Mengutip dari Al-Imam Al-Ghazali dalam kitabnya *Al-Adabu fi AdDin, As-Sayid Muhammad Wais bin ‘Abdurrahman Al-Haidariy Al-Husainiy* menyebutkan di antara adabadab seorang syarif adalah: 

1) Memelihara kemuliaan nasabnya. 

Memiliki rasa malu yang tinggi dengan kemuliaan nasabnya sehingga berusaha tidak mengotorinya dengan kebodohan, kejahatan, maksiat-maksiat, dan segala perbuatan yang tidak pantas. 

2) Tidak makan dengan mengandalkan nasabnya. 

Menjaga muruah, tidak menyalahgunakan nasabnya untuk mencari keuntungan dunia, seperti meminta-minta, meminjam, atau menjual barang dengan nilai tak wajar kepada orang lain dengan membawabawa nama leluhur yang mulia, dan lebih buruk lagi jika disertai dengan paksaan, pemerasan, ancaman, atau penipuan. 

3) Tidak melanggar batasan dengan mengandalkan kehormatan keluarganya. 

Berusaha menjadi panutan yang dapat memberi contoh, patuh pada aturan dan hukum-hukum Allah SWT, dan tidak sewenang-wenang. 

4) Keinginan besarnya adalah tawadhu dan takut kepada Tuhannya. 

Tidak membangga-banggakan leluhurnya tanpa adanya peneladanan. Nasabnya tak mendorongnya menjadi orang yang sombong, namun sebaliknya justru membuatnya semangat mengikuti para leluhurnya yang bersifat tawadhu. Nasabnya tak membuatnya merasa aman dari siksa Allah SWT, namun sebaliknya justru membuatnya tambah takut mendapatkan siksa yang lebih, sebagaimana sifat para leluhurnya. 

5) Bersikap murah hati kepada yang lebih rendah. 

Menampilkan kemuliaan sifat, tetap menghargai, tidak merendahkan, dan tidak berlagak terutama terhadap non-syarif. 

6) Tidak memusuhi orang yang setara dengannya. 

Tidak dengki kepada sesama syarif, bahkan seorang syarif juga dituntut untuk mencintai dan memuliakan seorang syarif lainnya, terutama terhadap seorang syarif yang memiliki ketinggian ilmu dan amal sholeh. 

7) Mengenali kemuliaan orang-orang yang berilmu, meskipun ilmunya setara dengan mereka atau bahkan lebih alim dari mereka. 

Menghapuskan sifat iri, dan mengakui kemuliaan orang-orang yang berilmu, meskipun dari kalangan non-syarif apalagi syarif. Kemuliaan nasab tak membuatnya merasa paling mulia hingga buta terhadap kemuliaan ilmu, kurang menghormati orang-orang berilmu, bahkan meremehkan dan enggan belajar kepada mereka. Andaikan ia memiliki ilmu yang setara atau bahkan lebih alim, tetap itu tak membuatnya terhalang dari memuliakan mereka, karena ia tak menutup mata dari kemuliaan-kemuliaan yang Allah SWT berikan kepada hamba-hamba-Nya. 

8) Mendekati orang-orang yang berilmu agama dari ahli Fiqih atau Al-Qur’an. 

Anugerah kemuliaan nasab mendorongnya untuk berusaha meraih kemuliaan yang lebih sempurna melalui tambahan kemuliaan ilmu, sehingga ia giat menuntut ilmu agama dari para ahlinya, bergaul dan hadir di pengajaran-pengajaran mereka, meskipun dari kalangan nonsyarif. Ia berpandangan bahwa kebodohan dalam beragama jika ada pada seorang nonsyarif maka itu buruk, dan jika ada pada seorang syarif maka itu jauh lebih buruk. 

9) Mensucikan akhlaknya. 

Berusaha membersihkan diri dari akhlak tercela, dan menghiasinya dengan akhlak mulia, karena ia berpandangan sungguh sangat tidak pantas akhlak buruk ada pada seseorang yang mengaku bernasabkan kepada Rasulullah SAW yang merupakan sumber dari segala akhlak mulia. 

10) Menjaga kata-kata ketika marah dan berbicara. 

Menjauhi kata-kata tidak senonoh, kotor, dan kasar seperti mencaci maki, mencela, menghina, melaknat, khususnya di saat marah, karena para pemuka ahlulbait tak pernah diajarkan dan mengajarkan demikian, mereka adalah orang-orang yang kuat menguasai amarah, dan pandai menjaga lisan dalam kondisi marah apalagi keadaan lainnya. 

11) Memuliakan orang-orang yang duduk bersamanya. 

Menyambut dan bermurah hati kepada para pengunjungnya, bukan hanya mengharapkan sambutan dan penghormatan dari mereka. 

12) Memberi kepada saudara-saudaranya. 

Menjaga harga diri dari mengemis, dan berusaha menjadi pemberi karena tangan pemberi lebih mulia dari tangan peminta. Jika telah memberi sesuatu ia enggan untuk memintanya kembali, dan tidak pula berharap agar dibalas atau dipuji. 

13) Melindungi kerabatnya. 

Berjiwa pemimpin dan pengayom yang mampu mengarahkan dan memberi petunjuk, dan merasa bertanggung jawab menjaga keluarga dari segala keburukan dan kehinaan dunia dan akhirat. 

14) Membantu tetangganya. 

Berjiwa pemerhati dan pemurah, tidak hanya mementingkan diri sendiri dan keluarga, namun juga memperhatikan orang lain, sehingga tidaklah ia merasa puas dengan kesejahteraan yang telah didapatkannya sampai orang-orang sekitarnya juga mendapatkannya.