada insan,
sekarang berhadapan dengan orang yang menghabiskan malam untuk
bermaksiat kepada Yang Mahakuasa dan siang untuk berkhianat kepada
manusia. Al-Husain beserta keluarga meninggalkan Madinah
menuju Mekkah. Begitu sampai di Mekkah, ia menerima 12000 surat dari
Kufah. Mereka mengundang Imam Husain untuk datang ke Kufah dan
membaiatnya sebagai Khalifah. Al-Husain mengirim Muslim bin Aqil untuk
membuktikan keseriusan penduduk Kufah tersebut.
Dari Mekkah, dengan meninggalkan wuquf di
Arafah, Husain beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya berangkat menuju
Kufah. Kerabatnya mendesak Al-Husain untuk membatalkan kepergiannya,
tetapi Husain berkata: “Aku berangkat bukan karena ambisi, bukan
untuk berbuat zalim atau untuk menimbulkan kerusakan. Aku berangkat
untuk mendatangkan kemaslahatan pada umat kakekku. Aku ingin
memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar.” Maka berangkatlah kafilah Husain, dalam terik matahari musim panas yang membakar, untuk menempuh perjalanan sejauh 1800 Km.
Ketika
kafilah Husain sampai di dekat Kufah, ia menerima berita yang sangat
mengejutkan. Muslim bin Aqil dan dua orang pendukungnya di Kufah sudah
dibunuh Ibnu Ziyad, gubernur Kufah. Husain mengumpulkan pengikutnya dan
menceritakan berita itu. Karena ketakutan, sebagian pengikutnya
meninggalkan Husain. Al-Husain melanjutkan perjalanan sampai ia
berhadapan dengan 1000 penunggang kuda yang dipimpin oleh
Al-Hurr. Ia didesak ke sebuah tempat yang disebut Karbala, pada tanggal 2
Muharram, 61 H. Ibnu Ziyad mengirim pasukan tambahan di bawah pimpinan
Umar bin Sa’ad. Pada 9 Muharram, pasukan Umar mengepung kemah-kemah
Al-Husain. Ia meminta Umar untuk menangguhkan serangan sampai keesokan
harinya. Bersama para pengikutnya yang setia Imam Husain menghabiskan
malam dalam ibadat. Imam berkata: “Musuh hanya menghendaki nyawaku. Dengan senang aku izinkan kalian untuk pulang.” Pengikutnya berkata: “Demi Allah, tidak mungkin dan tidak pernah terjadi. Kami hidup bersama Anda atau mati bersama Anda.”
Pada
10 Muharram atau Asyura, berhadapanlah 72 pecinta Tuhan dengan 5000
penyembah setan, segelintir penegak keadilan dengan ribuan pendukung
kezaliman. Sudah beberapa hari kelompok keluarga Rasulullah
kehausan karena jalan ke sungai Eufrat ditutup musuh. Beberapa saat
sebelum terjadi pertempuran Al-Hurr menyesali perbuatannya dan bergabung
dengan Al-Husain. Menjelang sore hari, sudah 70 orang pengikut Husain
syahid, setelah perjuangan yang sangat keras di tengah-tengah sengatan
matahari dan kehausan. Musuh bertindak sangat kejam, dengan secara
membuta membunuh siapa saja, termasuk Ali Asghar 6 bulan, yang bersimbah
darah di tangan Al-Husain. Mereka juga membakar kemah-kemah para
perempuan dan anak-anak. Pembantaian keluarga Nabi ini berakhir, ketika
ribuan tentara mengeroyok seorang Husain. Syimr melepaskan kepala Imam
Husain dan ribuan kuda mencabik-cabik dan menginjak-injak jenazahnya.
Kepalanya bersama kepala-kepala para syuhada lainnya ditancapkan di
ujung tombak dan diarak sepanjang 965 Km. di samping dan di belakang
mereka, perempuan-perempuan dan anak-anak diseret dalam belenggu. Sebuah
prosesi yang paling mengharukan dalam sejarah umat manusia. Sebuah
prosesi yang melambangkan perlawanan tanpa henti terhadap kepongahan
para tiran. Bagi setiap mukmin, setiap hari adalah ASYURA dan setiap
bumi adalah KARBALA.
Bujukan Palsu Syiah di Kufah.
Orang-orang Syiah di Kufah yang selama ini tidak mempunyai keturunan Ahlul-Bait untuk menguatkan klaim kebenaran mereka atas ajaran Ahlu-Bait, terus berupaya membujuk Imam Hussein untuk datang ke Kufah. Mereka berjanji palsu siap mati demi membela Imam Hussein.
Para tabiin terkemuka seperti Abdullah bin Umar, Abdurrahman bin Abu Bakr, Abdulllah bin Zubair terus membujuk beliau untuk tinggal di Madinah atau Mekkah mengabaikan Kufah. Karena disana ayah beliau Ali bin Abi Thalib meninggal terbunuh.
Imam Hussein kemudian mengirim sepupunya Muslim bin ‘Aqil untuk menyelidiki keadaan Kufah, lalu beliau melaporkan bahwa keadaan Kufah sangat kondusif.
Ketika Gubernur Kufah yang baru Ubaydillah bin Ziyad memenggal kepala Muslim bin ‘Aqil tak satupun penduduk Kufah yang berusaha memberi tahu bahwa di Kufah telah berganti Gubernur baru yang lalim dan dzalim.
Walhasil, ketika Imam Hussein Ra. berangkat dari Mekkah dia tidak mengetahui bahwa telah terjadi pergantian Gubernur di Kufah.
Imam Hussein berangkat dari Kufah karena memang tidak ada sejengkal pun Tanah Hijjaz yang aman dari kedzaliman tentara Yazid. Hal ini disebabkan karena penduduk Madinah dan Mekkah menolak membaiat Yazid.
Sebelum berangkat Imam Hussein berkata pada Ibnu Abbas:
“Sungguh jika aku terbunuh di tempat demikian dan demikian, tentu lebih aku sukai daripada aku mengorbankan kemuliaan negeri Mekah ini”
Rombongan Imam Hussein ini berjumlah 70 Orang, 30 berkuda dan 40 berjalan kaki bukan dengan maksud berperang.
Di Karbala pada tanggal 2 Muharram 61 H. Ketika itu, Imam Husayn dicegat oleh 1.000 pasukan di bawah komando Hurr ibn Yazid. Tentu sang Imam sangat kaget, karena beliau diminta datang oleh penduduk Kufah untuk menjadi ”Imam”, bukan gubernur apalagi memberontak.
Oleh karenanya beliau meminta kepada Hurr bin Yazid untuk diizinkan kembali ke Madinah saja, agar tidak terjadi fitnah. Tapi permintaan ini ditolak oleh Hurr bin Yazid.
Lalu Gubernur Kufah, Ubaydillah Bin Ziyad menambah jumlah pasukan dengan mengirimkan pasukan dipimpin oleh Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash. Sehingga total ada 10.000 pasukan yang siap memerangi 72 orang.
Sebelum perang terjadi, semua pasukan yang ada di Kufah (Lawan atau Kawan) sholat subuh bermakmum pada Hussein Ra. Lalu beliau berkhutbah sehingga ada beberapa orang di pihak pasukan Umar bin Sa’ad yang membelot termasuk pasukanya Hurr bin Yazid yang akhirnya memilih berpihak pada Hussein.
Sayyidina Hussein Ra Terbunuh.
Riwayat yang paling shahih tentang kepala Husain telah dibawakan oleh Imam al-Bukhâri, nomor 3748:
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنِي حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مُحَمَّدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أُتِيَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ بِرَأْسِ الْحُسَيْنِ فَجُعِلَ فِي طَسْتٍ فَجَعَلَ يَنْكُتُ وَقَالَ فِي حُسْنِهِ شَيْئًا فَقَالَ أَنَسٌ كَانَ أَشْبَهَهُمْ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ مَخْضُوبًا بِالْوَسْمَةِ
“Aku diberitahu oleh Muhammad bin Husain bin Ibrâhîm, dia mengatakan; aku diberitahu oleh Husain bin Muhammad, kami diberitahu oleh Jarîr dari Muhammad dari Anas bin Mâlik radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan; ‘Kepala Husain dibawa dan didatangkan kepada ‘Ubaidullah bin Ziyâd. Kepala itu ditaruh di bejana. Lalu ‘Ubaidullah bin Ziyâd menusuk-nusuk (dengan pedangnya) seraya berkomentar sedikit tentang ketampanan Husain. Anas radhiyallahu ‘anhu mengatakan; ‘Diantara Ahlul-Bait, Husain adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Saat itu, Husain radhiyallahu ‘anhu disemir rambutnya dengan wasmah (tumbuhan, sejenis pacar yang condong ke warna hitam).
Lalu ‘Ubaidullah yang durhaka ini kemudian menusuk-nusuk hidung, mulut dan gigi Husain radhiyallahu ‘anhu, padahal disitu ada Anas bin Mâlik, Zaid bin Arqam dan Abu Barzah al-Aslami radhiyallahu ‘anhuma. Anas radhiyallahu ‘anhu mengatakan; “Singkirkan pedangmu dari mulut itu, karena aku pernah melihat mulut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium mulut itu!” Mendengarnya, orang durhaka ini mengatakan; “Seandainya saya tidak melihatmu sudah tua renta yang akalnya sudah rusak, maka pasti kepalamu saya penggal.”
Dalam riwayat at-Tirmidzi dan Ibnu Hibbân dari Hafshah binti Sirîn dari Anasradhiyallahu ‘anhu dinyatakan:
“Lalu ‘Ubaidullah mulai menusukkan pedangnya ke hidung Husain radhiyallahu ‘anhu.”
Dalam riwayat ath-Thabrâni rahimahullah dari hadits Zaid bin Arqamradhiyallahu ‘anhu:
“Lalu dia mulai menusukkan pedang yang di tangannya ke mata dan hidung Husain radhiyallahu ‘anhu. Aku (Zaid bin Arqam) mengatakan; ‘Angkat pedangmu, sungguh aku pernah melihat mulut Rasulullah (mencium) tempat itu.’”
Demkian juga riwayat yang disampaikan lewat jalur Anas bin Mâlik radhiyallahu ‘anhu:
“Aku (Anas bin Malik) mengatakan kepadanya; ‘Sungguh aku telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium tempat dimana engkau menaruh pedangmu itu.’ Lalu Ubaidullah mengangkat pedangnya.”
Sayyidina Husein ra (Abu Abdillah) adalah cucu Rasulullah saw dan beliau adalah adik dari Sayyidina Hasan ra. Beliau ra lahir pada hari ke 5 bulan Sya'ban tahun ke 4 hijriyah. Sayyidina Husein ra gugur sebagai syahid dalam usia 57 tahun, pada hari Jum'at, hari ke 10 (Asyura) dari bulan Muharram, tahun 61 Hijriyah di padang Karbala, suatu tempat di Iraq yang terletak antara Hulla dan Kuffah.
Menurut al-Amiri, Sayidina Husein dikarunia 6 anak laki-laki dan 3 anak perempuan. Dan dari keturunan Sayyidina Husein ra yang meneruskan keturunannya hanya Ali al-Ausath yang diberi gelar “ALI ZAINAL ABIDIN”. Sedangkan Muhammad, Ja'far, Ali al-Akbar, Ali al-Asghar , Abdullah, tidak mempunyai keturunan (ketiga nama terakhir gugur bersama ayahnya sebagai syahid di Karbala). Sedangkan anak perempuannya adalah: Zainab, Sakinah dan Fathimah.
Kaum Alawiyyin adalah keturunan dari Rasulullah saw melalui Imam Alwi bin Ubaydillah bin AHMAD AL MUHAJIR bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin ALI ZAINAL ABIDIN bin SAYYIDINA HUSAIN RA. Istilah Alawiyin atau Ba’alawi digunakan untuk membedakan keluarga ini dari keluarga para Sayyid yang lain yang sama –sama keturunan Rasulullah saw.
Prof. Dr. Hamka mengutip kata-kata mutiara dari al Imam Asy Syafi'i saat menulis kata sambutan dalam sebuah buku karangan Al Habib Hamid Al Husaini yang berjudul Al-Husain bin Ali Pahlawan Besar sbb: "Jika saya akan dituduh (sebagai) orang Syiah karena saya mencintai keluarga Muhammad saw, maka saksikanlah oleh seluruh manusia dan jin, bahwa saya ini adalah penganut Syi'ah."
Beliau juga pernah mengatakan : “Tidak layak untuk tidak mengetahui bahwa Alawiyyin Hadramaut berpegang teguh pada madzhab Syafi’i. Bahkan, yang mengokohkan madzhab ini di Indonesia, khususnya di tanah Jawa, adalah para Ulama Alawiyin Hadramaut.”
Di beberapa negara, sebutan untuk dzurriyat rasul saw ini berbeda-beda. Di Maroko dan sekitarnya, mereka lebih dikenal dengan sebutan Syarif, di daerah Hijaz (Semenanjung Arabia) dengan sebutan Sayyid, sedangkan di nusantara umumnya mereka dikenal dengan sebutan Habib. Di Indonesia sendiri ada lembaga khusus yang berpusat di Jakarta, bernama Rabithah Alawiyah, yang mencatat nasab (silsilah) para Alawiyin. Sehingga benar-benar gelar Habib atau Sayyid tidak disalahgunakan oleh seseorang.
Dalam buku “Sejarah masuknya Islam di Timur Jauh”, Prof DR. Hamka menyebutkan bahwa: “Gelar Syarif khusus digunakan bagi keturunan Sayyidina Hasan ra dan Sayyidina Husain ra apabila menjadi raja. Banyak dari para Sultan di Indonesia adalah keturunan baginda Rasulullah saw. Diantaranya Sultan di Pontianak mereka digelari Syarif. Sultan Siak terakhir secara resmi digelari Sultan Sayyid Syarif Qasim bin Sayyid Syarif Hasyim Abdul Jalil Saifuddin. Demikian pula dengan pendiri kota Jakarta yang lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati, beliau digelari Syarif Hidayatullah.”
Kemudian Buya Hamka menjelaskan bahwa dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda, yang artinya “Sesungguhnya anakku ini adalah pemimpin (sayyid) pemuda ahli surga” (Seraya menunjuk kedua cucu beliau, Sayyidina Hasan dan Husain). Berlandaskan hadits tsb, sudah menjadi tradisi turun temurun bahwa setiap keturunan Sayyidina Hasan ra dan Sayyidina Husain ra digelari Sayyid.
Dipandang sangat tidak hormat kepada Rasulullah, jika ada yang mengatakan bahwa Rasulullah saw tidak memiliki keturunan dan mengatakan bahwa orang yang mengaku keturunan beliau adalah seorang yang berbohong. Tidak akan mengatakan perkataan seperti ini kecuali orang yang iri dan dengki. (Seperti didalam Al Qur’an Surat Al Kautsar).
Pada sekitar abad 9 H sampai 14 H, mulai membanjirnya hijrah kaum Alawiyin keluar dari Hadramaut. Mereka menyebar ke seluruh belahan dunia, hingga sampailah ke nusantara ini. Diantara mereka ada yang mendirikan kerajaan atau kesultanan yang masih dapat disaksikan hingga kini, diantaranya: Kerajaan Al Aydrus di Surrat (India), Kesultanan Al Qadri di Kepulauan Komoro dan Pontianak, Kesultanan Al Bin Syahab di Siak dan Kesultanan Bafaqih di Filipina. Tokoh utama Alawiyin pada masa itu adalah Al Habib Abdullah bin Alawi Al Haddad (Shahibur Ratib Al Haddad). Sejarawan Hadramaut, Syaikh Muhammad Bamuthrif, mengatakan, bahwa Alawiyin atau Qabilah Ba’alawi dianggap qabilah yang terbesar jumlahnya di Hadramaut, dan yang paling banyak hijrah ke Asia dan Afrika.
abdkadiralhamid@2012
Orang-orang Syiah di Kufah yang selama ini tidak mempunyai keturunan Ahlul-Bait untuk menguatkan klaim kebenaran mereka atas ajaran Ahlu-Bait, terus berupaya membujuk Imam Hussein untuk datang ke Kufah. Mereka berjanji palsu siap mati demi membela Imam Hussein.
Para tabiin terkemuka seperti Abdullah bin Umar, Abdurrahman bin Abu Bakr, Abdulllah bin Zubair terus membujuk beliau untuk tinggal di Madinah atau Mekkah mengabaikan Kufah. Karena disana ayah beliau Ali bin Abi Thalib meninggal terbunuh.
Imam Hussein kemudian mengirim sepupunya Muslim bin ‘Aqil untuk menyelidiki keadaan Kufah, lalu beliau melaporkan bahwa keadaan Kufah sangat kondusif.
Ketika Gubernur Kufah yang baru Ubaydillah bin Ziyad memenggal kepala Muslim bin ‘Aqil tak satupun penduduk Kufah yang berusaha memberi tahu bahwa di Kufah telah berganti Gubernur baru yang lalim dan dzalim.
Walhasil, ketika Imam Hussein Ra. berangkat dari Mekkah dia tidak mengetahui bahwa telah terjadi pergantian Gubernur di Kufah.
Imam Hussein berangkat dari Kufah karena memang tidak ada sejengkal pun Tanah Hijjaz yang aman dari kedzaliman tentara Yazid. Hal ini disebabkan karena penduduk Madinah dan Mekkah menolak membaiat Yazid.
Sebelum berangkat Imam Hussein berkata pada Ibnu Abbas:
“Sungguh jika aku terbunuh di tempat demikian dan demikian, tentu lebih aku sukai daripada aku mengorbankan kemuliaan negeri Mekah ini”
Rombongan Imam Hussein ini berjumlah 70 Orang, 30 berkuda dan 40 berjalan kaki bukan dengan maksud berperang.
Di Karbala pada tanggal 2 Muharram 61 H. Ketika itu, Imam Husayn dicegat oleh 1.000 pasukan di bawah komando Hurr ibn Yazid. Tentu sang Imam sangat kaget, karena beliau diminta datang oleh penduduk Kufah untuk menjadi ”Imam”, bukan gubernur apalagi memberontak.
Oleh karenanya beliau meminta kepada Hurr bin Yazid untuk diizinkan kembali ke Madinah saja, agar tidak terjadi fitnah. Tapi permintaan ini ditolak oleh Hurr bin Yazid.
Lalu Gubernur Kufah, Ubaydillah Bin Ziyad menambah jumlah pasukan dengan mengirimkan pasukan dipimpin oleh Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash. Sehingga total ada 10.000 pasukan yang siap memerangi 72 orang.
Sebelum perang terjadi, semua pasukan yang ada di Kufah (Lawan atau Kawan) sholat subuh bermakmum pada Hussein Ra. Lalu beliau berkhutbah sehingga ada beberapa orang di pihak pasukan Umar bin Sa’ad yang membelot termasuk pasukanya Hurr bin Yazid yang akhirnya memilih berpihak pada Hussein.
Sayyidina Hussein Ra Terbunuh.
Riwayat yang paling shahih tentang kepala Husain telah dibawakan oleh Imam al-Bukhâri, nomor 3748:
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنِي حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مُحَمَّدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أُتِيَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ بِرَأْسِ الْحُسَيْنِ فَجُعِلَ فِي طَسْتٍ فَجَعَلَ يَنْكُتُ وَقَالَ فِي حُسْنِهِ شَيْئًا فَقَالَ أَنَسٌ كَانَ أَشْبَهَهُمْ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ مَخْضُوبًا بِالْوَسْمَةِ
“Aku diberitahu oleh Muhammad bin Husain bin Ibrâhîm, dia mengatakan; aku diberitahu oleh Husain bin Muhammad, kami diberitahu oleh Jarîr dari Muhammad dari Anas bin Mâlik radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan; ‘Kepala Husain dibawa dan didatangkan kepada ‘Ubaidullah bin Ziyâd. Kepala itu ditaruh di bejana. Lalu ‘Ubaidullah bin Ziyâd menusuk-nusuk (dengan pedangnya) seraya berkomentar sedikit tentang ketampanan Husain. Anas radhiyallahu ‘anhu mengatakan; ‘Diantara Ahlul-Bait, Husain adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Saat itu, Husain radhiyallahu ‘anhu disemir rambutnya dengan wasmah (tumbuhan, sejenis pacar yang condong ke warna hitam).
Lalu ‘Ubaidullah yang durhaka ini kemudian menusuk-nusuk hidung, mulut dan gigi Husain radhiyallahu ‘anhu, padahal disitu ada Anas bin Mâlik, Zaid bin Arqam dan Abu Barzah al-Aslami radhiyallahu ‘anhuma. Anas radhiyallahu ‘anhu mengatakan; “Singkirkan pedangmu dari mulut itu, karena aku pernah melihat mulut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium mulut itu!” Mendengarnya, orang durhaka ini mengatakan; “Seandainya saya tidak melihatmu sudah tua renta yang akalnya sudah rusak, maka pasti kepalamu saya penggal.”
Dalam riwayat at-Tirmidzi dan Ibnu Hibbân dari Hafshah binti Sirîn dari Anasradhiyallahu ‘anhu dinyatakan:
“Lalu ‘Ubaidullah mulai menusukkan pedangnya ke hidung Husain radhiyallahu ‘anhu.”
Dalam riwayat ath-Thabrâni rahimahullah dari hadits Zaid bin Arqamradhiyallahu ‘anhu:
“Lalu dia mulai menusukkan pedang yang di tangannya ke mata dan hidung Husain radhiyallahu ‘anhu. Aku (Zaid bin Arqam) mengatakan; ‘Angkat pedangmu, sungguh aku pernah melihat mulut Rasulullah (mencium) tempat itu.’”
Demkian juga riwayat yang disampaikan lewat jalur Anas bin Mâlik radhiyallahu ‘anhu:
“Aku (Anas bin Malik) mengatakan kepadanya; ‘Sungguh aku telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium tempat dimana engkau menaruh pedangmu itu.’ Lalu Ubaidullah mengangkat pedangnya.”
Sayyidina Husein ra (Abu Abdillah) adalah cucu Rasulullah saw dan beliau adalah adik dari Sayyidina Hasan ra. Beliau ra lahir pada hari ke 5 bulan Sya'ban tahun ke 4 hijriyah. Sayyidina Husein ra gugur sebagai syahid dalam usia 57 tahun, pada hari Jum'at, hari ke 10 (Asyura) dari bulan Muharram, tahun 61 Hijriyah di padang Karbala, suatu tempat di Iraq yang terletak antara Hulla dan Kuffah.
Menurut al-Amiri, Sayidina Husein dikarunia 6 anak laki-laki dan 3 anak perempuan. Dan dari keturunan Sayyidina Husein ra yang meneruskan keturunannya hanya Ali al-Ausath yang diberi gelar “ALI ZAINAL ABIDIN”. Sedangkan Muhammad, Ja'far, Ali al-Akbar, Ali al-Asghar , Abdullah, tidak mempunyai keturunan (ketiga nama terakhir gugur bersama ayahnya sebagai syahid di Karbala). Sedangkan anak perempuannya adalah: Zainab, Sakinah dan Fathimah.
Kaum Alawiyyin adalah keturunan dari Rasulullah saw melalui Imam Alwi bin Ubaydillah bin AHMAD AL MUHAJIR bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin ALI ZAINAL ABIDIN bin SAYYIDINA HUSAIN RA. Istilah Alawiyin atau Ba’alawi digunakan untuk membedakan keluarga ini dari keluarga para Sayyid yang lain yang sama –sama keturunan Rasulullah saw.
Prof. Dr. Hamka mengutip kata-kata mutiara dari al Imam Asy Syafi'i saat menulis kata sambutan dalam sebuah buku karangan Al Habib Hamid Al Husaini yang berjudul Al-Husain bin Ali Pahlawan Besar sbb: "Jika saya akan dituduh (sebagai) orang Syiah karena saya mencintai keluarga Muhammad saw, maka saksikanlah oleh seluruh manusia dan jin, bahwa saya ini adalah penganut Syi'ah."
Beliau juga pernah mengatakan : “Tidak layak untuk tidak mengetahui bahwa Alawiyyin Hadramaut berpegang teguh pada madzhab Syafi’i. Bahkan, yang mengokohkan madzhab ini di Indonesia, khususnya di tanah Jawa, adalah para Ulama Alawiyin Hadramaut.”
Di beberapa negara, sebutan untuk dzurriyat rasul saw ini berbeda-beda. Di Maroko dan sekitarnya, mereka lebih dikenal dengan sebutan Syarif, di daerah Hijaz (Semenanjung Arabia) dengan sebutan Sayyid, sedangkan di nusantara umumnya mereka dikenal dengan sebutan Habib. Di Indonesia sendiri ada lembaga khusus yang berpusat di Jakarta, bernama Rabithah Alawiyah, yang mencatat nasab (silsilah) para Alawiyin. Sehingga benar-benar gelar Habib atau Sayyid tidak disalahgunakan oleh seseorang.
Dalam buku “Sejarah masuknya Islam di Timur Jauh”, Prof DR. Hamka menyebutkan bahwa: “Gelar Syarif khusus digunakan bagi keturunan Sayyidina Hasan ra dan Sayyidina Husain ra apabila menjadi raja. Banyak dari para Sultan di Indonesia adalah keturunan baginda Rasulullah saw. Diantaranya Sultan di Pontianak mereka digelari Syarif. Sultan Siak terakhir secara resmi digelari Sultan Sayyid Syarif Qasim bin Sayyid Syarif Hasyim Abdul Jalil Saifuddin. Demikian pula dengan pendiri kota Jakarta yang lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati, beliau digelari Syarif Hidayatullah.”
Kemudian Buya Hamka menjelaskan bahwa dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda, yang artinya “Sesungguhnya anakku ini adalah pemimpin (sayyid) pemuda ahli surga” (Seraya menunjuk kedua cucu beliau, Sayyidina Hasan dan Husain). Berlandaskan hadits tsb, sudah menjadi tradisi turun temurun bahwa setiap keturunan Sayyidina Hasan ra dan Sayyidina Husain ra digelari Sayyid.
Dipandang sangat tidak hormat kepada Rasulullah, jika ada yang mengatakan bahwa Rasulullah saw tidak memiliki keturunan dan mengatakan bahwa orang yang mengaku keturunan beliau adalah seorang yang berbohong. Tidak akan mengatakan perkataan seperti ini kecuali orang yang iri dan dengki. (Seperti didalam Al Qur’an Surat Al Kautsar).
Pada sekitar abad 9 H sampai 14 H, mulai membanjirnya hijrah kaum Alawiyin keluar dari Hadramaut. Mereka menyebar ke seluruh belahan dunia, hingga sampailah ke nusantara ini. Diantara mereka ada yang mendirikan kerajaan atau kesultanan yang masih dapat disaksikan hingga kini, diantaranya: Kerajaan Al Aydrus di Surrat (India), Kesultanan Al Qadri di Kepulauan Komoro dan Pontianak, Kesultanan Al Bin Syahab di Siak dan Kesultanan Bafaqih di Filipina. Tokoh utama Alawiyin pada masa itu adalah Al Habib Abdullah bin Alawi Al Haddad (Shahibur Ratib Al Haddad). Sejarawan Hadramaut, Syaikh Muhammad Bamuthrif, mengatakan, bahwa Alawiyin atau Qabilah Ba’alawi dianggap qabilah yang terbesar jumlahnya di Hadramaut, dan yang paling banyak hijrah ke Asia dan Afrika.
abdkadiralhamid@2012
0 Response to "SAYYIDINA HUSAIN BIN ALI, PEMIMPIN PARA SYUHADA"
Post a Comment
Silahkan komentar yg positip