//

Mengenal Rabithah Alawiyah


Rabithah Alawiyah (الرابطةالعلوية (adalah organisasi massa Islam yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan. Pada umumnya organisasi ini menghimpun Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Arab, khususnya yang memiliki keturunan langsung dari Nabi Muhammad SAW. Organisasi ini berdiri pada tanggal 27 Desember 1928 tidak lama setelah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Dalam rangka memelihara dan meningkatkan harkat dan martabat umat Islam di Indonesia, khususnya keluarga Alawiyyin melalui usaha-usaha sosial kemasyarakatan dan pendidikan serta dakwah Islamiyah melalui pembinaan akhlak karimah serta ukhuwah Islamiyah dalam persatuan berbangsa dan bernegara, maka dua bulan setelah peristiwa Sumpah Pemuda, beberapa tokoh Alawiyin menganjurkan kepada Pemerintah Belanda untuk mendirikan perkumpulan kaum Alawiyin yang bernama al–Rabithatoel al-Alawijah. Perkumpulan ini berdasarkan akta Notaris Mr. A.H. Van Ophuijsen No. 66 tanggal 16 Januari 1928 dan mendapat pengesahan dari pemerintah Belanda pada tanggal 27 Desember 1928 (1346 H), yang ditandatangani oleh GR. Erdbrink (Sekretaris Pemerintah Belanda).

 Beberapa waktu kemudian untuk merealisasikan berbagai program Rabithah Alawiyah, maka didirikan al-Maktab al-Daimi, yakni lembaga yang khusus memelihara sejarah dan mencatat nasab As-Saadah Al-Alawiyyin. Maktab ini telah melakukan pencatatan di seluruh wilayah Indonesia. Pada tanggal 28 Januari 1940, jumlah Alawiyyin yang tercatat oleh Maktab Daimi berjumlah 17.764 orang. Realisasi program Rabithah Alawiyah lainnya adalah di dalam bidang sosial. Kegiatan sosial yang dilaksanakan oleh al-Rabithah al-Alawiyah antara lain mendirikan Panti Asuhan Daarul Aitam pada tanggal 12 Agustus 1931 di Jalan Karet No. 47, yang dipimpin pertama kali oleh Sayyid Abubakar bin Muhammad bin Abdurrahman Al Habsyi.

Perkembangan kegiatan masyarakat Alawiyin khususnya dan keturunan Arab umumnya di kemudian hari mengikuti pasang surutnya pergerakan politik di Indonesia. Di antara mereka banyak yang terjun ke bidang politik, bergabung dalam organisasi Partai Arab Indonesia (PAI), mengingat partai-partai Nasionalis masih belum membuka diri untuk keturunan asing. Setelah Proklamasi Kemerdekaan dan Persatuan Arab Indonesia (PAI) dibubarkan, mereka berkiprah di partai-partai politik sesuai dengan hati nurani masing-masing. Sedangkan perkumpulan al-Rabithah al–Alawiyah sebagai kelanjutan dari perkumpulan Jami’at Kheir tetap bergerak pada bidang sosial kemasyarakatan.

Sampai saat ini Rabithah Alawiyah mempunyai jaringan kerja dengan majelis-majelis taklim di seluruh Indonesia yang dikelola oleh kaum Alawiyin. Di samping itu organisasi ini juga memfasilitasi pendirian lembaga-lembaga pendidikan mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak hingga tingkat perguruan tinggi. Bagi yang tergolong Sayyid atau segaris keturunan Nabi, lembaga inilah yang bakal mengeluarkan buku nasab (keturunan) Nabi. Buku ini semacam sertifikat yang isinya silsilah keluarga dalam aksara Arab gundul, yang jika dirunut ke atas bakal bertemu dengan Sayyidah Fatimah Az-Zahra, putri Rasulullah.

Ketua Umum organisasi habaib Rabithah Alawiyah se-Indonesia adalah Habib Taufiq Bin Abdul Qodir Assegaf berdasarkan hasil muktamar yang 14 berlangsung pada Minggu tanggal 5 Desember 2021 di Jakarta menggantikan Habib Zen bin Smith. Habib Taufiq diketahui merupakan pemimpin pondok pesantren Suniyyah Salafiyah Pasuruan Jawa Timur dikenal sebagai ulama kharismatik yang memiliki banyak murid. Alamat Rabithah Alawiyah berada di Jl. TB Simatupang No.7A, RT.8/RW.3, Tj. Barat, Kecamatan Jagakarsa, Kota Jakarta Selatan, DKI Jakarta 12560. 

Kaum (Bani) Alawiyyin (Habaib) 

Alawiyyin (Arab: نّالعلوي (yang dimaksud disini adalah sebutan bagi kaum atau sekelompok orang memiliki pertalian darah dengan Nabi Muhammad melalui Imam Alawi bin Ubaidillah. Awal terbentuknya kelompok keluarga ialah dari Imam Ahmad bin 'Isa al-Muhajir bin Isa ar-Rumi bin Muhammad anNaqib bin Ali al-'Uraidhi bin Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin 'Ali Zainal Abidin bin Husain putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Muhammad yang berangkat meninggalkan Basra (Irak) bersama keluarga dan pengikut pengikutnya pada tahun 317H/929M untuk berhijrah ke Hadramaut di Yaman Selatan. Cucu Imam Ahmad yang bernama 'Alawi, merupakan orang pertama yang dilahirkan di Hadramaut. Oleh karena itu, anakcucu 'Alawi digelari dengan sebutan Ba 'Alawi, yang bermakna Bani 'Alawi (keturunan ‘Alawi). Seorang Ba 'Alawi oleh masyarakat sering kali dipanggil dengan sebutan Sayyid/Habib untuk laki-laki, dan Syarifah/Habibah untuk perempuan.

Keturunan Nabi Muhammad disebut dengan Dzurriyatun Nabi (Dzuriyah Rasul). Negara yang paling banyak dihuni keturunan Nabi Muhammad adalah Yaman. Sebuah negara di Jazirah Arab yang berbatasan dengan Laut Arab di sebelah Selatan, Teluk Aden dan Laut Merah di sebelah Barat, Oman di sebelah Timur dan Arab Saudi di sebelah Utara. Orang-orang Arab dan termasuk Dzurriyah Nabi di Indonesia sebagian besar berasal dari negara ini. Yaman dikenal sebagai kampungnya Dzuriyyah Nabi karena di negara ini anak cucu keturunan Rasulullah paling banyak bermukim dan mengemban misi dakwah. Dzurriyah Nabi atau dikenal dengan istilah Habib ini melekat pada Hadramaut, sebuah wilayah di Yaman Selatan.

Menurut Habib Zein bin Umar, orang-orang Hadramaut Yaman dari golongan Sayyid datang ke Nusantara lewat Muhammad al-Faqih Muqaddam bin Muhammad Shahib Mirbath. Merunut silsilah dan sejarah keluarga, keturunan Nabi yang pindah ke Hadramaut dari Basrah ialah Ahmad al-Muhajir (generasi ke8 dari keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra). Di Indonesia, anak cucu keturunan Nabi Muhammad ini biasa dijuluki Habib (Habaib untuk jamak), Syed atau Sayyid. Sedangkan untuk perempuan biasanya dipanggil Syarifah atau Sayyidah.

Gelar Habib. Merujuk pada penjelasan dari organisasi pencatatan keturunan Nabi Muhammad SAW, Rabithah Alawiyah, habib berasal dari kata habaib, yang artinya adalah keturunan Rasulullah yang dicintai. Gelar Habib tersebut terutama ditujukan kepada mereka yang memiliki pengetahuan agama Islam yang mumpuni dari golongan keluarga tersebut. Gelar Habib juga berarti panggilan kesayangan dari cucu kepada kakeknya. Kemanapun berhijrah, mereka selalu diterima oleh masyarakat karena mampu beradaptasi dengan wilayah yang mereka masuki.

Awalan nama Habib (ب حبيَ) ( orang yang dikasihi) di kalangan orang ArabIndonesia dan juga Malaysia digunakan sebagai panggilan/gelaran khusus terhadap keturunan Nabi Muhammad melalui Fatimah az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib. Habib yang datang ke Indonesia mayoritas adalah keturunan Sayidina Hussein bin Ali. Para habib sangat dihormati pada masyarakat muslim Indonesia karena dianggap sebagai tali pengetahuan yang murni, karena garis keturunannya yang langsung dari Nabi Muhammad. Para Habaib (jamak dari Habib) di Indonesia sangatlah banyak memberikan pencerahan dan pengetahuan akan agama Islam. Gelar lain untuk habib adalah Sayyid, Syed, Sidi (Sayyidi), Wan (tuan), dan Syarif/Syarifah. Para habib terdapat pada golongan (firqoh) Sunni maupun Syiah seperti Ayatullah Ruhollah Khomeini. Dalam bahasa Arab, Habib bermakna orang yang dicintai. Julukan ini cukup populer di kalangan orang Indonesia dan Malaysia sebagai sebutan untuk keturunan Nabi Muhammad melalui nasab dari Sayyidah Fathimah az-Zahra (putri Nabi Muhammad) dan suaminya Ali bin Abi Thalib. Para Habaib yang menetap di Indonesia dan keturunannya menjadi WNI mayoritas adalah keturunan Sayyidina Husein bin Ali.

Keturunan Rasul, kalau di kalangan keturunan Sayyidina Hasan, dikenal Syarif. Tetapi di kalangan Sayyidina Husein disebut Sayyid, kalau jemaah namanya Sa’adah. Dengan berkembangnya waktu, kebanyakan Sayyid ini dicintai oleh lingkungannya, dicintai oleh murid-muridnya, kemudian dipanggil dengan sebutan Al-Habib. Al- Habib itu artinya yang dicintai. Akhirnya gelar Sayyid mulai hilang berganti dengan julukan Habib. Istilah Habib seharusnya yang benar-benar baik, mengajar dengan ilmu dan akhlaknya juga baik, dan menjadi panutan.Tidak semua Sayyid bisa dipanggil habib. Sebaliknya, setiap Sayyid sudah pasti segaris keturunan Nabi. Sebetulnya, habib punya kedudukan tertentu yang istimewa, orang yang benar dan dicintai serta benar-benar menjadi ahli ilmu. Namun sekarang titel Habib terjadi degradasi seperti panggilan keakraban saja, bukan untuk julukan ulama besar. Sementara di beberapa tempat, misal di Aceh keturunan ini dipanggil Said sama dengan di Malaysia.

Asal Mula Habaib di Indonesia. Menurut Habib Zein bin Umar, anak keturunan Nabi Muhammad yang ada di Indonesia berasal dari Hadramaut Yaman lewat Muhammad al-Faqih Muqaddam bin Muhammad Shahib Mirbath. 16 Keturunan Nabi yang pindah ke Hadramaut dari Basrah ialah Ahmad al-Muhajir (generasi ke-8 dari keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra). Beliau pergi bersama keluarganya, sementara saudaranya Muhammad bin Isa tetap di Irak, di masa pemerintahan Khalifah Abbassiyah. Sebelum ke Yaman, dzurriyah Nabi yang lebih dikenal Al-Imam Ahmad bin Isa ini semula hijrah ke Madinah dan Makkah, sekitar 896 Masehi, di dekat kuburan buyutnya. Alasan kepindahannya karena saat itu ada banyak fitnah bahwa keturunan Rasulullah bakal mengambil alih kekuasaan.

Keturunan dari Ahmad al-Muhajir inilah, hingga sampai ke Muhammad alFaqih Muqaddam, yang pergi ke Asia Tenggara dan Nusantara. Keturunan Muhammad al-Faqih Muqaddam dibagi menjadi dua kelompok. Pertama banyak dari keluarga bin Syekh Abu Bakar, keluarga al-Attas, keluarga Al Habsy, Al Hadad, bin Smith hijrah ke arah India, di Gujarat. Keturunan inilah yang masuk ke Indonesia lewat Aceh. Meski masih banyak juga yang tinggal di Hadramaut. Kelompok kedua ada pergi ke Thailand dan Kamboja, kebanyakan dari keturunan dari Abdul Malik. Lalu Abdul Malik itu diangkat mantu oleh raja dan mendapat titel Al Ahmad Khan. Kelompok ini pergi ke Indonesia lewat Aceh, lalu turun ke Palembang dan kemudian ke Jawa. Keluarga Ahmad Khan inilah yang menurunkan Walisanga

Di Indonesia, para keturunan Rasulullah ini masuk dengan pendekatan kultur lokal. Awalnya diikuti, lalu sedikit-dikit budaya digeser, sehingga tidak terjadi peperangan termasuk membaur dalam kesultanan-kesultanan. Maka jadilah Islam di Nusantara tanpa menumpahkan darah. Pembauran ini diakui sebagai dakwah paling efektif yang pernah ada di dunia yang masuk tanpa peperangan, berasimilasi dengan penduduk setempat. Para keturunan Alawiyin dari Hadramaut (keturunan dari Ahmad al-Muhajir) ini hijrah ke Indonesia, ada yang tidak membawa istrinya, ada yang memang masih bujang. Kemudian kawin dengan orang orang setempat dan kemudian menjadi satu kesatuan yang sempurna. Lalu keturunan-keturunan ini menjadi bagian bangsa ini, menghormati penduduk lokal dengan sebutan kalimat saudara ibu.

Jumlah Marga Habaib. Literatur Rabithah Alawiyah, organisasi pencatat keturunan Nabi Muhammad SAW, mencatat setidaknya ada 151 namanama marga yang memiliki garis keturunan Nabi Muhammad di dunia, termasuk di Indonesia. Diperkirakan di Indonesia terdapat sebanyak 1,2 juta orang yang masih hidup yang berhak menyandang sebutan ini. Di Indonesia, habib semuanya memiliki moyang yang berasal dari Yaman, khususnya Hadramaut Yaman Selatan. Berdasarkan catatan pertumbuhan yang melakukan pencatatan salasilah para habib ini, Ar-Rabithah, ada sekitar 20 juta orang di seluruh dunia yang dapat menyandang gelar ini (disebut muhibbin) dari 114 marga

Marga yang tertua dan paling banyak jumlahnya dari puluhan marga yang ada di Indonesia adalah Assegaf, setelahnya Al-Attas. Kalau di Jakarta, yang paling banyak al-Attas, nomor dua Al-Hadad. Kalau di Surabaya, mungkin yang terbanyak Al-Jufri. Dari total 114 marga yang ada di Indonesia, yang masih tersisa hanya 68 marga karena yang lainnya punah, tidak ada keturunan. Ada juga marga yang masih banyak di Indonesia, sementara sudah tidak ada lagi di Hadramaut. Rata-rata keturunan yang ada di Indonesia ini adalah keturunan ke-37 atau ke-38. Populasi keturunan para Sayyid di Indonesia sekarang ini masih didata. Kalau di Jakarta, banyak berdomisili di Tanah Abang, Kampung Melayu, Pekojan, dan yang terbesar di Condet, Jakarta Timur. Karena Condet ini bukan hanya yang lahir di Jakarta saja, tetapi banyak juga hijrahan dari Jawa Timur, tinggalnya di Condet. Mereka membentuk komunitas (kampung) Arab lebih besar.  

Para Habib dan Penyebaran Islam di Indonesia

Para da’i – juru dakwah/pendakwah agama Islam – dalam menyebarkan Islam telah menggunakan beragam pendekatan misalnya melalui tradisi telah mewarnai aktivitas dan metode dakwah yang disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan sasaran dakwah. Dari kenyataan tersebut, maka para da’i melakukan dakwah melakukan penyesuaian antara kebutuhan sasaran dakwah dengan kekhasan ilmu dari masing-masing para da’i (ulama) sesuai pada eranya masingmasing. Banyak ditemukan sumber dan berbagai informasi terkait rekam jejak para da’i dan ulama yang menyebarkan Islam di berbagai daerah di seluruh Indonesia yang kala itu dikenal dengan Nusantara. Mulai dari Perlak di Aceh (Sumatra), daerah Tuban dan pesisir Jawa bahkan sampai ke Sulawesi dan Kalimantan, telah didatangi oleh para penyebar Islam yang sebagian besar berprofesi sebagai pedagang, dan tidak sedikit dari para da’i tersebut merupakan keturunan Rasulullah yang dikenal dengan habib.

Meskipun tidak mudah menelusuri antara misi dagang dan misi para habib menyebarkan Islam – meskipun bukan sesuatu yang mustahil dilakukan, namun keduanya cukup sulit diidentifikasi – umumnya daerah tujuan para da’i adalah daerah pesisir. Bengkulu yang terletak di pesisir Barat pulau Sumatra merupakan bagian dari daerah destinasi perniagaan di era perdagangan rempah abad ke-14. Terbukanya jalur perdagangan di Bengkulu menuntun arah perjalanan para habib untuk datang ke Bengkulu. Beberapa daerah pesisir (pelabuhan laut) di Bengkulu yang dikenal pada ke-19 – diurutkan dari arah Barat – di antaranya adalah; Mukomuko (pada akhir tahun 1970-an sampai tahun 1980 awal dari Mukomuko ke Selebar/Kota Bengkulu masih menggunakan jalur laut. Hal ini dikarenakan belum ada akses jalan darat yang cukup memadai untuk dilewati. Selanjutnya adalah pelabuhan Ketahun, Lais, Selebar (Kota Bengkulu sekarang), Pasar Seluma, Pasar Bawah (Bengkulu Selatan/Manna), dan Bintuhan di Kabupaten Kaur saat ini. 18 Di Bintuhan dikenal ada nama desa Bandar Lame yang merupakan kawasan bandar bongkar pasang muatan kapal sampai era 1970-an untuk naik ke kapal masih dihubungkan dengan sekoci.


 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Mengenal Rabithah Alawiyah"

Posting Komentar

Silahkan komentar yg positip